“Aku bisa menjelaskan,” bisik Elizabeth.
Pentious menatapnya, menghela nafas. “Kurasa kau memang harus menjelaskannya.”
Gadis itu menghela nafas, mengalihkan pandangan kembali. Dia dapat merasakan binar penuh harap yang terus mengarah padanya — walaupun dia tak tahu apa yang dia inginkan.
Dia yakin sekali bahwa Pentious tak bisa untuk tidak mengharapkan bahwa itu semua tak benar. Namun jika juga tahu bahwa laki-laki itu tetap familiar dengan perbedaan mereka, bahwa dia memiliki sesuatu yang takkan bisa dia lepas — bahwa dia adalah putri ayahnya.
Dan apapun yang dia inginkan, Elizabeth tahu bahwa dia takkan pernah bisa memberikannya. Entah itu ketenangan atau kestabilan.
Mungkin dia telah menyadarinya ketika mereka memiliki hubungan ini, mungkin dia mengharapkannya untuk berubah. Namun satu hal yang dia tahu adalah bahwa baik dia ataupun laki-laki itu memiliki harapan semu bagi mereka berdua.
Pentious yang menginginkannya untuk setidaknya memilihnya dengan kesadaran penuh — bukan karena rasa sedih atau ingin melarikan diri.
Elizabeth yang menginginkannya untuk membiarkan dirinya, bukannya menuntut penjelasan akan segala hal.
“Aku tak tahu bahwa mereka akan menjodohkanku,” dia membela diri, mendekat ketika mendengarnya mendengus — seolah tak mempercayai ucapannya. “Aku tak menginginkan ini.”
“Kau bisa mengatakannya jika kau tak menginginkannya.”
Elizabeth menghela nafas kembali, menggelengkan kepala. “Kau tak tahu keluargaku.”
Salah.
Dia yakin bahwa Pentious sangat tahu tentang keluarga macam apa yang dia miliki. Namun dia mendengar laki-laki itu menghela nafas, mengeluarkan sebuah tawa yang goresnya menyayat hatinya.
“Benar,” bisiknya. “Aku tak tahu apapun tentang keluarga yang kau miliki.”
“Pen–”
“Karena bukan seperti itu keluarga yang seharusnya, El,” dia berucap, memotongnya. “Aku tak yakin ada keluarga seperti keluargamu di tempat lain.”
“Ada banyak,” bisiknya. “Kau hanya tak pernah melihatnya.”
“Tentu saja aku tak pernah melihatnya,” dia mendengus, dan entah kenapa, Elizabeth merasa bahwa dia tengah menyinggungnya. “Karena kita berdua tak memiliki tempat tumbuh yang sama.”
“Tentu saja tidak.”
“Terlalu berbeda,” gumam laki-laki itu. “Bukankah begitu?”
Gadis itu mengalihkan pandangan. Seketika, kemeja yang menjadi pakaiannya sekarang ini terasa tidak nyaman. Mungkin dia akan lebih baik jika mengenakan gaunnya kembali.
Setidaknya itu akan menjadi dirinya sendiri dan dia tak lagi berpura-pura. Bukankah begitu?
“Kau harus mengakuinya, Elizabeth.”
Dia menatapnya, mencoba untuk melihat setitik perasaan bahwa dia hanya mengatakan itu karena rasa sakitnya, karena dia telah terluka dengan apa yang terjadi.
Namun tidak. Elizabeth gagal untuk menemukan apa yang dia cari di sorot mata itu. Seolah Pentious telah siap untuk meninggalkannya jika dia mengucapkan satu kata bahwa dia setuju dengannya.
Gadis itu membuka mulutnya, namun tak ada yang keluar darinya. Matanya berkedip, membuatnya beralih dan melihat ke arah jendela.
“Jika aku tak melakukan ini,” bisiknya, menelan kenyataan yang telah dia abaikan selama dia melarikan diri dari pesta. “Aku tak tahu jika ayahku akan mengakuiku.”
Ketika dia menoleh pada pandangan Pentious, laki-laki tersebut telah menghela nafas, mundur untuk berdiri menjauh darinya. Dan ketika genggaman tangannya meleset dari lengan, Elizabeth menelan sebuah rasa bersalah.
“Aku tahu bahwa kau tak mempercayaiku,” ucapnya, berbisik, kepala bergantung seolah dia mengakui bahwa dia telah kalah.
“Apa yang kau katakan?”
