Hayoo, ada yang tau nggak. Suara siapa itu??? :D
CEO bertubuh tinggi itu berdiri dari duduknya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman manis kepada Rania “Perkenalkan nama saya adalah Alvin. Mulai sekarang kamu akan menjadi sektetaris saya.” “Apa? Bagaimana mungkin?” Seketika tubuh Rania terasa lemas. Lelaki di hadapannya ini adalah lelaki yang waktu itu ia temui saat bersama Rafka. Lelaki yang membisikkan kata-kata yang tak pernah ia tahu kepada suaminya. Dan waktu itu Rafka bilang jika lelaki ini tertarik kepadanya..Detik berikutnya Rania merasakan kepalanya berkunang-kunang, setelah itu ia tidak ingat apapun. “Rania, kamu kenapa?” Beruntung Alvin bergerak cepat dan langsung menangkap tubuh wanita itu agar tidak terjatuh di lantai. Beberapa waktu berlalu, Rania tersentak kaget saat mencium aroma yang menyengat. Ia kebingungan. Takut jika Alvin berbuat yang tidak-tidak kepadanya. “Hai, apa yang terjadi kepadamu?” tanya lelaki itu khawatir. “A–aku ada di mana?” tanya Rania memegangi
Gerry pun mengangguk paham. Ia segera keluar dari ruangan Alvin. Sementara Rania yang telah mencuri dengar, ikut penasaran apa yang dikatakan oleh asisten tadi. “Ada apa? Kamu menguping pembicaraan kami? Kamu tidak perlu khawatir, Rania. Kamu akan menemaniku saat pertemuan nanti. Sekarang lanjutkan pekerjaanmu. Jangan lupa bersihkan juga ruangan pribadiku. Pastikan keadaan wangi dan rapi.” Alvin kembali dengan pekerjaannya. Hari ini ia disibukkan dengan bertumpuk-tumpuk dokumen untuk ditandatangani secepatnya. “Kalau tak ada Rania, pasti sangat membosankan.” Alvin berucap lirih. Sesekali ekor matanya menangkap wajah lelah milik Rania. Tidak seharusnya wanita itu bekerja berat. Tentu Alvin tidak tega melihatnya. Tetapi hal itu ia manfaatkan agar bisa makan siang bersama dengan Rania. Beberapa jam telah berlalu. Rania merasa sangat lelah. Ia duduk di kursi dekat ranjang besar tempat ia tadi tengah pingsan. “Ruangannya sangat luas. Apakah di tempat Mas Rafka juga seperti ini ya? Aku
“Kamu mau ini?” Alvin segera memberikan makanan itu kepada Rania. “Kamu ini seperti orang yang lagi nyidam saja. Atau jangan-jangan kamu sedang hamil?” Seketika Rani terbatuk-batuk saat mendengar pertanyaan dari bosnya. “Rania, kamu ini kenapa? Minum dulu.” Alvin memberikan segelas air putih untuk Rania. “Terima kasih, Pak.” Setelah minum air putih, Rania jadi tidak berselera lagi untuk makan. Kemudian ia berdiri dari duduknya. “Kamu mau ke mana Rania?” tanya Alvin penasaran. “Mau ke toiler, Pak. Saya sudah kenyang.” “Ini makanannya masih banyak, Rania.” Alvin mengamati udang yang belum jadi tersentuh oleh Rania. CEO tampan itu geleng-geleng kepala. “Tadi katanya ....” Alvin menghentikan kalimatnya. Akhirnya ia menelepon Pak Rahmat dan mengajaknya untuk makan bersama. “Makan yang banyak, Pak Rahmat. Rania tidak mau. Katanya sudah kenyang.” “Terima kasih, Pak.” Sopir pribadi Alvin tersebut sangat senang. Dia memang belum makan sejak tadi.Alvin terdiam sejenak. Ia baru sadar j
Di rumah Nina, Rafka merasa resah. Ia pergi ke toilet dan mencoba menghubungi Rania kembali. Tetapi ternyata ponsel sang istri masih tidak aktif. “Ke mana kamu Rania? Kenapa handphone kamu tidak bisa dihubungi? Apakah kamu masih bersama dengan Tisa?” Rafka mencari kontak Tisa. Sepertinya ia masih menyimpannya. Namun saat mengecek aplikasi warna hijau, nomor Tisa sudah tidak terdaftar. Dihubungi menggunakan panggilan biasa pun tidak bisa. “Apakah Tisa sudah mengganti nomornya? Ya Tuhan, aku sangat merindukan istriku.” Rafka menghembuskan nafas beratnya. Lalu ia usap wajahnya dengan kasar. Lelaki tampan itu berniat menemui Nina dan pamit pulang. Namun rupanya ia tak sengaja mendengarkan pembicara Nina dengan papanya yang entah datang sejak kapan. “Aku masih mencintai Rafka, Pa. Aku tidak mau kehilangannya lagi. Aku cemburu jika melihatnya bermesraan dengan Rania. Wanita itu mendapatkan Rafka dengan cara yang licik, Pa. Jadi Nina tidak terima. Biarkan Rafka menikah denganku, Pa. Nina
