Nyesek nggak readers??? Kira-kira Rafka sibuk dengan urusan kantor atau sibuk berduaan sama Nina??? >,<
Pagi harinya Rania lebih banyak diam. Tidak ada keceriaan sama sekali pada wajahnya. Rafka menggeliatkan tubuhnya dengan malas. “Astaga, jam berapa ini? Aku harus meminta maaf kepada Rania.” Bahkan lelaki tampan itu lupa mengecas ponselnya sejak kemarin yang mati. Hingga dia tidak bisa menghubungi Rania. Tiba-tiba adalah kesalahpahaman dalam pengiriman barang. Rafka harus pergi ke luar kota bersama Nadia. Sementara Fariz tetap di kantor. Seharusnya CEO tampan itu menginap di hotel yang sudah disediakan. Tetapi ia menolak dan memillih untuk pulang ke rumah. Alhasil ia tiba di rumah larut malam. Sementara Nadia ia tinggalkan di hotel. Niatnya pagi ini ia meminta Fariz untuk menjemput sekretarisnya tersebut. Rafka segera bergegas untuk mandi dan memakai pakaiannya sendiri tanpa bantuan dari Rania. Lelaki itu turun ke bawah dengan perasaan yang serba salah. Ia harus menjelaskan sedetail-detailnya kepada sang istri tercinta. Rafka memamerkan sebuah senyuman manis ketika mendapati Rania
Di tempat yang tak jauh, Rosita tanpa sengaja melihat Rania yang mulai melewati pintu gerbang perusahaan besar itu. “Bukankah itu Rania? Untuk apa dia datang ke perusahaanya Alvin? Aku harus menanyakan hal ini kepada Rafka.” Sebenarnya Rosita ingin menemui keponakannya yang baru beberapa bulan ini pulang ke Indonesia dan menggantikan posisi papanya yang sudah tua serta sering sakit. Niat wanita paruh baya itu untuk meminjam uang demi kemajuan butiknya. Bahkan Rosita tidak berani mengganggu uang Rafka pribadi. Rosita menunda kepergiannya karena Alvin bilang sedang sibuk. Wanita paruh baya itu memilih untuk pergi ke supermarket. Ia ingin berbelanja kebutuhan bulanan sebelum menjemput Julio yang pulang sore. Sementara Rania tidak tahu jika ada mama mertuanya di sana. Ia segera masuk melalui pintu depan meski ragu-ragu. Entah kenapa perasaanya jadi tidak tenang saat itu. Akhirnya ia menanti di sebuah kursi tunggu bersama yang lainnya. “Ternyata banyak juga yang mengantri. Aku telah sa
CEO bertubuh tinggi itu berdiri dari duduknya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman manis kepada Rania “Perkenalkan nama saya adalah Alvin. Mulai sekarang kamu akan menjadi sektetaris saya.” “Apa? Bagaimana mungkin?” Seketika tubuh Rania terasa lemas. Lelaki di hadapannya ini adalah lelaki yang waktu itu ia temui saat bersama Rafka. Lelaki yang membisikkan kata-kata yang tak pernah ia tahu kepada suaminya. Dan waktu itu Rafka bilang jika lelaki ini tertarik kepadanya..Detik berikutnya Rania merasakan kepalanya berkunang-kunang, setelah itu ia tidak ingat apapun. “Rania, kamu kenapa?” Beruntung Alvin bergerak cepat dan langsung menangkap tubuh wanita itu agar tidak terjatuh di lantai. Beberapa waktu berlalu, Rania tersentak kaget saat mencium aroma yang menyengat. Ia kebingungan. Takut jika Alvin berbuat yang tidak-tidak kepadanya. “Hai, apa yang terjadi kepadamu?” tanya lelaki itu khawatir. “A–aku ada di mana?” tanya Rania memegangi
Gerry pun mengangguk paham. Ia segera keluar dari ruangan Alvin. Sementara Rania yang telah mencuri dengar, ikut penasaran apa yang dikatakan oleh asisten tadi. “Ada apa? Kamu menguping pembicaraan kami? Kamu tidak perlu khawatir, Rania. Kamu akan menemaniku saat pertemuan nanti. Sekarang lanjutkan pekerjaanmu. Jangan lupa bersihkan juga ruangan pribadiku. Pastikan keadaan wangi dan rapi.” Alvin kembali dengan pekerjaannya. Hari ini ia disibukkan dengan bertumpuk-tumpuk dokumen untuk ditandatangani secepatnya. “Kalau tak ada Rania, pasti sangat membosankan.” Alvin berucap lirih. Sesekali ekor matanya menangkap wajah lelah milik Rania. Tidak seharusnya wanita itu bekerja berat. Tentu Alvin tidak tega melihatnya. Tetapi hal itu ia manfaatkan agar bisa makan siang bersama dengan Rania. Beberapa jam telah berlalu. Rania merasa sangat lelah. Ia duduk di kursi dekat ranjang besar tempat ia tadi tengah pingsan. “Ruangannya sangat luas. Apakah di tempat Mas Rafka juga seperti ini ya? Aku
