Ketika Louis mengira dirinya akan dikembalikan ke Lambeth sehingga mampu bertemu si wanita yang tak sempat menjawab teleponnya, fakta itu tak pernah benar. Kini pria itu terpaksa menginjakkan kaki di halaman depan Arnhem Barracks yang begitu luas dengan sangat sedikit pria yang tampak. Kemungkinan beberapa pesawat dan pasukan lainnya yang berhasil mendarat dengan selamat di Kanada tak akan kembali dalam waktu dekat ini, sedangkan pria-pria yang ditelan lautan, ke mana perginya jasad mereka? Akankah kemiliteran sungguh tak mampu membawa pulang tubuh kaku itu ke depan pintu rumah?Sekiranya begitulah pertanyaan yang mengisi kepala Louis meskipun bibir tak kunjung melontarkan kata-kata yang sudah menghantui. Sebagai gantinya, Komandan Bellingfield menepuk bahu dia dan berkata, "Kemasi sisa barangmu, Wist. Kita akan meninggalkan barak ini."Pernyataan itu sedikit menghibur Louis. "Apakah aku akan pulang?"Komandan Bellingfield menggeleng. "Sandhurst, Wist. Jasad rekan kita yang telah tiad
Setelah semalaman Louis kesulitan tidur, hari yang dinanti pun datang juga. Bukan karena acara pemberian gelar oleh Ratu Elizabeth II yang dinantikannya hingga jam tidur terbuang semalam, tetapi momen di mana ia memiliki kesempatan untuk bertemu dengan keluarganya. Sempat tersimpan dipikiran apabila ia segera pulang ke Lambeth, mungkin ia membutuhkan waktu untuk kembali ke Newcastle karena tubuh yang kelelahan. Namun, jika keluarga yang ingin ditatap justru datang menemuinya kini, bukankah itu berarti dia tak harus berpergian jauh untuk melepas rindu? Itulah yang membuatnya merelakan jam tidur sebab ingin segera menyaksikan fajar.Setelan seragam baru dari kemiliteran pun segera membalut tubuhnya begitu acara membersihkan diri terselesaikan. Tak lupa ia mencoba merapikan segala hal terkait penampilan mengingat hari ini untuk pertama kali setelah sekian lama, dirinya akan menatap wajah-wajah yang dirindukan sekaligus Ratu Elizabeth II yang terhormat. Meski petualangan di lautan sempat
Acara terus berlangsung hingga jam makan siang hampir tiba. Begitu acara tersebut berakhir, keluarga kemiliteran terjebak dalam jamuan makan siang bersama sang ratu. Jamuan itu tak begitu menarik bagi Louis ketika pikirannya kembali tertuju pada si wanita kecintaan sehingga semua momen di istana menjadi hambar.Hingga jamuan makan siang berakhir dan Komandan Bellingfield memberitahukan soal penginapan kemiliteran malam ini, Louis masih memikirkan topik yang sama. Saat itu, ketika langit menampakkan goretan senja, ayahnya mengejutkan pria itu dengan kalimat, "Kami akan pulang sore ini, Louis. Kau tinggallah malam ini di penginapan untuk pulang besok pagi.""Mengapa tak menginap denganku? Hanya keluarga-keluarga yang kehilangan putra mereka yang pulang sore ini!" hardik Louis kentara sekali tak siap jika harus berpisah secepat itu.Namun, Richard seketika berkata, "Kau tahu ma tak suka London. Kau juga tahu itulah alasan mengapa aku dulu menolak ajakanmu mengunjungi Archibald Wistletone
Semenjak momen pengungkapan kebenaran itu, termasuk alasan di balik sambungan telepon yang tak pernah diizinkan meraih Emma, Louis kehilangan kata-kata hingga akhir petang. Sebagai gantinya, sungai tak dibiarkan berhenti mengalir di sepanjang kedua pipi sehingga mereka begitu mudah bermuara ke atas lantai tempatnya berpijak.Hati memang terlalu sulit menerima kenyataan yang begitu pahit. Kali ini prasangka kekhawatiran menemukan bukti, ia kehabisan waktu untuk menyaksikan gadis kecilnya tumbuh. Bahkan sebelum gadis itu berusia lima tahun, dia memilih meninggalkannya yang tak bersedia berhenti bergulat dengan waktu.Semua kenangan itu, hampir setiap momen yang membawanya pada percakapan masa lalu, di mana kata kembali ditukar untuk mengucap syukur sebab Emma selalu menceritakan pertumbuhan seorang Sylvia yang begitu cepat. Seolah Emma menanam satu benih di atas tanah kemudian menyiraminya setiap fajar dan senja, hingga benih itu tumbuh menjadi tanaman yang begitu cantik dan siap untuk
