Semuanya terasa sunyi saat itu. Seolah waktu dihentikan dan tak seorang pun mendentangkan pita suara mereka untuk menyapa. Matahari yang hampir ditelan cakrawala pun, tampak masih bergantung di sana tak ingin segera menghilang—berharap ia tahu kebenaran dari kabar yang dilontarkan lidah Pete. Jikalau ada satu hal yang saat ini berdetak dalam sudut pandang Louis, maka itulah tangannya yang menggenggam gagang telepon.Suara Pete dapat Louis dengar kembali setelah kelumpuhan indranya untuk sesaat. Isakannya terdengar nyata bukan drama. Namun, Louis tak ingin memercayai itu dan tangan yang bebas dari gagang telepon mulai terkepal kencang."Katakan ini tak nyata, Pete," ucap Louis berusaha menampar berita yang tak ingin didengarnya tapi Pete segera menghentikan isakannya dan menjawab, "Apa aku terdengar berbohong atau memainkan sebuah drama, Louie?!" Ia bahkan tenggelam dalam emosi yang begitu dalam sehingga minornya agak membentak.Sepasang manik biru Louis berlinang seketika meskipun tak
Pagi itu, ketika kedai milik keluarga Kennedy belum membuka tirainya, seseorang dalam balutan mantel yang sedikit kotor mengetuk pintu kediaman mereka. Tak ada jawaban pada ketukan pertama sedangkan pria ini telah kehabisan kesabarannya. Ia mengetuk pintu itu sekali lagi. Namun, tak seorang pun meresponnya. Ia hampir mengetuk pintu itu untuk yang ketiga kalinya, beruntung, sebelum itu terjadi, seseorang telah menarik knop pintunya sehingga ia bisa menatap tamu pagi harinya."Apakah Pete ada di rumah?" tanyanya tapi seorang gadis di hadapannya masih terdiam—agak terkejut. "Sybil?" panggilnya dan gadis itu pun menggelengkan kepala sekilas."Ah y-ya. P-Pete ada di d-dalam. Mas-suklah, Lou-Louie." Namun, Louis menggeleng. Bahkan ketika Sybil melebarkan pintunya agar ia bisa melenggang. "Aku tunggu di sini saja. Tolong panggilkan dia." Gadis itu mengangguk. Tanpa menutup pintu, ia menghilang dari pandangan Louis.Tak berselang lama setelah kepergian Sybil, sepasang mata Louis dikejutkan Pe
Dedaunan di dekat jendela yang terbuka mulai bergoyang sedangkan angin mengambil alih ketenangan yang sepasang sahabat ciptakan. Kacamata baca Nyonya Bache agak melorot ketika membalik halaman baca pada bukunya. Pete kembali mengurangi isi cangkirnya sebelum berkata, "Kau mau menelepon Emma, Lou?" Kepala Louis yang tertunduk, terangkat seketika sehingga dua pasang mata itu bertemu. "Kau mau menelepon Emma?"Untuk seperkian detik, Louis terdiam. Detik selanjutnya ia mengangguk ragu seraya menjawab, "Y-ya. Tentu." Kemudian bangkit dari kursinya menuju meja Nyonya Bache yang tak jauh dari sana.Nyonya Bache melirik keberadaan Louis dari balik kacamata bacanya yang agak berdebu. Ia bangkit kemudian setelah menutup bukunya. Bunyi debam yang dihasilkan dari tabrakan sekian halaman buku menyemburkan debu-debu yang terselip di dalamnya."Anda keberatan jika saya pinjam teleponnya?" Nyonya Bache menggeleng seketika. Telunjuk ringkihnya baru saja menyentil ujung kelopak matanya setelah keduanya
Ketiga pasang bola mata mereka masih membulat. Terlebih ketika pria itu tak menampakkan seutas keramahan pun seperti biasanya. Mereka tahu, salah satu dari ketiganya akan dalam masalah dan Louis sempat berbisik, "Apa kau mengatakannya?" Namun, Emma menggeleng.Sialnya pria itu mendengar bisikan Louis sehingga ia menjawab, "Tak seorang pun mengatakan kau di sini. Pulang denganku sekarang." Nada bicaranya bahkan tak terdengar ramah. Kepribadian pria ini seolah diambil alih dirinya yang lain."Tapi, Pap. Aku harus mengantar Emma," jawab Louis tapi Richard tak peduli dengan itu. "Aku yakin Tuan Kennedy tak keberatan mengantar Nona Harrel ke sekolah, bukan begitu?"Pete yang sejak tadi terdiam seketika menjawab, "T-tentu, Tuan Wistletone. Saya tak keberatan mengantar Nona Harrel."Richard mengangguk sekilas. "Terima kasih, Tuan Kennedy," ucapnya sehingga Pete membalas sama-sama. Berikutnya, ia dengan tegas berkata, "Masuk ke dalam mobil sekarang, Louis."Louis mengangguk ragu lalu ia memel
