Keramaian menghiasi setiap ruang dalam sebuah gereja berarsitektur Victorian di Atherstone. Berbagai macam senyuman dengan makna berbeda terpantul dalam netra Louis yang menyimpan kegugupan di sana. Berulang kali tangannya merapikan jas yang bahkan kelewat sempurna di netra para tamu. Namun, ia tetap tak bisa menghentikan aktivitas itu seolah inilah cara pengalihan dari kegugupan yang menabuh relung hatinya.Sementara para tamu duduk dengan kegembiraan di kantong mereka, suara kereta kuda terdengar samar-samar dari kejauhan. Louis menutup netra sekilas tatkala seorang pendeta tersenyum menatap tentara Britania yang gugup ini. Namun, tak ada hal lain yang membuat suara drum di jantungnya berbunyi lebih lantang selain fakta di mana kereta kuda itu telah berhenti dengan sempurna di hadapan jalan setapak gereja. Kemudian seorang pria turun dari sana mengulurkan lengannya untuk diraih seorang wanita bergaun putih dengan sebuket bunga di genggaman.Seolah jantung Louis berhenti berdegup sed
Semenjak hari itu, kehidupan Louis sepenuhnya berubah. Luka yang ia bawa pulang, kemudian memudar. Keraguan yang sempat menghantuinya, kini tak meninggalkan bayangan. Dimulai dari malam di mana Emma bertatapan dengan sayatan di sisi perut Louis hingga sepasang netranya terbuka menatap jendela yang digedor-gedor gorden tak terikat. Angin sempat menyentil pori-pori kulitnya sehingga wanita itu menarik sepasang sudut bibir tak kuasa memendam perasaan bahagia semenjak janji itu dilontarkan sepasang bibir insan.Meski rasanya aneh menatap sisi ranjang yang kosong melompong, Emma tak segera bangkit dari sana untuk mencari sosok yang mendiami sisi itu pada ranjangnya. Ia hanya bangkit untuk menarik gembor kecil di sisi jendela dan menyalurkan mineral dalam perut si gembor pada setiap helai tanamam hias dalam pot kecil sepanjang raknya tepat di bawah wajah jendela.Jiwa Lambeth tak begitu menyetrum setiap nadinya karena suara penghuni di dalam yang tak cukup kuat menembus tembok antara jalana
Momen yang terjadi kemarin adalah salah satu bukti kebahagiaan mereka selama ini, tetapi keduanya siap menuliskan jutaan kata lainnya untuk menceritakan kebahagiaan mendatang, atau menyimpannya dalam otak untuk dikatakan secara langsung, atau menarik kamera dari dalam lemari untuk mengabadikannya secara visual, karena cinta yang terlanjur mereka ciptakan saat ini, tak akan cukup berlangsung dalam satu kehidupan—atau tak cukup berlangsung dalam satu bulan.Nyatanya, surya yang menyapa pagi ini, akan menyaksikan momen yang tak semanis kata-kata Emma kemarin. Sementara itu, pertemuan mereka yang tadinya disaksikan sekawanan domba, kini disaksikan lusinan manusia yang menunggu jadwal pemberangkatan kereta.Tangan Louis masih menggenggam jemari koper sementara tatapan Emma masih menyisakan ketidakrelaan untuk melepas pria itu. Tampaknya perpisahan hari ini terasa lebih sulit ketimbang dua tahun lalu. Setelah apa yang mereka lalu, jelas semuanya tak akan semudah membenarkan posisi topi yang
Semenjak sepasang sepatu menyalami tanah Devon lagi, drum di balik tulang rusuknya serasa ditabuh begitu keras hingga terowongan itu bergetar hebat. Tak henti-hentinya tangan diangkat hanya untuk memastikan jarum arloji barunya menunjuk angka yang berbeda. Bahkan tubuh itu pun mulai menciptakan irama layaknya acapella.Dimulai dari bertemunya salah satu telapak sepatu dengan wajah lantai, kemudian suara-suara tulang jemari tangan bahkan leher yang sengaja dikumandangkan, hingga intonasi deru napas yang berubah-ubah. Namun, selama itu ia berusaha menghibur diri dan kembali menyetujui nurani untuk menerima uluran tangan kemiliteran, pintu ruangan si pengurus Wyverns Barrack belum juga terbuka untuknya. Louis tak berpikir ia secara resmi ditendang dari kemiliteran karena ia berhasil menutup mulut selama ini—kecuali ada seseorang yang menulis cerita sebaliknya kemudian membacakannya di depan para petinggi kemiliteran. Prasangka itu mengingatkannya dengan sebaris kata dari puisi Ian pada
