Angin malam berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan yang saling bergesekan — menciptakan suara lirih yang mampu membuat siapa pun merinding dalam kesunyian.
Di tengah dinginnya malam, Dinda duduk termenung di sudut kamar kecilnya. Tatapannya tertuju pada layar ponsel, melihat notifikasi transfer yang baru saja terkirim ke rekening ibunya. Gaji bulan ini, hanya tinggal untuk makan dan membayar kontrakan. Sebagian besar sudah ia kirim untuk ibu dan adik-adik tercinta di kampung. Di usianya yang baru 23 tahun, Dinda telah memikul beban besar. Ayahnya pergi untuk selamanya dua tahun lalu, menyerah pada penyakit jantung yang merenggut nyawa sang kepala keluarga. Sejak saat itu, Dinda tak punya pilihan. Ia harus berdiri tegak, menjadi tulang punggung keluarga kecil mereka. Jauh dari rumah, tinggal di kota besar, berjuang dengan hanya bermodalkan ijazah SMA dan tekad yang tak pernah goyah — Dinda tahu, ia tak boleh lelah. Karena di belakang sana, ada ibu dan dua adik yang menunggu uluran tangannya. "Halo, Bu. Aku udah kirim uang untuk bayar tunggakan sekolah Zakhi dan Zikri bulan kemarin ya, sisanya untuk kebutuhan rumah!" Ucap Dinda begitu panggilan teleponnya dijawab oleh ibunya dikampung sana. "Iya, Nak. Terimakasih dan maaf kalau kami menjadi beban kamu!" Ucap Bu Lita, dengan perasaan tidak enak kepada anak pertamanya itu. Padahal Dinda anak perempuannya satu-satunya, namun ia mau membantu perekonomian keluarga. "Ibu ngomong apa sih, aku ikhlas kok bu! Untuk apa aku kerja keras di kota orang, jika bukan buat ibu dan adik-adikku !" Ucap Dinda yang tidak senang dengan apa yang dikatakan oleh ibunya itu. "Iya, kamu harus jaga kesehatan ya. Kerjanya jangan terlalu di forsir!" Ucap Bu Lita mengingatkan anak perempuan satu-satunya itu, dan Dinda yang mendengar itu pun tersenyum kecil. "Iya, Bu. Aku nggak akan memaksakan diri kok!" Ucap Dinda pada sang ibu, dan setelah itu mereka pun mengobrol membicarakan keseharian mereka masing-masing. Setelah itu, Dinda mengakhiri panggilan teleponnya dengan senyum kecil yang samar. Tapi di balik senyuman itu, hatinya terasa berat. Ia menatap langit-langit kamar yang mulai lembab, catnya mengelupas, dan hanya lampu redup yang menemani malam-malam sepinya. Dinda menarik napas panjang, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya terus melayang-layang. Tentang ibu yang semakin renta. Tentang kedua adiknya yang butuh biaya sekolah. Tentang impiannya sendiri yang entah sudah ia kubur sejak kapan. Ia hanya punya satu tujuan: bertahan. Ia harus kuat untuk keluarganya, ia harus kuat agar ibu dan adik-adiknya tidak hidup susah. Satu hal yang paling Dinda pegang saat ini, jika ia pernah merasakannya maka adiknya juga harus merasakannya. Dinda sekolah sampai lulus SMA, maka adik-adiknya juga harus sama bahkan harus melebihi dia. Saat sedang fokus memikirkan rencana masa depan keluarganya, tiba-tiba ponselnya bergetar pelan. Ada pesan masuk dari manajer hotel. "Halo, Pak. Ada apa ya malam-malam telepon?" Tanya Dinda dengan sopan, pasalnya dalam seminggu ini ia kerja sift pagi. "Maaf, Dinda kalau saya menelpon kamu malam-malam. Ada satu office boy yang kecelakaan, sedangkan ada hal mendesak yang terjadi di hotel. Malam ini kamu gantian shift, ada tamu penting yang akan datang. Kamu bisa isi