Daniel berjalan dengan langkah yang tidak stabil, tubuhnya sedikit limbung akibat alkohol yang telah membanjiri sistem sarafnya sejak beberapa jam terakhir. Dengan mata yang mulai mengabur dan kepala yang terasa berat, ia menatap lift di depannya sambil mengerutkan kening, berusaha fokus untuk menekan tombol lantai paling atas—lantai di mana kamar favoritnya berada. Hotel tempat mereka biasa berkumpul ini bukan sembarang tempat; hotel mewah itu milik pamannya, yang tak lain adalah ayah Damian, sahabat sekaligus partner mabuknya malam ini.
Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka dengan suara khas logam yang bergesekan. Daniel masuk dan bersandar di dinding lift, menunggu sampai lantai yang dituju tercapai. Ketika pintu terbuka, ia langsung berjalan keluar dengan langkah gontai menuju salah satu kamar eksklusif di sudut koridor. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kartu akses, lalu menempelkannya ke pemindai di sisi pintu. Bunyi bip terdengar, menandakan pintu telah terbuka, dan ia pun masuk dengan sedikit terhuyung. Pandangan matanya menyapu ruangan, dan bibirnya mengulas senyum tipis melihat tempat tidur yang sudah tertata rapi. Setidaknya, kamar ini sudah dibersihkan, pikirnya. Tanpa pikir panjang, ia melempar tubuhnya ke atas kasur. Dentuman tubuhnya menyebabkan selimut dan bantal berhamburan, membuat ranjang yang awalnya rapi kini berantakan seketika. Rasa haus yang menggelayuti tenggorokannya membuatnya bangkit perlahan dan berjalan menuju kulkas kecil di sudut ruangan. Ia membuka pintunya dan mengambil sebotol air mineral dingin, lalu meneguknya hingga habis dalam sekali minum. Namun, di tengah rasa puas dan keinginan kuatnya untuk segera beristirahat, Daniel sama sekali tidak menyadari bahwa masih ada peralatan kebersihan di ruangan tersebut—alat pel, ember, dan kain lap yang diletakkan di sudut ruangan. Ia juga tidak tahu bahwa kamar ini belum sepenuhnya kosong. Di dalam kamar mandi, Dinda sedang sibuk menyikat lantai dan menggosok dinding keramik dengan semangat. Ia adalah salah satu petugas kebersihan hotel yang hari itu mendapat tugas membersihkan kamar VIP. Saking fokusnya pada tugasnya, ia tidak mendengar suara pintu kamar terbuka atau langkah kaki masuk. Ia terus bekerja hingga akhirnya menyelesaikan bagian terakhir dari kamar mandi. "Akhirnya selesai juga!" Ucap Dinda sambil meregangkan otot-ototnya yang kaku, setelah itu ia pun berjalan keluar kamar mandi. Betapa terkejutnya Dinda saat melihat kasur yang tadi ia bersihkan berantakan kembali, Dinda pun melihat sekelilingnya mencari pelaku yang mengacak-acak hasil kerja kerasnya. "Kamu orang yang di kirim Damian?" Ucap seseorang dengan tiba-tiba, dan Dinda yang mendengar itu pun terperanjat kaget dan melihat kearah belakangnya. Dinda melihat seorang pria besar tinggi dengan stelan jas'nya yang berantakan, dan Dinda dapat mencium aroma alkohol yang menyengat dari pria di depannya ini. "Saya tidak mengerti apa yang Tuan bicarakan !" Ucap Dinda sambil menatap pria itu, dan pria itu pun menyeringai kearah Dinda. "Murahan" ucapnya dengan tajam, dan Dinda yang mendengar perkataan pria mabuk itu pun menatapnya dengan tajam. Ia memang miskin, namun ia tidak mau direndahkan oleh orang lain. Dan menurut Dinda saat ini pria yang berada di depannya ini sangat lancang berbicara seperti itu pada orang yang tidak dikenal. "Apa sekarang ada trend baru, baru kali ini aku melihat pelac-ur memakai seragam seperti ini. Menarik!" Ucap Daniel sambil mendekat kearah Dinda dan menatapnya dari atas sampai bawah. Dinda yang sudah habis kesabaran pun memutuskan untuk pergi