Elizabeth kini terduduk di sofa, pakaiannya telah terganti menjadi kemeja laki-laki itu, sementara rambutnya masih tergerai.
Secepat dia datang, Pentious telah melihat gaunnya yang sedikit berantakan dan rambutnya yang tak lagi terikat. Dan dia merasa sedikit lebih tenang ketika laki-laki itu meminjamkan kemejanya.
Elizabeth menyukai wangi yang menempel di pakaiannya, dan mungkin akan terus menempel disana hingga kapanpun.
Dia menyukai bagaimana Pentious memainkan helainya, sementara dia mendekat padanya, meletakkan kepala di dada. Dia tahu bahwa laki-laki itu tengah tersenyum, bibir mendekat untuk mengecup pucuk kepalanya.
Dan dia tahu bahwa laki-laki itu sadar akan pikirannya yang terganggu. “Sesuatu terjadi ‘kan?”
Elizabeth mendongak, melihatnya. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”
Dia dapat melihatnya menghela nafas, menyandarkan kepalanya sendiri. Namun Elizabeth berusaha untuk tak mengindahkannya — dia datang untuk menenangkan diri, bukan untuk mengatakan apa masalahnya di rumah.
Sayang sekali bahwa perbedaan antara dia dan Pentious adalah bahwa dia akan mencari peralihan hingga dia dapat melupakan masalah itu. Sementara laki-laki tersebut selalu berpikir bahwa itu takkan menyakiti siapa pun untuk bercerita dan meminta sebuah pertolongan.
Dia memiliki sedikit waktu untuk meletakkan kepalanya kembali di dadanya. Tak untuk waktu lama, karena Pentious kembali bicara, jantung di dadanya bergedup kencang.
“Aku hanya tahu,” gumamnya. Dan gadis itu mendongak ketika dia membisikkan sebuah hal lain. “Kau takkan kemari jika tak terjadi apapun.”
Gadis itu mengerutkan dahi, menatapnya. Dia menyadari betapa tersinggungnya wajahnya saat ini — dahinya berkerut dan bibirnya mengkerut ke bawah.
“Itu tak benar,” dia membela diri. “Bagaimana bisa kau mengatakan itu?”
“Lalu,” ucapnya, menarik lengan yang tengah merengkuhnya tadinya sebelum duduk tegak di samping gadis itu. “Benarkah jika memang tak ada yang terjadi?”
Elizabeth terdiam — dia mungkin tak bisa membela diri untuk yang satu ini. Gadis itu mengalihkan pandangan, ke arah jendela yang menampakkan gelap malam kota, dengan hanya cahaya palsu lampu jalanan menyinarinya.
Pentious pernah mengatakan padanya bahwa dia menyukai pemandangan itu — bahwa dia telah memiliki kesempatan untuk berada di kota. Namun Elizabeth menyadari bahwa dia takkan pernah menikmati itu.
Dia telah memiliki waktu terlalu lama disana hingga hanya ada rasa sesak yang mengalir di dalam dirinya ketika dia melihat pemandangan itu. Namun Elizabeth mendapati dirinya beralih, berjalan ke arah jendela.
Gadis itu dapat merasakan pandangan laki-laki tersebut di belakangnya, mengawasinya seolah dia memiliki banyak sekali hal untuk dijelaskan.
Dia melipat kedua tangannya di dada, menghela nafas sementara matanya menatap hiruk pikuk orang-orang.
Mungkin memang benar.
Cepat atau lambat, Elizabeth sadar benar bahwa dia harus mengatakan apa yang terjadi padanya.
Cepat atau lambat, Elizabeth harus meninggalkannya.
Namun apakah dia tak diizinkan untuk melupakan hal itu untuk sejenak? Tak bisakah dia kembali ke kehidupannya nanti?
Bukankah sudah cukup bagi kakak dan ayahnya untuk mengganggunya? Dia tak akan kemari jika dia menginginkan sebuah gangguan lain.
Mungkin Pentious benar — dia hanya datang ketika dia tak ingin mengingat apa yang terjadi di rumahnya. Dan ketika dia menggigit sedikit dari kuku bermanikurnya, dia menyadari betapa itu mungkin menyakiti hati sang laki-laki.
Elizabeth dapat merasakannya berjalan ke arahnya, mendekat dan meletakkan kedua tangan di pundaknya.