kekosongan pada jam 11 malam ini, kan?" Ucap Pak Angga selaku manajer hotel tempat Dinda bekerja. Dinda menghela napas panjang. Tubuhnya lelah, tapi ia tak mungkin menolak. Dia tak pernah bisa berkata 'tidak' pada tanggung jawab, dan kalau ia menolak ia takut kalau nanti ia dipecat karena hal seperti ini. "Baik, Pak. Saya akan segera kesana!" Ucap Dinda sambil bangkit dari tidurnya dab mematikan panggilan telepon itu. Dinda segera menyiapkan seragam, menyibakkan rambutnya yang mulai kusut, sesekali ia melihat kearah jam dinding yang menunjukan pukul 10 lewat beberapa menit. Ia harus berangkat sekarang jika tidak ingin mendapatkan masalah nantinya. Untungnya Dinda memiliki motor peninggalan ayahnya, meskipun sudah usang namun masih bisa dipakai. Dengan menghela nafas pelan, Dinda pun mulai melajukan motornya meninggalkan kontrakannya. *** Setelah berkendara selama dua puluh menit, Dinda pun sampai di parkiran hotel. Dengan tergesa-gesa ia pun meletakan helmnya dan berlari memasuki gedung hotel. Dinda menghentikan langkahnya begitu melihat pak Angga sudah berada di ruangan khusus karyawan. "Kamu bersihkan kamar Royal Suite, malam ini akan ada yang mencarinya !" Ucap pak Angga sambil memberikan kartu akses masuk kedalam kamar itu, dan Dinda yang mendengar arahan dari atasannya itu pun menganggukan kepalanya. "Baik pak!" Ucap Dinda singkat, dan saat akan menuju kamar yang akan dibersihkan pak Angga pun berbicara lagi. "Pastikan semuanya bersih dan rapi, tamu yang akan memakainya sangat teliti dalam kebersihan!" Ucap pak Angga lagi, dan Dinda yang mendengarnya hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu menuju lift yang akan membawanya ke lantai paling atas hotel ini. Setelah beberapa menit akhirnya Dinda pun sampai di Royal Suite, dengan hati-hati ia pun menempelkan kartu yang tadi diberikan manajer padanya tadi ke panel pintu, Dinda melepaskannya begitu terdengar suara ' kilk' dan pintu yang ada di depannya sedikit terbuka. Setelah itu Dinda membawa alat-alat kebersihan masuk kedalam ruangan, hal pertama yang Dinda lihat adalah betapa megahnya kamar yang akan ia bersihkan ini. "Kamarnya luas banget, bahkan rumah aku yang di kampung juga nggak ada seperempat dari ruangan ini!" Ucap Dinda sambil menutup pintu dibelakangnya dan mulai menyalahkan penyedot debu. Setelah bagian kamar sudah selesai dibersihkan, Dinda pun beralih ke kamar mandi. Dan sekali lagi Dinda di buat kagum dengan interior seluruh ruangan yang ada di kamar ini. "Bahkan lebih besar kamar mandi, dari pada kamar tidur aku!" Ucap Dinda dengan kagum, sesaat ia tersadar dan melanjutkan pekerjaannya. Dinda mengerjakan pekerjaannya kali ini lebih hati-hati dari pada sebelumnya, mengingat perkataan atasannya tadi yang memintanya untuk memastikan kalau seluruh ruangan bersih. *** Sementara itu, di salah satu ruangan privat dalam sebuah lounge mewah yang remang-remang dengan alunan musik jazz pelan, tiga pria muda tengah menikmati malam mereka dengan alkohol yang menghiasi meja bundar di hadapan mereka. Aroma khas minuman keras bercampur tembakau dari cerutu mahal memenuhi udara. Di antara mereka, satu pria terlihat paling tenggelam dalam pikirannya, ekspresi wajahnya menyiratkan beban yang berat, jauh berbeda dari dua temannya yang tampak lebih santai dan menikmati