dari sini, namun belum sempat ia melangkah lebih jauh, pria itu malah memegang pergelangan tangannya. "Mau kemana? Kamu sudah dibayar Damian kan ? Selesaikan tugasmu terlebih dahulu, baru kamu bisa pergi dari sini!" Ucap Daniel sambil mendekatkan tubuh Dinda pada tubuhnya, dan Dinda yang mendapat perlakuan seperti itu pun memberontak. "Lepaskan saya Tuan, saya bukan suruhan orang yang anda maksud!" Ucap Dinda sambil memberontak, namun apalah daya tenaganya tidak sebanding dengan pria itu. Awalnya memang Daniel tidak ingin berhubungan intim dengan perempuan yang di kirim Damian. Namun, melihat Dinda yang tampak menggoda dengan seragam office girl-nya. Daniel menjadi bersemangat, dan ingin menuntaskan nafsunya yang mulai naik. Dinda mencoba mundur, tapi dinding dingin kamar itu menghentikan langkahnya. Tubuh pria asing itu semakin mendekat, napasnya berat, penuh nafsu yang membutakan. “Tuan, tolong... saya bukan orang yang Anda kira... saya mohon...” suara Dinda bergetar, nyaris tak terdengar. Namun, tangannya terkunci dalam genggaman kasar. Tubuhnya dipaksa menuruti kehendak yang bukan miliknya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Dinda. Ia berusaha berontak, tapi kekuatannya tak sebanding. Pikirannya menjerit, hatinya memberontak, tetapi tubuhnya tak mampu melawan. "Lepaskan saya Tuan, saya bukan suruhan orang yang anda maksud!" Ucap Dinda lagi sambil memberontak, namun apalah daya tenaganya tidak sebanding dengan pria itu. "Lakukan tugasmu, baru setelah itu aku lepaskan!" Ucap Daniel yang mulai menciumi leher jenjang Dinda, dan Dinda pun membelalakkan matanya. "Lepas...... Saya mohon. Saya bukan orang yang anda maksud!" Ucap Dinda yang terus memberontak, namun pria itu tetap melanjutkan apa yang ia lakukan apa yang ia mulai. "Persetan, karena kamu sudah disini. Kamu harus membuat saya puas malam ini!" Ucap Daniel lagi sambil menarik tangan Dinda menuju kasur yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Dinda yang tahu apa yang akan terjadi pada dirinya pun memberontak dan terus berteriak, namun sekeras apapun ia mencoba ia tidak bisa menghentiakan pria itu. Daniel langsung membuka dengan kasar baju office girl Dinda, dan Dinda pun menangis. Ia marah pada dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Sang pria pun mulai mencium bibir Dinda, Dinda sempat menggerakkan kepalanya agar ciuman pria itu terlepas. Namun, pria itu kesal dan menggingit bibir Dinda dengan kuat sehingga membuatnya berdarah. "Jangan.... Saya mohon jangan lakukan itu. Saya bukan orang yang dikirimkan oleh orang yang anda maksud!" Ucap Dinda dengan lemas, pasalnya saat ini kain yang menutup tubuhnya hanyalah dalamannya saja. Namun, mau berapa kali pun Dinda berkata seperti itu. Pria yang kini tengah berada diatasnya sudah merobek kain terakhir yang dipakai Dinda. Dan Dinda pun tidak bisa menahan air matanya, kini ia hanya bisa pasrah dengan apa yang menimpanya. Dinda memalingkan pandangannya begitu pria yang berada di atasnya membuka seluruh pakaiannya, sang pria mulai meregangkan kaki Dinda. Namun, Dinda tidak membiarkannya. Ia menahan kakinya agar tidak terbuka dengan lebar. Sang pria yang mulai kesal pun meregangkan kaki perempuan yang ada didepannya itu, Dinda berusaha memberontak saat sang pria mau menyatakan bagian bawah mereka. "Jangan... Saya mohon... Akhhh..." Ucap Dinda yang harus terhenti karena merasa sakit dibagian bawahnya, sang pria mengerang nikmat saat bagian bawah mereka menyatu dengan sempurna. Tangis Dinda tertahan. Suara permohonannya tercekik di tenggorokkan. Dinda menutup matanya rapat-rapat, mencoba mengabaikan rasa