Semua pria disibukkan oleh pekerjaan mereka. Memindahkan beberapa karung berisi tanah atau pasir yang harus ditumpuk sebagai perlindungan. Tampaknya mereka terburu-buru mengingat seorang pria yang sama seperti dua tahunlalu—tapi dalam balutan seragam yang berbeda—belum memalingkan pandangan dari arloji di genggamannya. Sedangkan beberapa topi di kepala pria-pria itu terjatuh dan terpaksa harus diambil dalam kegentingan atau ditinggalkan demi ketaatan. Meski demikian, bukan berarti senyuman harus ditanggalkan. Buktinya, Fitzgerald tampak menikmati latihan hari ini. Mungkin karena dorongan beberapa pengumuman di minggu lampau.Ketika karung-karung itu sudah disusun dengan baik dan cukup tinggi untuk melindungi beberapa pria di baliknya, Lachance berkata, "Tunggu aba-aba. Jangan menyerang." Dengan begitu semua pria di bawah komandonya mengangguk dan mengeratkan genggaman senapan mereka. Pertarungan belum dimulai, tapi tampang mereka sudah senada dengan alam. Hanya ada satu jawaban di bal
Semuanya terasa sunyi saat itu. Seolah waktu dihentikan dan tak seorang pun mendentangkan pita suara mereka untuk menyapa. Matahari yang hampir ditelan cakrawala pun, tampak masih bergantung di sana tak ingin segera menghilang—berharap ia tahu kebenaran dari kabar yang dilontarkan lidah Pete. Jikalau ada satu hal yang saat ini berdetak dalam sudut pandang Louis, maka itulah tangannya yang menggenggam gagang telepon.Suara Pete dapat Louis dengar kembali setelah kelumpuhan indranya untuk sesaat. Isakannya terdengar nyata bukan drama. Namun, Louis tak ingin memercayai itu dan tangan yang bebas dari gagang telepon mulai terkepal kencang."Katakan ini tak nyata, Pete," ucap Louis berusaha menampar berita yang tak ingin didengarnya tapi Pete segera menghentikan isakannya dan menjawab, "Apa aku terdengar berbohong atau memainkan sebuah drama, Louie?!" Ia bahkan tenggelam dalam emosi yang begitu dalam sehingga minornya agak membentak.Sepasang manik biru Louis berlinang seketika meskipun tak
Pagi itu, ketika kedai milik keluarga Kennedy belum membuka tirainya, seseorang dalam balutan mantel yang sedikit kotor mengetuk pintu kediaman mereka. Tak ada jawaban pada ketukan pertama sedangkan pria ini telah kehabisan kesabarannya. Ia mengetuk pintu itu sekali lagi. Namun, tak seorang pun meresponnya. Ia hampir mengetuk pintu itu untuk yang ketiga kalinya, beruntung, sebelum itu terjadi, seseorang telah menarik knop pintunya sehingga ia bisa menatap tamu pagi harinya."Apakah Pete ada di rumah?" tanyanya tapi seorang gadis di hadapannya masih terdiam—agak terkejut. "Sybil?" panggilnya dan gadis itu pun menggelengkan kepala sekilas."Ah y-ya. P-Pete ada di d-dalam. Mas-suklah, Lou-Louie." Namun, Louis menggeleng. Bahkan ketika Sybil melebarkan pintunya agar ia bisa melenggang. "Aku tunggu di sini saja. Tolong panggilkan dia." Gadis itu mengangguk. Tanpa menutup pintu, ia menghilang dari pandangan Louis.Tak berselang lama setelah kepergian Sybil, sepasang mata Louis dikejutkan Pe
Dedaunan di dekat jendela yang terbuka mulai bergoyang sedangkan angin mengambil alih ketenangan yang sepasang sahabat ciptakan. Kacamata baca Nyonya Bache agak melorot ketika membalik halaman baca pada bukunya. Pete kembali mengurangi isi cangkirnya sebelum berkata, "Kau mau menelepon Emma, Lou?" Kepala Louis yang tertunduk, terangkat seketika sehingga dua pasang mata itu bertemu. "Kau mau menelepon Emma?"Untuk seperkian detik, Louis terdiam. Detik selanjutnya ia mengangguk ragu seraya menjawab, "Y-ya. Tentu." Kemudian bangkit dari kursinya menuju meja Nyonya Bache yang tak jauh dari sana.Nyonya Bache melirik keberadaan Louis dari balik kacamata bacanya yang agak berdebu. Ia bangkit kemudian setelah menutup bukunya. Bunyi debam yang dihasilkan dari tabrakan sekian halaman buku menyemburkan debu-debu yang terselip di dalamnya."Anda keberatan jika saya pinjam teleponnya?" Nyonya Bache menggeleng seketika. Telunjuk ringkihnya baru saja menyentil ujung kelopak matanya setelah keduanya