suasana. "Udahlah, Niel," ujar Damian, pria bertubuh tegap dengan kemeja yang sedikit terbuka di bagian dada. Ia meneguk bir dingin di tangannya sebelum melanjutkan dengan nada santai. "Turutin aja keinginan nyokap lo. Percaya deh, dia bakal berhenti nanya ini-itu kalau kemauannya udah lo penuhi." Ucapnya lagi, sambil menatap wajah frustasi teman sekaligus sepupunya itu. Daniel mendengus pelan, suara tawa sumbang lolos dari bibirnya yang kering. Ia menyandarkan punggung ke sofa kulit dan memutar gelas whisky di tangannya, menatap cairan amber yang berputar perlahan. "Lo gampang ngomong gitu, Dam. Lo nggak ngalamin langsung. Buat lo, semuanya sesederhana ‘iya’ dan masalah selesai. Tapi gue? Ini hidup gue yang dipermainkan." Ucapnya yang kesal dengan perkataan Damian. Aidan, yang duduk di sisi kanan Daniel, mengangkat alis sambil menyeruput cocktail-nya. "Serius, Niel. Sampai kapan sih lo mau anti banget sama perempuan? Mereka nggak semenakutkan itu, bro. Nggak semua cewek bakal nyusahin lo." Ucapnya yang heran dengan Daniel. Daniel menatap Aidan tajam, tetapi bukan dengan kemarahan—melainkan kejengahan yang dalam. Ia menghela napas panjang, lalu menenggak setengah isi gelasnya dalam satu gerakan. "Bukan masalah takut, Aid. Gue cuma... malas. Hidup gue udah cukup ribet. Nambahin perempuan ke dalamnya? No thanks. Menurut gue, kebanyakan dari mereka cuma bisa nambahin drama." Ucapnya memberitahukan alasan mengapa ia anti dengan makhluk hidup yang bernama perempuan. Damian tertawa lepas, suara tawa yang penuh ejekan tapi tetap bernada bersahabat. "Aduh, ini nih... pemikiran orang yang belum pernah ngerasain surga dunia. Lo tahu kan, surga yang cuma bisa dikasih kaum hawa." Ia mengedipkan mata nakal sambil menyenggol bahu Daniel. Daniel memutar bola matanya dan mendecak. "Gue bukan lo berdua yang asal celup. Gue punya standar. Gue nggak mau tubuh gue terkontaminasi bakteri dari tubuh-tubuh bekas pria lain. Apalagi kalau pelacur... yang udah jadi 'tempat umum' buat banyak orang." Ucapnya pada mereka berdua. Damian dan Aidan hanya tertawa mendengar ucapan tajam itu. Mereka sudah sangat terbiasa dengan gaya bicara Daniel yang tanpa filter. Meski kata-katanya kerap menyakitkan, mereka tahu itu bukan karena benci, tapi karena Daniel adalah seseorang yang selalu bicara apa adanya, tanpa peduli apa yang akan terjadi karena perkataannya. "By the way, lo udah pesan kamar kayak biasa?" tanya Aidan, mencoba mengganti topik. Daniel mengangguk pelan. "Udah. Mana mungkin gue pulang dan ketemu Mama dalam kondisi begini? Bisa-bisa gue langsung dicoret dari kartu keluarga." Ucapnya menjawab pertanyaan Aidan sambil meminum kembali. Damian menyeringai jahil. "Gue udah siapin satu cewek buat lo. Spesial. Dia bakal ngajarin lo banyak hal di ranjang. Jago banget, bro." Ucapnya sambil menatap Daniel, ia ingin melihat reaksi temannya itu. Daniel sontak menoleh tajam, sorot matanya penuh penolakan. "Nggak usah. Lo aja yang pake. Gue nggak butuh itu." Ucapnya sambil menaruh gelas dengan cukup kuat, sehingga menimbulkan suara. Tanpa menunggu respon lebih lanjut, Daniel bangkit dari duduknya. Ia menyambar jaketnya dengan gerakan malas, matanya mulai sayu karena alkohol yang menguasai tubuhnya. "Mau langsung ke kamar?" tanya Aidan sambil menatap temannya yang mulai sempoyongan. Daniel