Kesabaran Renata sudah habis, lelaki itu menelepon, memberitahu di mana tempat pertemuan mereka.“Jadi, sampai bertemu, Sayang,” katanya lalu memutus sambungan telepon.Tentu saja sikapnya itu membuat Renata kesal setengah mati. Dia lalu bergegas untuk ke tempat lelaki itu. Langkahnya tergesa meninggalkan hotel tempat dia menginap.Berjalan disisi pedestrian Jerman harusnya menjadi daya tarik tersendiri untuk Renata. Selain panoramanya yang asri dan juga udaranya yang sejuk, penghuni negara ini alias manusianya berbeda dengan Indonesia yang notabene Asia.Namun, bagi Renata pemandangan seperti itu biasa saja, sepanjang berjalan dari hotel hingga apartemen lelaki itu, dia merutuk sendiri. Menyesal mengapa dulu pernah berhubungan dengannya. Dan sekarang sudah menjauh dan menghilang sebisa mungkin, lelaki itu datang lagi. Tubuhnya yang mungil sambil membawa tas berisi uang dan tas kecil berisi ponsel dan dompet, berjalan tergesa diantara kaukasia, membuatnya seperti tenggelam.Jarak anta
Danas hari itu sudah siap-siap akan pulang ke rumah. Dia mengemas pakaian dan barang-barang yang ada di rumah sakit. Davina yang menemani Danas sesekali mendengkus, geleng-geleng kepala melihat Danas yang begitu sabar membereskan barang punya Langit. Suaminya memang ikutan menginap, namun ketika Danas mau pulang, lelaki itu malah tidak muncul. “Memang apa alasannya Langit tidak menjemputmu? Harusnya dia ada di sini demi anaknya juga,” mata Davina melirik ke arah perut Danas yang membesar. “Ini juga membuktikan kalau dia bukan lelaki baik-baik, ck!” Danas mengedikkan bahu, “Dia bilang ada meeting yang tidak bisa ditinggalkan.” Dia lalu menghela napas, lalu duduk di tepian ranjang. Mengelus perutnya yang membesar. Aktivitasnya tidak banyak, tetapi Danas sudah kelelahan. Dia lalu mengeluarkan ponsel yang ada di sakunya. “Kita pulang naik taksi online saja, aku pesankan dulu.” “Jangan!” sergah Davina langsung. “Aku akan meminta kakakku mengantar.” Danas lama kelamaan tidak enak juga ka
"Bagaimana dengan keadaan di sana?" tanya Davina dari ujung telepon.Danas mengganti benda pipih yang awalnya ia tempelkan pada telinga kanan menjadi telinga kiri."Yah, seperti biasanya saja. Aku tak merasakan perbedaannya," jawab Danas santai. Seakan jawaban dari pertanyaan Davina itu sama sekali tak mempengaruhinya.Davina yang berada di ujung telepon mengernyitkan keningnya. "Apa kau kuat berada di rumah yang tak seperti rumah? Itu lebih seperti penjara yang dingin," jawab Davina ketus.Ia menjadi salah satu orang yang tak terima melihat Danas mendapat perlakuan dingin dari orang-orang yang berstatus sebagai keluarga Danas sendiri. Andaikan Danas bisa dipengaruhi, Davina ingin menghasut Danas untuk pindah ke rumahnya. Setidaknya selama Danas masih dalam kondisi pemulihan. Apalagi Danas tengah mengandung. Davina pernah dengar, kalau ibu yang sedang mengandung itu harus dalam kondisi selalu bahagia. Hal itu karena bisa berpengaruh pada perkembangan janin.Namun, melihat kondisi kehi
David mengerjap, ia mencoba membuka mata sambil meraba Bianca yang tengah di samping. Menyadari jika wanita yang dicarinya tidak ada, ia segera membuka mata dengan paksa.Pergerakan matanya menyapu bersih seluruh area kamar. Ia bangun dan melihat beberapa barang bergeser. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan memeriksa laci tempat dia menyimpan flashdisk, dan ternyata sudah tidak ada di sana. Dia tahu bahwa Bianca pasti yang mengambilnya.“Renata, kau–” David bermonolog sendiri, sesaat senyum tipis terbit di bibirnya. “Sepertinya kau ingin bermain-main denganku,” monolognya.Suara tawa kemudian menggema. Dia sama sekali tidak khawatir jika Bianca mengambil flashdisk itu. Walaupun wanita itu menghilangkan bukti mengenai pembunuhannya, tapi dia adalah saksi kejadian.David tersenyum ketika dia memikirkan Bianca. Dia tahu jika hal seperti ini akan terjadi.Sedangkan Bianca yang tengah berada di dalam pesawat memeriksa isi flashdisk, memastikan jika flashdisk tersebut benar. Tangannya b
