Aleta pun memutuskan untuk mengangkat kakinya dari ruang rawat inap menantunya. Ia tak menyangka, kalau orang yang dulu menjadi sahabat putrinya itu akan berpihak pada seseorang yang membunuh putrinya. Wanita itu mengepalkan tangannya erat. Ia menghentakan kakinya di koridor rumah sakit.Tak peduli dengan tatapan tak nyaman orang di sekitarnya. Aleta berbelok menuju lift untuk turun ke lantai dasar. Wanita itu menekan dengan kasar tombol lift yang bertanda panah ke bawah. Kemudian ia melipat kedua tangannya di depan dada seraya menunggu lift itu terbuka.Kala pintu lift itu terbuka, Aleta pun segera masuk ke dalamnya. Kini ia tak peduli lagi dengan kondisi menantunya. Emosinya yang meledak-ledak saat ini membuatnya memutuskan untuk kembali pulang ke rumah."Davina! Tega-teganya kau mengkhianati anakku," desis Aleta seraya mengepalkan tangannya. Aleta sudah salah menilai Davina. Ia menyadari di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar akan setia. Aleta sudah menemukan banyak kasus pe
Aleta menggeram kesal saat melihat putranya yang tampak acuh tak acuh. Bagaimana bisa anaknya itu sangat mempercayai sahabatnya. Padahal Aleta dapat melihatnya dengan jelas, kalau sahabat dari putranya itu menyimpan rasa kepada menantunya.Langit yang baru saja usai menghabiskan makanannya langsung beranjak dari tempat duduknya. Aleta membuang tatapan matanya ke arah lain. Bahkan ia tak memedulikan anaknya yang menghampirinya dan mencium keningnya itu.Namun, Aleta masih dengan sikapnya yang tak mau menoleh ke arah anaknya sedikit pun. Langit yang merasa diacuhkan oleh sang mama pun tak ambil pusing. Ia menarik tubuhnya menjauh dan pergi ke kamarnya.Aleta yang melihat itu berdecih kasar. Lalu ia melempar sendok dan garpu yang ada di tangannya. "Ini sangat menyebalkan. Kenapa orang-orang di sekitarku hari ini membuatku kesal," ucapnya sambil menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi dengan kedua tangan terlipat di depan dada."Apa Langit harus melihat secara langsung dulu bagaimana sa
Kesabaran Renata sudah habis, lelaki itu menelepon, memberitahu di mana tempat pertemuan mereka.“Jadi, sampai bertemu, Sayang,” katanya lalu memutus sambungan telepon.Tentu saja sikapnya itu membuat Renata kesal setengah mati. Dia lalu bergegas untuk ke tempat lelaki itu. Langkahnya tergesa meninggalkan hotel tempat dia menginap.Berjalan disisi pedestrian Jerman harusnya menjadi daya tarik tersendiri untuk Renata. Selain panoramanya yang asri dan juga udaranya yang sejuk, penghuni negara ini alias manusianya berbeda dengan Indonesia yang notabene Asia.Namun, bagi Renata pemandangan seperti itu biasa saja, sepanjang berjalan dari hotel hingga apartemen lelaki itu, dia merutuk sendiri. Menyesal mengapa dulu pernah berhubungan dengannya. Dan sekarang sudah menjauh dan menghilang sebisa mungkin, lelaki itu datang lagi. Tubuhnya yang mungil sambil membawa tas berisi uang dan tas kecil berisi ponsel dan dompet, berjalan tergesa diantara kaukasia, membuatnya seperti tenggelam.Jarak anta
Danas hari itu sudah siap-siap akan pulang ke rumah. Dia mengemas pakaian dan barang-barang yang ada di rumah sakit. Davina yang menemani Danas sesekali mendengkus, geleng-geleng kepala melihat Danas yang begitu sabar membereskan barang punya Langit. Suaminya memang ikutan menginap, namun ketika Danas mau pulang, lelaki itu malah tidak muncul. “Memang apa alasannya Langit tidak menjemputmu? Harusnya dia ada di sini demi anaknya juga,” mata Davina melirik ke arah perut Danas yang membesar. “Ini juga membuktikan kalau dia bukan lelaki baik-baik, ck!” Danas mengedikkan bahu, “Dia bilang ada meeting yang tidak bisa ditinggalkan.” Dia lalu menghela napas, lalu duduk di tepian ranjang. Mengelus perutnya yang membesar. Aktivitasnya tidak banyak, tetapi Danas sudah kelelahan. Dia lalu mengeluarkan ponsel yang ada di sakunya. “Kita pulang naik taksi online saja, aku pesankan dulu.” “Jangan!” sergah Davina langsung. “Aku akan meminta kakakku mengantar.” Danas lama kelamaan tidak enak juga ka