hanya mengangguk singkat, lalu melangkah gontai menuju pintu. "Mau gue anterin, Niel?" Damian bersikap setengah bercanda, setengah khawatir. Ia tahu betul, sahabatnya itu tak akan mau terlihat lemah, apalagi setelah minum sebanyak itu. Daniel menoleh sedikit, lalu menjawab dengan nada tetap keras kepala, "Nggak usah. Gue bisa sendiri." Ucapnya lagi. Dengan langkah goyah tapi penuh tekad, Daniel membuka pintu dan menghilang di baliknya. Damian dan Aidan hanya saling pandang dan menggeleng pelan. Mereka sudah terlalu paham sifat Daniel. Pria itu keras kepala, penuh luka yang belum sembuh, dan menolak siapa pun yang mencoba masuk ke dalam dunianya. "Dasar Tuan Muda keras kepala," gumam Damian sambil kembali menyesap minumannya. Aidan yang mendengar itu hanya bisa menggelengkan kepalanya, dan tertawa kecil. . . Bersambung....Daniel berjalan dengan langkah yang tidak stabil, tubuhnya sedikit limbung akibat alkohol yang telah membanjiri sistem sarafnya sejak beberapa jam terakhir. Dengan mata yang mulai mengabur dan kepala yang terasa berat, ia menatap lift di depannya sambil mengerutkan kening, berusaha fokus untuk menekan tombol lantai paling atas—lantai di mana kamar favoritnya berada. Hotel tempat mereka biasa berkumpul ini bukan sembarang tempat; hotel mewah itu milik pamannya, yang tak lain adalah ayah Damian, sahabat sekaligus partner mabuknya malam ini.Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka dengan suara khas logam yang bergesekan. Daniel masuk dan bersandar di dinding lift, menunggu sampai lantai yang dituju tercapai. Ketika pintu terbuka, ia langsung berjalan keluar dengan langkah gontai menuju salah satu kamar eksklusif di sudut koridor. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kartu akses, lalu menempelkannya ke pemindai di sisi pintu. Bunyi bip terdengar, menandakan pintu telah terbuka, dan ia pun
Pagi perlahan merambat masuk ke sela-sela tirai yang sedikit terbuka, membawa serta sinar mentari yang hangat. Cahaya itu menembus masuk ke dalam kamar Royal Suite yang mewah, menyapu sisa-sisa kegelapan malam yang baru saja berlalu. Langit di luar sana sudah berubah warna, dari kelam menjadi biru muda yang cerah. Namun, keindahan pagi itu tak mampu menembus keheningan pekat yang masih menyelimuti kamar tersebut. Di atas ranjang besar dengan sprei putih yang kini berantakan, dua tubuh terbaring dalam keheningan. Seorang pria yang tampak masih terlelap dalam tidur pulasnya, sementara di bawahnya, seorang perempuan terbaring kaku dengan mata yang perlahan mulai terbuka, menyadari kenyataan pahit yang baru saja menimpanya. Dinda membelalakkan matanya. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Kesadaran kembali menyergapnya dengan kejam, membangunkannya dari mimpi buruk yang ternyata bukan mimpi sama sekali. Pria itu masih di atas dirinya—masih menindihnya, bahkan tubuh mereka masi