“Kau tahu kau bisa mengatakan apapun padaku ‘kan?”
Dia menutup mata. “Apapun?”
Pentious mengangguk, meletakkan kepala di atas pundaknya. Dan gerakan itu cukup bagi Elizabeth untuk menghela nafas dan merasakan jantungnya jatuh karena rasa bersalah.
“Apapun,” janjinya.
“Bahkan jika,” dia menarik nafas. “Bahkan jika aku telah dijodohkan dengan orang lain?”
Dia dapat merasakan gerakan laki-laki itu berhenti, dan tubuhnya menegang di belakang. “Apa?”
Bisikan itu membuat Elizabeth melepas rengkuhannya, berbalik untuk melihatnya.
Gadis itu dapat menyadari binar terluka disana, dan bagaimana kepala Pentious bergantung di lehernya seolah dia berusaha mencerna apa yang baru saja dia katakan.
Hanya saja, Elizabeth memiliki sedikit gambaran.
Bahwa Pentious tak ingin menerimanya?
“Aku bisa menjelaskan,” bisik Elizabeth.Pentious menatapnya, menghela nafas. “Kurasa kau memang harus menjelaskannya.”Gadis itu menghela nafas, mengalihkan pandangan kembali. Dia dapat merasakan binar penuh harap yang terus mengarah padanya — walaupun dia tak tahu apa yang dia inginkan.Dia yakin sekali bahwa Pentious tak bisa untuk tidak mengharapkan bahwa itu semua tak benar. Namun jika juga tahu bahwa laki-laki itu tetap familiar dengan perbedaan mereka, bahwa dia memiliki sesuatu yang takkan bisa dia lepas — bahwa dia adalah putri ayahnya.Dan apapun yang dia inginkan, Elizabeth tahu bahwa dia takkan pernah bisa memberikannya. Entah itu ketenangan atau kestabilan.Mungkin dia telah menyadarinya ketika mereka memiliki hubungan ini, mungkin dia mengharapkannya untuk berubah. Namun satu hal yang dia tahu adalah bahwa baik dia ataupun laki-laki itu memiliki harapan semu bagi mereka berdua.Pentious yang menginginkannya untuk setidaknya memilihnya dengan kesadaran penuh — bukan karena
Di sisi lain, Orvil yang menjadi sumber masalah Elizabeth, tengah menikmati waktunya bersama gelas dan botolnya yang terisi penuh.Bagi Orvil, ketidakpedulian akan sesuatu akan memberinya sedikit ketenangan hidup.Sayangnya, semua terganggu kala kakaknya yang berjalan ke arahnya.“Aku sudah mengatakan pada William Leigh bahwa kau menerimanya,” ucapnya, duduk di samping Orvil.Laki-laki itu menghela nafas ketika melihatnya meraih gelas yang ada di depannya. “Ambil minumanmu sendiri.”Jennifer tertawa, meneguk minumannya. “Ibu selalu mengatakan bahwa kau memiliki kesulitan untuk berbagi.”Orvil meraih kembali gelasnya, mengisinya hingga penuh dan meminumnya dengan segera, menyembunyikan botol jauh dari tempat duduk kakaknya. “Ibu tak ada disini.”“Jangan terlalu nelangsa.”“Aku tidak,” dia membela diri, namun ucapan itu justru membuat sang kakak kembali tertawa.Orvil kembali mengintipnya melalui sudut mata. Kakaknya tengah memainkan gelas kosong, rambutnya tergerai sementara dia menyada
Orvil dapat mendengar dentum kuku kakaknya di atas meja, seolah menunggu keputusannya, bersamaan dengan pelayan yang berada di depan mereka, masih berdiri dengan setia dan menunggu perintahnya.“Nah,” ucap Jennifer, mengangkat alis. “Kau tak bisa membuat seorang gadis menunggu, Adik.”“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan,” dia menghela nafas, menoleh pada pelayan tersebut. “Apa dia mengatakan sesuatu tentang kenapa dia berada disini?”Pelayan itu berkedip, bibirnya terbuka sementara dia menoleh pada kakak tuannya — seolah meminta bantuan. Dan dia dapat mendengar kakaknya tertawa.“Jangan lihat aku,” tegurnya. “Jawab dia.”“Dia tak mengatakan apapun,” jelasnya. “Hanya bahwa dia perlu menemui Tuan Orvil. Dia berkata bahwa dia memiliki sesuatu untuk dikatakan.”Dan jika dia menghela nafas sekali lagi, Orvil menyadari bahwa paru-parunya akan mengeluarkan protes jika mereka bisa bicara. Laki-laki itu tak mengerti kenapa Elizabeth Leigh memiliki keberanian untuk datang kemari — terutama keti
