Share

Sangkar Emas Pernikahan
Sangkar Emas Pernikahan
Author: Yuan

#001. Kesepakatan

Brak!

Elizabeth mendobrak pintu ruangan. 

Gadis dalam balutan gaun hitamnya itu menatap sang kakak dengan air mata menggenang. “Noah, apa itu benar?!”

“Jangan berteriak,"bisik sang kakak menghela nafas. "Pesta masih berlangsung.” 

“Kalau begitu, katakan bahwa ucapan Jennifer Gellert, salah!” Elizabeth menuntut Noah. “Apa mengendalikan hidupku tak cukup, sampai kalian perlu mengendalikan pernikahanku juga?”

“Itu adalah sesuatu yang harus dilakukan.”

Ucapan Noah masih begitu tenang, hingga Elizabeth memiliki keinginan untuk memukulnya. “Jika label kita dapat bekerja sama, kita akan mendapat keuntungan lebih.”

Gadis itu menarik nafas, mundur hingga genggaman kakaknya terlepas darinya. Dia berbalik, menyambar sebuah gelas di atas meja dan meneguknya.

Ini bukan minuman keras — air.

Sayang sekali!

Dia sebenarnya begitu menginginkan alkohol di sistemnya sekarang ini. Dia meletakkan gelas tersebut kembali.

“Elizabeth, kau harus mendengarkanku,” ucap sang kakak, “Ini adalah demi label kita. Gellert menggenggam industri sekarang — kita akan memiliki kesempatan lebih sebagai rekan.”

“Rekan?" ulangnya. “Kalau begitu, kenapa tak kau nikahi saja Jennifer?”

“Dia terlihat seperti wanita yang pantas. Bukankah begitu?”

“Tapi, Jennifer bukanlah pemiliknya,” ucap Noah.

Pria itu mencengkram lengan Elizabeth tiba-tiba. 

Perlahan, gadis itu melemah--membiarkan sang kakak membuka mulut tentang apa yang sedang direncanakan oleh ayah mereka.

Dan dalam setiap ucapan, Elizabeth merasakan matanya membulat, bibirnya terbuka untuk menarik nafas kuat.

Bugh!

Elizabeth mendorong sang kakak menjauh. “Aku tak mengenalimu sama sekali,” bisiknya. “Aku tak mengenalimu, atau bahkan Ayah. Keparat kau, Noah Alexander Leigh.”

“Elizabeth,” helanya, berbalik sementara dia meraih selendangnya, menutupi pundak dan membuka pintu, berlari ke luar. “Elizabeth, dengarkan aku.”

Tidak!

Dia takkan mendengar satu patah kata pun. Tidak malam ini. Tidak lagi. Tidak bahkan ketika dia melihat para tamu menyadari betapa gundahnya dia, atau pandangan wanita berambut kemerahan yang jatuh padanya, menaikkan alis.

Elizabeth dapat merasakan kejaran kakaknya, membuatnya mengangkat roknya dan turun ke tangga, masuk ke dalam mobilnya sendiri.

“Rumah Pentious,” bisiknya.

Sang supir menganggukkan kepala, menyalakan mesin dan membawanya pergi jauh dari rumahnya sendiri.

Jauh dari perjodohan tiba-tiba yang dia alami.

Jauh dari siasat jahat ayah dan kakaknya.

Gadis itu mengusap rambutnya, menarik pita yang menjadi bagian dari jalinannya dan melepaskannya, membuat rambutnya sendiri tergerai, bersamaan dengan sarung tangan yang menutupi hingga sikunya.

“Ayah masih membencinya,” dia mengingat ucapan Noah. “Tak ada yang pernah melihat wajahnya. Tapi kau bisa mematahkan hatinya.”

Elizabeth menutup mata, meletakkan kepala di sandaran, merasakan pandangannya memburam karena air mata.

“Buat dia jatuh cinta padamu, dan buat dia memberikan segalanya untukmu — termasuk labelnya.”

Ayahnya adalah seorang yang terhormat. Begitu pula kakaknya. Dan betapa dia membanggakan mereka karena itu.

Bagaimana bisa mereka mempertaruhkan takdir pernikahannya untuk bisnis?

Elizabeth telah menerima takdir bahwa dia dan Pentious takkan pernah memiliki masa depan.

Namun menyadari bahwa dia akan mendapati dirinya terkekang hanya demi menghancurkan musuhnya adalah sesuatu yang akan begitu sulit untuk dia terima!

Bahkan jika dirinya begitu jahat, Elizabeth tahu bahwa dia takkan pernah menginginkan itu untuk musuh terbesarnya sekalipun.

Namun keluarganya begitu tak menganggapnya hingga membuatnya melakukan ini. Atau mungkin mereka begitu mengakuinya hingga dia ikut menjadi bidak yang sama dengan mereka?

Srak!

Elizabeth melemparkan sarung tangannya, terisak. Dia menyadari bahwa dia telah membuat canggung supirnya sendiri, yang tengah mengintip melalui cermin demi memastikan bahwa tuannya baik-baik saja.

“Menyetir saja,” perintahnya.

Dan itu membuatnya menganggukkan kepala kembali. Namun laki-laki tua itu meraih kotak tisu yang berada di sampingnya, diam. Dan Elizabeth menerimanya dengan penuh rasa syukur.

“Terima kasih.”

“Kau akan lebih baik di hari esok, Nona,” ucap Colm yang telah menjadi supirnya sejak dia kecil, sedikit terkekeh. “Kau selalu begitu. Kau dapat mengatasi masalahmu — aku yakin itu.”

Mendengar itu, Elizabeth mengangguk.

Namun, kali ini dia merasa tak begitu yakin.

Dia butuh Pentious segera!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status