Ketiga pasang bola mata mereka masih membulat. Terlebih ketika pria itu tak menampakkan seutas keramahan pun seperti biasanya. Mereka tahu, salah satu dari ketiganya akan dalam masalah dan Louis sempat berbisik, "Apa kau mengatakannya?" Namun, Emma menggeleng.Sialnya pria itu mendengar bisikan Louis sehingga ia menjawab, "Tak seorang pun mengatakan kau di sini. Pulang denganku sekarang." Nada bicaranya bahkan tak terdengar ramah. Kepribadian pria ini seolah diambil alih dirinya yang lain."Tapi, Pap. Aku harus mengantar Emma," jawab Louis tapi Richard tak peduli dengan itu. "Aku yakin Tuan Kennedy tak keberatan mengantar Nona Harrel ke sekolah, bukan begitu?"Pete yang sejak tadi terdiam seketika menjawab, "T-tentu, Tuan Wistletone. Saya tak keberatan mengantar Nona Harrel."Richard mengangguk sekilas. "Terima kasih, Tuan Kennedy," ucapnya sehingga Pete membalas sama-sama. Berikutnya, ia dengan tegas berkata, "Masuk ke dalam mobil sekarang, Louis."Louis mengangguk ragu lalu ia memel
Louis melewatkan makan malam dan memutuskan untuk menghadiri makan malamnya sendiri di kamar. Menu makan malamnya ditinggalkan di depan pintu kamarnya. Maka, setelah hidangannya habis, di sana pula ia meletakkannya.Sementara Louis mengubur keberadaannya malam itu, Anthony kembali dari sekolah begitu pula Virginia yang telah selesai bergelut dengan kuliahnya. Di meja makan, mereka meresume kejadian siang tadi di jalan setapak kediaman Wistletone. Anthony berulang kali menahan tawanya ketika Virginia merasa khawatir dan berpikir harus bicara dengan Louis. Otak Celestine masih memutar kejadian siang tadi ketika Louis membentaknya sedangkan Richard sudah tak tampak kesetanan. Dirinya yang murni telah kembali dan ia menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi siang tadi.Sungguh, Louis tak keberatan dengan semua tanggapan keluarganya mengenai kejadian siang tadi. Namun, ada satu hal yang membuatnya tak kunjung meninggalkan kamar. Itulah perencanaan permintaan maaf kepada Richard yang belum
Ketika jemari Virginia hampir mengetuk pintu kamar Louis, pria itu sudah keluar lebih dulu dengan seragam rapihnya seolah sungguh siap untuk kembali ke Wyverns sekarang. Gadis itu menatap Louis ketika senyumannya belum luntur, maka Louis menatapnya dengan wajah secerah mentari pagi ini. Kemudian ia mendorong lengannya mencapai leher Louis dan melilitkannya di sana sementara perlahan lengan Louis melilit tubuhnya. Virginia belum menarik diri. Saat itulah bibirnya mengatakan, "Aku akan wisuda pada akhir musim ini."Kedua sudut bibir Louis tertarik menuju angkasa. Hampir menyamai tingginya mentari pagi ini. "Selamat. Kau sudah bekerja keras. Tapi maaf, aku tak bisa datang ke wisudamu." Saat itulah Virginia menemukan alasan untuk menarik dirinya menjauh meskipun senyuman belum luntur. "Aku sungguh ingin datang, Virgie. Tapi kau tahu aku tak bisa.""Tak masalah, Lou. Setidaknya, dengan mengatakan ini secara langsung padamu saja aku sudah kelewat senang." Louis tahu ia tak berbohong. Garis
Dua minggu adalah waktu yang terlalu singkat bagi Louis untuk mengusir setiap nyeri di wajahnya. Setelah hukuman yang memberikan bengkak serius pada fisik dan mentalnya, Louis harus bersusah payah menuju ruang kesehatan meskipun tubuhnya kembali terkapar di tengah jalan. Beruntung saat itu Russel melaluinya sehingga ia tak harus berjuang sendiri menuju ruang kesehatan.Hari berikutnya tak bisa diacuhkan pelatihan meskipun rasa sakit meronta tak karuan. Bengkak di wajah Louis tampak begitu jelas di bawah siraman sinar sang surya. Sayang sekali setiap pelatihan tak bisa ia ikuti dengan maksimal. Bengkak di sekitar mata mengacaukan penglihatannya. Beruntung saja Komandan Armitage tak memberikan hukuman untuk ketidak sempurnaan latihan Louis selama ini.Namun, masa-masa sakit itu sudah berlalu. Meskipun masih ada sisa rasa sakit yang tampak di wajah Louis, tubuhnya saat ini terbalut pakaian tentara lengkap dengan rompi dan senjata. Ia baru saja turun dari mobil kesatuan setelah mengarungi
