Berlarian sudah jiwanya mencari jalan keluar. Namun, tak satu pun cahaya yang dikejar bersedia mendekat ataupun berhenti menghindar. Tubuhnya yang mencetak tulang-tulang renta itu berlari menelusuri hutan maupun menerjang ombak lautan, tak ia ketahui pasti rasanya. Tapi napas tersengal-sengal serta diremasnya paru-paru untuk mengucurkan setiap tetes oksigen sungguhlah derita tak tertahankan.Pernah tangannya melawan, mencoba menggapai uluran tangan awan, sayangnya petir justru menyentil ujung jemarinya sehingga terdorong pula tubuh itu makin ke dalam. Sementara itu, lautan tampak kelaparan sehingga cairan asam di lambungnya pun meronta mengunyah tubuh serta harapan dalam hati. Ia pun telah lupa cara berdoa, meski sekelibat pohon tercetak pada iris netra dia.Dinginnya cengkeraman laut tak lagi dirasakan. Basahnya pakaian sudah lenyap dibiaskan sinar. Maka kepala pun bisa terdongak menatap rambut lebat sebuah pohon dengan puluhan sulur kuat menggantung. Jikalau disatukan dua pasang sul
Ketika Louis mengira dirinya akan dikembalikan ke Lambeth sehingga mampu bertemu si wanita yang tak sempat menjawab teleponnya, fakta itu tak pernah benar. Kini pria itu terpaksa menginjakkan kaki di halaman depan Arnhem Barracks yang begitu luas dengan sangat sedikit pria yang tampak. Kemungkinan beberapa pesawat dan pasukan lainnya yang berhasil mendarat dengan selamat di Kanada tak akan kembali dalam waktu dekat ini, sedangkan pria-pria yang ditelan lautan, ke mana perginya jasad mereka? Akankah kemiliteran sungguh tak mampu membawa pulang tubuh kaku itu ke depan pintu rumah?Sekiranya begitulah pertanyaan yang mengisi kepala Louis meskipun bibir tak kunjung melontarkan kata-kata yang sudah menghantui. Sebagai gantinya, Komandan Bellingfield menepuk bahu dia dan berkata, "Kemasi sisa barangmu, Wist. Kita akan meninggalkan barak ini."Pernyataan itu sedikit menghibur Louis. "Apakah aku akan pulang?"Komandan Bellingfield menggeleng. "Sandhurst, Wist. Jasad rekan kita yang telah tiad
Setelah semalaman Louis kesulitan tidur, hari yang dinanti pun datang juga. Bukan karena acara pemberian gelar oleh Ratu Elizabeth II yang dinantikannya hingga jam tidur terbuang semalam, tetapi momen di mana ia memiliki kesempatan untuk bertemu dengan keluarganya. Sempat tersimpan dipikiran apabila ia segera pulang ke Lambeth, mungkin ia membutuhkan waktu untuk kembali ke Newcastle karena tubuh yang kelelahan. Namun, jika keluarga yang ingin ditatap justru datang menemuinya kini, bukankah itu berarti dia tak harus berpergian jauh untuk melepas rindu? Itulah yang membuatnya merelakan jam tidur sebab ingin segera menyaksikan fajar.Setelan seragam baru dari kemiliteran pun segera membalut tubuhnya begitu acara membersihkan diri terselesaikan. Tak lupa ia mencoba merapikan segala hal terkait penampilan mengingat hari ini untuk pertama kali setelah sekian lama, dirinya akan menatap wajah-wajah yang dirindukan sekaligus Ratu Elizabeth II yang terhormat. Meski petualangan di lautan sempat
Acara terus berlangsung hingga jam makan siang hampir tiba. Begitu acara tersebut berakhir, keluarga kemiliteran terjebak dalam jamuan makan siang bersama sang ratu. Jamuan itu tak begitu menarik bagi Louis ketika pikirannya kembali tertuju pada si wanita kecintaan sehingga semua momen di istana menjadi hambar.Hingga jamuan makan siang berakhir dan Komandan Bellingfield memberitahukan soal penginapan kemiliteran malam ini, Louis masih memikirkan topik yang sama. Saat itu, ketika langit menampakkan goretan senja, ayahnya mengejutkan pria itu dengan kalimat, "Kami akan pulang sore ini, Louis. Kau tinggallah malam ini di penginapan untuk pulang besok pagi.""Mengapa tak menginap denganku? Hanya keluarga-keluarga yang kehilangan putra mereka yang pulang sore ini!" hardik Louis kentara sekali tak siap jika harus berpisah secepat itu.Namun, Richard seketika berkata, "Kau tahu ma tak suka London. Kau juga tahu itulah alasan mengapa aku dulu menolak ajakanmu mengunjungi Archibald Wistletone