Louis melewatkan makan malam dan memutuskan untuk menghadiri makan malamnya sendiri di kamar. Menu makan malamnya ditinggalkan di depan pintu kamarnya. Maka, setelah hidangannya habis, di sana pula ia meletakkannya.Sementara Louis mengubur keberadaannya malam itu, Anthony kembali dari sekolah begitu pula Virginia yang telah selesai bergelut dengan kuliahnya. Di meja makan, mereka meresume kejadian siang tadi di jalan setapak kediaman Wistletone. Anthony berulang kali menahan tawanya ketika Virginia merasa khawatir dan berpikir harus bicara dengan Louis. Otak Celestine masih memutar kejadian siang tadi ketika Louis membentaknya sedangkan Richard sudah tak tampak kesetanan. Dirinya yang murni telah kembali dan ia menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi siang tadi.Sungguh, Louis tak keberatan dengan semua tanggapan keluarganya mengenai kejadian siang tadi. Namun, ada satu hal yang membuatnya tak kunjung meninggalkan kamar. Itulah perencanaan permintaan maaf kepada Richard yang belum
Ketika jemari Virginia hampir mengetuk pintu kamar Louis, pria itu sudah keluar lebih dulu dengan seragam rapihnya seolah sungguh siap untuk kembali ke Wyverns sekarang. Gadis itu menatap Louis ketika senyumannya belum luntur, maka Louis menatapnya dengan wajah secerah mentari pagi ini. Kemudian ia mendorong lengannya mencapai leher Louis dan melilitkannya di sana sementara perlahan lengan Louis melilit tubuhnya. Virginia belum menarik diri. Saat itulah bibirnya mengatakan, "Aku akan wisuda pada akhir musim ini."Kedua sudut bibir Louis tertarik menuju angkasa. Hampir menyamai tingginya mentari pagi ini. "Selamat. Kau sudah bekerja keras. Tapi maaf, aku tak bisa datang ke wisudamu." Saat itulah Virginia menemukan alasan untuk menarik dirinya menjauh meskipun senyuman belum luntur. "Aku sungguh ingin datang, Virgie. Tapi kau tahu aku tak bisa.""Tak masalah, Lou. Setidaknya, dengan mengatakan ini secara langsung padamu saja aku sudah kelewat senang." Louis tahu ia tak berbohong. Garis
Dua minggu adalah waktu yang terlalu singkat bagi Louis untuk mengusir setiap nyeri di wajahnya. Setelah hukuman yang memberikan bengkak serius pada fisik dan mentalnya, Louis harus bersusah payah menuju ruang kesehatan meskipun tubuhnya kembali terkapar di tengah jalan. Beruntung saat itu Russel melaluinya sehingga ia tak harus berjuang sendiri menuju ruang kesehatan.Hari berikutnya tak bisa diacuhkan pelatihan meskipun rasa sakit meronta tak karuan. Bengkak di wajah Louis tampak begitu jelas di bawah siraman sinar sang surya. Sayang sekali setiap pelatihan tak bisa ia ikuti dengan maksimal. Bengkak di sekitar mata mengacaukan penglihatannya. Beruntung saja Komandan Armitage tak memberikan hukuman untuk ketidak sempurnaan latihan Louis selama ini.Namun, masa-masa sakit itu sudah berlalu. Meskipun masih ada sisa rasa sakit yang tampak di wajah Louis, tubuhnya saat ini terbalut pakaian tentara lengkap dengan rompi dan senjata. Ia baru saja turun dari mobil kesatuan setelah mengarungi