Sementara sepasang senapan digenggam begitu erat oleh Louis dan Russel, dua pria di belakang mereka telah meluncurkan peluru pistol berulang kali di sepanjang komplek sepi wilayah Katolik. Beberapa pasang netra yang menyaksikan aksi kejar-kejaran itu melalui jendela kediaman mereka, hanya mampu mengerutkan dahi selagi hati menggumamkan doa agar masa-masa kelam ini segera berlalu.Tangan kanan Louis terangkat menutupi tengkorak belakang yang mana membuat topinya terjatuh di jalanan. Russel ingin segera mengutarakan kata-kata yang terjebak di kerongkongannya, tapi lesatan peluru dari pistol salah satu pria justru menabrak kakinya sehingga pria itu tersungkur.Louis terdiam di tempatnya berdiri. Kedua netra kembali disinggahi sungai. Namun, tangannya masih cukup kuat untuk membantu Russel bangkit sementara kedua pria di belakangnya semakin mendekat sehingga Louis hanya mampu berkata, "Maafkan aku, Russel," sebelum bangkit dan meninggalkan Russel yang melolong meminta belas kasih Louis un
Melalui celah sepasang kelopak netra, Louis mampu melihat cahaya dalam keputusasaan. Namun, ketika tangannya berusaha meraih atau setidaknya menyerah untuk diselamatkan, tak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang mampu bergerak. Tak ada satu suara pun yang mampu didengar. Tersesat di dalam gelapnya samudera yang akan melahap nyawa, ia bahkan tak yakin cahaya itu adalah sosok malaikat yang kemungkinan menjemputnya untuk diantar ke neraka. Namun, satu hal yang membuat paru-parunya menghangat adalah senyuman seseorang yang membuatnya melangkah untuk mencapai tubuh itu dan memeluk dia. Saat itulah ia menangis sejadinya meskipun lupa cara berbicara. Ketika tubuhnya ditarik untuk menatap wajah itu, hanya ada kehangatan yang mampu dirasakan. Saat itulah Louis membersihkan kerongkongan dan berkata, "Apa aku di surga, Ian?" Namun, pria itu belum mengubah arah lengkungan di bibir meskipun kepalanya tergeleng. Ia tak menjawab dan Louis semakin kebingungan. Sungainya hampir mengalir lagi, dan i
Dikembalikan ke markas kesatuan di Belfast malam itu juga, emosi Louis belum stabil. Bahkan rasanya, ia ingin melesatkan sejumlah peluru ke arah seluruh anggota MRF brengsek yang tampaknya menyimpan rahasia di balik Operasi Banner yang tak berujung. Tindakan yang Martin Grant lakukan selama operasi berlangsung, sungguh membuat otak Louis berkonspirasi. Setiap selnya berusaha melongok operasi ini dalam sudut pandang sendiri. Bukan sudut pandang kemiliteran ataupun orang-orang Katolik yang saling menyalahkan satu sama lain. Kendati memikirkan itu dan menemukan jawabannya, seorang pria memberikannya topi kemiliteran sebelum meminta Louis menemui penanggungjawab penuh operasi ini.Ketika ia berdiri di depan kantor utama markas, ia bukan satu-satunya tamu yang diundang untuk menjelaskan kronologi kejadian. Selagi Louis menunggu di luar ruangan dalam posisi siap sempurna, ia telah mendengar berpuluh-puluh dusta dilontarkan salah satu agen MRF. Bibirnya sungguh tak bisa menahan rasa untuk me
Seharusnya Louis tak dihadapkan pada situasi di mana dahi orang-orang mengerutkan kecemasan ketika melihat dirinya kembali dengan ransel dan seragam tentara kebanggan. Namun, itulah yang terjadi setelah sepasang kakinya melewati gerbang kediaman Wistletone. Bahkan, Richard segera memerintahkan salah satu sopirnya untuk menarik kunci mobil dari gantungan dan mengembalikan Louis ke barak. Nyatanya, penjelasan Louis diabaikan hingga dia berkata, "Sumpah, Pap, aku dipulangkan. Kau tak lihat wajahku?"Richard yang sejak tadi kehilangan akal karena kepulangan mendadak Louis seketika terdiam. Sepasang netra mengoreksi apa yang salah dari wajah putranya hingga ia menemukan kebenarannya.Sepasang tangan dilarikan untuk menangkup setiap sisi wajahnya sebelum berkata, "Demi Tuhan, Louis. Apa yang terjadi padamu?"Louis mengukir segaris senyuman pada wajahnya. "Misi terakhirku di Belfast berakhir kacau. Aku diserang orang-orang IRA dan sempat terjebak semalaman di sana. Oleh karena itu, kemiliter