Benarkah Rania merindukan Amar? Boleh nggak sih?
Rafka mempercepat langkah kakinya. Hatinya tetap menyimpan rasa cemburu meski dengan kakaknya sendiri yang telah meninggal dunia. “Aku harus memastikan sendiri jika Rania tidak seperti yang aku pikirkan.” Akhirnya lelaki tampan itu telah tiba di rooftop rumahnya. Pemandangan malam hari yang sangat indah. Tetapi tidak dengan perasaan Rafka sendiri. Meski capek ia tetap lebih merisaukan istrinya. “Sayang ...,” panggil Rafka bersemangat. Ia melihat sang istri sedang duduk berdua dengan Bi Murni. Sepertinya mereka sudah terlihat akrab dan nyaman untuk saling bercerita. Membuat Rafka merasa bersalah karena mengganggu aktivitas mereka dan sempat berpikir yang tidak-tidak kepada Rania. Mendengar namanya dipanggil, Rania segera menoleh ke araf Rafka dan berjalan menghampirinya. Wanita langsung menyunggingkan sebuah senyuman indahnya. “Mas Rafka sudang pulang? Biar aku siapkan air panas buat mandi, ya?” Rania berucap dengan lembut. “Makasih, Sayang.” Lelaki itu mengecup singkat kening ist
Mendengar pertanyaan dari Rafka justru membuat Rania semakin menangis kencang. Bahkan wanita itu tidak tahu mengapa hatinya bisa selemah itu. “Sayang ....” Rafka segera mengubah posisinya menjadi duduk. Kemudian berdiri dan berjalan memutari ranjang besar kamar itu. Ia merasa menyesal telah menyakiti perasaan istrinya. Rasa cemburunya kini berubah menjadi rasa khawatir yang sangat besar. Apalagi ia tahu jika Rania tengah hamil muda. Kedua tangan Rafka menangkup wajah sang istri lalu mengecup bibirnya dan melahapnya dengan rakus. Setelah Rania merasa tenang, Rafka menghentikan aktivitasnya. Lalu membawa tubuh sang istri ke dalam dekapan hangatnya. “Maafkan aku, Rania. Maafkan aku.” Rafka semakin memeluk Rania erat-erat. Seakan takut kehilangannya. Tetapi wanita itu justru mendorong tubuhnya karena merasakan sesak. “Sudah, Mas. Tubuhku sakit.” Rafka langsung merenggangkan pelukannya. “Ada apa, Sayang. Apanya yang sakit?” Rafka mengecek seluruh tubuh sang istri. Memastikan bahwa se
Lelaki itu segera pergi meninggalkan Rafka. Rania mendekati sang suami seraya bertanya, “Ada apa Mas? Siapa dia? Kenapa menatapku seperti itu?” Rafka memejamkan kedua matanya sejenak. “Sepertinya dia tertarik padamu, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan hal itu.” “Kalau begitu aku di rumah saja. Aku tidak mau kemana-mana lagi, Mas. Aku takut.” Lelaki tampan itu segera memeluk tubuh Rania. “Kamu tenang, ya? Aku akan selalu menjaga dan melindungimu.” Rania mengangguk. Ia merasa beruntung memiliki suami yang selalu siap sedia memasang badan untuknya. “Oh, ya. Tadi katanya ada yang mau ketemu?” Rania mencoba mengingatkan. Rafka lalu mengedarkan pandangannya. Jemarinya menunjuk ke arah seorang lelaki yang telah menunggu kedatangan mereka. “Itu dia di sana.” “Ayo, Mas.” Rania merangkul lengan sang suami kemudian segera mengajaknya menemui lelaki itu. Ia ingin urusannya cepat selesai dan segera pulang ke rumah. Rupanya lelaki itu adalah Fariz. Dan dia datang bersama Nina. Namu
Karena penasaran Rania segera membuka kedua matanya. Dan ia mendapati sang suami tengah menatapnya lekat-lekat. “Ada apasih, Mas?” tanya Rania merasa kesal. “Aku sedang mengagumi wajah cantik istriku.” Rafka mengatakan itu sambil membersihkan sisa make up pada wajah Rania. “Semenjak hamil kamu bertambah cantik, Sayang. Apalagi kalau tidak pakai make up sama sekali. Kamu sangat menggemaskan.” Rafka tersenyum bahagia. Jemarinya menari-nari di atas permukaan kulit bagian pipi sang istri dengan penuh kelembutan. “Mas Rafka pintar banget kalau ngegombal ya? Hati Rania jadi deg-degan nih. Mana boleh seperti itu?” protes Rania.“Hai, bidadariku. Siapa yang ngegombal sih? Aku berkata jujur. Rasanya ingin berbulan madu lagi denganmu. Bagaimana?” Rafka menarik-turunkan kedua alisnya. “Ingat, Mas. Di sini sudah ada calon buah hati kita. Kita juga harus mempersiapkan pernikahan Aluna. Apakah Mas Rafka tidak ingat?” Rafka menepuk keningnya pelan. “Astaga, aku hampir lupa. Kita juga harus mend