Sementara sepasang senapan digenggam begitu erat oleh Louis dan Russel, dua pria di belakang mereka telah meluncurkan peluru pistol berulang kali di sepanjang komplek sepi wilayah Katolik. Beberapa pasang netra yang menyaksikan aksi kejar-kejaran itu melalui jendela kediaman mereka, hanya mampu mengerutkan dahi selagi hati menggumamkan doa agar masa-masa kelam ini segera berlalu.Tangan kanan Louis terangkat menutupi tengkorak belakang yang mana membuat topinya terjatuh di jalanan. Russel ingin segera mengutarakan kata-kata yang terjebak di kerongkongannya, tapi lesatan peluru dari pistol salah satu pria justru menabrak kakinya sehingga pria itu tersungkur.Louis terdiam di tempatnya berdiri. Kedua netra kembali disinggahi sungai. Namun, tangannya masih cukup kuat untuk membantu Russel bangkit sementara kedua pria di belakangnya semakin mendekat sehingga Louis hanya mampu berkata, "Maafkan aku, Russel," sebelum bangkit dan meninggalkan Russel yang melolong meminta belas kasih Louis un
Dua bulan semenjak pertemuannya dengan Dan Nordstrom, dia masih belum menemukan jawaban. Sebuah kotak—sama persis dengan milik Louis Wistletone ketika ia masih menjadi kepala sekolah di sana—berdiri di sudut meja yang sama. Kebenaran dan kebohongan ada di dalamnya. Apabila Pete mencoba memilih mana yang harus dikatakan lebih dulu, ia tak tahu. Keduanya harus dikatakan bersamaan. Sehingga sore ini ia memilih untuk pulang, kendati tinggal di asrama Wistletone’s School seperti beberapa hari sebelumnya.Jikalau kotak itu milik Louis yang diwariskan untuknya, maka ia memiliki benda untuk diwariskan pula nantinya; sebuah jurnal. Mungkin terdengar tak menyenangkan, tapi sama seperti kotak Louis dengan rahasia di dalamnya, ia juga memiliki beberapa di dalam jurnal itu. Yang Pete butuhkan hanyalah seseorang untuk dipercaya menjaga rahasia dalam jurnal dia.Ia baru saja menuruni beberapa anak tangga ketika kotak itu nyaris lolos dari dekapannya sebab sepasang anak laki-laki berumur 14 tahunan b
The Teahouse tampak berbeda di abad kedua puluh satu. Tidak, bukan karena pelayannya telah digantikan robot semenjak Nyonya Bache pergi. Tidak juga karena interior antiknya berubah mengusung gaya Inggris modern. Mereka tetap serupa, tapi di bawah naungan atmosfer yang berbeda. Bahkan tempat ini sekarang menyajikan kopi semenjak kebudayaan mengonsumsi kopi tak lagi asing di lidah masyarakat Inggris. Tempat ini pun memiliki tambahan & Cafè setelah kata Teahouse dan mereka menghapus awalan The. Meskipun demikian, pria dengan koper persegi panjang di lantai tak pernah mengubah selera tehnya meski kopi mulai menjajaki daftar terfavorit.Pria itu kini memandang beberapa lembar kertas di dalam sebuah stopmap selagi menanti teh pesanannya tiba untuk dicicipi. Ketika ia selesai menumpuk rapi semua kertas dan memasukkannya kembali ke dalam koper, sebuah jurnal dari dalam sana mengganti posisi si stopmap. Tangan menarikan pena itu untuk menulis 28 April 2010. Tak ada perubahan. Masih aku. Masih
Ketika halaman Wistletone's School tampak senyap sebab semua orang disibukkan dengan pembelajaran, sepasang anak laki-laki justru mengendap-endap menuju sisi lain lapangan utama Wistletone's untuk sebuah aksi. Salah satu dari mereka tampak ketakutan dan hampir mengurungkan aksi yang terencana, tapi satunya lagi justru tampak bersemangat dan berkata, "Jangan khawatir, Alexis. Ini akan menyenangkan! Aku berani jamin!" Ia pun mendorong diri lebih jauh menuju objek incarannya."Tapi kita bisa terlibat masalah, Knox! Aku tak ingin dimarahi ayah lagi."Teman sebayanya pun segera melambaikan tangan di udara. "Jangan pedulikan. Ikuti saja perintahku untuk lari setelah ini, maka kau akan selamat dari kejaran bapa."Meski Alexis tampak ingin melontarkan patah kata lainnya, si anak bernama Knox sudah dulu memegangi sebuah tali yang cukup tebal.Kini, Alexis pun terpaksa menggenggam tali itu dan keduanya menghitung dengan cekikikan—atau justru hanya Knox yang tampak bersemangat. "Satu, dua, tiga!