Renata baru saja kembali, ia menarik koper masuk ke dalam rumah. Bertepatan dengan itu pula Langit baru saja akan berangkat ke kantor. Melihat Renata baru saja kembali, membuatnya segera memeluk sang wanita."Aku sangat merindukanmu," seru Langit."Aku juga merindukanmu," kata Renata.“Kenapa kau tidak menghubungiku? Aku bisa menjemputmu di airport.”Mereka berdua saling berpelukan erat, menikmati hangatnya tubuh masing-masing. “Aku ingin membuat kejutan untukmu,” ucap Bianca.Dari lantai atas, Danas melihat adegan itu. Danas menghela napas. Dia sudah menikah dengan Langit selama beberapa bulan, tetapi dia tidak pernah mendapatkan cinta dari pria itu. Langit selalu memberikan cintanya pada Renata, perhatian pria itu hanya karena dia tengah hamil.Renata pun melihat Danas. Dia tersenyum seakan mengejek Danas.Renata tahu bahwa Danas sedang cemburu, tetapi dia tidak peduli. Dia hanya senang bisa kembali bersama Langit, pria yang dicintainya.Danas merasa sakit hati melihat Renata tersen
Jagad melihat Danas pergi sambil membanting pintu kamar. Terlihat jelas jika Danas benar-benar kesal.Raut wajah Jagad berubah sedetik kemudian, melihat ke arah Langit. “Kau benar-benar keterlaluan, Langit.”“Keterlaluan? Apa kau membela wanita itu?”“Dia istrimu, bukan wanita itu,” bantah Jagad sambil melangkah keluar.“Apa kau menyukai istriku?” tanya Langit membuat langkah jagad terhenti, terdengar suara kekehan pelan berasal dari Jagad, ia tersenyum kemudian keluar kamar tanpa menjawab pertanyaan Langit.Senyuman Jagad yang seperti itu membuat perasaan Langit tidak karuan. Pikirannya mendadak ingat dengan apa yang dikatakan sang mama beberapa waktu lalu.Jagad yang keluar mencari keberadaan Danas. Tempat yang dituju adalah taman, dia tahu jika Danas akan berada di sana.“Apa itu tadi?” Sebuah suara mengejutkan Danas.“Kak Jagad.”“Tidak seperti biasanya.”Danas menghela napas kasar. “Dia mengejekku,” gerutu Danas sambil menggembungkan pipi membuat Jagad tidak bisa tidak mengusap p
Danas dan Davina berlari keluar rumah dengan perasaan gugup.“Huh, lama-lama aku mati muda jika melihat wajah Kak Langit seperti itu,” gerutu Davina masuk ke dalam mobil. Danas segera menyandarkan tubuhnya di kursi mobil dengan kasar. “Pakai seatbelt-mu,” seru Davina menghidupkan mobil. “Untung saja dia mengizinkan kau keluar,” seru Davina kemudian menjalankan mobil. Saat berhadapan dengan Langit, tubuhnya sedikit gemetar mengingat perkataan Danas jika suasana hati Langit sedang buruk karena Renata yang jatuh pingsan. “Aku gugup minta izin tadi,” gerutu Davina.“Tidak ditanya kita akan pergi ke mana?”Davina menggelengkan kepala. “Tenang saja, jika aku yang ajak Kak Langit tidak akan menanyakan itu, paling dia tahu jika kita akan pergi ke taman jajan cilok dan main-main doang.”Laju mobil dipercepat, Davina mulai fokus pada kemudinya. “Kak Jagad sudah menunggu kita dengan temannya.”“Teman?” Danas melirik ke arah Davina.“Em. Teman detektifnya, Kakak punya teman yang bekerja sebagai
Renata begitu gemetar melihat foto yang dikirimkan David padanya. Foto memperlihatkan Danas dan Davina tengah bersama dua orang pria. Pesan pertama David membuat Renata ketakutan, disusul dengan sebuah pesan yang membuat tubuhnya semakin bergetar. Dia seketika tahu jika David saat ini berada di Indonesia, pria itu pasti telah mengetahui jika dia telah mengambil rekaman video.“Kau pikir mengambil video itu akan mengubah fakta jika kau pelakunya?”“Tsk, kau sekarang mungkin lagi bersenang-senang dengan pria yang telah kau bunuh adiknya tapi kau pikir akan bertahan lama, Renata? Tidak. Mantan sahabatmu sedang membahas bagaimana kematian Amaira terungkap, kau tau itu ‘kan?”Langit yang saat ini bersama dengan Renata melihat ekspresi yang begitu pucat itu bertanya. “Are you okay, babe?” Langit bertanya tapi tidak ada jawaban dari wanita yang ditanyai. “Babe?” Langit kembali memanggil Renata hingga sang kekasih itu sadar tengah dipanggil.“Iya, kenapa?” tanya Renata dengan suara bergetar