Hei, hei, hei, masih adakah yang setia membaca cerita ini???? Do'akan Rafka bisa segera menangkap dan membongkar kebusukan Riko ya???? :D
“Mama? Kenapa Mama memanggilku?” Rania segera menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Ia turun dari ranjang dan bercermin sejenak untuk memeriksa wajahnya yang terlihat sangat kusut. Dengan langkah berat Rania berjalan menuju pintu kamarnya. Ia membukanya dengan perlahan. “Mama? Ada apa?” tanyanya pelan. “Kamu masih menangis lagi. Maaf mama mengganggu. Mama hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Setelah ini tidur, ya? Jangan lupa vitaminnya diminum.” Rosita mengingatkan. Rania mengangguk pelan. “Apalah Mas Rafka yang meminta Mama menengokku ke kamar?” Rosita menarik nafas dalam. “Kamu benar, Sayang. Rafka sangat mengkhawatirkan kamu. Ia merasa bersalah karena tidak berada di sisimu. Rafka sampai tidak bisa tidur karena terus-terusan memikirkan kamu.” Lagi, Rosita membelai rambut panjang Rania. Hal yang akhir-akhir ini ia lakukan untuk menenangkan menantunya tersebut. Wanita paruh baya itu merasa sedih mengingat semua permasalaha yang selalu datang silih berganti un
Tentu saja Rania merasa semakin galau. Sehari tak bertemu Rafka saja sangat tersiksa baginya. Ia takut jika Delvin dan Resti berusaha menjauhkannya dari Rafka. “Tidak bisa begitu, Res. Walau bagaimanapun juga Rafka masih suami Rania. Dan sekarang dia lagi hamil. Tidak mungkin mereka bercerai,” ungkap sang paman sambil menunjuk ke arah keponakannya. “Sebenarnya Mas Rafka sekarang sedang mencari bukti, Paman. Ia sudah bersumpah bahwa Mas Rafka tidak pernah tidur dengan Rania.” “Kamu peryaca?” tanya Delvin ingin tahu. Rania menggeleng lemah. Ia masih dilanda kebimbangan. Perasaannya lebih condong ke Rafka. Tetapi logika mengatakan hal yang bertentangan. “Sebenarnya paman lebih percaya kepada Rafka. Kamu tenang saja, Rania. Paman akan ikut turun tangan dan menyelesaikan semua masalah ini.” Delvin mencoba menenangkan keponakannya. Hingga sesaat kemudian ponselnya berdering. Delvin menaikkan sebelah alisnya ketika melihat nama kontak yang meneleponnya. Ia segera mengangkat telepon itu.
Rafka tidak sabar lagi dalam menunggu. “Aku harus segera ke sana, Paman.” Ia segera berlari menghampiri Riko dan para lelaki itu. “Tunggu, Rafka!” teriak Delvin namun tak dihiraukan lagi oleh Rafka. “Benar-benar keras kepala anak itu.” Delvin segera menghubungi Bayu agar tidak melanjutkan rencananya. Tidak ada gunanya lagi jika membawa Riko ke kamar hotel itu. “Berhenti!” cegah Rafka kepada lelaki yang menyeret Riko agar membawanya masuk ke kamar hotel. “Siapa dia?!” Lelaki itu memberikan sebuah kode kepada anak buahnya yang lain. Riko merasa terkejut melihat Rafka menghadangnya. Ia segera mencari cara untuk kabur dari sana. “Hei, mau ke mana kamu?” Dengan cepat tangan Rafka menarik lengan Riko. Hingga lelaki itu tidak berhasil kabur. “Tolong, maafkan aku, Rafka. Biarkan aku pergi dari sini.” Rafka masih menahan Riko agar tidak pergi. “Siapa mereka? Kamu mau menjual Aluna kepada mereka? Setelah semua yang kamu lakukan kepada gadis itu. Hah?!” Rafka mencengkeram kerah baju mili
“Apaan sih, Mas.” Kedua pipi Rania bersemu merah. Dan semakin merona saat mendapatkan sebuah senyuman nakal dari Rafka. Tak ingin semakin dibuat malu oleh sang suami, ia segera mendorong tubuh Rafka dan melangkah cepat meninggalkan lelaki tampan itu seorang diri. Rania merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan. Rupanya Rafka masih sempat meninggalkan jejak merah pada leher jenjangnya yang putih bersih. Wanita itu segera menemui Delvin dan Resti di ruang tamu. “Apakah ucapanku ada yang salah?” tanya Rafka pada diri sendiri. Ia menepuk keningnya dengan keras karena lupa belum mencium perut sang istri yang kini tengah mengandung darah dagingnya. “Em ... sebelum Paman Delvin mengomel, aku harus segera menemuinya.” Rafka ikut merapikan pakaiannya sambil senyum-senyum. Rasanya ingin sekali setiap detik menggoda Rania hingga puas. Wanita terlihat lebih cantik setelah dinyatakan hamil oleh pak dokter. ‘Apakah memang seperti itu aura ibu hamil? Atau karena aku yang terlalu merindukann
“Mas, lagi ngapain?” tanya Rania yang tiba-tiba berada di belakang Rafka. “Eh, ini. Ada telepon, Sayang.” Rafka segera mematikan teleponnya. Takut jika Rania salah paham. “Kok kaget gitu, mukanya.” Rafka terdiam. Ia sedang memikirkan alasan yang tepat. “Ya sudah, nggak pa-pa. Ayo kita makan malam. Semuanya sudah siap itu. Tinggal nungguin Mas saja, belum ikut bergabung sejak tadi.” “Kamu benar, Sayang.” Rafka segera meletakkan tangannya pada pinggang sang istri dan mengajaknya bergabung dengan yang lain. “Apanya yang benar, Mas?” “Ya, itu tadi. Karena ada telepon dari sekretaris di kantor. Ada masalah sedikit.” “Malam-malam Nadia telepon?” tanya Rania penuh selidik. Sedikit was-was jika Rafka berbohong. Belum sempat Rafka menjawab, Rosita datang. Wanita paruh baya itu sudah tidak sabar ingin makan malam bersama mereka berdua. Anak dan menantunya. “Kalian sibuk bahas apa, sih? Ayo, buruan. Nanti Delvin keburu ngomel-ngomel lagi.” Rosita keceplosan. Ia melihat ke arah Rania.