Ketiga pasang bola mata mereka masih membulat. Terlebih ketika pria itu tak menampakkan seutas keramahan pun seperti biasanya. Mereka tahu, salah satu dari ketiganya akan dalam masalah dan Louis sempat berbisik, "Apa kau mengatakannya?" Namun, Emma menggeleng.Sialnya pria itu mendengar bisikan Louis sehingga ia menjawab, "Tak seorang pun mengatakan kau di sini. Pulang denganku sekarang." Nada bicaranya bahkan tak terdengar ramah. Kepribadian pria ini seolah diambil alih dirinya yang lain."Tapi, Pap. Aku harus mengantar Emma," jawab Louis tapi Richard tak peduli dengan itu. "Aku yakin Tuan Kennedy tak keberatan mengantar Nona Harrel ke sekolah, bukan begitu?"Pete yang sejak tadi terdiam seketika menjawab, "T-tentu, Tuan Wistletone. Saya tak keberatan mengantar Nona Harrel."Richard mengangguk sekilas. "Terima kasih, Tuan Kennedy," ucapnya sehingga Pete membalas sama-sama. Berikutnya, ia dengan tegas berkata, "Masuk ke dalam mobil sekarang, Louis."Louis mengangguk ragu lalu ia memel
Louis melewatkan makan malam dan memutuskan untuk menghadiri makan malamnya sendiri di kamar. Menu makan malamnya ditinggalkan di depan pintu kamarnya. Maka, setelah hidangannya habis, di sana pula ia meletakkannya.Sementara Louis mengubur keberadaannya malam itu, Anthony kembali dari sekolah begitu pula Virginia yang telah selesai bergelut dengan kuliahnya. Di meja makan, mereka meresume kejadian siang tadi di jalan setapak kediaman Wistletone. Anthony berulang kali menahan tawanya ketika Virginia merasa khawatir dan berpikir harus bicara dengan Louis. Otak Celestine masih memutar kejadian siang tadi ketika Louis membentaknya sedangkan Richard sudah tak tampak kesetanan. Dirinya yang murni telah kembali dan ia menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi siang tadi.Sungguh, Louis tak keberatan dengan semua tanggapan keluarganya mengenai kejadian siang tadi. Namun, ada satu hal yang membuatnya tak kunjung meninggalkan kamar. Itulah perencanaan permintaan maaf kepada Richard yang belum
Ketika jemari Virginia hampir mengetuk pintu kamar Louis, pria itu sudah keluar lebih dulu dengan seragam rapihnya seolah sungguh siap untuk kembali ke Wyverns sekarang. Gadis itu menatap Louis ketika senyumannya belum luntur, maka Louis menatapnya dengan wajah secerah mentari pagi ini. Kemudian ia mendorong lengannya mencapai leher Louis dan melilitkannya di sana sementara perlahan lengan Louis melilit tubuhnya. Virginia belum menarik diri. Saat itulah bibirnya mengatakan, "Aku akan wisuda pada akhir musim ini."Kedua sudut bibir Louis tertarik menuju angkasa. Hampir menyamai tingginya mentari pagi ini. "Selamat. Kau sudah bekerja keras. Tapi maaf, aku tak bisa datang ke wisudamu." Saat itulah Virginia menemukan alasan untuk menarik dirinya menjauh meskipun senyuman belum luntur. "Aku sungguh ingin datang, Virgie. Tapi kau tahu aku tak bisa.""Tak masalah, Lou. Setidaknya, dengan mengatakan ini secara langsung padamu saja aku sudah kelewat senang." Louis tahu ia tak berbohong. Garis
Dua minggu adalah waktu yang terlalu singkat bagi Louis untuk mengusir setiap nyeri di wajahnya. Setelah hukuman yang memberikan bengkak serius pada fisik dan mentalnya, Louis harus bersusah payah menuju ruang kesehatan meskipun tubuhnya kembali terkapar di tengah jalan. Beruntung saat itu Russel melaluinya sehingga ia tak harus berjuang sendiri menuju ruang kesehatan.Hari berikutnya tak bisa diacuhkan pelatihan meskipun rasa sakit meronta tak karuan. Bengkak di wajah Louis tampak begitu jelas di bawah siraman sinar sang surya. Sayang sekali setiap pelatihan tak bisa ia ikuti dengan maksimal. Bengkak di sekitar mata mengacaukan penglihatannya. Beruntung saja Komandan Armitage tak memberikan hukuman untuk ketidak sempurnaan latihan Louis selama ini.Namun, masa-masa sakit itu sudah berlalu. Meskipun masih ada sisa rasa sakit yang tampak di wajah Louis, tubuhnya saat ini terbalut pakaian tentara lengkap dengan rompi dan senjata. Ia baru saja turun dari mobil kesatuan setelah mengarungi