Permintaan sederhana Emma adalah hal yang sangat tak masuk akal baginya. Bahkan ketika ia mendengar langsung hari itu dan mencoba menemukan buku yang menyinggung kebangkitan orang mati di perpustakaan kota terdekat, tak ada satu pun yang memberikan petunjuk matang untuk dicoba. Hanya ada beberapa buku soal Victor Frankenstein dan kegilaannya menciptakan monster yang sungguh tak ingin dicoba. Ia ingin memberikan Emma seorang putri bukan monster.Oleh karena itu pula, keesokannya ia berkata, "Kau ingat apa yang Joseph Priestley katakan sebelum kematiannya?" Wanita itu hanya mengerling selagi tangan memegangi roti isi gemuk. "Aku akan tidur sepertimu; karena kematian hanyalah tidur yang sangat nyenyak di dalam makam, dan kita akan bertemu lagi. Aku bahkan masih mengingatmu mengatakan itu padaku setelah kepergian Ian. Dan apakah aku menginginkan Ian kembali hidup? Tentu iya. Tapi mampukah aku melakukannya? Jawabnya tidak. Tapi aku mampu merelakannya diselamatkan Tuhan.""Diselamatkan Tuha
Semua ide dan prasangka briliannya. hanyalah kemayaan dunia semata. Kepulangan Louis dari Belfast bersama seorang anak perempuan berambut dan bermata cokelat seperti cerminan putrinya pada foto di balik bingkai sempat mengejutkan Emma. Bukan mengejutkan dalam konteks yang buruk, meskipun tak sepenuhnya sesuai harapan Louis pula. Dia yang saat itu sedang berkutat di hadapan buku harian selagi punggung bersandar pada kepala ranjang segera beranjak ketika seorang pria dan anak perempuan berdiri di ambang pintu. Pekikkan mengundang nama yang diberikan pada putrinya pun sempat berkumandang bahkan kecupan serta pelukan penuh kerinduan sempat dirasakan Joan saat itu juga.Namun, ketika Emma menarik si anak perempuan dari pelukan hanya untuk memuaskan kerinduan akan tawa dan senyuman si putri, sudut-sudut bibir itu justru berlari ke arah sebaliknya. Emosi yang berwarna merah muda pun segera menampakkan merah pekat di palung dada. Ia berteriak, "Dia bukan Sylvia!" sebelum mengembalikkan anak p
Seharusnya Louis merasa terhibur dengan pertemuan serta traktiran dadakan dari Adam Wistletone. Namun, ketika ia mendorong pintu kediaman yang menunjukkan ruang keluarga sepi dan berantakan, embusan napas kelelahan pun ditampakkan. Memang sulit untuk dipercaya bagi Louis yang memiliki pelayan tetap saja memikirkan ketidakteraturan dalam penataan furnitur rumahnya. Namun, Alma sendiri kini sedang mengumpulkan beberapa kepingan piring di dapur ketika pria itu melenggang masuk untuk meletakkan sekardus besar berisikan kardus-kardus susu lainnya."Maaf, Tuan, saya akan membereskan semuanya secepat mungkin." Meski ucapan Alma terdengar menghibur, Louis masih tak menampakkan senyuman."Di mana Sylvia?" Dia mulai terbiasa memanggil Joan dengan nama yang Emma berikan untuk buah hatinya."Jo—maksud saya Sylvia ada bersama Nona Harrel di kamar."Jawaban itu menuntun Louis untuk menarik gelas yang kemudian diisi air putih setelahnya. Ia pun sempat menarik kursi dan menutup netra untuk merasakan