"Bagaimana dengan keadaan di sana?" tanya Davina dari ujung telepon.Danas mengganti benda pipih yang awalnya ia tempelkan pada telinga kanan menjadi telinga kiri."Yah, seperti biasanya saja. Aku tak merasakan perbedaannya," jawab Danas santai. Seakan jawaban dari pertanyaan Davina itu sama sekali tak mempengaruhinya.Davina yang berada di ujung telepon mengernyitkan keningnya. "Apa kau kuat berada di rumah yang tak seperti rumah? Itu lebih seperti penjara yang dingin," jawab Davina ketus.Ia menjadi salah satu orang yang tak terima melihat Danas mendapat perlakuan dingin dari orang-orang yang berstatus sebagai keluarga Danas sendiri. Andaikan Danas bisa dipengaruhi, Davina ingin menghasut Danas untuk pindah ke rumahnya. Setidaknya selama Danas masih dalam kondisi pemulihan. Apalagi Danas tengah mengandung. Davina pernah dengar, kalau ibu yang sedang mengandung itu harus dalam kondisi selalu bahagia. Hal itu karena bisa berpengaruh pada perkembangan janin.Namun, melihat kondisi kehi
David mengerjap, ia mencoba membuka mata sambil meraba Bianca yang tengah di samping. Menyadari jika wanita yang dicarinya tidak ada, ia segera membuka mata dengan paksa.Pergerakan matanya menyapu bersih seluruh area kamar. Ia bangun dan melihat beberapa barang bergeser. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan memeriksa laci tempat dia menyimpan flashdisk, dan ternyata sudah tidak ada di sana. Dia tahu bahwa Bianca pasti yang mengambilnya.“Renata, kau–” David bermonolog sendiri, sesaat senyum tipis terbit di bibirnya. “Sepertinya kau ingin bermain-main denganku,” monolognya.Suara tawa kemudian menggema. Dia sama sekali tidak khawatir jika Bianca mengambil flashdisk itu. Walaupun wanita itu menghilangkan bukti mengenai pembunuhannya, tapi dia adalah saksi kejadian.David tersenyum ketika dia memikirkan Bianca. Dia tahu jika hal seperti ini akan terjadi.Sedangkan Bianca yang tengah berada di dalam pesawat memeriksa isi flashdisk, memastikan jika flashdisk tersebut benar. Tangannya b
Renata baru saja kembali, ia menarik koper masuk ke dalam rumah. Bertepatan dengan itu pula Langit baru saja akan berangkat ke kantor. Melihat Renata baru saja kembali, membuatnya segera memeluk sang wanita."Aku sangat merindukanmu," seru Langit."Aku juga merindukanmu," kata Renata.“Kenapa kau tidak menghubungiku? Aku bisa menjemputmu di airport.”Mereka berdua saling berpelukan erat, menikmati hangatnya tubuh masing-masing. “Aku ingin membuat kejutan untukmu,” ucap Bianca.Dari lantai atas, Danas melihat adegan itu. Danas menghela napas. Dia sudah menikah dengan Langit selama beberapa bulan, tetapi dia tidak pernah mendapatkan cinta dari pria itu. Langit selalu memberikan cintanya pada Renata, perhatian pria itu hanya karena dia tengah hamil.Renata pun melihat Danas. Dia tersenyum seakan mengejek Danas.Renata tahu bahwa Danas sedang cemburu, tetapi dia tidak peduli. Dia hanya senang bisa kembali bersama Langit, pria yang dicintainya.Danas merasa sakit hati melihat Renata tersen
Jagad melihat Danas pergi sambil membanting pintu kamar. Terlihat jelas jika Danas benar-benar kesal.Raut wajah Jagad berubah sedetik kemudian, melihat ke arah Langit. “Kau benar-benar keterlaluan, Langit.”“Keterlaluan? Apa kau membela wanita itu?”“Dia istrimu, bukan wanita itu,” bantah Jagad sambil melangkah keluar.“Apa kau menyukai istriku?” tanya Langit membuat langkah jagad terhenti, terdengar suara kekehan pelan berasal dari Jagad, ia tersenyum kemudian keluar kamar tanpa menjawab pertanyaan Langit.Senyuman Jagad yang seperti itu membuat perasaan Langit tidak karuan. Pikirannya mendadak ingat dengan apa yang dikatakan sang mama beberapa waktu lalu.Jagad yang keluar mencari keberadaan Danas. Tempat yang dituju adalah taman, dia tahu jika Danas akan berada di sana.“Apa itu tadi?” Sebuah suara mengejutkan Danas.“Kak Jagad.”“Tidak seperti biasanya.”Danas menghela napas kasar. “Dia mengejekku,” gerutu Danas sambil menggembungkan pipi membuat Jagad tidak bisa tidak mengusap p
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu