Semenjak momen pengungkapan kebenaran itu, termasuk alasan di balik sambungan telepon yang tak pernah diizinkan meraih Emma, Louis kehilangan kata-kata hingga akhir petang. Sebagai gantinya, sungai tak dibiarkan berhenti mengalir di sepanjang kedua pipi sehingga mereka begitu mudah bermuara ke atas lantai tempatnya berpijak.Hati memang terlalu sulit menerima kenyataan yang begitu pahit. Kali ini prasangka kekhawatiran menemukan bukti, ia kehabisan waktu untuk menyaksikan gadis kecilnya tumbuh. Bahkan sebelum gadis itu berusia lima tahun, dia memilih meninggalkannya yang tak bersedia berhenti bergulat dengan waktu.Semua kenangan itu, hampir setiap momen yang membawanya pada percakapan masa lalu, di mana kata kembali ditukar untuk mengucap syukur sebab Emma selalu menceritakan pertumbuhan seorang Sylvia yang begitu cepat. Seolah Emma menanam satu benih di atas tanah kemudian menyiraminya setiap fajar dan senja, hingga benih itu tumbuh menjadi tanaman yang begitu cantik dan siap untuk
Permintaan sederhana Emma adalah hal yang sangat tak masuk akal baginya. Bahkan ketika ia mendengar langsung hari itu dan mencoba menemukan buku yang menyinggung kebangkitan orang mati di perpustakaan kota terdekat, tak ada satu pun yang memberikan petunjuk matang untuk dicoba. Hanya ada beberapa buku soal Victor Frankenstein dan kegilaannya menciptakan monster yang sungguh tak ingin dicoba. Ia ingin memberikan Emma seorang putri bukan monster.Oleh karena itu pula, keesokannya ia berkata, "Kau ingat apa yang Joseph Priestley katakan sebelum kematiannya?" Wanita itu hanya mengerling selagi tangan memegangi roti isi gemuk. "Aku akan tidur sepertimu; karena kematian hanyalah tidur yang sangat nyenyak di dalam makam, dan kita akan bertemu lagi. Aku bahkan masih mengingatmu mengatakan itu padaku setelah kepergian Ian. Dan apakah aku menginginkan Ian kembali hidup? Tentu iya. Tapi mampukah aku melakukannya? Jawabnya tidak. Tapi aku mampu merelakannya diselamatkan Tuhan.""Diselamatkan Tuha
Semua ide dan prasangka briliannya. hanyalah kemayaan dunia semata. Kepulangan Louis dari Belfast bersama seorang anak perempuan berambut dan bermata cokelat seperti cerminan putrinya pada foto di balik bingkai sempat mengejutkan Emma. Bukan mengejutkan dalam konteks yang buruk, meskipun tak sepenuhnya sesuai harapan Louis pula. Dia yang saat itu sedang berkutat di hadapan buku harian selagi punggung bersandar pada kepala ranjang segera beranjak ketika seorang pria dan anak perempuan berdiri di ambang pintu. Pekikkan mengundang nama yang diberikan pada putrinya pun sempat berkumandang bahkan kecupan serta pelukan penuh kerinduan sempat dirasakan Joan saat itu juga.Namun, ketika Emma menarik si anak perempuan dari pelukan hanya untuk memuaskan kerinduan akan tawa dan senyuman si putri, sudut-sudut bibir itu justru berlari ke arah sebaliknya. Emosi yang berwarna merah muda pun segera menampakkan merah pekat di palung dada. Ia berteriak, "Dia bukan Sylvia!" sebelum mengembalikkan anak p
Seharusnya Louis merasa terhibur dengan pertemuan serta traktiran dadakan dari Adam Wistletone. Namun, ketika ia mendorong pintu kediaman yang menunjukkan ruang keluarga sepi dan berantakan, embusan napas kelelahan pun ditampakkan. Memang sulit untuk dipercaya bagi Louis yang memiliki pelayan tetap saja memikirkan ketidakteraturan dalam penataan furnitur rumahnya. Namun, Alma sendiri kini sedang mengumpulkan beberapa kepingan piring di dapur ketika pria itu melenggang masuk untuk meletakkan sekardus besar berisikan kardus-kardus susu lainnya."Maaf, Tuan, saya akan membereskan semuanya secepat mungkin." Meski ucapan Alma terdengar menghibur, Louis masih tak menampakkan senyuman."Di mana Sylvia?" Dia mulai terbiasa memanggil Joan dengan nama yang Emma berikan untuk buah hatinya."Jo—maksud saya Sylvia ada bersama Nona Harrel di kamar."Jawaban itu menuntun Louis untuk menarik gelas yang kemudian diisi air putih setelahnya. Ia pun sempat menarik kursi dan menutup netra untuk merasakan
Semenjak direngkuhnya ketidakberdayaan Emma dalam genggaman Louis, kemudian janji untuk tak membiarkannya pergi dengan cara tak terhormat diikat melalui tiap tetes darah, dan berakhir dengan mencoba mewarnai biru yang kelabu menjadi warna lain yang lebih pantas menghiasi, saat itulah tak ada embun di balik pagar di netra yang menetes hanya untuk menenggelamkan diri ke lautan masa lalu. Kemungkinan lembaran buku dengan kertas kekuningan yang ternodai isakan pun, akan segera di balik halamannya hanya untuk melukiskan sesuatu selain lara. Maka kisah yang sedang diperjuangkan untuk terwujud, dimulai dari langkah menarik gagang telepon sebelum menyapa seseorang di seberang sana.Tarikan sudut bibir yang khas tak akan terukir di wajah lain. Hanya ada satu dan itu miliknya yang telah lama direnggut kenyataan. Namun, kemayaan yang dibangun mencoba diruntuhkan sehingga tak ada lagi topeng yang harus dipakai seperti sepanjang malam di Venezia pada bulan Februari. Ia pun, si pemilik tarikan sudu
Pagi itu ketika surya berhasil menyelinap untuk menyapa seseorang di dalam sebuah ruangan, seseorang tersebut tak menyadari kedatangannya. Ia masih menutup sepasang tirai jendela yang membantunya melihat dunia. Hingga sapaan sang surya menggelitik setiap sisi wajah pun, dia belum bersedia membuka netra untuk menyaksikan warna-warni dunia. Sementara seorang wanita yang telah menyibakkan sepasang tirai mengangkat sudut bibir dalam gelengan menyaksikan pria itu tak berkenan menyapa balik sang surya.Dengan dorongan kecil menuju sisi ranjang, indra yang belum sempat melontarkan sepatah kata pun, terdorong untuk mendaratkan kasih sayang. Kelopaknya bergerak seketika, dan sejurus kemudian mereka tersibak sehingga si pria bisa mengetahui siapa yang memaksanya keluar dari dunia mimpi."Langsung terbangun?" Louis tak menjawab ketika wanita itu menarik diri untuk kembali berbaring di sisi seorang anak perempuan. "Kau pasti berpura-pura tidur agar aku mencium pipimu?" Barulah saat itu ia terkeke
Beberapa momen tercipta sangatlah serupa dengan ekspetasi. Beberapa lagi tercipta lebih baik dari garis rata-rata ekspetasi. Namun, kali ini, momen tak begitu menyenangkan kembali menghampiri akibat waktu yang selalu merespons layaknya gazelle di balik semak-semak. Mereka berlarian begitu cepat untuk mengubah jam menjadi hari. Akibat ulah si waktu yang kelewat cepat untuk sebuah hal fana, sepasang kekasih yang telah mencicipi berbagai rasa kehidupan kembali disaksikan stasiun serupa.Mungkin beberapa hal tampak sama di netra Louis. Namun, selalu ada hal berbeda yang disuguhkan untuknya setiap kali kata perpisahan mengantarkan ke area stasiun bersama setelan jasnya. Bibir masih terkatup ketika tangan itu bertengger di sisi wajah Emma sementara Sylvia ada di gendongan Alma. Gigi gerahamnya bertemu menciptakan bunyi ting yang sangatlah pelan guna menghapus keraguan."Aku tak akan pergi untuk selamanya. Jangan berikan aku kejutan, Emma. Ketika aku pulang, tak ada lagi kesengsaraan yang ka
Sepasang iris Louis berdetak menyaksikan seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun mendorong kaki itu cepat menuju seorang wanita yang terbaring lemah di atas ubin yang sangat terawat. Begitu si wanita sudah dalam jangkauan, diangkatlah kepala itu mencoba membawanya kembali ke kehidupan. Tubuh pun sempat diguncang berkali-kali sementara jantung Louis sudah diramaikan ketakutan."Emma!" pekiknya cukup keras selagi tangan menampar pelan pipinya. Namun, wanita itu tak membuka netra. Tubuhnya pun tampak tak bergerak sama sekali. Meski itu gerakan alamiah untuk menunjukkan bekerjanya pernapasan pun, hal itu tak mampu Louis lihat. Sementara sepanjang pipi hingga dagu menampakkan jejak tangisan yang kentara sekali belum sempat dihapus.Ketika Louis mendorong telunjuk mencoba menemukan deru napas meluncur dari lubang hidungnya, hal itu tak dapat dirasakan. Digeletakkan lagi wanita itu di atas ubin, denyut nadi maupun jantung tak lagi bergejolak seolah tubuh itu sudah kehilangan segala