Apakah isi beritanya??? Ada yang tau???
“Ada apa, Mas?” tanya Rania yang mengetahui perubahan raut wajah suaminya. “Ini kenapa ada di sini?” jawab Rafka balik bertanya. “Rania juga tidak tahu, Mas. Aku pikir Mas Rafka yang meletakkannya di situ. Atau mungkin milik Aluna?” terka Rania kemudian. “Bisa jadi.” “Memangnya kenapa sih, Mas? Apa yang terjadi?” Rania mengambil majalah itu dan membukanya sendiri. Ternyata ada nama Rafka terpampang jelas pada halaman pertama. Klien yang waktu itu ada janji temu dengan Rafka mengatakan sikap yang tidak baik tentang Rafka karena waktu itu Rafka tidak hadir dan tidak memberikan penjelasan apapun. Tentu saja berita itu akan berimbas kepada para kolega yang lainnya. Baru memikirkannya saja Rafka sudah khawatir. Hingga detik berikutnya handphone milik Rafka berbunyi berkali-kali. Banyak email yang masuk mengatakan ingin memutus kerjasama secara tiba-tiba. Banyak yang merasa rugi disebabkan berita yang beredar. “Tidak mungkin,” lirih Rafka. “Mengapa mereka bisa percaya begitu saja?” Ra
“Ya, benar. Jangan pernah mengajakku ke klub malam lagi. Apalagi sampai mabuk. Bisa tamat riwayatku,” bisik Rafka bernada serius. Mereka saling pandang sesaat. Kemudian sama-sama tertawa cukup keras. “Em, tapi Riz. Kamu tidak ikut bergabung dengan perusahaan papa Nina? Kamu ‘kan menantunya?” tanya Rafka ingin tahu. Fariz terdiam cukup lama. Sepertinya ada yang ia sembunyikan. “Sebenarnya aku dan Nina batal menikah di sana.”Akhirnya Fariz mengatakan hal itu kepada Rafka. Ia tak bisa jika harus berlama-lama menyembunyikan masalahnya. Rafka cukup terkejut mendengar penuturan Fariz. Dan di saat itu terdengar ada suara benda terjatauh. Mereka berdua segera menatap ke arah seorang perempuan yang sejak tadi sepertinya mencuri dengar pembicaraan Rafka dengan Fariz. Ternyata wanita itu adalah Nadia. Ia terlihat salah tingkah kemudian mengambil ponselnya yang terjatuh. Wanita itu buru-buru pergi. “Lihatlah, Nadia. Sepertinya dia menyimpan perasaan kepadamu,” goda Rafka kepada Fariz. Rafka
Rafka mempercepat langkah kakinya. Hatinya tetap menyimpan rasa cemburu meski dengan kakaknya sendiri yang telah meninggal dunia. “Aku harus memastikan sendiri jika Rania tidak seperti yang aku pikirkan.” Akhirnya lelaki tampan itu telah tiba di rooftop rumahnya. Pemandangan malam hari yang sangat indah. Tetapi tidak dengan perasaan Rafka sendiri. Meski capek ia tetap lebih merisaukan istrinya. “Sayang ...,” panggil Rafka bersemangat. Ia melihat sang istri sedang duduk berdua dengan Bi Murni. Sepertinya mereka sudah terlihat akrab dan nyaman untuk saling bercerita. Membuat Rafka merasa bersalah karena mengganggu aktivitas mereka dan sempat berpikir yang tidak-tidak kepada Rania. Mendengar namanya dipanggil, Rania segera menoleh ke araf Rafka dan berjalan menghampirinya. Wanita langsung menyunggingkan sebuah senyuman indahnya. “Mas Rafka sudang pulang? Biar aku siapkan air panas buat mandi, ya?” Rania berucap dengan lembut. “Makasih, Sayang.” Lelaki itu mengecup singkat kening ist
Mendengar pertanyaan dari Rafka justru membuat Rania semakin menangis kencang. Bahkan wanita itu tidak tahu mengapa hatinya bisa selemah itu. “Sayang ....” Rafka segera mengubah posisinya menjadi duduk. Kemudian berdiri dan berjalan memutari ranjang besar kamar itu. Ia merasa menyesal telah menyakiti perasaan istrinya. Rasa cemburunya kini berubah menjadi rasa khawatir yang sangat besar. Apalagi ia tahu jika Rania tengah hamil muda. Kedua tangan Rafka menangkup wajah sang istri lalu mengecup bibirnya dan melahapnya dengan rakus. Setelah Rania merasa tenang, Rafka menghentikan aktivitasnya. Lalu membawa tubuh sang istri ke dalam dekapan hangatnya. “Maafkan aku, Rania. Maafkan aku.” Rafka semakin memeluk Rania erat-erat. Seakan takut kehilangannya. Tetapi wanita itu justru mendorong tubuhnya karena merasakan sesak. “Sudah, Mas. Tubuhku sakit.” Rafka langsung merenggangkan pelukannya. “Ada apa, Sayang. Apanya yang sakit?” Rafka mengecek seluruh tubuh sang istri. Memastikan bahwa se
