"Nin, di mana papamu? Apakah benar ini tempatnya?" tanya Rafka masih berusaha untuk bersikap tenang.Setelah mengambil uang sebagai tebusan, Rafka dan Nina bergegas menuju tempat yang sudah dijanjikan. Namun Rafka tidak mau gegabah. Ia takut ditipu mentah-mentah oleh Nina."Kita cari di lantai paling atas, Raf. Aku yakin tempatnya memang di sini."Rafka mengangguk sambil mempercepat langkahnya menuju roof top. Lelaki tampan itu baru sadar jika dia belum menghubungi Rania sama sekali.Sambil berjalan Rafka mengecek ponselnya. "Kenapa handphonenya mati? Bukankah tadi baterainya masih banyak?"Rafka melirik ke arah Nina. Tadi wanita itu sempat meminjam ponselnya. Ia jadi curiga dengan gerak-gerik sahabatnya itu. 'Jangan-jangan benar kata Fariz, dia mau menjebakku.'Rafka menghentikan langkahnya. Ia mencoba mengaktifkan kembali ponselnya. "Tunggu sebentar, Nin. Aku cek dulu handphone aku.""Raf, kita tidak punya banyak waktu." Nina tetap memaksa Rafka."Kamu jalan dulu. Aku akan menyusul
TARRR !Sebuah gelas jatuh di lantai karena Amar menyenggolnya. Padahal niatnya ingin minum."Mas Amar kenapa? Mau minum? Kenapa nggak kasih tahu Tisa sih?" tanya wanita itu merasa khawatir."Nin, Mama sudah pulang ya?" tanya Amar lemah."Iya, Mas. Katanya ada urusan di butiknya. Tante Rosita juga harus menjemput Julio di sekolahnya. Mungkin besok pagi Tante Rosita akan ke sini lagi.""Perasaanku tiba-tiba tidak enak, Sa. Aku takut terjadi apa-apa sama Rania.""Jadi Mas Amar beneran mau balikan sama Rania? Mas, aku tuh mencintai Mas apa adanya loh. Aku rela menjaga Mas seharian dan tidak pulang. Apakah Mas Amar tidak bisa melihat ketulusan di hatiku, Mas?" Wanita itu mendadak galau. Ternyata perhatian dan kepeduliannya selama ini hanya sia-sia saja.Amar segera menarik tangan Tisa. "Sa, maafkan aku jika telah menyinggung perasaanmu. Terima kasih ya, sudah mau menemani aku tanpa lelah.""Nah, gitu dong, Mas. Aku yakin jika Rania bakalan baik-baik saja. Sekarang aku ambilkan minuman dul
Sejak tadi memang Rania berusaha menyalakan handphonenya. Ia melarang Rafka untuk memperbaiki atau membawa benda itu ke konter.Dan setelah handphone itu menyala kembali, Rania segera memeriksa pemberitahuan yang masuk. Rupanya satu pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari Amar."Mas Amar menghubungiku semalam? Apakah dia mengkhawatirkan aku?" celoteh Rania seorang diri.Lagi-lagi Rania merasa bersalah dan hatinya merasa bimbang saat mengingat Amar yang sudah tiga tahun mendampinginya.Tok ! Tok ! Tok !Rania terkejut saat mendengar suara pintu kamarnya diketuk beberapa kali."Ran, kamu sudah siap? Sebaiknya kita segera sarapan. Aku sudah menyiapkannya untukmu," ucap Rafka dari balik pintu kamar.Lelaki itu sebenarnya khawatir kepada Rania karena tak kunjung keluar dari kamar sejak tadi. Sedangkan dirinya sudah selesai membuat menu sarapan yang spesial untuk kekasihnya."Iya, Raf. Tunggu sebentar. Lebih baik kamu duluan ke meja makan. Aku akan menyusulmu segera," balas Rania ber
Rosita kembali ke ruangan Amar. Ia sempat menangis di dalam toilet umum beberapa menit. Karena teringat Julio yang hanya seorang diri menjaga Amar, maka wanita paruh baya itu menyudahi kesedihannya."Aku tidak boleh lemah. Semua salah Rania. Bukan salahku."Julio menoleh cepat saat mendengar mamanya membuka pintu. Begitupun dengan Amar."Rania mana, Ma?" tanya Amar penasaran.Rosita menyuruh Julio duduk di kursi yang letaknya agak jauh dari mereka. Dan anak kecil itu menurut. Wanita paruh baya itu semakin mendekat ke arah putra pertamanya.""Dia sudah pergi," jawab Rosita datar."Apakah Mama mengusirnya? Amar ingin bicara sama Rania, Ma?" Lelaki itu terlihat gelisah. Ia masih merindukan kehadiran istrinya."Mama kecewa sama kamu, Amar. Kenapa kamu harus selingkuh di belakang Rania? Apa mau kamu, Amar?" cecar sang mama ingin tahu."Maafkan, Amar, Ma. Amar bisa hidup miskin. Amar sengaja memanfaatkan harta milik atasan Amar di kantor."Rosita geleng-geleng kepala. Ia tidak habis pikir d