Daniel kini sudah mengenakan kembali pakaiannya. Kemeja putih yang sedikit kusut itu ia kenakan tergesa-gesa, sementara celananya tampak tidak terlalu rapi—ia bahkan belum sempat mengancingkan seluruh kancing bajunya dengan benar. Rambutnya masih berantakan, wajahnya kusut dan penuh kecemasan. Ia berdiri di hadapan sang ibu, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue di dapur. Sedingin dan setegas apapun Daniel di hadapan orang lain, di hadapan ibunya, ia selalu luluh. Ada rasa takut, hormat, dan segan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Mama Sinta berdiri di depannya dengan kedua tangan bertolak pinggang, sorot matanya tajam seperti mata elang yang mengincar mangsa. Raut wajahnya bukan hanya marah—tetapi kecewa, sangat kecewa."Jelaskan apa yang terjadi!" suaranya terdengar tegas, dingin, dan menekan, membuat Daniel menunduk dengan gelisah.“Aku… aku nggak ingat, Ma,” gumam Daniel pelan, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat Mama Sinta meng
Daniel masih berdiri di tempat yang sama sejak Mama Sinta pergi meninggalkannya. Matanya kosong menatap dinding, pikirannya terombang-ambing oleh rasa bersalah, kemarahan, dan kebingungan. Ia mencoba mengingat dengan detail kejadian semalam, berharap ada petunjuk sekecil apa pun yang bisa membantunya menemukan gadis itu. Ia tahu, waktu tidak berpihak padanya—semakin lama ia menunda, semakin sulit menemukan jejak sang gadis.Tiba-tiba, satu potongan memori menampar kesadarannya.“Tunggu dulu…” gumamnya lirih. “Bukannya semalam dia pakai seragam office girl, ya?” ucapnya lagi, yang baru teringat hal seperti itu.Daniel mengerutkan kening. Ia teringat dengan jelas—meski dalam kabut alkohol—bahwa gadis itu mengenakan seragam office girl putih dengan rok hitam ketat, . Ia juga ingat bahwa gadis itu membawa tas jinjing sederhana dan mengenakan sepatu pantofel hitam yang sedikit kusam di ujungnya. Semua detail itu kini kembali perlahan, dan membangkitkan dorongan untuk bertindak.Tanpa pikir
Daniel masih berdiri di tempat yang sama sejak Mama Sinta pergi meninggalkannya. Matanya kosong menatap dinding, pikirannya terombang-ambing oleh rasa bersalah, kemarahan, dan kebingungan. Ia mencoba mengingat dengan detail kejadian semalam, berharap ada petunjuk sekecil apa pun yang bisa membantunya menemukan gadis itu. Ia tahu, waktu tidak berpihak padanya—semakin lama ia menunda, semakin sulit menemukan jejak sang gadis.Tiba-tiba, satu potongan memori menampar kesadarannya.“Tunggu dulu…” gumamnya lirih. “Bukannya semalam dia pakai seragam office girl, ya?” ucapnya lagi, yang baru teringat hal seperti itu.Daniel mengerutkan kening. Ia teringat dengan jelas—meski dalam kabut alkohol—bahwa gadis itu mengenakan seragam office girl putih dengan rok hitam ketat, . Ia juga ingat bahwa gadis itu membawa tas jinjing sederhana dan mengenakan sepatu pantofel hitam yang sedikit kusam di ujungnya. Semua detail itu kini kembali perlahan, dan membangkitkan dorongan untuk bertindak.Tanpa pikir
Daniel kini sudah mengenakan kembali pakaiannya. Kemeja putih yang sedikit kusut itu ia kenakan tergesa-gesa, sementara celananya tampak tidak terlalu rapi—ia bahkan belum sempat mengancingkan seluruh kancing bajunya dengan benar. Rambutnya masih berantakan, wajahnya kusut dan penuh kecemasan. Ia berdiri di hadapan sang ibu, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue di dapur. Sedingin dan setegas apapun Daniel di hadapan orang lain, di hadapan ibunya, ia selalu luluh. Ada rasa takut, hormat, dan segan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Mama Sinta berdiri di depannya dengan kedua tangan bertolak pinggang, sorot matanya tajam seperti mata elang yang mengincar mangsa. Raut wajahnya bukan hanya marah—tetapi kecewa, sangat kecewa."Jelaskan apa yang terjadi!" suaranya terdengar tegas, dingin, dan menekan, membuat Daniel menunduk dengan gelisah.“Aku… aku nggak ingat, Ma,” gumam Daniel pelan, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat Mama Sinta meng