Semenjak direngkuhnya ketidakberdayaan Emma dalam genggaman Louis, kemudian janji untuk tak membiarkannya pergi dengan cara tak terhormat diikat melalui tiap tetes darah, dan berakhir dengan mencoba mewarnai biru yang kelabu menjadi warna lain yang lebih pantas menghiasi, saat itulah tak ada embun di balik pagar di netra yang menetes hanya untuk menenggelamkan diri ke lautan masa lalu. Kemungkinan lembaran buku dengan kertas kekuningan yang ternodai isakan pun, akan segera di balik halamannya hanya untuk melukiskan sesuatu selain lara. Maka kisah yang sedang diperjuangkan untuk terwujud, dimulai dari langkah menarik gagang telepon sebelum menyapa seseorang di seberang sana.Tarikan sudut bibir yang khas tak akan terukir di wajah lain. Hanya ada satu dan itu miliknya yang telah lama direnggut kenyataan. Namun, kemayaan yang dibangun mencoba diruntuhkan sehingga tak ada lagi topeng yang harus dipakai seperti sepanjang malam di Venezia pada bulan Februari. Ia pun, si pemilik tarikan sudu
Dua bulan semenjak pertemuannya dengan Dan Nordstrom, dia masih belum menemukan jawaban. Sebuah kotak—sama persis dengan milik Louis Wistletone ketika ia masih menjadi kepala sekolah di sana—berdiri di sudut meja yang sama. Kebenaran dan kebohongan ada di dalamnya. Apabila Pete mencoba memilih mana yang harus dikatakan lebih dulu, ia tak tahu. Keduanya harus dikatakan bersamaan. Sehingga sore ini ia memilih untuk pulang, kendati tinggal di asrama Wistletone’s School seperti beberapa hari sebelumnya.Jikalau kotak itu milik Louis yang diwariskan untuknya, maka ia memiliki benda untuk diwariskan pula nantinya; sebuah jurnal. Mungkin terdengar tak menyenangkan, tapi sama seperti kotak Louis dengan rahasia di dalamnya, ia juga memiliki beberapa di dalam jurnal itu. Yang Pete butuhkan hanyalah seseorang untuk dipercaya menjaga rahasia dalam jurnal dia.Ia baru saja menuruni beberapa anak tangga ketika kotak itu nyaris lolos dari dekapannya sebab sepasang anak laki-laki berumur 14 tahunan b
The Teahouse tampak berbeda di abad kedua puluh satu. Tidak, bukan karena pelayannya telah digantikan robot semenjak Nyonya Bache pergi. Tidak juga karena interior antiknya berubah mengusung gaya Inggris modern. Mereka tetap serupa, tapi di bawah naungan atmosfer yang berbeda. Bahkan tempat ini sekarang menyajikan kopi semenjak kebudayaan mengonsumsi kopi tak lagi asing di lidah masyarakat Inggris. Tempat ini pun memiliki tambahan & Cafè setelah kata Teahouse dan mereka menghapus awalan The. Meskipun demikian, pria dengan koper persegi panjang di lantai tak pernah mengubah selera tehnya meski kopi mulai menjajaki daftar terfavorit.Pria itu kini memandang beberapa lembar kertas di dalam sebuah stopmap selagi menanti teh pesanannya tiba untuk dicicipi. Ketika ia selesai menumpuk rapi semua kertas dan memasukkannya kembali ke dalam koper, sebuah jurnal dari dalam sana mengganti posisi si stopmap. Tangan menarikan pena itu untuk menulis 28 April 2010. Tak ada perubahan. Masih aku. Masih
Ketika halaman Wistletone's School tampak senyap sebab semua orang disibukkan dengan pembelajaran, sepasang anak laki-laki justru mengendap-endap menuju sisi lain lapangan utama Wistletone's untuk sebuah aksi. Salah satu dari mereka tampak ketakutan dan hampir mengurungkan aksi yang terencana, tapi satunya lagi justru tampak bersemangat dan berkata, "Jangan khawatir, Alexis. Ini akan menyenangkan! Aku berani jamin!" Ia pun mendorong diri lebih jauh menuju objek incarannya."Tapi kita bisa terlibat masalah, Knox! Aku tak ingin dimarahi ayah lagi."Teman sebayanya pun segera melambaikan tangan di udara. "Jangan pedulikan. Ikuti saja perintahku untuk lari setelah ini, maka kau akan selamat dari kejaran bapa."Meski Alexis tampak ingin melontarkan patah kata lainnya, si anak bernama Knox sudah dulu memegangi sebuah tali yang cukup tebal.Kini, Alexis pun terpaksa menggenggam tali itu dan keduanya menghitung dengan cekikikan—atau justru hanya Knox yang tampak bersemangat. "Satu, dua, tiga!