Rasa syukur mengguyur pertemuan tak terduga oleh mereka yang sempat merasakan kegelisahan yang sama. Kata yang tadinya terjebak dalam kerongkongan, ragu untuk dimuntahkan keluar, kini sudah terlanjur terucap. Maka acara makan siang hari ini terasa berbeda bagi Louis begitu ketiga rekan lamanya menceritakan kisah perjalanan di Belfast dalam perspektif mereka.Apabila seseorang bertanya siapa yang menjadi juru topik dalam percakapan siang ini, maka jawabnya adalah Lachance."Sungguh-sungguh kemiliteran tak ingin buka mulut soal keadaanmu!" pekiknya agak keras meskipun seisi ruang makan tak peduli dengan itu. Kemudian secuil daging yang tertancap pada garpunya menghilang dilahap mulut hingga gigi-gigi itu pun bergelut dengan si daging sebelum meluncur di sepanjang kerongkongan.Sesungguhnya Louis penasaran dengan kalimat Lachance berikutnya, tapi ia harus menghargai pilihan Lachance untuk menelan secuil daging itu terlebih dahulu. Barulah setelah urusannya dengan si daging usai, ia melan
Waktu adalah hal yang tak bisa dikumpulkan tetapi selalu berkurang. Kenyataan itulah yang harus diterima Louis ketika seorang kapten markas besar berdiri di mimbarnya mengumumkan kepindahan sebagian anggota pelatihan perwira yang telah memenuhi kualitas dan rata-rata. Untuk sesaat napasnya sulit sekali dikumpulkan, tapi beberapa saat kemudian mereka mengalir tak terhindarkan. Sebuah emosi yang meledak dalam hati mendorong pria itu untuk melambungkan tubuh ke udara sebelum mendaratkannya dengan rasa syukur. Pelukan dibagi dengan mereka yang merasakan emosi serupa maupun sebaliknya. Waktu adalah hal yang tak bisa dikumpulkan tetapi selalu berkurang. Begitu cepatnya Louis menggeser selembar kertas yang menyimpan ungkapan perasaan Dan untuk kemudian ditumpuk oleh sebuah formulir. Kemudian ranselnya dipaksa menelan barang-barang yang akan menemani melalui petualangan baru. Maka sebuah kendaraan kemiliteran pun harus ditumpanginya untuk berpindah ke lain tempat. Sempat dirinya mendorong se
Hari-hari tegar lainnya datang mengguncang. Beberapa rintangan telah berlalu meski bekasnya tak akan pernah hilang. Meski perjalanan masih cukup panjang—atau justru sangat panjang mengingat target Louis tak berhenti di gerbang kursi perwira—tapi beberapa kali pikirannya diguncangkan bayangan masa depan. Lagi-lagi pembicaraan malam itu bersama Linus Wroldsen yang menyinggung soal waktu menyentaknya untuk menjadi bijak.Terkadang, dalam celah antara detik dan menit pun ia menemukan kenangan yang menyentil kepala agak kencang. Jika dirinya menarik mundur waktu, maka teringatlah Natal saat itu di mana surat di balik hadiah Richard membahas topik yang sama. Hal itu pula yang menjadi alasan arloji berkaca retak ada di genggamannya selagi sepasang netra tertutup dan hati menyenandungkan harapan serta doa.Begitu tangan seseorang mendarat pada bahunya, hilang sudah fokus untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Tersibak pula tirai itu menampakkan sepasang netra biru yang dikilaukan sinar sang surya.
Waktu. Tidakkah mereka seperti Gazelle? Kata itulah yang tertulis di wajah kertas saat ini. Kata-kata yang memelototi Louis seolah menantangnya untuk menggoreskan hal lain di atas kertas melalui pena. Tampaknya Louis pun tak ragu untuk menambahkan sebab otak dia kini bagaikan kamus metafora yang para penyair pelototi setiap hari untuk memberikan jiwa pada tulisan mereka.Maka menorehlah ujung pena di malam gelap yang hanya ditemani atensi rembulan tanpa bintang beserta manik senter kekuningan dia. Ketika kau menantinya, mereka akan merespons sangat lambat. Persis seperti gazelle yang tak ingin tertangkap. Namun, ketika kau mengabaikannya, mereka berlalu tanpa disadari. Begitulah gazelle melarikan diri.Entah dari mana datangnya jiwa melakonlis dalam diri seorang pemberontak. Rasanya jika Louis membincangkan sifat barunya di hadapan kawan lama, mereka tak akan terima. Pun dikira pria ini pasti sudah kerasukan tata tertib kemiliteran sehingga untuk bergurau saja susah rasanya. Namun, in