sakit yang mulai merambat ke seluruh tubuh dan hatinya. Dalam diam, ia berteriak. Memanggil nama sang ayah yang telah tiada. Meminta maaf pada ibunya. Merutuki malam yang menjerumuskannya ke dalam jurang kelam yang tak pernah ia bayangkan. Sang pria pun mulai menggerakkan pinggulnya begitu bagian bawah mereka sudah menerima satu sama lain, Dinda berusaha mati-matian menahan suara desa-hannya. Pria itu terus bergerak, semakin lama semakin cepat. Dan Dinda yang mendapatkan serangan itu tidak bisa berbuat banyak. " Maafkan aku ibu, aku gagal menjaga harta satu-satunya yang aku miliki!" Ucap Dinda didalam hatinya, ia benar-benar merasa kotor saat ini. Waktu terus berjalan, dan kini tidak terasa sudah satu jam pria itu menggagahi Dinda. Dinda yang sudah tidak tahan menahan gempurannya pun jatuh pingsan. "Akhhh..." Erang sang pria yang entah sudah berapa kali menyemburkan cairannya kedalam rahim Dinda, namun meskipun begitu ia belum berniat melepaskan penyatuan mereka. Sang pria menatap wajah Dinda yang kini sudah pingsan, tangan besarnya terulur menyingkirkan rambut yang menghalanginya untuk melihat wanita yang saat ini berada di bawah kunkungannya. " Kamu cantik, tapi sayangnya pela-cur!" Ucapnya dengan pelan, ia terus memperhatikan wajah Dinda. Sampai ia merasa kalau kejantanannya berdiri kembali didalam tubuh Dinda, ia pun menelakukan apa yang tadi ia lakukan lagi. Tanpa mereka sadari, kalau yang mereka lakukan saat ini adalah pengalaman pertama mereka. Sang pria yang baru pertama kali merasakan surga dunia sampai tidak sadar kalau ia sudah memberikan banyak benihnya di rahim Dinda. Pada pukul dua pagi, barulah sang pria puas hingga kelelahan dan ia pun tertidur di atas tubuh Dinda dengan bagian bawah mereka yang masih menyatu. . . Bersambung...Pagi perlahan merambat masuk ke sela-sela tirai yang sedikit terbuka, membawa serta sinar mentari yang hangat. Cahaya itu menembus masuk ke dalam kamar Royal Suite yang mewah, menyapu sisa-sisa kegelapan malam yang baru saja berlalu. Langit di luar sana sudah berubah warna, dari kelam menjadi biru muda yang cerah. Namun, keindahan pagi itu tak mampu menembus keheningan pekat yang masih menyelimuti kamar tersebut. Di atas ranjang besar dengan sprei putih yang kini berantakan, dua tubuh terbaring dalam keheningan. Seorang pria yang tampak masih terlelap dalam tidur pulasnya, sementara di bawahnya, seorang perempuan terbaring kaku dengan mata yang perlahan mulai terbuka, menyadari kenyataan pahit yang baru saja menimpanya. Dinda membelalakkan matanya. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Kesadaran kembali menyergapnya dengan kejam, membangunkannya dari mimpi buruk yang ternyata bukan mimpi sama sekali. Pria itu masih di atas dirinya—masih menindihnya, bahkan tubuh mereka masi
Daniel kini sudah mengenakan kembali pakaiannya. Kemeja putih yang sedikit kusut itu ia kenakan tergesa-gesa, sementara celananya tampak tidak terlalu rapi—ia bahkan belum sempat mengancingkan seluruh kancing bajunya dengan benar. Rambutnya masih berantakan, wajahnya kusut dan penuh kecemasan. Ia berdiri di hadapan sang ibu, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue di dapur. Sedingin dan setegas apapun Daniel di hadapan orang lain, di hadapan ibunya, ia selalu luluh. Ada rasa takut, hormat, dan segan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Mama Sinta berdiri di depannya dengan kedua tangan bertolak pinggang, sorot matanya tajam seperti mata elang yang mengincar mangsa. Raut wajahnya bukan hanya marah—tetapi kecewa, sangat kecewa."Jelaskan apa yang terjadi!" suaranya terdengar tegas, dingin, dan menekan, membuat Daniel menunduk dengan gelisah.“Aku… aku nggak ingat, Ma,” gumam Daniel pelan, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat Mama Sinta meng
