Dua surat lainnya menunjukkan tulisan tangan dan rangkaian kata dari seorang penyair berbeda aliran. Ian adalah salah satu pengirim surat itu dan pesan yang ia sampaikan tak begitu panjang. Hanya perihal keadaannya, panjat syukur, dan perkembangan sepatu pesanan Louis yang hampir selesai. Saat itu Louis berpikir ini akan menjadi bencana apabila ia tak mampu membayar setiap pasang sepatu Ian, dan tak mungkin juga ayahnya yang melunasi itu semua. Louis berpikir akan menulis surat pribadi kepada Anthony dan meminta bantuannya. Berharap ia bersedia.Satu lainnya sudah jelas datang dari Emma. Louis memang sudah membalas suratnya, begitu pula milik Ian, tapi surat Emma lah yang kata-katanya selalu ia tatap setiap pagi layaknya koran yang menyajikan berita epik setiap harinya. Ia bahkan hampir lupa jika pagi ini akan ada pelatihan di luar barak yang sangat melelahkan. Ia memulai pelatihan dengan mengenakan atribut lengkap sebelum masuk ke dalam formasi.Udara pagi menggembirakan milik Devon
Jauh sebelum surya menyapa dan sinarnya menyentuh tanah Wyverns, para prajurit telah mengangkat sepasang kaki mereka dari sana untuk berkendara sebelum fajar. Dua mobil kesatuan telah dipenuhi para prajurit sedangkan jalanan yang mereka lalui, sudah tak dikenali. Beberapa tanda yang berdiri di pinggiran jalan bahkan tak lagi mereka perhatikan tulisannya. Lebih dari separuh orang dalam pasukan menguap. Meski demikian, tujuan sudah dekat dan mereka harus tetap terjaga.Sebuah tanda bertuliskan Derbyshire baru saja mereka lewati. Dengan demikian senyuman bisa mulai dikembangkan karena pesta massa akan segera menyambut mereka. Kedengarannya terlalu berlebihan apabila dikatakan sepagi ini—bahkan ketika surya baru saja mengintip dari cakrawala—tetapi antisipasi perlu karena dua kota menjadi taruhannya.Satu persatu prajurit Wyverns turun dari mobil kesatuan mereka untuk menuju markas lainnya di Derby. Dengan bimbingan seseorang yang tak dipanggil Komandan Armitage, mereka menuju lorong untu
Mereka telah menyaksikan datangnya musim semi di Wyverns dan bagaimana waktu bergulir secepar pasir di dalam sangkarnya. Angin kini menerbangkan semua rasa sakit yang sempat tinggal dan air menenggelamkan diri lama mereka. Mereka ingat bagaimana musim dingin tahun-tahun sebelumnya didedikasikan untuk orang-orang tercinta dan kali ini tampak berbeda. Hembusan terakhir yang mengeluarkan uap dan bergulat dengan hawa dingin musim ini, telah menggeser waktu lainnya sehingga musim baru menyambut. Musim di mana kehidupan tak akan sama lagi sedangkan kedewasaan dan ketangguhan merengkuh mereka kuat.Meskipun demikian, kedewasaan dan ketangguhan tak bisa menyingkirkan rasa sakit di pergelangan kaki Louis. Setidaknya, keduanya adalah sosok lainnya yang menatapnya tumbuh.Seorang tenaga medis baru saja menekan pergelengan kaki kanan Louis sedangkan pria itu menutup kedua tirai jendelanya sehingga penghilatan pun menjadi gelap sesaat. "Apakah itu sakit?" tanya pria itu dan Louis terdiam sekilas s
Semua pria disibukkan oleh pekerjaan mereka. Memindahkan beberapa karung berisi tanah atau pasir yang harus ditumpuk sebagai perlindungan. Tampaknya mereka terburu-buru mengingat seorang pria yang sama seperti dua tahunlalu—tapi dalam balutan seragam yang berbeda—belum memalingkan pandangan dari arloji di genggamannya. Sedangkan beberapa topi di kepala pria-pria itu terjatuh dan terpaksa harus diambil dalam kegentingan atau ditinggalkan demi ketaatan. Meski demikian, bukan berarti senyuman harus ditanggalkan. Buktinya, Fitzgerald tampak menikmati latihan hari ini. Mungkin karena dorongan beberapa pengumuman di minggu lampau.Ketika karung-karung itu sudah disusun dengan baik dan cukup tinggi untuk melindungi beberapa pria di baliknya, Lachance berkata, "Tunggu aba-aba. Jangan menyerang." Dengan begitu semua pria di bawah komandonya mengangguk dan mengeratkan genggaman senapan mereka. Pertarungan belum dimulai, tapi tampang mereka sudah senada dengan alam. Hanya ada satu jawaban di bal