Semalam, awan menangis hebat untuk alasan yang tak pasti. Sehingga pagi ini, dedaunan masih berkeringat dingin menanti sang surya membasuh peluh itu. Atmosfer pun mendingin meski sinar surya berhasil menembus kumpulan awan tipis yang menjulurkan leher mereka untuk mengintip kehidupan di Newcastle pada awal musim gugur, tepatnya pada tanggal sembilan september seribu sembilan ratus delapah puluh sembilan.Seorang pria yang telah mengenakan kemeja dengan balutan vest pun masih berdiri di hadapan kaca selagi gigi saling bergulat menghancurkan secuil roti di dalam mulut. Ia menarik sebuah sisir dari tempatnya untuk merapikan tatanan rambut yang sudah sempurna. Bahkan pagi ini, ia baru saja membersihkan kumis dan berewok seolah sungguh bersiap untuk sebuah pertemuan istimewa.Begitu suara ketukan pintu terdengar, ia segera meletakkan sisirnya dan meneguk habis teh dalam cangkir. Ditariklah gagang pintu itu menampakkan seorang pria dengan sebuket bunga besar yang tampak segar. Ia pun puas m
Sang surya terus didorong rotasi bumi menuju cakrawala yang masih jauh di seberang sana. Sementara itu, Ruenna sendiri baru saja melambaikan tangan setelah mengucapkan terima kasih sehingga Anthony bisa melanjutkan perjalanannya menuju Grainger Town yang diramaikan beberapa pelayat pula untuk jamuan.Puluhan topik melilit percakapan antara dua orang bahkan lebih ketika Louis mendorong diri mengisi salah satu ruang di ruang tamunya. Beberapa hidangan pun tampak mulai dicicipi lidah-lidah para pelayat yang sempat menunjukkan simpati mereka kepada Louis. Pria itu hanya mengangguk, tapi tak tertarik untuk melibatkan diri pada topik yang mereka tawarkan. Sebagai gantinya, ia mencoba menemukan Sylvia yang masih bersama Virginia di perpustakaan sejak ia menuju Jesmond.Ia menyadari bahwa Judith Hope baru saja mendorong diri meninggalkan perpustakaan dengan nampan di tangan. Ketika ia mencoba mengacuhkan wanita itu, ia justru mengelus bahu Louis sekilas selagi netra mencoba memberikan kekuata
Ketika para pelayat mulai berdatangan dan ibadah penghiburan terlalui sudah, peti Emma kembali mengisi ruang di perut ambulan menuju tempat di mana jutaan kisah tinggal. Kali ini Louis ada di sisinya tanpa Sylvia yang kemungkinan berada di bawah asuhan Virginia. Sementara seberhenti ambulan itu tepat di hadapan gerbang berkarat setinggi perut milik pemakaman Jesmond, beberapa orang sudah mendahului Louis mengisi ruang di beberapa sisi lubang galian untuk peti Emma.Pintu ambulan yang terbuka membuat Richard bertatapan dengan emosi Louis yang baru saja menetes tanpa disadari. Pria itu pun menarik napas perlahan sebelum melarikan tangan untuk menggenggam tangan putranya. ❝Whose heart plowing an ungainly perpetually, will never find an undaunted space.❞Namun, ucapan itu membuat Louis menggelengkan kepala sehingga tetesan emosi lainnya luruh sudah. "Jangan memberiku nasihat yang tak bisa dipraktikan, Pap. Aku sudah menyinggung soal kehidupan kita yang berbeda. Semua ini tak akan mudah un