Pagi perlahan merambat masuk ke sela-sela tirai yang sedikit terbuka, membawa serta sinar mentari yang hangat. Cahaya itu menembus masuk ke dalam kamar Royal Suite yang mewah, menyapu sisa-sisa kegelapan malam yang baru saja berlalu. Langit di luar sana sudah berubah warna, dari kelam menjadi biru muda yang cerah. Namun, keindahan pagi itu tak mampu menembus keheningan pekat yang masih menyelimuti kamar tersebut. Di atas ranjang besar dengan sprei putih yang kini berantakan, dua tubuh terbaring dalam keheningan. Seorang pria yang tampak masih terlelap dalam tidur pulasnya, sementara di bawahnya, seorang perempuan terbaring kaku dengan mata yang perlahan mulai terbuka, menyadari kenyataan pahit yang baru saja menimpanya. Dinda membelalakkan matanya. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Kesadaran kembali menyergapnya dengan kejam, membangunkannya dari mimpi buruk yang ternyata bukan mimpi sama sekali. Pria itu masih di atas dirinya—masih menindihnya, bahkan tubuh mereka masi
Daniel berjalan dengan langkah yang tidak stabil, tubuhnya sedikit limbung akibat alkohol yang telah membanjiri sistem sarafnya sejak beberapa jam terakhir. Dengan mata yang mulai mengabur dan kepala yang terasa berat, ia menatap lift di depannya sambil mengerutkan kening, berusaha fokus untuk menekan tombol lantai paling atas—lantai di mana kamar favoritnya berada. Hotel tempat mereka biasa berkumpul ini bukan sembarang tempat; hotel mewah itu milik pamannya, yang tak lain adalah ayah Damian, sahabat sekaligus partner mabuknya malam ini.Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka dengan suara khas logam yang bergesekan. Daniel masuk dan bersandar di dinding lift, menunggu sampai lantai yang dituju tercapai. Ketika pintu terbuka, ia langsung berjalan keluar dengan langkah gontai menuju salah satu kamar eksklusif di sudut koridor. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kartu akses, lalu menempelkannya ke pemindai di sisi pintu. Bunyi bip terdengar, menandakan pintu telah terbuka, dan ia pun
Angin malam berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan yang saling bergesekan — menciptakan suara lirih yang mampu membuat siapa pun merinding dalam kesunyian.Di tengah dinginnya malam, Dinda duduk termenung di sudut kamar kecilnya. Tatapannya tertuju pada layar ponsel, melihat notifikasi transfer yang baru saja terkirim ke rekening ibunya. Gaji bulan ini, hanya tinggal untuk makan dan membayar kontrakan. Sebagian besar sudah ia kirim untuk ibu dan adik-adik tercinta di kampung.Di usianya yang baru 23 tahun, Dinda telah memikul beban besar. Ayahnya pergi untuk selamanya dua tahun lalu, menyerah pada penyakit jantung yang merenggut nyawa sang kepala keluarga. Sejak saat itu, Dinda tak punya pilihan. Ia harus berdiri tegak, menjadi tulang punggung keluarga kecil mereka.Jauh dari rumah, tinggal di kota besar, berjuang dengan hanya bermodalkan ijazah SMA dan tekad yang tak pernah goyah — Dinda tahu, ia tak boleh lelah. Karena di belakang sana, ada ibu dan dua adik yang menunggu uluran t