Orvil mengangkat alisnya kembali ketika dia melihat Elizabeth menghela nafas, mengalihkan pandangan darinya. Laki-laki itu tersenyum kecil, begitu yakin bahwa dia telah menangkap kelemahannya.Dia menduga bahwa gadis itu akan bicara tentang perjodohan mereka. Mungkin memintanya untuk segera membatalkannya, untuk menolak apa yang William Leigh tawarkan padanya.Namun mata Elizabeth berkedip, dan dia meraih cangkirnya kembali, meminum isinya sebelum membuka mulutnya.“Apa kesukaanmu?”Dan itu adalah giliran Orvil untuk mengerutkan dahi. Pada malam ini. Pukul sebelas malam. Dan Elizabeth Leigh, putri dari pesaingnya, tunangannya, memutuskan untuk datang dan menanyakan–Kesukaannya?Gadis itu tersenyum kecil. “Jika kau bukan Orvil yang asli, kau bisa mengatakan padanya bahwa aku hanya akan bertanya tentang hal-hal kecil.”Matanya berkedut. “Kau menjebakku?”“Apa kau merasa terjebak?” dia menampakkan senyumnya, yang bahkan tak mencapai satu titik terendah ketulusan. “Tak pernah ada yang men
Elizabeth tak pernah mengharapkan bahwa dia akan mendapatkan sebuah ruangan untuk dirinya sendiri di kediaman para Gellert.Namun ketika dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dia menyadari bahwa mereka pasti telah menyiapkan ruangan tamu untuk berjaga jika seseorang ingin bermalam. Gadis itu berguling hingga dia berbaring di sisinya sendiri, mengerutkan dahi.Apakah para Gellert menerima tamu?Jika memang benar, bagaimana bisa Orvil menghindar. Mungkinkah mereka mengatakan bahwa dia begitu sibuk hingga dia tak memiliki waktu untuk menyapa mereka?Gadis itu menyentuh pakaiannya sendiri — sebuah gaun tidur satin putih dengan luaran tule yang sedikit menunjukkan lengannya melalui kainnya. Pakaian itu begitu pas dengan tubuhnya hingga dia merasa bahwa mereka memilih ini benar-benar untuknya.Walaupun itu tak mungkin.Mungkin dia hanya memiliki ukuran yang sama dengan Jennifer.Dan depan pikiran itu, Elizabeth kembali merebahkan tubuhnya, menghela nafas. Ketika dia menyalakan ponselnya,
“Nanti?” Elizabeth berbisik, menghela nafas.Ucapan itu terasa seperti janji. Dan jika dia adalah seseorang yang begitu lugu, Elizabeth akan berpegang pada harapan tersebut seperti seorang gadis yang berusaha mengenal orang yang memikat hatinya.Namun tidak.Dia memahami bahwa dirinya sendiri bukanlah seseorang yang polos. Motifnya untuk tetap berada disini cukup untuk membuktikan itu, bahkan ketika tak ada yang mengetahuinya.Dengan berakhirnya hubungannya dengan Pentious, itu akan menjadi awal dia tunduk pada ayahnya, pada perintah yang diberikan padanya. Dan dia memahami bahwa dia takkan dapat melakukan itu jika dia tak mengenal Orvil lebih jauh.Akan sedikit sulit jika dia tak bisa menembusnya.Namun dia tak bisa mengatakan apapun pada wanita di depannya. Jennifer telah mengatakan bahwa dia akan memihak adiknya, apapun yang terjadi. Elizabeth tak akan pernah memiliki sekutu di rumah ini.“Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Elizabeth?”Gadis itu mengangguk ketika mendengarnya, memai