Daniel masih berdiri di tempat yang sama sejak Mama Sinta pergi meninggalkannya. Matanya kosong menatap dinding, pikirannya terombang-ambing oleh rasa bersalah, kemarahan, dan kebingungan. Ia mencoba mengingat dengan detail kejadian semalam, berharap ada petunjuk sekecil apa pun yang bisa membantunya menemukan gadis itu. Ia tahu, waktu tidak berpihak padanya—semakin lama ia menunda, semakin sulit menemukan jejak sang gadis.Tiba-tiba, satu potongan memori menampar kesadarannya.“Tunggu dulu…” gumamnya lirih. “Bukannya semalam dia pakai seragam office girl, ya?” ucapnya lagi, yang baru teringat hal seperti itu.Daniel mengerutkan kening. Ia teringat dengan jelas—meski dalam kabut alkohol—bahwa gadis itu mengenakan seragam office girl putih dengan rok hitam ketat, . Ia juga ingat bahwa gadis itu membawa tas jinjing sederhana dan mengenakan sepatu pantofel hitam yang sedikit kusam di ujungnya. Semua detail itu kini kembali perlahan, dan membangkitkan dorongan untuk bertindak.Tanpa pikir
Angin malam berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan yang saling bergesekan — menciptakan suara lirih yang mampu membuat siapa pun merinding dalam kesunyian.Di tengah dinginnya malam, Dinda duduk termenung di sudut kamar kecilnya. Tatapannya tertuju pada layar ponsel, melihat notifikasi transfer yang baru saja terkirim ke rekening ibunya. Gaji bulan ini, hanya tinggal untuk makan dan membayar kontrakan. Sebagian besar sudah ia kirim untuk ibu dan adik-adik tercinta di kampung.Di usianya yang baru 23 tahun, Dinda telah memikul beban besar. Ayahnya pergi untuk selamanya dua tahun lalu, menyerah pada penyakit jantung yang merenggut nyawa sang kepala keluarga. Sejak saat itu, Dinda tak punya pilihan. Ia harus berdiri tegak, menjadi tulang punggung keluarga kecil mereka.Jauh dari rumah, tinggal di kota besar, berjuang dengan hanya bermodalkan ijazah SMA dan tekad yang tak pernah goyah — Dinda tahu, ia tak boleh lelah. Karena di belakang sana, ada ibu dan dua adik yang menunggu uluran t
Daniel masih berdiri di tempat yang sama sejak Mama Sinta pergi meninggalkannya. Matanya kosong menatap dinding, pikirannya terombang-ambing oleh rasa bersalah, kemarahan, dan kebingungan. Ia mencoba mengingat dengan detail kejadian semalam, berharap ada petunjuk sekecil apa pun yang bisa membantunya menemukan gadis itu. Ia tahu, waktu tidak berpihak padanya—semakin lama ia menunda, semakin sulit menemukan jejak sang gadis.Tiba-tiba, satu potongan memori menampar kesadarannya.“Tunggu dulu…” gumamnya lirih. “Bukannya semalam dia pakai seragam office girl, ya?” ucapnya lagi, yang baru teringat hal seperti itu.Daniel mengerutkan kening. Ia teringat dengan jelas—meski dalam kabut alkohol—bahwa gadis itu mengenakan seragam office girl putih dengan rok hitam ketat, . Ia juga ingat bahwa gadis itu membawa tas jinjing sederhana dan mengenakan sepatu pantofel hitam yang sedikit kusam di ujungnya. Semua detail itu kini kembali perlahan, dan membangkitkan dorongan untuk bertindak.Tanpa pikir
