Renata baru saja menempelkan bokongnya ke kursi penumpang, tetapi ponsel yang ia letakkan di sakunya sudah bergetar. Wanita itu berdecak kesal. Suara notifikasinya sudah ia bedakan sebelumnya. Membuat Renata sudah mengetahui siapa orang yang sudah menghubunginya itu.Wanita itu mengacuhkan panggilan dari orang itu dan lebih memilih untuk mengambil sebotol minuman yang ada di depannya. Ia lantas meneguknya hingga tandas.Sebuah peringatan untuk mematikan daya ponsel sudah terdengar. Renata pun segera mematikan jaringan data di ponselnya dan membuatnya menjadi mode pesawat. Lalu ia memasukkan gawainya itu ke dalam sling bag hitam yang ia bawa. Renata akan memanfaatkan waktu selama tujuh belas jam perjalanan ini untuk beristirahat, tanpa diganggu dengan panggilan dan teror menyebalkan dari pria itu. Setidaknya Renata bisa membebaskan dirinya dari ketakutan sampai ia benar-benar berhadapan dengan pria itu.Renata benar-benar memanfaatkan istirahatnya dengan baik. Ia tertidur saat pesawat
Aleta pun memutuskan untuk mengangkat kakinya dari ruang rawat inap menantunya. Ia tak menyangka, kalau orang yang dulu menjadi sahabat putrinya itu akan berpihak pada seseorang yang membunuh putrinya. Wanita itu mengepalkan tangannya erat. Ia menghentakan kakinya di koridor rumah sakit.Tak peduli dengan tatapan tak nyaman orang di sekitarnya. Aleta berbelok menuju lift untuk turun ke lantai dasar. Wanita itu menekan dengan kasar tombol lift yang bertanda panah ke bawah. Kemudian ia melipat kedua tangannya di depan dada seraya menunggu lift itu terbuka.Kala pintu lift itu terbuka, Aleta pun segera masuk ke dalamnya. Kini ia tak peduli lagi dengan kondisi menantunya. Emosinya yang meledak-ledak saat ini membuatnya memutuskan untuk kembali pulang ke rumah."Davina! Tega-teganya kau mengkhianati anakku," desis Aleta seraya mengepalkan tangannya. Aleta sudah salah menilai Davina. Ia menyadari di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar akan setia. Aleta sudah menemukan banyak kasus pe
Aleta menggeram kesal saat melihat putranya yang tampak acuh tak acuh. Bagaimana bisa anaknya itu sangat mempercayai sahabatnya. Padahal Aleta dapat melihatnya dengan jelas, kalau sahabat dari putranya itu menyimpan rasa kepada menantunya.Langit yang baru saja usai menghabiskan makanannya langsung beranjak dari tempat duduknya. Aleta membuang tatapan matanya ke arah lain. Bahkan ia tak memedulikan anaknya yang menghampirinya dan mencium keningnya itu.Namun, Aleta masih dengan sikapnya yang tak mau menoleh ke arah anaknya sedikit pun. Langit yang merasa diacuhkan oleh sang mama pun tak ambil pusing. Ia menarik tubuhnya menjauh dan pergi ke kamarnya.Aleta yang melihat itu berdecih kasar. Lalu ia melempar sendok dan garpu yang ada di tangannya. "Ini sangat menyebalkan. Kenapa orang-orang di sekitarku hari ini membuatku kesal," ucapnya sambil menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi dengan kedua tangan terlipat di depan dada."Apa Langit harus melihat secara langsung dulu bagaimana sa
Kesabaran Renata sudah habis, lelaki itu menelepon, memberitahu di mana tempat pertemuan mereka.“Jadi, sampai bertemu, Sayang,” katanya lalu memutus sambungan telepon.Tentu saja sikapnya itu membuat Renata kesal setengah mati. Dia lalu bergegas untuk ke tempat lelaki itu. Langkahnya tergesa meninggalkan hotel tempat dia menginap.Berjalan disisi pedestrian Jerman harusnya menjadi daya tarik tersendiri untuk Renata. Selain panoramanya yang asri dan juga udaranya yang sejuk, penghuni negara ini alias manusianya berbeda dengan Indonesia yang notabene Asia.Namun, bagi Renata pemandangan seperti itu biasa saja, sepanjang berjalan dari hotel hingga apartemen lelaki itu, dia merutuk sendiri. Menyesal mengapa dulu pernah berhubungan dengannya. Dan sekarang sudah menjauh dan menghilang sebisa mungkin, lelaki itu datang lagi. Tubuhnya yang mungil sambil membawa tas berisi uang dan tas kecil berisi ponsel dan dompet, berjalan tergesa diantara kaukasia, membuatnya seperti tenggelam.Jarak anta
