Hari-hari tegar lainnya datang mengguncang. Beberapa rintangan telah berlalu meski bekasnya tak akan pernah hilang. Meski perjalanan masih cukup panjang—atau justru sangat panjang mengingat target Louis tak berhenti di gerbang kursi perwira—tapi beberapa kali pikirannya diguncangkan bayangan masa depan. Lagi-lagi pembicaraan malam itu bersama Linus Wroldsen yang menyinggung soal waktu menyentaknya untuk menjadi bijak.Terkadang, dalam celah antara detik dan menit pun ia menemukan kenangan yang menyentil kepala agak kencang. Jika dirinya menarik mundur waktu, maka teringatlah Natal saat itu di mana surat di balik hadiah Richard membahas topik yang sama. Hal itu pula yang menjadi alasan arloji berkaca retak ada di genggamannya selagi sepasang netra tertutup dan hati menyenandungkan harapan serta doa.Begitu tangan seseorang mendarat pada bahunya, hilang sudah fokus untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Tersibak pula tirai itu menampakkan sepasang netra biru yang dikilaukan sinar sang surya.
Waktu. Tidakkah mereka seperti Gazelle? Kata itulah yang tertulis di wajah kertas saat ini. Kata-kata yang memelototi Louis seolah menantangnya untuk menggoreskan hal lain di atas kertas melalui pena. Tampaknya Louis pun tak ragu untuk menambahkan sebab otak dia kini bagaikan kamus metafora yang para penyair pelototi setiap hari untuk memberikan jiwa pada tulisan mereka.Maka menorehlah ujung pena di malam gelap yang hanya ditemani atensi rembulan tanpa bintang beserta manik senter kekuningan dia. Ketika kau menantinya, mereka akan merespons sangat lambat. Persis seperti gazelle yang tak ingin tertangkap. Namun, ketika kau mengabaikannya, mereka berlalu tanpa disadari. Begitulah gazelle melarikan diri.Entah dari mana datangnya jiwa melakonlis dalam diri seorang pemberontak. Rasanya jika Louis membincangkan sifat barunya di hadapan kawan lama, mereka tak akan terima. Pun dikira pria ini pasti sudah kerasukan tata tertib kemiliteran sehingga untuk bergurau saja susah rasanya. Namun, in
Kisah lama yang akan selalu diukir dalam ingatan telah berlalu ditelan masa. Kisah yang menyeret Louis Wistletone ke dalam petualangan pasca pangkat officer cadetnya diterima. Kemudian musuh bebuyutannya kian bertambah. Pertama adalah waktu. Kedua adalah rasa sakit. Namun, yang pertama itu tak akan pernah bisa dikalahkan sementara yang kedua Louis terima sebagai teman karibnya.Hati yang lapang menerima rasa sakit itu pun didasari sebuah alasan. Harusnya ia membenci hal satu itu karena rasa sakit bisa menuntun ke kematian sedangkan dirinya belum siap untuk pergi sejauh itu lalu mengetuk pintu antara surga maupun neraka. Sedangkan sore itu adalah bukti mengapa Louis menjadikan rasa sakit sebagai temannya. Sebuah bingkisan mengatasnamakan Pete Kennedy menjadi kado favoritnya sepanjang tahun.Setelah bungkusnya dikelupas dan dibiarkan membusuk di dalam tong sampah, hadiah yang disembunyikan pelukan seolah memberikan ceramah. Sekali membuka, kalimat Rasa sakit membuatmu tahu kau masih hid
Pesawat kemiliteran yang menabrak lautan beriak itu mengakibatkan sang lautan memuntahkan keringat tinggi-tinggi layaknya air mancur yang tak ramah. Kemudian, ketenangan yang dikacaukan si pesawat mendatangkan amarah laut yang mana tengah mengunyah badan burung besi itu hingga terbagi menjadi dua serta beberapa keping lainnya. Mencoba memberikan kunyahan lain seolah membiarkan peristaltik berfungsi, ditelanlah burung besi itu hidup-hidup tanpa membiarkan beberapa kepala menyaksikan insiden senja ini.Tertidurlah mereka yang dikejutkan guncangan. Entah tertidur selamanya ataupun sementara, tak satu pun mengetahui itu. Bahkan seekor ikan pun tak ingin mencari tahu dan memilih menjauhi burung yang rapuh dalam perut lautan. Namun, sepasang bola netra seseorang mengalami perih luar biasa. Paru-paru pun rasanya hampir diremas oleh keadaan hingga menjadi kepingan-kepingan harapan lama.Dua kali kelopak itu mencoba memastikan kebenaran, dan begitu dirinya yakin berada di antara kematian dan k