“Kamu mau ini?” Alvin segera memberikan makanan itu kepada Rania. “Kamu ini seperti orang yang lagi nyidam saja. Atau jangan-jangan kamu sedang hamil?” Seketika Rani terbatuk-batuk saat mendengar pertanyaan dari bosnya. “Rania, kamu ini kenapa? Minum dulu.” Alvin memberikan segelas air putih untuk Rania. “Terima kasih, Pak.” Setelah minum air putih, Rania jadi tidak berselera lagi untuk makan. Kemudian ia berdiri dari duduknya. “Kamu mau ke mana Rania?” tanya Alvin penasaran. “Mau ke toiler, Pak. Saya sudah kenyang.” “Ini makanannya masih banyak, Rania.” Alvin mengamati udang yang belum jadi tersentuh oleh Rania. CEO tampan itu geleng-geleng kepala. “Tadi katanya ....” Alvin menghentikan kalimatnya. Akhirnya ia menelepon Pak Rahmat dan mengajaknya untuk makan bersama. “Makan yang banyak, Pak Rahmat. Rania tidak mau. Katanya sudah kenyang.” “Terima kasih, Pak.” Sopir pribadi Alvin tersebut sangat senang. Dia memang belum makan sejak tadi.Alvin terdiam sejenak. Ia baru sadar j
Di rumah Nina, Rafka merasa resah. Ia pergi ke toilet dan mencoba menghubungi Rania kembali. Tetapi ternyata ponsel sang istri masih tidak aktif. “Ke mana kamu Rania? Kenapa handphone kamu tidak bisa dihubungi? Apakah kamu masih bersama dengan Tisa?” Rafka mencari kontak Tisa. Sepertinya ia masih menyimpannya. Namun saat mengecek aplikasi warna hijau, nomor Tisa sudah tidak terdaftar. Dihubungi menggunakan panggilan biasa pun tidak bisa. “Apakah Tisa sudah mengganti nomornya? Ya Tuhan, aku sangat merindukan istriku.” Rafka menghembuskan nafas beratnya. Lalu ia usap wajahnya dengan kasar. Lelaki tampan itu berniat menemui Nina dan pamit pulang. Namun rupanya ia tak sengaja mendengarkan pembicara Nina dengan papanya yang entah datang sejak kapan. “Aku masih mencintai Rafka, Pa. Aku tidak mau kehilangannya lagi. Aku cemburu jika melihatnya bermesraan dengan Rania. Wanita itu mendapatkan Rafka dengan cara yang licik, Pa. Jadi Nina tidak terima. Biarkan Rafka menikah denganku, Pa. Nina
Rania telah tiba di depan pintu gerbang. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian santai yang ia beli bersama Alvin tadi siang. Rupanya atasannya itu bersikeras untuk melunasi semua biaya pakaian kerja yang dibelinya. Namun meski begitu Rania bertekat untuk mengganti secepat mungkin. Rania yang sedang berjalan dikejutkan dengan pertanyaan dari Aga yang tiba-tiba. “Bu Rania, sudah ganti pakaian?” tanya Aga ceplas-ceplos. “Eh, iya Aga. Kamu perhatian juga, ya?” balas Rania mencoba berucap dengan santai. Aga cengengesan. “Gimana penyelidikannya, Bu Rania. Saya sudah bertanya kepada Rio. Katanya waktu Pak Rafka pulang larut malam itu, habis dari luar kota. Ada masalah dalam pengiriman barang. Harusnya Pak Rafka menginap loh, Bu. Tapi Beliau bela-belain pulang demi Bu Rania. Katanya Beliau merasa sangat bersalah sama Ibu,” terang Aga panjang lebar. “Pengiriman barang? Barang apa maksudnya, Aga?” tanya Rania penasaran. “Saya kurang tahu kalau masalah itu, Bu. Hehehe.” “Jadi Pak Ra
“Astaga, siapa yang mengirimkan ini, Rania? Tadi Nina mau jatuh dan aku berusaha untuk menolongnya. Hanya itu saja. Tidak lebih.” Rafka berusaha untuk meyakinkan istrinya. Ia ingin hubungannya dengan Rania bisa rapat kembali tanpa ada yang mengganggu lagi. “Mas Rafka tidak bohong, ‘kan?” Rania mulai luluh. “Aku berani bersumpah, Sayang. Oh, ya. Aku ada oleh-oleh kecil untukmu.” “Apaan?” tanya Rania ingin tahu. “Ada di bawah, Sayang. Mau aku ambilkan?” jawab Rafka balik bertanya. “Tidak perlu, Mas.” Tentu Rania tidak tega melihat suaminya turun ke bawah lagi sementara wajahnya terlihat capek setelah pulang dari bekerja. “Ya sudah. Berarti kita sama-sama turun ke bawah saja, yuk?” ajak Rafka. “Berarti Rania harus pakai baju dulu, Mas.” Rafka mengangguk sambil tersenyum. “Atau mau Mas pakein?” Rafka berusaha menggoda istrinya. Ia menaik-turunkan kedua alisnya. “Apaan sih, Mas. Nggak mau ah! Nanti ujung-ujungnya keramas lagi.” Rania mengerucutkan bibirnya. Tetapi kedua pipinya b