Daniel kini sudah mengenakan kembali pakaiannya. Kemeja putih yang sedikit kusut itu ia kenakan tergesa-gesa, sementara celananya tampak tidak terlalu rapi—ia bahkan belum sempat mengancingkan seluruh kancing bajunya dengan benar. Rambutnya masih berantakan, wajahnya kusut dan penuh kecemasan. Ia berdiri di hadapan sang ibu, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue di dapur. Sedingin dan setegas apapun Daniel di hadapan orang lain, di hadapan ibunya, ia selalu luluh. Ada rasa takut, hormat, dan segan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Mama Sinta berdiri di depannya dengan kedua tangan bertolak pinggang, sorot matanya tajam seperti mata elang yang mengincar mangsa. Raut wajahnya bukan hanya marah—tetapi kecewa, sangat kecewa."Jelaskan apa yang terjadi!" suaranya terdengar tegas, dingin, dan menekan, membuat Daniel menunduk dengan gelisah.“Aku… aku nggak ingat, Ma,” gumam Daniel pelan, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat Mama Sinta meng
Pagi perlahan merambat masuk ke sela-sela tirai yang sedikit terbuka, membawa serta sinar mentari yang hangat. Cahaya itu menembus masuk ke dalam kamar Royal Suite yang mewah, menyapu sisa-sisa kegelapan malam yang baru saja berlalu. Langit di luar sana sudah berubah warna, dari kelam menjadi biru muda yang cerah. Namun, keindahan pagi itu tak mampu menembus keheningan pekat yang masih menyelimuti kamar tersebut. Di atas ranjang besar dengan sprei putih yang kini berantakan, dua tubuh terbaring dalam keheningan. Seorang pria yang tampak masih terlelap dalam tidur pulasnya, sementara di bawahnya, seorang perempuan terbaring kaku dengan mata yang perlahan mulai terbuka, menyadari kenyataan pahit yang baru saja menimpanya. Dinda membelalakkan matanya. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Kesadaran kembali menyergapnya dengan kejam, membangunkannya dari mimpi buruk yang ternyata bukan mimpi sama sekali. Pria itu masih di atas dirinya—masih menindihnya, bahkan tubuh mereka masi
Daniel berjalan dengan langkah yang tidak stabil, tubuhnya sedikit limbung akibat alkohol yang telah membanjiri sistem sarafnya sejak beberapa jam terakhir. Dengan mata yang mulai mengabur dan kepala yang terasa berat, ia menatap lift di depannya sambil mengerutkan kening, berusaha fokus untuk menekan tombol lantai paling atas—lantai di mana kamar favoritnya berada. Hotel tempat mereka biasa berkumpul ini bukan sembarang tempat; hotel mewah itu milik pamannya, yang tak lain adalah ayah Damian, sahabat sekaligus partner mabuknya malam ini.Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka dengan suara khas logam yang bergesekan. Daniel masuk dan bersandar di dinding lift, menunggu sampai lantai yang dituju tercapai. Ketika pintu terbuka, ia langsung berjalan keluar dengan langkah gontai menuju salah satu kamar eksklusif di sudut koridor. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kartu akses, lalu menempelkannya ke pemindai di sisi pintu. Bunyi bip terdengar, menandakan pintu telah terbuka, dan ia pun
Angin malam berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan yang saling bergesekan — menciptakan suara lirih yang mampu membuat siapa pun merinding dalam kesunyian.Di tengah dinginnya malam, Dinda duduk termenung di sudut kamar kecilnya. Tatapannya tertuju pada layar ponsel, melihat notifikasi transfer yang baru saja terkirim ke rekening ibunya. Gaji bulan ini, hanya tinggal untuk makan dan membayar kontrakan. Sebagian besar sudah ia kirim untuk ibu dan adik-adik tercinta di kampung.Di usianya yang baru 23 tahun, Dinda telah memikul beban besar. Ayahnya pergi untuk selamanya dua tahun lalu, menyerah pada penyakit jantung yang merenggut nyawa sang kepala keluarga. Sejak saat itu, Dinda tak punya pilihan. Ia harus berdiri tegak, menjadi tulang punggung keluarga kecil mereka.Jauh dari rumah, tinggal di kota besar, berjuang dengan hanya bermodalkan ijazah SMA dan tekad yang tak pernah goyah — Dinda tahu, ia tak boleh lelah. Karena di belakang sana, ada ibu dan dua adik yang menunggu uluran t