Semenjak momen pengungkapan kebenaran itu, termasuk alasan di balik sambungan telepon yang tak pernah diizinkan meraih Emma, Louis kehilangan kata-kata hingga akhir petang. Sebagai gantinya, sungai tak dibiarkan berhenti mengalir di sepanjang kedua pipi sehingga mereka begitu mudah bermuara ke atas lantai tempatnya berpijak.Hati memang terlalu sulit menerima kenyataan yang begitu pahit. Kali ini prasangka kekhawatiran menemukan bukti, ia kehabisan waktu untuk menyaksikan gadis kecilnya tumbuh. Bahkan sebelum gadis itu berusia lima tahun, dia memilih meninggalkannya yang tak bersedia berhenti bergulat dengan waktu.Semua kenangan itu, hampir setiap momen yang membawanya pada percakapan masa lalu, di mana kata kembali ditukar untuk mengucap syukur sebab Emma selalu menceritakan pertumbuhan seorang Sylvia yang begitu cepat. Seolah Emma menanam satu benih di atas tanah kemudian menyiraminya setiap fajar dan senja, hingga benih itu tumbuh menjadi tanaman yang begitu cantik dan siap untuk
Permintaan sederhana Emma adalah hal yang sangat tak masuk akal baginya. Bahkan ketika ia mendengar langsung hari itu dan mencoba menemukan buku yang menyinggung kebangkitan orang mati di perpustakaan kota terdekat, tak ada satu pun yang memberikan petunjuk matang untuk dicoba. Hanya ada beberapa buku soal Victor Frankenstein dan kegilaannya menciptakan monster yang sungguh tak ingin dicoba. Ia ingin memberikan Emma seorang putri bukan monster.Oleh karena itu pula, keesokannya ia berkata, "Kau ingat apa yang Joseph Priestley katakan sebelum kematiannya?" Wanita itu hanya mengerling selagi tangan memegangi roti isi gemuk. "Aku akan tidur sepertimu; karena kematian hanyalah tidur yang sangat nyenyak di dalam makam, dan kita akan bertemu lagi. Aku bahkan masih mengingatmu mengatakan itu padaku setelah kepergian Ian. Dan apakah aku menginginkan Ian kembali hidup? Tentu iya. Tapi mampukah aku melakukannya? Jawabnya tidak. Tapi aku mampu merelakannya diselamatkan Tuhan.""Diselamatkan Tuha
Semua ide dan prasangka briliannya. hanyalah kemayaan dunia semata. Kepulangan Louis dari Belfast bersama seorang anak perempuan berambut dan bermata cokelat seperti cerminan putrinya pada foto di balik bingkai sempat mengejutkan Emma. Bukan mengejutkan dalam konteks yang buruk, meskipun tak sepenuhnya sesuai harapan Louis pula. Dia yang saat itu sedang berkutat di hadapan buku harian selagi punggung bersandar pada kepala ranjang segera beranjak ketika seorang pria dan anak perempuan berdiri di ambang pintu. Pekikkan mengundang nama yang diberikan pada putrinya pun sempat berkumandang bahkan kecupan serta pelukan penuh kerinduan sempat dirasakan Joan saat itu juga.Namun, ketika Emma menarik si anak perempuan dari pelukan hanya untuk memuaskan kerinduan akan tawa dan senyuman si putri, sudut-sudut bibir itu justru berlari ke arah sebaliknya. Emosi yang berwarna merah muda pun segera menampakkan merah pekat di palung dada. Ia berteriak, "Dia bukan Sylvia!" sebelum mengembalikkan anak p
Seharusnya Louis merasa terhibur dengan pertemuan serta traktiran dadakan dari Adam Wistletone. Namun, ketika ia mendorong pintu kediaman yang menunjukkan ruang keluarga sepi dan berantakan, embusan napas kelelahan pun ditampakkan. Memang sulit untuk dipercaya bagi Louis yang memiliki pelayan tetap saja memikirkan ketidakteraturan dalam penataan furnitur rumahnya. Namun, Alma sendiri kini sedang mengumpulkan beberapa kepingan piring di dapur ketika pria itu melenggang masuk untuk meletakkan sekardus besar berisikan kardus-kardus susu lainnya."Maaf, Tuan, saya akan membereskan semuanya secepat mungkin." Meski ucapan Alma terdengar menghibur, Louis masih tak menampakkan senyuman."Di mana Sylvia?" Dia mulai terbiasa memanggil Joan dengan nama yang Emma berikan untuk buah hatinya."Jo—maksud saya Sylvia ada bersama Nona Harrel di kamar."Jawaban itu menuntun Louis untuk menarik gelas yang kemudian diisi air putih setelahnya. Ia pun sempat menarik kursi dan menutup netra untuk merasakan