Dengan semangat Tisa mengetuk pintu ruangan Amar. Kemudian masuk dan memperlihatkan senyuman termanisnya."Pagi Tante," sapanya kepada Rosita yang kini tengah memandanginya."Pagi, Tisa. Tante pikir kamu tidak datang hari ini," ucap Rosita.Tisa semakin berjalan mendekat. Sambil tersenyum ia berkata, "Mana mungkin Tisa nggak dateng Tante? Ini Tisa bawakan buah-buahan buat Mas Amar. Julio juga boleh makan yang banyak.""Terima kasih, ya? Kamu memang calon menantu idaman," ungkap Rosita sambil menepuk pelan pundak Tisa.Wanita itu tersenyum senang di dalam hatinya. Ia telah berhasil merebut hati calon mertua. Sebentar lagi pasti Amar juga akan jatuh di pelukannya."Tante bisa saja."Tisa melihat ke arah Amar. Lelaki itu hanya diam dan tak merespon apapun. Membuatnya sedikit kesal."Amar ... kamu kok diam saja sih? Ini Tisa sudah bela-belain datang ke sini demi kamu. Dia juga bawain buah-buahan. Tidak seperti Rania. Mengajak ngobrol kamu pun tidak. Istri macam apa dia?" Kepala Rosita mel
"Raf ...." Rania menahan pergelangan tangan Rafka saat lelaki itu hendak pergi. Ia semakin merasa bersalah terhadap kekasih barunya itu."Tidak apa-apa, Ran. Anggap saja sebagai permohonan maafku."Rafka bergegas pergi ke dapur. Sementara Rania duduk di sofa dan mengecek ponselnya. Ia menemukan “SW” Tisa yang memperlihatkan kedekatannya dengan Amar, Julio, dan Rosita. Sahabatnya tersebut menulis caption di bawah gambar itu. “Akan segera menjadi keluarga bahagia.”"Mereka?" Rania mengamati foto itu. "Apa maksud dari ucapan Tisa? Apakah mereka akan segera menikah?"Rania mencoba untuk tetap tersenyum. Sebenci itukah Rosita kepadanya? Hingga lebih mendukung anaknya dengan Tisa, sahabatnya sendiri? Padahal jelas-jelas Amar belum resmi bercerai dengannya.Wanita itu tidak ingin pusing-pusing memikirkan tentang Tisa. Sahabat satu-satunya yang sangat ia percayai ternyata menyukai suaminya. Rania menyesal karena tidak pernah sadar akan hal itu.Rania memilih untuk meletakkan ponselnya. Lalu i
"Em, Raf ... sudah malam. Sebaiknya kita segera istirahat." Rania berlari melalui tangga. Ia berteriak dengan lantang. "Aku mencintaimu, Raf." Rania mengatakannya sambil tersenyum malu. Wanita itu langsung masuk ke dalam kamarnya.Sementara Rafka masih terbengong-bengong di tempatnya."Ran, ini maskernya gimana? Apa harus dibawa tidur sampai pagi?" Rafka garuk-garuk kepala. Ia memandangi kopi dan coklat panas buatannya yang justru dianggurin oleh Rania.Terpaksa lelaki itu menghabiskannya seorang diri. Karena masih terjaga, Rafka memeriksa beberapa email yang masuk melalui ponselnya.Ada beberapa masalah yang terjadi di kantor. Fariz menghubungi melalui email tersebut."Ada apa lagi ini? Besok aku harus datang ke kantor."Rafka mulai berpikir keras. Mencari ide dan mengatur strategi baru untuk perusahaannya. Meski lelaki itu terbilang sukses dan punya segalanya, namun ia tidak mau menunda-nunda masalah kecil sekalipun. Bisa jadi masalah kecil itu akan berakibat fatal di kemudian hari
Rania merasa tidak asing dengan wajah seorang lelaki yang kini berjalan mendekatinya, namun ia lupa siapa namanya."Rania, kamu lupa denganku?" Lelaki itu menepuk pelan pundak Rania. Membuat wanita itu merasa risih."Ini aku, Ran. Riko ...." Lelaki itu meraih tangan Rania dan menyalaminya. "Aku teman Rafka saat SMA."Rania mulai mengingat-ingat lagi. Ia kemudian yakin jika Riko adalah salah satu teman Rafka yang dulu sering ikut mengerjai dia."Oh ... jadi kamu teman Rafka ya? Iya, aku baru ingat maaf ya?" Wanita itu berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Riko."Kamu di sini ngapain?" Riko memperhatikan Rania dari atas sampai bawah. "Kamu cantik banget ya sekarang. Berisi lagi."Rania terlihat malu. Ia tidak suka diperhatikan seperti itu. Wanita itu berusaha mengalihkan pandangannya."Pertanyaanku belum dijawab, Ran. Mau jemput siapa?" tanya Riko lagi."Mau jemput adik saya. Adik ipar.""Adik ipar?" Riko terlihat terkejut."Kamu sendiri sedang apa di sini?" Rania balik bertanya.