Ketika rembulan belum bersedia ditelan cakrawala, tak ada satu hal pun yang mampu menyelamatkannya dari duka. Bahkan memori kebohongan semalam pun sempat terganti begitu beberapa orang melenggang masuk ke dalam kamarnya hanya untuk membawa Emma pergi dari belenggu kehidupan yang ingin ditinggalkan.Orang-orang dari rumah sakit segera mengevakuasi tubuh tak tersentuh kehidupan itu beberapa jam setelah semua sandiwara Louis terlaksana. Hal itu pula yang menyebabkan beberapa orang dari rumah sakit tak menyimpan banyak tanda tanya di kepala begitu melihat wajah Colin Marlowe.Tampaknya skenario kebohongan Louis yang terencana disetujui oleh Tuhan seolah Tuhan pun ingin menyelamatkan nasib Louis kali ini yang terikat nama keluarga dan latar belakang Sylvia—Joan Creveld. Namun, semua skenario yang telah ditulis tak sama sekali membantu Louis menerima takdir ketika kakinya menginjak lantai rumah sakit untuk menyaksikan betapa kering tubuh Emma seperti harapan si wanita. Ia merasa bersalah se
Sepasang iris Louis berdetak menyaksikan seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun mendorong kaki itu cepat menuju seorang wanita yang terbaring lemah di atas ubin yang sangat terawat. Begitu si wanita sudah dalam jangkauan, diangkatlah kepala itu mencoba membawanya kembali ke kehidupan. Tubuh pun sempat diguncang berkali-kali sementara jantung Louis sudah diramaikan ketakutan."Emma!" pekiknya cukup keras selagi tangan menampar pelan pipinya. Namun, wanita itu tak membuka netra. Tubuhnya pun tampak tak bergerak sama sekali. Meski itu gerakan alamiah untuk menunjukkan bekerjanya pernapasan pun, hal itu tak mampu Louis lihat. Sementara sepanjang pipi hingga dagu menampakkan jejak tangisan yang kentara sekali belum sempat dihapus.Ketika Louis mendorong telunjuk mencoba menemukan deru napas meluncur dari lubang hidungnya, hal itu tak dapat dirasakan. Digeletakkan lagi wanita itu di atas ubin, denyut nadi maupun jantung tak lagi bergejolak seolah tubuh itu sudah kehilangan segala
Beberapa momen tercipta sangatlah serupa dengan ekspetasi. Beberapa lagi tercipta lebih baik dari garis rata-rata ekspetasi. Namun, kali ini, momen tak begitu menyenangkan kembali menghampiri akibat waktu yang selalu merespons layaknya gazelle di balik semak-semak. Mereka berlarian begitu cepat untuk mengubah jam menjadi hari. Akibat ulah si waktu yang kelewat cepat untuk sebuah hal fana, sepasang kekasih yang telah mencicipi berbagai rasa kehidupan kembali disaksikan stasiun serupa.Mungkin beberapa hal tampak sama di netra Louis. Namun, selalu ada hal berbeda yang disuguhkan untuknya setiap kali kata perpisahan mengantarkan ke area stasiun bersama setelan jasnya. Bibir masih terkatup ketika tangan itu bertengger di sisi wajah Emma sementara Sylvia ada di gendongan Alma. Gigi gerahamnya bertemu menciptakan bunyi ting yang sangatlah pelan guna menghapus keraguan."Aku tak akan pergi untuk selamanya. Jangan berikan aku kejutan, Emma. Ketika aku pulang, tak ada lagi kesengsaraan yang ka