Semalam, awan menangis hebat untuk alasan yang tak pasti. Sehingga pagi ini, dedaunan masih berkeringat dingin menanti sang surya membasuh peluh itu. Atmosfer pun mendingin meski sinar surya berhasil menembus kumpulan awan tipis yang menjulurkan leher mereka untuk mengintip kehidupan di Newcastle pada awal musim gugur, tepatnya pada tanggal sembilan september seribu sembilan ratus delapah puluh sembilan.Seorang pria yang telah mengenakan kemeja dengan balutan vest pun masih berdiri di hadapan kaca selagi gigi saling bergulat menghancurkan secuil roti di dalam mulut. Ia menarik sebuah sisir dari tempatnya untuk merapikan tatanan rambut yang sudah sempurna. Bahkan pagi ini, ia baru saja membersihkan kumis dan berewok seolah sungguh bersiap untuk sebuah pertemuan istimewa.Begitu suara ketukan pintu terdengar, ia segera meletakkan sisirnya dan meneguk habis teh dalam cangkir. Ditariklah gagang pintu itu menampakkan seorang pria dengan sebuket bunga besar yang tampak segar. Ia pun puas m
Sang surya terus didorong rotasi bumi menuju cakrawala yang masih jauh di seberang sana. Sementara itu, Ruenna sendiri baru saja melambaikan tangan setelah mengucapkan terima kasih sehingga Anthony bisa melanjutkan perjalanannya menuju Grainger Town yang diramaikan beberapa pelayat pula untuk jamuan.Puluhan topik melilit percakapan antara dua orang bahkan lebih ketika Louis mendorong diri mengisi salah satu ruang di ruang tamunya. Beberapa hidangan pun tampak mulai dicicipi lidah-lidah para pelayat yang sempat menunjukkan simpati mereka kepada Louis. Pria itu hanya mengangguk, tapi tak tertarik untuk melibatkan diri pada topik yang mereka tawarkan. Sebagai gantinya, ia mencoba menemukan Sylvia yang masih bersama Virginia di perpustakaan sejak ia menuju Jesmond.Ia menyadari bahwa Judith Hope baru saja mendorong diri meninggalkan perpustakaan dengan nampan di tangan. Ketika ia mencoba mengacuhkan wanita itu, ia justru mengelus bahu Louis sekilas selagi netra mencoba memberikan kekuata
Ketika para pelayat mulai berdatangan dan ibadah penghiburan terlalui sudah, peti Emma kembali mengisi ruang di perut ambulan menuju tempat di mana jutaan kisah tinggal. Kali ini Louis ada di sisinya tanpa Sylvia yang kemungkinan berada di bawah asuhan Virginia. Sementara seberhenti ambulan itu tepat di hadapan gerbang berkarat setinggi perut milik pemakaman Jesmond, beberapa orang sudah mendahului Louis mengisi ruang di beberapa sisi lubang galian untuk peti Emma.Pintu ambulan yang terbuka membuat Richard bertatapan dengan emosi Louis yang baru saja menetes tanpa disadari. Pria itu pun menarik napas perlahan sebelum melarikan tangan untuk menggenggam tangan putranya. ❝Whose heart plowing an ungainly perpetually, will never find an undaunted space.❞Namun, ucapan itu membuat Louis menggelengkan kepala sehingga tetesan emosi lainnya luruh sudah. "Jangan memberiku nasihat yang tak bisa dipraktikan, Pap. Aku sudah menyinggung soal kehidupan kita yang berbeda. Semua ini tak akan mudah un