Sudah berulang kali mereka menyaksikan surya menyapa dan berakhir mengucapkan perpisahan. Begitu pula nasib rembulan yang semakin hari semakin membosankan. Rambut yang awalnya dalam potongan rapi sekaligus wangi dan mengkilap, kini mulai memanjang dan berantakan. Kumis serta berewok yang selalunya dicukur rutin, kini dibiarkan tumbuh.Sepasang netra yang berwarna putih dengan manik berbeda pada tengahnya pun kini tampak memerah dan berair parah. Kulit-kulit itu pun mulai tampak sekering gurun sehingga muncullah aliran keretakan karena tamparan surya yang kejam. Bahkan tulang pipi yang disembunyikan lemak di sana, kini menipis sehingga cekungan tercetak pada sepasang pipi mereka, atau tepatnya kulit wajah itu sudah membentuk tengkorak.Tampang kelimanya sudah seperti manusia yang meninggali gua dan tak ingin melihat dunia. Setelah sekian lama terombang-ambing di lautan, bergulat dengan perasaan, dan berakhir memilih kematian, tak ada pesawat yang melintas ataupun kapal menyapa untuk me
Berlarian sudah jiwanya mencari jalan keluar. Namun, tak satu pun cahaya yang dikejar bersedia mendekat ataupun berhenti menghindar. Tubuhnya yang mencetak tulang-tulang renta itu berlari menelusuri hutan maupun menerjang ombak lautan, tak ia ketahui pasti rasanya. Tapi napas tersengal-sengal serta diremasnya paru-paru untuk mengucurkan setiap tetes oksigen sungguhlah derita tak tertahankan.Pernah tangannya melawan, mencoba menggapai uluran tangan awan, sayangnya petir justru menyentil ujung jemarinya sehingga terdorong pula tubuh itu makin ke dalam. Sementara itu, lautan tampak kelaparan sehingga cairan asam di lambungnya pun meronta mengunyah tubuh serta harapan dalam hati. Ia pun telah lupa cara berdoa, meski sekelibat pohon tercetak pada iris netra dia.Dinginnya cengkeraman laut tak lagi dirasakan. Basahnya pakaian sudah lenyap dibiaskan sinar. Maka kepala pun bisa terdongak menatap rambut lebat sebuah pohon dengan puluhan sulur kuat menggantung. Jikalau disatukan dua pasang sul
Ketika Louis mengira dirinya akan dikembalikan ke Lambeth sehingga mampu bertemu si wanita yang tak sempat menjawab teleponnya, fakta itu tak pernah benar. Kini pria itu terpaksa menginjakkan kaki di halaman depan Arnhem Barracks yang begitu luas dengan sangat sedikit pria yang tampak. Kemungkinan beberapa pesawat dan pasukan lainnya yang berhasil mendarat dengan selamat di Kanada tak akan kembali dalam waktu dekat ini, sedangkan pria-pria yang ditelan lautan, ke mana perginya jasad mereka? Akankah kemiliteran sungguh tak mampu membawa pulang tubuh kaku itu ke depan pintu rumah?Sekiranya begitulah pertanyaan yang mengisi kepala Louis meskipun bibir tak kunjung melontarkan kata-kata yang sudah menghantui. Sebagai gantinya, Komandan Bellingfield menepuk bahu dia dan berkata, "Kemasi sisa barangmu, Wist. Kita akan meninggalkan barak ini."Pernyataan itu sedikit menghibur Louis. "Apakah aku akan pulang?"Komandan Bellingfield menggeleng. "Sandhurst, Wist. Jasad rekan kita yang telah tiad
Setelah semalaman Louis kesulitan tidur, hari yang dinanti pun datang juga. Bukan karena acara pemberian gelar oleh Ratu Elizabeth II yang dinantikannya hingga jam tidur terbuang semalam, tetapi momen di mana ia memiliki kesempatan untuk bertemu dengan keluarganya. Sempat tersimpan dipikiran apabila ia segera pulang ke Lambeth, mungkin ia membutuhkan waktu untuk kembali ke Newcastle karena tubuh yang kelelahan. Namun, jika keluarga yang ingin ditatap justru datang menemuinya kini, bukankah itu berarti dia tak harus berpergian jauh untuk melepas rindu? Itulah yang membuatnya merelakan jam tidur sebab ingin segera menyaksikan fajar.Setelan seragam baru dari kemiliteran pun segera membalut tubuhnya begitu acara membersihkan diri terselesaikan. Tak lupa ia mencoba merapikan segala hal terkait penampilan mengingat hari ini untuk pertama kali setelah sekian lama, dirinya akan menatap wajah-wajah yang dirindukan sekaligus Ratu Elizabeth II yang terhormat. Meski petualangan di lautan sempat