Gimana, gimana??? Readers maunya gimana nih??? Tinggalkan komentarnya yuk....
Di rumah Nina, Rafka merasa resah. Ia pergi ke toilet dan mencoba menghubungi Rania kembali. Tetapi ternyata ponsel sang istri masih tidak aktif. “Ke mana kamu Rania? Kenapa handphone kamu tidak bisa dihubungi? Apakah kamu masih bersama dengan Tisa?” Rafka mencari kontak Tisa. Sepertinya ia masih menyimpannya. Namun saat mengecek aplikasi warna hijau, nomor Tisa sudah tidak terdaftar. Dihubungi menggunakan panggilan biasa pun tidak bisa. “Apakah Tisa sudah mengganti nomornya? Ya Tuhan, aku sangat merindukan istriku.” Rafka menghembuskan nafas beratnya. Lalu ia usap wajahnya dengan kasar. Lelaki tampan itu berniat menemui Nina dan pamit pulang. Namun rupanya ia tak sengaja mendengarkan pembicara Nina dengan papanya yang entah datang sejak kapan. “Aku masih mencintai Rafka, Pa. Aku tidak mau kehilangannya lagi. Aku cemburu jika melihatnya bermesraan dengan Rania. Wanita itu mendapatkan Rafka dengan cara yang licik, Pa. Jadi Nina tidak terima. Biarkan Rafka menikah denganku, Pa. Nina
Rania telah tiba di depan pintu gerbang. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian santai yang ia beli bersama Alvin tadi siang. Rupanya atasannya itu bersikeras untuk melunasi semua biaya pakaian kerja yang dibelinya. Namun meski begitu Rania bertekat untuk mengganti secepat mungkin. Rania yang sedang berjalan dikejutkan dengan pertanyaan dari Aga yang tiba-tiba. “Bu Rania, sudah ganti pakaian?” tanya Aga ceplas-ceplos. “Eh, iya Aga. Kamu perhatian juga, ya?” balas Rania mencoba berucap dengan santai. Aga cengengesan. “Gimana penyelidikannya, Bu Rania. Saya sudah bertanya kepada Rio. Katanya waktu Pak Rafka pulang larut malam itu, habis dari luar kota. Ada masalah dalam pengiriman barang. Harusnya Pak Rafka menginap loh, Bu. Tapi Beliau bela-belain pulang demi Bu Rania. Katanya Beliau merasa sangat bersalah sama Ibu,” terang Aga panjang lebar. “Pengiriman barang? Barang apa maksudnya, Aga?” tanya Rania penasaran. “Saya kurang tahu kalau masalah itu, Bu. Hehehe.” “Jadi Pak Ra
“Astaga, siapa yang mengirimkan ini, Rania? Tadi Nina mau jatuh dan aku berusaha untuk menolongnya. Hanya itu saja. Tidak lebih.” Rafka berusaha untuk meyakinkan istrinya. Ia ingin hubungannya dengan Rania bisa rapat kembali tanpa ada yang mengganggu lagi. “Mas Rafka tidak bohong, ‘kan?” Rania mulai luluh. “Aku berani bersumpah, Sayang. Oh, ya. Aku ada oleh-oleh kecil untukmu.” “Apaan?” tanya Rania ingin tahu. “Ada di bawah, Sayang. Mau aku ambilkan?” jawab Rafka balik bertanya. “Tidak perlu, Mas.” Tentu Rania tidak tega melihat suaminya turun ke bawah lagi sementara wajahnya terlihat capek setelah pulang dari bekerja. “Ya sudah. Berarti kita sama-sama turun ke bawah saja, yuk?” ajak Rafka. “Berarti Rania harus pakai baju dulu, Mas.” Rafka mengangguk sambil tersenyum. “Atau mau Mas pakein?” Rafka berusaha menggoda istrinya. Ia menaik-turunkan kedua alisnya. “Apaan sih, Mas. Nggak mau ah! Nanti ujung-ujungnya keramas lagi.” Rania mengerucutkan bibirnya. Tetapi kedua pipinya b
“Oh, itu. Fasilitas kantor, Sayang. Mas memang tidak menceritakan ini kepada kamu. Sebenarnya kamu bisa jalan-jalan ke kantor kalau ingin mengetahui apapun itu. Bagaimana? Pasti semua karyawan juga ingin tahu dan berkenalan dengan istri seorang Rafka bukan?!” Rafka berlagak sok tampan. Ia sengaja memamerkan diri sendiri kepada istrinya. Di dalam hati, Rania justru kebingungan. Karena kini ia malah bekerja di perusahaan lain. “Mungkin lain kali saja, Mas.” “Apakah kamu sudah lapar? Kita jalan-jalan yuk ke taman kota. Mas kangen kita berdua-duaan sambil mengobrol tentang masa depan. Pasti dia juga sangat senang.” Tangan Rafka mengelus perut istrinya dengan lembut. Sebenarnya ia sudah tidak sabar menjadi seorang papa. “Rania ingin kalau perginya naik motor, boleh? Permintaan calon debay,” bisik Rania di dekat telinga Rafka. “Tentu saja boleh, Sayang.” Lelaki itu segera menggenggam tangan istrinya. “Kamu duduk di sini dulu, ya? Mas cari kunci motornya dulu. Rasa-rasanya Mas lupa mele