Ketika Elizabeth membuka matanya, matahari pagi telah mengintip dari sisi-sisi gorden, menimbulkan garis-garis cahaya di atas lantai, juga pada punggung kakinya ketika dia menginjakkan keduanya disana.Gadis itu mengusap rambutnya, menoleh pada tumpukan baju yang begitu rapi di atas kursi. Ketika dia mendekatinya, dia menyadari bahwa mereka telah menyiapkan beberapa pakaian untuknya.Tak ada yang spesial di antara pakaian itu — sepasang celana jins dan atasan terpotong putih, juga sebuah jaket biru gelap. Dia menduga bahwa mereka akan membiarkannya mengenakan sepatunya sendiri.Sementara dia mandi, barulah Elizabeth menyadari bahwa dia tak dapat menemukan gaunnya dimana pun. Mungkin mereka tengah mencucinya, namun dia ingin tahu bagaimana caranya dia dapat membawanya pulang jika mereka tak mengembalikannya pagi ini.Apa dia harus menunggu hingga mereka selesai?Gadis itu mengikat rambutnya, mengenakan pakaian tersebut dengan hati-hati sebelum membuka pintunya, mencoba mencari jalan dim
Ketika Elizabeth tiba di kediamannya, rumahnya begitu sunyi — tak ada orang-orang yang melihat keluar, tak ada yang menyambut ketika mobilnya masuk dari gerbang. Seolah tak ada yang menantinya.Kecuali seorang gadis yang duduk di sofa ruang tamu, rambut kecoklatan pendeknya adalah satu-satunya yang dia lihat sebelum gadis itu menoleh padanya. Dan saat dia tersenyum, Elizabeth dapat mengenali garis wajah para Martin disana.Bibirnya tebal dengan hidung kecil, matanya memiliki kantung di bawahnya dengan rahang yang lembut dan pipi tembam.“Kau adalah Veronica,” ucapnya. “Adik James?”Veronica tersenyum, berdiri untuk menyambutnya. “Kau pasti adalah Elizabeth,” dia menyimpulkan. “James dan Noah mengatakan bahwa mereka mencarimu semalaman.”
Ketika Elizabeth menjejakkan kaki untuk kembali ke kediaman para Gellert, dia dapat merasakan sesuatu yang jauh melebihi rasa mencekam — sesuatu yang sama sekali tak pernah dia rasakan ketika dia pertama kali datang kesana. Namun dia memahami itu, karena bahkan bagaimana pun, dia begitu menyadari bahwa kediaman ini takkan pernah menjadi rumahnya.Tak ada satupun yang berada disana, bahkan Jennifer, yang terkadang datang untuk menghampiri mereka. Hanya ada Orvil, dengan punggung menghadapnya sementara dia menatap ke luar jendela, sebuah gelas di genggamannya.Laki-laki itu menoleh padanya.Dan Elizabeth tak tahu apa yang harus dia lakukan atau bahkan katakan padanya. Tidak untuk sekarang ini. Tidak ketika dia menyadari betapa salahnya dia. Mungkin akan lebih baik baginya untuk menutup mulut dan diam, menerima apapun yang akan dia berikan padanya.Baik itu surat perceraian, atau bahkan jika Orvil kembali mengulurkan tangan untuk kembali berdansa dengannya dalam setiap tipu muslihat yang
Elizabeth dapat merasakan pandangan Noah, tatapan itu begitu tajam hingga dia yakin bahwa kakaknya dapat membunuhnya dengan itu. Dan ketika dia dapat mendengar langkahnya, sebuah bayangan menghadang.Veronica berada di depannya. “Kau tak bisa melakukan apapun padanya.”Wanita itu dapat melihat bagaimana mata kakaknya berkedut. “Minggir, Veronica,” ucapnya. “Ini adalah urusan para Leigh.”Elizabeth merasakan genggaman gadis itu padanya. “Kau tak bisa melakukan apapun padanya,” ucapnya lagi, seolah itu adalah hal yang mutlak. “Dia adalah Gellert sekarang.”Gellert.Nama itu menancapkan duri yang lain ke dalam hatinya. Karena Elizabeth dapat merasakan bahwa dia telah mengkhianati keluarga yang seharusnya menjadi miliknya sekarang.Dia telah berbohong pada Orvil.Dia telah berbohong pada Jennifer.Semua itu karena dia tak melihat mereka sebagai seseorang yang seharusnya dia hargai. Namun ketika dia memikirkannya lagi — bukankah itu berarti ayah dan kakaknya tak menganggapnya sebagai seora