“Ada apa, Mas?” tanya Rania yang mengetahui perubahan raut wajah suaminya. “Ini kenapa ada di sini?” jawab Rafka balik bertanya. “Rania juga tidak tahu, Mas. Aku pikir Mas Rafka yang meletakkannya di situ. Atau mungkin milik Aluna?” terka Rania kemudian. “Bisa jadi.” “Memangnya kenapa sih, Mas? Apa yang terjadi?” Rania mengambil majalah itu dan membukanya sendiri. Ternyata ada nama Rafka terpampang jelas pada halaman pertama. Klien yang waktu itu ada janji temu dengan Rafka mengatakan sikap yang tidak baik tentang Rafka karena waktu itu Rafka tidak hadir dan tidak memberikan penjelasan apapun. Tentu saja berita itu akan berimbas kepada para kolega yang lainnya. Baru memikirkannya saja Rafka sudah khawatir. Hingga detik berikutnya handphone milik Rafka berbunyi berkali-kali. Banyak email yang masuk mengatakan ingin memutus kerjasama secara tiba-tiba. Banyak yang merasa rugi disebabkan berita yang beredar. “Tidak mungkin,” lirih Rafka. “Mengapa mereka bisa percaya begitu saja?” Ra
“Ya, benar. Jangan pernah mengajakku ke klub malam lagi. Apalagi sampai mabuk. Bisa tamat riwayatku,” bisik Rafka bernada serius. Mereka saling pandang sesaat. Kemudian sama-sama tertawa cukup keras. “Em, tapi Riz. Kamu tidak ikut bergabung dengan perusahaan papa Nina? Kamu ‘kan menantunya?” tanya Rafka ingin tahu. Fariz terdiam cukup lama. Sepertinya ada yang ia sembunyikan. “Sebenarnya aku dan Nina batal menikah di sana.”Akhirnya Fariz mengatakan hal itu kepada Rafka. Ia tak bisa jika harus berlama-lama menyembunyikan masalahnya. Rafka cukup terkejut mendengar penuturan Fariz. Dan di saat itu terdengar ada suara benda terjatauh. Mereka berdua segera menatap ke arah seorang perempuan yang sejak tadi sepertinya mencuri dengar pembicaraan Rafka dengan Fariz. Ternyata wanita itu adalah Nadia. Ia terlihat salah tingkah kemudian mengambil ponselnya yang terjatuh. Wanita itu buru-buru pergi. “Lihatlah, Nadia. Sepertinya dia menyimpan perasaan kepadamu,” goda Rafka kepada Fariz. Rafka
Rafka mempercepat langkah kakinya. Hatinya tetap menyimpan rasa cemburu meski dengan kakaknya sendiri yang telah meninggal dunia. “Aku harus memastikan sendiri jika Rania tidak seperti yang aku pikirkan.” Akhirnya lelaki tampan itu telah tiba di rooftop rumahnya. Pemandangan malam hari yang sangat indah. Tetapi tidak dengan perasaan Rafka sendiri. Meski capek ia tetap lebih merisaukan istrinya. “Sayang ...,” panggil Rafka bersemangat. Ia melihat sang istri sedang duduk berdua dengan Bi Murni. Sepertinya mereka sudah terlihat akrab dan nyaman untuk saling bercerita. Membuat Rafka merasa bersalah karena mengganggu aktivitas mereka dan sempat berpikir yang tidak-tidak kepada Rania. Mendengar namanya dipanggil, Rania segera menoleh ke araf Rafka dan berjalan menghampirinya. Wanita langsung menyunggingkan sebuah senyuman indahnya. “Mas Rafka sudang pulang? Biar aku siapkan air panas buat mandi, ya?” Rania berucap dengan lembut. “Makasih, Sayang.” Lelaki itu mengecup singkat kening ist