Lelaki itu segera pergi meninggalkan Rafka. Rania mendekati sang suami seraya bertanya, “Ada apa Mas? Siapa dia? Kenapa menatapku seperti itu?” Rafka memejamkan kedua matanya sejenak. “Sepertinya dia tertarik padamu, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan hal itu.” “Kalau begitu aku di rumah saja. Aku tidak mau kemana-mana lagi, Mas. Aku takut.” Lelaki tampan itu segera memeluk tubuh Rania. “Kamu tenang, ya? Aku akan selalu menjaga dan melindungimu.” Rania mengangguk. Ia merasa beruntung memiliki suami yang selalu siap sedia memasang badan untuknya. “Oh, ya. Tadi katanya ada yang mau ketemu?” Rania mencoba mengingatkan. Rafka lalu mengedarkan pandangannya. Jemarinya menunjuk ke arah seorang lelaki yang telah menunggu kedatangan mereka. “Itu dia di sana.” “Ayo, Mas.” Rania merangkul lengan sang suami kemudian segera mengajaknya menemui lelaki itu. Ia ingin urusannya cepat selesai dan segera pulang ke rumah. Rupanya lelaki itu adalah Fariz. Dan dia datang bersama Nina. Namu
Karena penasaran Rania segera membuka kedua matanya. Dan ia mendapati sang suami tengah menatapnya lekat-lekat. “Ada apasih, Mas?” tanya Rania merasa kesal. “Aku sedang mengagumi wajah cantik istriku.” Rafka mengatakan itu sambil membersihkan sisa make up pada wajah Rania. “Semenjak hamil kamu bertambah cantik, Sayang. Apalagi kalau tidak pakai make up sama sekali. Kamu sangat menggemaskan.” Rafka tersenyum bahagia. Jemarinya menari-nari di atas permukaan kulit bagian pipi sang istri dengan penuh kelembutan. “Mas Rafka pintar banget kalau ngegombal ya? Hati Rania jadi deg-degan nih. Mana boleh seperti itu?” protes Rania.“Hai, bidadariku. Siapa yang ngegombal sih? Aku berkata jujur. Rasanya ingin berbulan madu lagi denganmu. Bagaimana?” Rafka menarik-turunkan kedua alisnya. “Ingat, Mas. Di sini sudah ada calon buah hati kita. Kita juga harus mempersiapkan pernikahan Aluna. Apakah Mas Rafka tidak ingat?” Rafka menepuk keningnya pelan. “Astaga, aku hampir lupa. Kita juga harus mend
Rafka berpikir cukup lama. Hingga akhirnya terpaksa lelaki itu menganggukkan kepalanya. Baru setelah itu Rafka benar-benar keluar dari ruangan Nina. Sedangkan Nina pun baru mau diperiksa oleh dokter setelah mendapatkan sebuah anggukan dari seorang lelaki yang ia pikir adalah kekasihnya. Rafka hendak duduk di kursi tunggu, tetapi Fariz segera memberikan pertanyaan demi pertanyaan yang memenuhi otaknya. “Apa yang terjadi kepada Nina, Raf? Dia menganggapmu sebagai kekasih?” Fariz terlihat tidak percaya dengan apa yang didengar dan dilihatnya. Rafka menghembuskan nafas panjang sebelum ia menjawab pertanyaan dari sahabatnya. “Aku pun tidak tahu, Riz. Aku juga tidak percaya dengan semua ini.” Rafka mencoba mengingat-ingat sesuatu. Lalu ia memandangi Fariz kembali. “Apakah tadi kepalanya terbentur saat ditabrak mobil?” tanya Rafka kemudian. Fariz cukup terkejut mendengar pertanyaan dari Rafka. Lalu ia menjawab dengan yakin. “Kamu benar, Raf. Kepalanya terbentur dan berdarah. Apakah jan
Rafka mengusap lembut pipi Rania dengan ibu jarinya. “Jangan begitu, Sayang. Bagaimana nanti kalau ada orang lain yang dengar? Tolonglah ... aku mohon ... kita bicarakan di kamar ya?” Rania merasa trenyuh dengan kata-kata lembut suaminya. Lalu ia mengangguk pelan. “Baiklah, Mas. Maafkan Rania, ya? Tidak bisa menahan emosi.” Lelaki tampan itu tersenyum lalu menggenggam tangan istrinya. Membawanya naik ke atas tangga dengan perlahan-lahan. Setelah masuk ke dalam kamar, Rafka segera menutup pintu kamar itu. “Sekarang katakan, Mas. Kamu menemui perempuan lain?” tanya Rania penasaran. “Ya,” jawab Rafka singkat. “Jadi benar?” Rania mengerucutkan bibirnya. “Nina kecelakaan, Rania. Kepalanya terbentur hingga mengalami cedera .” Rania menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia cukup syok mendengar berita tersebut. “Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Rania semakin penasaran. Ia ikut merasa sedih mendengar sahabat dari suaminya kecelakaan. Meski malam itu