Rafka berpikir cukup lama. Hingga akhirnya terpaksa lelaki itu menganggukkan kepalanya. Baru setelah itu Rafka benar-benar keluar dari ruangan Nina. Sedangkan Nina pun baru mau diperiksa oleh dokter setelah mendapatkan sebuah anggukan dari seorang lelaki yang ia pikir adalah kekasihnya. Rafka hendak duduk di kursi tunggu, tetapi Fariz segera memberikan pertanyaan demi pertanyaan yang memenuhi otaknya. “Apa yang terjadi kepada Nina, Raf? Dia menganggapmu sebagai kekasih?” Fariz terlihat tidak percaya dengan apa yang didengar dan dilihatnya. Rafka menghembuskan nafas panjang sebelum ia menjawab pertanyaan dari sahabatnya. “Aku pun tidak tahu, Riz. Aku juga tidak percaya dengan semua ini.” Rafka mencoba mengingat-ingat sesuatu. Lalu ia memandangi Fariz kembali. “Apakah tadi kepalanya terbentur saat ditabrak mobil?” tanya Rafka kemudian. Fariz cukup terkejut mendengar pertanyaan dari Rafka. Lalu ia menjawab dengan yakin. “Kamu benar, Raf. Kepalanya terbentur dan berdarah. Apakah jan
Rafka mengusap lembut pipi Rania dengan ibu jarinya. “Jangan begitu, Sayang. Bagaimana nanti kalau ada orang lain yang dengar? Tolonglah ... aku mohon ... kita bicarakan di kamar ya?” Rania merasa trenyuh dengan kata-kata lembut suaminya. Lalu ia mengangguk pelan. “Baiklah, Mas. Maafkan Rania, ya? Tidak bisa menahan emosi.” Lelaki tampan itu tersenyum lalu menggenggam tangan istrinya. Membawanya naik ke atas tangga dengan perlahan-lahan. Setelah masuk ke dalam kamar, Rafka segera menutup pintu kamar itu. “Sekarang katakan, Mas. Kamu menemui perempuan lain?” tanya Rania penasaran. “Ya,” jawab Rafka singkat. “Jadi benar?” Rania mengerucutkan bibirnya. “Nina kecelakaan, Rania. Kepalanya terbentur hingga mengalami cedera .” Rania menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia cukup syok mendengar berita tersebut. “Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Rania semakin penasaran. Ia ikut merasa sedih mendengar sahabat dari suaminya kecelakaan. Meski malam itu
Pagi harinya Rania lebih banyak diam. Tidak ada keceriaan sama sekali pada wajahnya. Rafka menggeliatkan tubuhnya dengan malas. “Astaga, jam berapa ini? Aku harus meminta maaf kepada Rania.” Bahkan lelaki tampan itu lupa mengecas ponselnya sejak kemarin yang mati. Hingga dia tidak bisa menghubungi Rania. Tiba-tiba adalah kesalahpahaman dalam pengiriman barang. Rafka harus pergi ke luar kota bersama Nadia. Sementara Fariz tetap di kantor. Seharusnya CEO tampan itu menginap di hotel yang sudah disediakan. Tetapi ia menolak dan memillih untuk pulang ke rumah. Alhasil ia tiba di rumah larut malam. Sementara Nadia ia tinggalkan di hotel. Niatnya pagi ini ia meminta Fariz untuk menjemput sekretarisnya tersebut. Rafka segera bergegas untuk mandi dan memakai pakaiannya sendiri tanpa bantuan dari Rania. Lelaki itu turun ke bawah dengan perasaan yang serba salah. Ia harus menjelaskan sedetail-detailnya kepada sang istri tercinta. Rafka memamerkan sebuah senyuman manis ketika mendapati Rania
Di tempat yang tak jauh, Rosita tanpa sengaja melihat Rania yang mulai melewati pintu gerbang perusahaan besar itu. “Bukankah itu Rania? Untuk apa dia datang ke perusahaanya Alvin? Aku harus menanyakan hal ini kepada Rafka.” Sebenarnya Rosita ingin menemui keponakannya yang baru beberapa bulan ini pulang ke Indonesia dan menggantikan posisi papanya yang sudah tua serta sering sakit. Niat wanita paruh baya itu untuk meminjam uang demi kemajuan butiknya. Bahkan Rosita tidak berani mengganggu uang Rafka pribadi. Rosita menunda kepergiannya karena Alvin bilang sedang sibuk. Wanita paruh baya itu memilih untuk pergi ke supermarket. Ia ingin berbelanja kebutuhan bulanan sebelum menjemput Julio yang pulang sore. Sementara Rania tidak tahu jika ada mama mertuanya di sana. Ia segera masuk melalui pintu depan meski ragu-ragu. Entah kenapa perasaanya jadi tidak tenang saat itu. Akhirnya ia menanti di sebuah kursi tunggu bersama yang lainnya. “Ternyata banyak juga yang mengantri. Aku telah sa
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i