Elizabeth tak tahu apa yang harus dia lakukan ketika dia terduduk di ruangan tamu para Martin.Pulang ke rumah adalah sesuatu yang akan sulit dia lakukan sekarang — terutama dengan apa yang terjadi padanya dan Orvil pagi tadi.Dia dapat melihat rasa terluka yang begitu kentara di wajahnya, dan itu membuat Elizabeth tak sanggup untuk menjelaskan apapun — apapun yang akan dia katakan akan berujung untuk semakin menyakitinya. Dia tahu akan itu.Dan ketika suaminya itu tak mengatakan apapun dan melangkah pergi menjauh darinya, Elizabeth menyadari bahwa dia takkan pernah bisa memperbaiki itu.Apapun itu, bahkan ketika dia telah memutuskan untuk melepaskan segalanya dan tetap bersamanya.Elizabeth takkan pernah memiliki rasa percaya dari Orvil kembali. Tidak setelah ini.Dia menangkupkan wajah ke kedua telapak tangannya, menghembuskan nafas ketika merasakan bahwa dia akan segera menangis.Dia tak pantas untuk itu.Walaupun dia ingin kembali untuk memohon padanya, Elizabeth tahu kapan untuk
Ketika Elizabeth terbangun di atas ranjangnya — ranjang Orvil, dia dapat merasakan dirinya tersenyum, memainkan dada yang ada di bawah telapak tangannya, jemari menelusuri kulit disana.Dengkuran laki-laki itu terdengar, nafas di atas rambutnya dan dia dapat merasakan betapa nyaman dirinya ketika pagi hari begitu lamban.Dia menoleh ke arah bantal yang mereka tinggalkan tadi malam di ruangan mereka, meninggalkan beberapa di setiap ruangan untuk berjaga jika Tilly mengantuk dan masih tak familiar dengan rumah barunya.Bantal tersebut kosong, dan Elizabeth harus menyimpulkan bahwa kucing tersebut berada di suatu bantal di ruangan lain.Ketika dia menoleh ke arah jam, Elizabeth dapat melihat angka enam tertunjuk di jarum pendeknya, membuatnya tergoda untuk menutup mata dan menyandarkan kepala kembali pada suaminya.Wanita itu tersenyum kecil.Mungkinkah ayah dan kakaknya akan menyadari bagaimana dia hendak melarikan diri?Mungkinkah mereka bertanya-tanya ketika dia tak dapat lagi dihubun
Orvil masih menatapnya, mengusapkan tangan pada wajahnya sementara mata melekat padanya. Laki-laki itu menaikkan alis.“Kau yakin?” dia bertanya. “Aku akan mengatakan bahwa entah kau terlalu naif atau kau menyembunyikan sesuatu. Dan mengenal dirimu, kita berdua tahu bahwa kau tak polos sama sekali.”Wanita itu terdiam, membalas tatapannya.Akan sangat lucu sekali jika dia tak menjawab apapun padanya, memastikan bahwa apa yang Orvil duga memiliki sedikit kebenaran di atasnya. Akan sangat lucu jika kedoknya diketahui dengan segera.Dia harus kembali ke rumahnya.Dia harus mengemban perjanjian yang tak dapat dia lalui.Dia harus mengucapkan selamat tinggal pada kebebasannya.Elizabeth menyentuh pipi suaminya, mengecup bibirnya kembali. “Tidak ada,” janjinya. “Aku hanya ingin kau mencintaiku.”Dia dapat melihat bagaimana mata Orvil berkedut, menyadari bahwa dia tak terlalu yakin tentang apa yang istrinya itu katakan. Namun dengan sebuah keajaiban — atau tidak, sebenarnya, laki-laki itu me
