Emang beneran Rafka mau bersihin tuh make up??? :D
Karena penasaran Rania segera membuka kedua matanya. Dan ia mendapati sang suami tengah menatapnya lekat-lekat. “Ada apasih, Mas?” tanya Rania merasa kesal. “Aku sedang mengagumi wajah cantik istriku.” Rafka mengatakan itu sambil membersihkan sisa make up pada wajah Rania. “Semenjak hamil kamu bertambah cantik, Sayang. Apalagi kalau tidak pakai make up sama sekali. Kamu sangat menggemaskan.” Rafka tersenyum bahagia. Jemarinya menari-nari di atas permukaan kulit bagian pipi sang istri dengan penuh kelembutan. “Mas Rafka pintar banget kalau ngegombal ya? Hati Rania jadi deg-degan nih. Mana boleh seperti itu?” protes Rania.“Hai, bidadariku. Siapa yang ngegombal sih? Aku berkata jujur. Rasanya ingin berbulan madu lagi denganmu. Bagaimana?” Rafka menarik-turunkan kedua alisnya. “Ingat, Mas. Di sini sudah ada calon buah hati kita. Kita juga harus mempersiapkan pernikahan Aluna. Apakah Mas Rafka tidak ingat?” Rafka menepuk keningnya pelan. “Astaga, aku hampir lupa. Kita juga harus mend
Rafka berpikir cukup lama. Hingga akhirnya terpaksa lelaki itu menganggukkan kepalanya. Baru setelah itu Rafka benar-benar keluar dari ruangan Nina. Sedangkan Nina pun baru mau diperiksa oleh dokter setelah mendapatkan sebuah anggukan dari seorang lelaki yang ia pikir adalah kekasihnya. Rafka hendak duduk di kursi tunggu, tetapi Fariz segera memberikan pertanyaan demi pertanyaan yang memenuhi otaknya. “Apa yang terjadi kepada Nina, Raf? Dia menganggapmu sebagai kekasih?” Fariz terlihat tidak percaya dengan apa yang didengar dan dilihatnya. Rafka menghembuskan nafas panjang sebelum ia menjawab pertanyaan dari sahabatnya. “Aku pun tidak tahu, Riz. Aku juga tidak percaya dengan semua ini.” Rafka mencoba mengingat-ingat sesuatu. Lalu ia memandangi Fariz kembali. “Apakah tadi kepalanya terbentur saat ditabrak mobil?” tanya Rafka kemudian. Fariz cukup terkejut mendengar pertanyaan dari Rafka. Lalu ia menjawab dengan yakin. “Kamu benar, Raf. Kepalanya terbentur dan berdarah. Apakah jan
Rafka mengusap lembut pipi Rania dengan ibu jarinya. “Jangan begitu, Sayang. Bagaimana nanti kalau ada orang lain yang dengar? Tolonglah ... aku mohon ... kita bicarakan di kamar ya?” Rania merasa trenyuh dengan kata-kata lembut suaminya. Lalu ia mengangguk pelan. “Baiklah, Mas. Maafkan Rania, ya? Tidak bisa menahan emosi.” Lelaki tampan itu tersenyum lalu menggenggam tangan istrinya. Membawanya naik ke atas tangga dengan perlahan-lahan. Setelah masuk ke dalam kamar, Rafka segera menutup pintu kamar itu. “Sekarang katakan, Mas. Kamu menemui perempuan lain?” tanya Rania penasaran. “Ya,” jawab Rafka singkat. “Jadi benar?” Rania mengerucutkan bibirnya. “Nina kecelakaan, Rania. Kepalanya terbentur hingga mengalami cedera .” Rania menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia cukup syok mendengar berita tersebut. “Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Rania semakin penasaran. Ia ikut merasa sedih mendengar sahabat dari suaminya kecelakaan. Meski malam itu
Pagi harinya Rania lebih banyak diam. Tidak ada keceriaan sama sekali pada wajahnya. Rafka menggeliatkan tubuhnya dengan malas. “Astaga, jam berapa ini? Aku harus meminta maaf kepada Rania.” Bahkan lelaki tampan itu lupa mengecas ponselnya sejak kemarin yang mati. Hingga dia tidak bisa menghubungi Rania. Tiba-tiba adalah kesalahpahaman dalam pengiriman barang. Rafka harus pergi ke luar kota bersama Nadia. Sementara Fariz tetap di kantor. Seharusnya CEO tampan itu menginap di hotel yang sudah disediakan. Tetapi ia menolak dan memillih untuk pulang ke rumah. Alhasil ia tiba di rumah larut malam. Sementara Nadia ia tinggalkan di hotel. Niatnya pagi ini ia meminta Fariz untuk menjemput sekretarisnya tersebut. Rafka segera bergegas untuk mandi dan memakai pakaiannya sendiri tanpa bantuan dari Rania. Lelaki itu turun ke bawah dengan perasaan yang serba salah. Ia harus menjelaskan sedetail-detailnya kepada sang istri tercinta. Rafka memamerkan sebuah senyuman manis ketika mendapati Rania