Ketika rembulan belum bersedia ditelan cakrawala, tak ada satu hal pun yang mampu menyelamatkannya dari duka. Bahkan memori kebohongan semalam pun sempat terganti begitu beberapa orang melenggang masuk ke dalam kamarnya hanya untuk membawa Emma pergi dari belenggu kehidupan yang ingin ditinggalkan.Orang-orang dari rumah sakit segera mengevakuasi tubuh tak tersentuh kehidupan itu beberapa jam setelah semua sandiwara Louis terlaksana. Hal itu pula yang menyebabkan beberapa orang dari rumah sakit tak menyimpan banyak tanda tanya di kepala begitu melihat wajah Colin Marlowe.Tampaknya skenario kebohongan Louis yang terencana disetujui oleh Tuhan seolah Tuhan pun ingin menyelamatkan nasib Louis kali ini yang terikat nama keluarga dan latar belakang Sylvia—Joan Creveld. Namun, semua skenario yang telah ditulis tak sama sekali membantu Louis menerima takdir ketika kakinya menginjak lantai rumah sakit untuk menyaksikan betapa kering tubuh Emma seperti harapan si wanita. Ia merasa bersalah se
Sepasang iris Louis berdetak menyaksikan seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun mendorong kaki itu cepat menuju seorang wanita yang terbaring lemah di atas ubin yang sangat terawat. Begitu si wanita sudah dalam jangkauan, diangkatlah kepala itu mencoba membawanya kembali ke kehidupan. Tubuh pun sempat diguncang berkali-kali sementara jantung Louis sudah diramaikan ketakutan."Emma!" pekiknya cukup keras selagi tangan menampar pelan pipinya. Namun, wanita itu tak membuka netra. Tubuhnya pun tampak tak bergerak sama sekali. Meski itu gerakan alamiah untuk menunjukkan bekerjanya pernapasan pun, hal itu tak mampu Louis lihat. Sementara sepanjang pipi hingga dagu menampakkan jejak tangisan yang kentara sekali belum sempat dihapus.Ketika Louis mendorong telunjuk mencoba menemukan deru napas meluncur dari lubang hidungnya, hal itu tak dapat dirasakan. Digeletakkan lagi wanita itu di atas ubin, denyut nadi maupun jantung tak lagi bergejolak seolah tubuh itu sudah kehilangan segala
Beberapa momen tercipta sangatlah serupa dengan ekspetasi. Beberapa lagi tercipta lebih baik dari garis rata-rata ekspetasi. Namun, kali ini, momen tak begitu menyenangkan kembali menghampiri akibat waktu yang selalu merespons layaknya gazelle di balik semak-semak. Mereka berlarian begitu cepat untuk mengubah jam menjadi hari. Akibat ulah si waktu yang kelewat cepat untuk sebuah hal fana, sepasang kekasih yang telah mencicipi berbagai rasa kehidupan kembali disaksikan stasiun serupa.Mungkin beberapa hal tampak sama di netra Louis. Namun, selalu ada hal berbeda yang disuguhkan untuknya setiap kali kata perpisahan mengantarkan ke area stasiun bersama setelan jasnya. Bibir masih terkatup ketika tangan itu bertengger di sisi wajah Emma sementara Sylvia ada di gendongan Alma. Gigi gerahamnya bertemu menciptakan bunyi ting yang sangatlah pelan guna menghapus keraguan."Aku tak akan pergi untuk selamanya. Jangan berikan aku kejutan, Emma. Ketika aku pulang, tak ada lagi kesengsaraan yang ka