Semuanya terasa sunyi saat itu. Seolah waktu dihentikan dan tak seorang pun mendentangkan pita suara mereka untuk menyapa. Matahari yang hampir ditelan cakrawala pun, tampak masih bergantung di sana tak ingin segera menghilang—berharap ia tahu kebenaran dari kabar yang dilontarkan lidah Pete. Jikalau ada satu hal yang saat ini berdetak dalam sudut pandang Louis, maka itulah tangannya yang menggenggam gagang telepon.Suara Pete dapat Louis dengar kembali setelah kelumpuhan indranya untuk sesaat. Isakannya terdengar nyata bukan drama. Namun, Louis tak ingin memercayai itu dan tangan yang bebas dari gagang telepon mulai terkepal kencang."Katakan ini tak nyata, Pete," ucap Louis berusaha menampar berita yang tak ingin didengarnya tapi Pete segera menghentikan isakannya dan menjawab, "Apa aku terdengar berbohong atau memainkan sebuah drama, Louie?!" Ia bahkan tenggelam dalam emosi yang begitu dalam sehingga minornya agak membentak.Sepasang manik biru Louis berlinang seketika meskipun tak
Pagi itu, ketika kedai milik keluarga Kennedy belum membuka tirainya, seseorang dalam balutan mantel yang sedikit kotor mengetuk pintu kediaman mereka. Tak ada jawaban pada ketukan pertama sedangkan pria ini telah kehabisan kesabarannya. Ia mengetuk pintu itu sekali lagi. Namun, tak seorang pun meresponnya. Ia hampir mengetuk pintu itu untuk yang ketiga kalinya, beruntung, sebelum itu terjadi, seseorang telah menarik knop pintunya sehingga ia bisa menatap tamu pagi harinya."Apakah Pete ada di rumah?" tanyanya tapi seorang gadis di hadapannya masih terdiam—agak terkejut. "Sybil?" panggilnya dan gadis itu pun menggelengkan kepala sekilas."Ah y-ya. P-Pete ada di d-dalam. Mas-suklah, Lou-Louie." Namun, Louis menggeleng. Bahkan ketika Sybil melebarkan pintunya agar ia bisa melenggang. "Aku tunggu di sini saja. Tolong panggilkan dia." Gadis itu mengangguk. Tanpa menutup pintu, ia menghilang dari pandangan Louis.Tak berselang lama setelah kepergian Sybil, sepasang mata Louis dikejutkan Pe
Dedaunan di dekat jendela yang terbuka mulai bergoyang sedangkan angin mengambil alih ketenangan yang sepasang sahabat ciptakan. Kacamata baca Nyonya Bache agak melorot ketika membalik halaman baca pada bukunya. Pete kembali mengurangi isi cangkirnya sebelum berkata, "Kau mau menelepon Emma, Lou?" Kepala Louis yang tertunduk, terangkat seketika sehingga dua pasang mata itu bertemu. "Kau mau menelepon Emma?"Untuk seperkian detik, Louis terdiam. Detik selanjutnya ia mengangguk ragu seraya menjawab, "Y-ya. Tentu." Kemudian bangkit dari kursinya menuju meja Nyonya Bache yang tak jauh dari sana.Nyonya Bache melirik keberadaan Louis dari balik kacamata bacanya yang agak berdebu. Ia bangkit kemudian setelah menutup bukunya. Bunyi debam yang dihasilkan dari tabrakan sekian halaman buku menyemburkan debu-debu yang terselip di dalamnya."Anda keberatan jika saya pinjam teleponnya?" Nyonya Bache menggeleng seketika. Telunjuk ringkihnya baru saja menyentil ujung kelopak matanya setelah keduanya
Ketiga pasang bola mata mereka masih membulat. Terlebih ketika pria itu tak menampakkan seutas keramahan pun seperti biasanya. Mereka tahu, salah satu dari ketiganya akan dalam masalah dan Louis sempat berbisik, "Apa kau mengatakannya?" Namun, Emma menggeleng.Sialnya pria itu mendengar bisikan Louis sehingga ia menjawab, "Tak seorang pun mengatakan kau di sini. Pulang denganku sekarang." Nada bicaranya bahkan tak terdengar ramah. Kepribadian pria ini seolah diambil alih dirinya yang lain."Tapi, Pap. Aku harus mengantar Emma," jawab Louis tapi Richard tak peduli dengan itu. "Aku yakin Tuan Kennedy tak keberatan mengantar Nona Harrel ke sekolah, bukan begitu?"Pete yang sejak tadi terdiam seketika menjawab, "T-tentu, Tuan Wistletone. Saya tak keberatan mengantar Nona Harrel."Richard mengangguk sekilas. "Terima kasih, Tuan Kennedy," ucapnya sehingga Pete membalas sama-sama. Berikutnya, ia dengan tegas berkata, "Masuk ke dalam mobil sekarang, Louis."Louis mengangguk ragu lalu ia memel