Danas hari itu sudah siap-siap akan pulang ke rumah. Dia mengemas pakaian dan barang-barang yang ada di rumah sakit. Davina yang menemani Danas sesekali mendengkus, geleng-geleng kepala melihat Danas yang begitu sabar membereskan barang punya Langit. Suaminya memang ikutan menginap, namun ketika Danas mau pulang, lelaki itu malah tidak muncul. “Memang apa alasannya Langit tidak menjemputmu? Harusnya dia ada di sini demi anaknya juga,” mata Davina melirik ke arah perut Danas yang membesar. “Ini juga membuktikan kalau dia bukan lelaki baik-baik, ck!” Danas mengedikkan bahu, “Dia bilang ada meeting yang tidak bisa ditinggalkan.” Dia lalu menghela napas, lalu duduk di tepian ranjang. Mengelus perutnya yang membesar. Aktivitasnya tidak banyak, tetapi Danas sudah kelelahan. Dia lalu mengeluarkan ponsel yang ada di sakunya. “Kita pulang naik taksi online saja, aku pesankan dulu.” “Jangan!” sergah Davina langsung. “Aku akan meminta kakakku mengantar.” Danas lama kelamaan tidak enak juga ka
"Bagaimana dengan keadaan di sana?" tanya Davina dari ujung telepon.Danas mengganti benda pipih yang awalnya ia tempelkan pada telinga kanan menjadi telinga kiri."Yah, seperti biasanya saja. Aku tak merasakan perbedaannya," jawab Danas santai. Seakan jawaban dari pertanyaan Davina itu sama sekali tak mempengaruhinya.Davina yang berada di ujung telepon mengernyitkan keningnya. "Apa kau kuat berada di rumah yang tak seperti rumah? Itu lebih seperti penjara yang dingin," jawab Davina ketus.Ia menjadi salah satu orang yang tak terima melihat Danas mendapat perlakuan dingin dari orang-orang yang berstatus sebagai keluarga Danas sendiri. Andaikan Danas bisa dipengaruhi, Davina ingin menghasut Danas untuk pindah ke rumahnya. Setidaknya selama Danas masih dalam kondisi pemulihan. Apalagi Danas tengah mengandung. Davina pernah dengar, kalau ibu yang sedang mengandung itu harus dalam kondisi selalu bahagia. Hal itu karena bisa berpengaruh pada perkembangan janin.Namun, melihat kondisi kehi
David mengerjap, ia mencoba membuka mata sambil meraba Bianca yang tengah di samping. Menyadari jika wanita yang dicarinya tidak ada, ia segera membuka mata dengan paksa.Pergerakan matanya menyapu bersih seluruh area kamar. Ia bangun dan melihat beberapa barang bergeser. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan memeriksa laci tempat dia menyimpan flashdisk, dan ternyata sudah tidak ada di sana. Dia tahu bahwa Bianca pasti yang mengambilnya.“Renata, kau–” David bermonolog sendiri, sesaat senyum tipis terbit di bibirnya. “Sepertinya kau ingin bermain-main denganku,” monolognya.Suara tawa kemudian menggema. Dia sama sekali tidak khawatir jika Bianca mengambil flashdisk itu. Walaupun wanita itu menghilangkan bukti mengenai pembunuhannya, tapi dia adalah saksi kejadian.David tersenyum ketika dia memikirkan Bianca. Dia tahu jika hal seperti ini akan terjadi.Sedangkan Bianca yang tengah berada di dalam pesawat memeriksa isi flashdisk, memastikan jika flashdisk tersebut benar. Tangannya b
Renata baru saja kembali, ia menarik koper masuk ke dalam rumah. Bertepatan dengan itu pula Langit baru saja akan berangkat ke kantor. Melihat Renata baru saja kembali, membuatnya segera memeluk sang wanita."Aku sangat merindukanmu," seru Langit."Aku juga merindukanmu," kata Renata.“Kenapa kau tidak menghubungiku? Aku bisa menjemputmu di airport.”Mereka berdua saling berpelukan erat, menikmati hangatnya tubuh masing-masing. “Aku ingin membuat kejutan untukmu,” ucap Bianca.Dari lantai atas, Danas melihat adegan itu. Danas menghela napas. Dia sudah menikah dengan Langit selama beberapa bulan, tetapi dia tidak pernah mendapatkan cinta dari pria itu. Langit selalu memberikan cintanya pada Renata, perhatian pria itu hanya karena dia tengah hamil.Renata pun melihat Danas. Dia tersenyum seakan mengejek Danas.Renata tahu bahwa Danas sedang cemburu, tetapi dia tidak peduli. Dia hanya senang bisa kembali bersama Langit, pria yang dicintainya.Danas merasa sakit hati melihat Renata tersen