Di tempat yang tak jauh, Rosita tanpa sengaja melihat Rania yang mulai melewati pintu gerbang perusahaan besar itu. “Bukankah itu Rania? Untuk apa dia datang ke perusahaanya Alvin? Aku harus menanyakan hal ini kepada Rafka.” Sebenarnya Rosita ingin menemui keponakannya yang baru beberapa bulan ini pulang ke Indonesia dan menggantikan posisi papanya yang sudah tua serta sering sakit. Niat wanita paruh baya itu untuk meminjam uang demi kemajuan butiknya. Bahkan Rosita tidak berani mengganggu uang Rafka pribadi. Rosita menunda kepergiannya karena Alvin bilang sedang sibuk. Wanita paruh baya itu memilih untuk pergi ke supermarket. Ia ingin berbelanja kebutuhan bulanan sebelum menjemput Julio yang pulang sore. Sementara Rania tidak tahu jika ada mama mertuanya di sana. Ia segera masuk melalui pintu depan meski ragu-ragu. Entah kenapa perasaanya jadi tidak tenang saat itu. Akhirnya ia menanti di sebuah kursi tunggu bersama yang lainnya. “Ternyata banyak juga yang mengantri. Aku telah sa
CEO bertubuh tinggi itu berdiri dari duduknya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman manis kepada Rania “Perkenalkan nama saya adalah Alvin. Mulai sekarang kamu akan menjadi sektetaris saya.” “Apa? Bagaimana mungkin?” Seketika tubuh Rania terasa lemas. Lelaki di hadapannya ini adalah lelaki yang waktu itu ia temui saat bersama Rafka. Lelaki yang membisikkan kata-kata yang tak pernah ia tahu kepada suaminya. Dan waktu itu Rafka bilang jika lelaki ini tertarik kepadanya..Detik berikutnya Rania merasakan kepalanya berkunang-kunang, setelah itu ia tidak ingat apapun. “Rania, kamu kenapa?” Beruntung Alvin bergerak cepat dan langsung menangkap tubuh wanita itu agar tidak terjatuh di lantai. Beberapa waktu berlalu, Rania tersentak kaget saat mencium aroma yang menyengat. Ia kebingungan. Takut jika Alvin berbuat yang tidak-tidak kepadanya. “Hai, apa yang terjadi kepadamu?” tanya lelaki itu khawatir. “A–aku ada di mana?” tanya Rania memegangi
Gerry pun mengangguk paham. Ia segera keluar dari ruangan Alvin. Sementara Rania yang telah mencuri dengar, ikut penasaran apa yang dikatakan oleh asisten tadi. “Ada apa? Kamu menguping pembicaraan kami? Kamu tidak perlu khawatir, Rania. Kamu akan menemaniku saat pertemuan nanti. Sekarang lanjutkan pekerjaanmu. Jangan lupa bersihkan juga ruangan pribadiku. Pastikan keadaan wangi dan rapi.” Alvin kembali dengan pekerjaannya. Hari ini ia disibukkan dengan bertumpuk-tumpuk dokumen untuk ditandatangani secepatnya. “Kalau tak ada Rania, pasti sangat membosankan.” Alvin berucap lirih. Sesekali ekor matanya menangkap wajah lelah milik Rania. Tidak seharusnya wanita itu bekerja berat. Tentu Alvin tidak tega melihatnya. Tetapi hal itu ia manfaatkan agar bisa makan siang bersama dengan Rania. Beberapa jam telah berlalu. Rania merasa sangat lelah. Ia duduk di kursi dekat ranjang besar tempat ia tadi tengah pingsan. “Ruangannya sangat luas. Apakah di tempat Mas Rafka juga seperti ini ya? Aku
“Kamu mau ini?” Alvin segera memberikan makanan itu kepada Rania. “Kamu ini seperti orang yang lagi nyidam saja. Atau jangan-jangan kamu sedang hamil?” Seketika Rani terbatuk-batuk saat mendengar pertanyaan dari bosnya. “Rania, kamu ini kenapa? Minum dulu.” Alvin memberikan segelas air putih untuk Rania. “Terima kasih, Pak.” Setelah minum air putih, Rania jadi tidak berselera lagi untuk makan. Kemudian ia berdiri dari duduknya. “Kamu mau ke mana Rania?” tanya Alvin penasaran. “Mau ke toiler, Pak. Saya sudah kenyang.” “Ini makanannya masih banyak, Rania.” Alvin mengamati udang yang belum jadi tersentuh oleh Rania. CEO tampan itu geleng-geleng kepala. “Tadi katanya ....” Alvin menghentikan kalimatnya. Akhirnya ia menelepon Pak Rahmat dan mengajaknya untuk makan bersama. “Makan yang banyak, Pak Rahmat. Rania tidak mau. Katanya sudah kenyang.” “Terima kasih, Pak.” Sopir pribadi Alvin tersebut sangat senang. Dia memang belum makan sejak tadi.Alvin terdiam sejenak. Ia baru sadar j