Melalui celah sepasang kelopak netra, Louis mampu melihat cahaya dalam keputusasaan. Namun, ketika tangannya berusaha meraih atau setidaknya menyerah untuk diselamatkan, tak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang mampu bergerak. Tak ada satu suara pun yang mampu didengar. Tersesat di dalam gelapnya samudera yang akan melahap nyawa, ia bahkan tak yakin cahaya itu adalah sosok malaikat yang kemungkinan menjemputnya untuk diantar ke neraka. Namun, satu hal yang membuat paru-parunya menghangat adalah senyuman seseorang yang membuatnya melangkah untuk mencapai tubuh itu dan memeluk dia. Saat itulah ia menangis sejadinya meskipun lupa cara berbicara. Ketika tubuhnya ditarik untuk menatap wajah itu, hanya ada kehangatan yang mampu dirasakan. Saat itulah Louis membersihkan kerongkongan dan berkata, "Apa aku di surga, Ian?" Namun, pria itu belum mengubah arah lengkungan di bibir meskipun kepalanya tergeleng. Ia tak menjawab dan Louis semakin kebingungan. Sungainya hampir mengalir lagi, dan i
Dikembalikan ke markas kesatuan di Belfast malam itu juga, emosi Louis belum stabil. Bahkan rasanya, ia ingin melesatkan sejumlah peluru ke arah seluruh anggota MRF brengsek yang tampaknya menyimpan rahasia di balik Operasi Banner yang tak berujung. Tindakan yang Martin Grant lakukan selama operasi berlangsung, sungguh membuat otak Louis berkonspirasi. Setiap selnya berusaha melongok operasi ini dalam sudut pandang sendiri. Bukan sudut pandang kemiliteran ataupun orang-orang Katolik yang saling menyalahkan satu sama lain. Kendati memikirkan itu dan menemukan jawabannya, seorang pria memberikannya topi kemiliteran sebelum meminta Louis menemui penanggungjawab penuh operasi ini.Ketika ia berdiri di depan kantor utama markas, ia bukan satu-satunya tamu yang diundang untuk menjelaskan kronologi kejadian. Selagi Louis menunggu di luar ruangan dalam posisi siap sempurna, ia telah mendengar berpuluh-puluh dusta dilontarkan salah satu agen MRF. Bibirnya sungguh tak bisa menahan rasa untuk me
Seharusnya Louis tak dihadapkan pada situasi di mana dahi orang-orang mengerutkan kecemasan ketika melihat dirinya kembali dengan ransel dan seragam tentara kebanggan. Namun, itulah yang terjadi setelah sepasang kakinya melewati gerbang kediaman Wistletone. Bahkan, Richard segera memerintahkan salah satu sopirnya untuk menarik kunci mobil dari gantungan dan mengembalikan Louis ke barak. Nyatanya, penjelasan Louis diabaikan hingga dia berkata, "Sumpah, Pap, aku dipulangkan. Kau tak lihat wajahku?"Richard yang sejak tadi kehilangan akal karena kepulangan mendadak Louis seketika terdiam. Sepasang netra mengoreksi apa yang salah dari wajah putranya hingga ia menemukan kebenarannya.Sepasang tangan dilarikan untuk menangkup setiap sisi wajahnya sebelum berkata, "Demi Tuhan, Louis. Apa yang terjadi padamu?"Louis mengukir segaris senyuman pada wajahnya. "Misi terakhirku di Belfast berakhir kacau. Aku diserang orang-orang IRA dan sempat terjebak semalaman di sana. Oleh karena itu, kemiliter
Detik demi detik bergulir memengaruhi pergeseran konstelasi di angkasabsetiap harinya. Malam ini, sepasang netra Louis menyaksikan pertemuan dewan bintang selagi duduk bersila di atas rumput taman belakang kediaman yang tampaknya dua kali lebih besar dari sebelumnya. Ia berusaha menemukan konstelasi zodiaknya di atas sana. Namun, ia tak mampu. Mungkin benar ucapan Tuan Sadie saat itu, apabila dia tak memerhatikan pelajaran sains di sekolahnya, ia tak akan tahu mengenai konstelasi.Sementara ada kediaman yang lain di seberang tempatnya terduduk, ia sudah tak keheranan. Ayahnya secara sah membeli kediaman keluarga Davies yang berada tepat di belakang kediaman Wistletone untuk memperluas taman belakang serta membangunkan rumah ideal bagi keluarga Stefar (Celestine dan Joseph).Awalnya Louis tak terima mendengar Joseph dengan mudahnya memiliki rumah tanpa jerih payah sedikit pun. Padahal dia telah menjadi kepala keluarga sejak sepuluh bulan lalu. Namun, fakta di mana Joseph hanya mampu me