Beberapa menit berlalu, Rizky telah kembali. Ia membawakan beberapa botol sekaligus. “Ini, Pak Rafka.” “Terima kasih Bu Eka. Botolnya saya bawa dulu, ya? Nanti pasti saya kembalikan.” Rafka menyerahkan selembar uang berwarna merah. “Wah, nggak ada kembaliannya Pak Rafka.” “Buat Rizky saja. Saya pamit dulu, Bu Eka. Kasihan istri saya sudah menunggu lama.” “Hati-hati, Pak Rafka.” Bu Eka senyum-senyum sendiri melihat kepergian Rafka. Suami Rania tersebut semakin mempercepat langkah kakinya. Ia langsung berjalan menuju motornya yang tengah menanti si pemilik. Melihat Rafka datang, Rania langsung berjalan menghampiri suaminya. Wanita itu terlihat sangat bahagia. “Sudah dapat, Mas?” tanya Rania antusias. “Sudah Sayangku, Cintaku, Kasihku, Belahan jiwaku.” Rafka berucap dengan sangat yakin. Tentu ia tidak ingin membuat sang istri kecewa. Rania mendekatkan wajahnya dan langsung mencium pipi kanan suaminya. “Makasih ya, Mas. Makin sayang dan cinta sama Mas Rafka.” Ra
“Itu, Mas. Rania maunya Mas Rafka elus-elus itu kepalanya Pak penjual cilok,” ungkap Rania polos. Rafka benar-benar terkejut mendengar penuturan dari Rania. Mana mungkin ia harus melakukan hal yang menurutnya memalukan. “Rania ... aku mohon. Minta hal yang lain saja, ya?” Rafka menyatukan kedua telapak tangannya. Memohon kepada istrinya agar mengubah permintaannya. “Ya sudah kalau Mas Rafka tidak mau.” Rania merajuk. Ia mengalihkan pandangannya sambil bersedekap dada dan berjalan menjauh dari suaminya. Rafka segera menyusul sang istri. Tidak mau jika Rania marah lagi. “Sayang ... itu kepala. Bukan semangka.” “Terus?!” jawab Rania sewot. “Kamu serius?” Rafka memastikan bahwa Rania hanya bercanda saja. Tanpa rasa berdosa Rania mengangguk sambil tersenyum dengah wajah yang penuh keimutan. Seolah dia senang Rafka melakukan hal yang sangat menyenangkan baginya. Rafka menarik nafas kuat-kuat. Lalu ia hembuskan dengan perlahan. “Baiklah. Mas akan melakukan apapun untukmu. Dan demi c
Keesokan harinya Rafka begitu bersemangat saat akan berangkat ke kantor. Rupanya semalam ia lupa memberitahukan tentang Nina kepada istrinya. Saking fokusnya berkelana dengan Rania menuju indahnya dunia yang mereka ciptakan sendiri. Rafka meminta sang istri membetulkan letak dasinya yang kurang rapi. “Mas Rafka masih ke rumah Nina lagi kah?” tanya Rania ingin tahu. Di dalam hatinya sedikit ragu apakah ia bisa pergi bekerja lagi atau tidak. Rafka pun refleks menepuk pelan keningnya. “Hari ini dan seterusnya Mas tidak akan menemui Nina lagi. Jadi kamu tidak perlu cemburu lagi, Sayang. Mas pasti akan pulang awal jika pekerjaan kantor telah selesai,” ungkap Rafka antusias. “Kok bisa, Mas? Mas Rafka serius?” tanya Rania lagi. “Dua rius malah. Maaf, kemarin mas lupa cerita. Jadi sebenarnya Nina telah membohongi semua orang. Dia hanya berpura-pura lupa ingatan agar bisa dekat denganku. Mas benar-benar kecewa dengan sikapnya.” Rania tampak terkejut mendengar penjelasan dari Rafka. Ia ti
“Mas Rafka?” ucap Rania lirih. Wanita itu merasa sangat bersalah. Tidak menyangka jika klien yang dimaksud Alvin adalah suaminya sendiri. Rafka terdiam terpaku di tempatnya. Rasanya seperti ada sesuatu yang menikah tubuhnya. Bibir itu terasa berat untuk memberikan sebuah pertanyaan dan protes kepada Rania. Seketika hal itu membuat Rania melirik ke arah Alvin. Ia benar-benar ingin marah kepada atasannya tersebut. Namunn apa yang terjadi? Lelaki itu terlihat sangat tenang di tempat duduknya. Seolah tidak merasa bersalah sama sekali. Dan setelahnya ia berucap dengan santai. “Perkenalkan Pak Rafka. Dia adalah sekretaris saya untuk beberapa bulan ke depan. Bisa juga beberapa tahun atau mungkin selamanya.” Alvin sangat percaya diri mengatakan kalimat itu. Membuat Rafka naik pitam. “Silahkan duduk Rania,” perintah Alvin kemudian. “Terima kasih, Pak.” Rania terpaksa harus bersikap profesional di dekat atasannya. Namun di saat Rania sudah duduk, Rafka justru berdiri dari tempatnya. Lelak