Elizabeth tak tahu apapun tentang pembicaraan apa yang ingin Orvil bicarakan, namun dia dapat melihat bagaimana laki-laki itu menatapnya, mencoba untuk bersikap baik-baik saja.Jadi wanita itu menganggukkan kepala, menurunkan Tilly kembali hingga kucing tersebut dengan bahagia masuk ke dalam belakang meja, yang harus dia akui membuatnya lega bahwa kucingnya tak berwarna putih.Dia mendongak, mendorong dirinya untuk berdiri di depannya, dekat dengannya hingga dia harus tetap menengadahkan kepala untuk melihatnya.“Apa yang ingin kau bicarakan?” mulainya.Dan Orvil mengalihkan pandangan. “Akan lebih baik bagi kita untuk tidak membicarakannya disini,” dia mengakui. “Aku tak yakin bahwa kakimu cukup kuat.”Mata Elizabeth membulat, berbalik ketika menyadari bagaimana suaminya tengah beranjak pergi melewatinya, mulut wanita itu terbuka penuh rasa tak percaya.“Otot kakiku cukup baik!”“Tentu saja, Sayangku,” sahutnya, tertawa — entah karena panggilan yang dia berikan atau karena humor yang
Tilly mengeong setiap kali mobil mereka berbelok, membuatnya mengulurkan jemari untuk mengelusnya.Mampir ke kediaman para Leigh adalah hal yang mudah, walaupun dia merasa bahwa dia tak pernah leluasa ketika dia berada di dalam sana — seolah ada sesuatu yang mencoba untuk menahannya jika dia ingin membuka diri disana.“Aku tahu,” gumamnya, menunduk pada kucing tersebut, yang mengeong kembali. “Apa kau merindukan tuanmu?”Tilly tak membalas, memilih untuk berputar di sekitar kerangkeng yang mengelilinginya. Itu sedikit membuat Orvil merasa bahwa dia sebaiknya melepaskannya. Namun ada sedikit rasa khawatir ketika menyadari bahwa dia tak mengenal kucing itu sama sekali, bahwa dia takkan mampu menenangkannya jika dia merasa tak nyaman.“Kita akan bertemu dengannya nanti,” dia berjanji. “Dia akan sangat senang ketika bertemu lagi denganmu,” ucapnya, tersenyum. “Kalian berdua.”Kucing hitam itu mendongak, menampakkan mata bulat ke arahnya, membuka mulut kembali dan mengeong. Dan Orvil berha
Orvil menatap kakaknya.Ada sedikit rasa tak terima yang dia rasakan ketika mendengarnya. Namun dia takkan mengatakan bahwa dia memahami setidaknya kenapa dia mengatakan semua hal itu pada Pentious.Aneh rasanya ketika dia mengatakan bahwa dia membebaskan Elizabeth untuk menemui siapapun yang dia inginkan, namun justru melarang satu-satunya orang yang sangat ingin dia ingin temui agar mereka tak bertemu.Aneh.Aneh sekali.Namun akan lebih aneh baginya untuk mengatakan bawa dia memiliki perasaan untuknya.Dia dan Elizabeth belum lama saling mengenal, bahkan dengan status mereka saat ini, keduanya sadar bahwa mereka berada dalam keterpaksaan.Laki-laki itu mengalihkan pandangan, enggan untuk melihat kakaknya yang menaikkan alis padanya, memberikan sebuah senyuman yang dia tahu tengah mengejeknya.“Apa kau meninggalkan istriku di rumah sendirian?”“Dia mengurung diri di ruangannya seharian,” ucap kakaknya. “Kau ingin aku memaksa masuk ke dalam sana. Aku yakin dia sedang bekerja.”“Aku t
Sejujurnya, Orvil tak tahu menahu tentang apa yang harus dia persiapkan untuk bulan madunya. Dia terpikir bahwa dia semestinya menganggap ini sebagai perjalanan liburan biasa, dimana dia akan menghabiskan waktu bersama seseorang yang disebut sebagai istrinya.Mungkin dia harus menyiapkan akomodasi dimana mereka akan beristirahat, lalu tempat yang bisa saja mereka kunjungi. Namun Orvil kembali mengalami krisis ketika menyadari bahwa dia tak pernah bertanya apa yang disukai Elizabeth.Atau bagaimana dia ingin menghabiskan harinya.Sekarang bukanlah saat dimana dia terlalu bangga untuk menanyakan hal itu padanya, namun dia telah berjanji untuk menyiapkan segalanya — mungkinkah Elizabeth akan meremehkannya jika dia tak menepati apa yang dia katakan?Mungkin dia akan membutuhkan bantuan kakaknya.Dia terduduk di depan mejanya, berkas-berkas yang telah dia selesaikan teronggok di depan sementara dia menghela nafas, menyentuh bagian tengah hidungnya di antara jemarinya.Pintu berderit terbuk