Di pagi hari yang lain, Virginia tak lagi meninggalkan kediaman Wistletone untuk menuntut ilmu. Ia memilih tinggal di rumah selagi memikirkan bagaimana nasibnya akan dilukis setelah kelulusan. Sementara itu, Richard pergi dengan mobilnya bersama Louis. Anthony justru memilih berkendara seorang diri. Ia berkata, "Sudah tanggung jawab seorang pria yang memiliki kekasih untuk selalu siap mengantarnya ke mana pun. Namun, tetap mematuhi peraturan sekolah untuk tak terlambat."Pernyataan itu membuat Louis menghinanya sehingga mereka terjebak dalam perdebatan kecil hingga Richard meminta Louis bergegas menuju sekolah.Perjalanan pagi itu terasa begitu cepat karena jalanan yang tak dipadati kendaraan maupun pejalan kaki. Mobil ini yang baru saja melewati toko sepatu La Volpe membuat Louis menjulurkan leher karena tanda tutup di balik jendelanya berubah menjadi buka terlalu awal tak seperti biasa. Namun, tak ada hal lain yang membuatnya tertarik pada toko itu selain kejadian yang baru saja dis
Setelah kabar persetujuan Emma atas tawaran Louis mengetuk gendang telinga keluarga Wistletone, tanggapan pertama yang mereka tunjukkan adalah keterkejutan. Pasalnya Louis tak pernah membicarakan atau merencanakan ini sebelumnya. Namun, bagi Louis perencanaan untuk membuat keputusan di mana ia harus mengikat janji dengan seseorang seperti Emma, tak membutuhkan pertimbangan yang lama. Oleh karena pengakuan Louis tersebut di hadapan Richard, ia pun tak merasa ragu untuk menganggukkan kepala sebagai restu pertama bagi kehidupan yang akan mereka bagi.Meskipun demikian, pada akhirnya Anthony sedikit menyesal karena harus menunda pernikahannya sampai musim gugur atau lebih buruk lagi pertengahan musim gugur. Bukan karena dia tak ingin didahului Louis, melainkan persiapannya yang telah matang kini harus diambil alih Louis yang tak memiliki banyak waktu untuk hubungan yang akan ia jalin.Anthony tak pernah membiarkan pestanya tampak biasa. Bahkan jika ia harus mengeluarkan separo harta kekay
Keramaian menghiasi setiap ruang dalam sebuah gereja berarsitektur Victorian di Atherstone. Berbagai macam senyuman dengan makna berbeda terpantul dalam netra Louis yang menyimpan kegugupan di sana. Berulang kali tangannya merapikan jas yang bahkan kelewat sempurna di netra para tamu. Namun, ia tetap tak bisa menghentikan aktivitas itu seolah inilah cara pengalihan dari kegugupan yang menabuh relung hatinya.Sementara para tamu duduk dengan kegembiraan di kantong mereka, suara kereta kuda terdengar samar-samar dari kejauhan. Louis menutup netra sekilas tatkala seorang pendeta tersenyum menatap tentara Britania yang gugup ini. Namun, tak ada hal lain yang membuat suara drum di jantungnya berbunyi lebih lantang selain fakta di mana kereta kuda itu telah berhenti dengan sempurna di hadapan jalan setapak gereja. Kemudian seorang pria turun dari sana mengulurkan lengannya untuk diraih seorang wanita bergaun putih dengan sebuket bunga di genggaman.Seolah jantung Louis berhenti berdegup sed
Semenjak hari itu, kehidupan Louis sepenuhnya berubah. Luka yang ia bawa pulang, kemudian memudar. Keraguan yang sempat menghantuinya, kini tak meninggalkan bayangan. Dimulai dari malam di mana Emma bertatapan dengan sayatan di sisi perut Louis hingga sepasang netranya terbuka menatap jendela yang digedor-gedor gorden tak terikat. Angin sempat menyentil pori-pori kulitnya sehingga wanita itu menarik sepasang sudut bibir tak kuasa memendam perasaan bahagia semenjak janji itu dilontarkan sepasang bibir insan.Meski rasanya aneh menatap sisi ranjang yang kosong melompong, Emma tak segera bangkit dari sana untuk mencari sosok yang mendiami sisi itu pada ranjangnya. Ia hanya bangkit untuk menarik gembor kecil di sisi jendela dan menyalurkan mineral dalam perut si gembor pada setiap helai tanamam hias dalam pot kecil sepanjang raknya tepat di bawah wajah jendela.Jiwa Lambeth tak begitu menyetrum setiap nadinya karena suara penghuni di dalam yang tak cukup kuat menembus tembok antara jalana