Rania telah tiba di depan pintu gerbang. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian santai yang ia beli bersama Alvin tadi siang. Rupanya atasannya itu bersikeras untuk melunasi semua biaya pakaian kerja yang dibelinya. Namun meski begitu Rania bertekat untuk mengganti secepat mungkin. Rania yang sedang berjalan dikejutkan dengan pertanyaan dari Aga yang tiba-tiba. “Bu Rania, sudah ganti pakaian?” tanya Aga ceplas-ceplos. “Eh, iya Aga. Kamu perhatian juga, ya?” balas Rania mencoba berucap dengan santai. Aga cengengesan. “Gimana penyelidikannya, Bu Rania. Saya sudah bertanya kepada Rio. Katanya waktu Pak Rafka pulang larut malam itu, habis dari luar kota. Ada masalah dalam pengiriman barang. Harusnya Pak Rafka menginap loh, Bu. Tapi Beliau bela-belain pulang demi Bu Rania. Katanya Beliau merasa sangat bersalah sama Ibu,” terang Aga panjang lebar. “Pengiriman barang? Barang apa maksudnya, Aga?” tanya Rania penasaran. “Saya kurang tahu kalau masalah itu, Bu. Hehehe.” “Jadi Pak Ra
“Astaga, siapa yang mengirimkan ini, Rania? Tadi Nina mau jatuh dan aku berusaha untuk menolongnya. Hanya itu saja. Tidak lebih.” Rafka berusaha untuk meyakinkan istrinya. Ia ingin hubungannya dengan Rania bisa rapat kembali tanpa ada yang mengganggu lagi. “Mas Rafka tidak bohong, ‘kan?” Rania mulai luluh. “Aku berani bersumpah, Sayang. Oh, ya. Aku ada oleh-oleh kecil untukmu.” “Apaan?” tanya Rania ingin tahu. “Ada di bawah, Sayang. Mau aku ambilkan?” jawab Rafka balik bertanya. “Tidak perlu, Mas.” Tentu Rania tidak tega melihat suaminya turun ke bawah lagi sementara wajahnya terlihat capek setelah pulang dari bekerja. “Ya sudah. Berarti kita sama-sama turun ke bawah saja, yuk?” ajak Rafka. “Berarti Rania harus pakai baju dulu, Mas.” Rafka mengangguk sambil tersenyum. “Atau mau Mas pakein?” Rafka berusaha menggoda istrinya. Ia menaik-turunkan kedua alisnya. “Apaan sih, Mas. Nggak mau ah! Nanti ujung-ujungnya keramas lagi.” Rania mengerucutkan bibirnya. Tetapi kedua pipinya b
“Oh, itu. Fasilitas kantor, Sayang. Mas memang tidak menceritakan ini kepada kamu. Sebenarnya kamu bisa jalan-jalan ke kantor kalau ingin mengetahui apapun itu. Bagaimana? Pasti semua karyawan juga ingin tahu dan berkenalan dengan istri seorang Rafka bukan?!” Rafka berlagak sok tampan. Ia sengaja memamerkan diri sendiri kepada istrinya. Di dalam hati, Rania justru kebingungan. Karena kini ia malah bekerja di perusahaan lain. “Mungkin lain kali saja, Mas.” “Apakah kamu sudah lapar? Kita jalan-jalan yuk ke taman kota. Mas kangen kita berdua-duaan sambil mengobrol tentang masa depan. Pasti dia juga sangat senang.” Tangan Rafka mengelus perut istrinya dengan lembut. Sebenarnya ia sudah tidak sabar menjadi seorang papa. “Rania ingin kalau perginya naik motor, boleh? Permintaan calon debay,” bisik Rania di dekat telinga Rafka. “Tentu saja boleh, Sayang.” Lelaki itu segera menggenggam tangan istrinya. “Kamu duduk di sini dulu, ya? Mas cari kunci motornya dulu. Rasa-rasanya Mas lupa mele
Beberapa menit berlalu, Rizky telah kembali. Ia membawakan beberapa botol sekaligus. “Ini, Pak Rafka.” “Terima kasih Bu Eka. Botolnya saya bawa dulu, ya? Nanti pasti saya kembalikan.” Rafka menyerahkan selembar uang berwarna merah. “Wah, nggak ada kembaliannya Pak Rafka.” “Buat Rizky saja. Saya pamit dulu, Bu Eka. Kasihan istri saya sudah menunggu lama.” “Hati-hati, Pak Rafka.” Bu Eka senyum-senyum sendiri melihat kepergian Rafka. Suami Rania tersebut semakin mempercepat langkah kakinya. Ia langsung berjalan menuju motornya yang tengah menanti si pemilik. Melihat Rafka datang, Rania langsung berjalan menghampiri suaminya. Wanita itu terlihat sangat bahagia. “Sudah dapat, Mas?” tanya Rania antusias. “Sudah Sayangku, Cintaku, Kasihku, Belahan jiwaku.” Rafka berucap dengan sangat yakin. Tentu ia tidak ingin membuat sang istri kecewa. Rania mendekatkan wajahnya dan langsung mencium pipi kanan suaminya. “Makasih ya, Mas. Makin sayang dan cinta sama Mas Rafka.” Rafka refleks me