“Aku tahu,” dia berucap. “Bahwa aku takkan bisa memberikan apa yang ayahmu atau bahkan kakakmu berikan padamu–”
“Pentious,” dia menegur. “Aku tak mengatakan bahwa kau takkan pernah bisa membiayaiku — bahkan aku bisa membiayai diriku sendiri.”
“Lalu apa yang menakutimu?”
Elizabeth terdiam. Benar sekali. Apa yang menakutinya? Dia memiliki uangnya sendiri, lalu kenapa dia begitu ingin bergantung pada kakak dan ayahnya?
Atau mungkin dia hanya menginginkan sebuah pengakuan dari keluarganya — sesuatu yang tak pernah diberikan ayahnya seperti bagaimana dia memperlakukan kakaknya?
Yah.
Mungkin itu.
Namun menyadari helaan nafas Pentious, Elizabeth mengalihkan tubuhnya dan beranjak untuk duduk di sofa.
“Aku tak tahu apa yang harus kulakukan,” ucapnya. “Aku tak bisa memuaskan baik salah satu dari kalian — jadi kurasa aku akan tetap disini sampai kapanpun ‘kan?”
Elizabeth menutup mata, melipat kedua tangan di dada dan menghela nafasnya.
Dia tak pernah memiliki tujuan untuk menyakiti pria yang dia cintai, bahkan ketika dia tahu bahwa hubungan mereka tak memiliki ujung apapun.
Tapi mungkin dia telah menemukan titik baliknya. Mereka tak memiliki kesempatan untuk melanjutkan apa yang mereka miliki.
Dan tak ada apapun yang bisa Elizabeth lakukan selain pergi darinya.
Sanggupkah ia bertahan?
Di sisi lain, Orvil yang menjadi sumber masalah Elizabeth, tengah menikmati waktunya bersama gelas dan botolnya yang terisi penuh.Bagi Orvil, ketidakpedulian akan sesuatu akan memberinya sedikit ketenangan hidup.Sayangnya, semua terganggu kala kakaknya yang berjalan ke arahnya.“Aku sudah mengatakan pada William Leigh bahwa kau menerimanya,” ucapnya, duduk di samping Orvil.Laki-laki itu menghela nafas ketika melihatnya meraih gelas yang ada di depannya. “Ambil minumanmu sendiri.”Jennifer tertawa, meneguk minumannya. “Ibu selalu mengatakan bahwa kau memiliki kesulitan untuk berbagi.”Orvil meraih kembali gelasnya, mengisinya hingga penuh dan meminumnya dengan segera, menyembunyikan botol jauh dari tempat duduk kakaknya. “Ibu tak ada disini.”“Jangan terlalu nelangsa.”“Aku tidak,” dia membela diri, namun ucapan itu justru membuat sang kakak kembali tertawa.Orvil kembali mengintipnya melalui sudut mata. Kakaknya tengah memainkan gelas kosong, rambutnya tergerai sementara dia menyada
Orvil dapat mendengar dentum kuku kakaknya di atas meja, seolah menunggu keputusannya, bersamaan dengan pelayan yang berada di depan mereka, masih berdiri dengan setia dan menunggu perintahnya.“Nah,” ucap Jennifer, mengangkat alis. “Kau tak bisa membuat seorang gadis menunggu, Adik.”“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan,” dia menghela nafas, menoleh pada pelayan tersebut. “Apa dia mengatakan sesuatu tentang kenapa dia berada disini?”Pelayan itu berkedip, bibirnya terbuka sementara dia menoleh pada kakak tuannya — seolah meminta bantuan. Dan dia dapat mendengar kakaknya tertawa.“Jangan lihat aku,” tegurnya. “Jawab dia.”“Dia tak mengatakan apapun,” jelasnya. “Hanya bahwa dia perlu menemui Tuan Orvil. Dia berkata bahwa dia memiliki sesuatu untuk dikatakan.”Dan jika dia menghela nafas sekali lagi, Orvil menyadari bahwa paru-parunya akan mengeluarkan protes jika mereka bisa bicara. Laki-laki itu tak mengerti kenapa Elizabeth Leigh memiliki keberanian untuk datang kemari — terutama keti
Orvil mengangkat alisnya kembali ketika dia melihat Elizabeth menghela nafas, mengalihkan pandangan darinya. Laki-laki itu tersenyum kecil, begitu yakin bahwa dia telah menangkap kelemahannya.Dia menduga bahwa gadis itu akan bicara tentang perjodohan mereka. Mungkin memintanya untuk segera membatalkannya, untuk menolak apa yang William Leigh tawarkan padanya.Namun mata Elizabeth berkedip, dan dia meraih cangkirnya kembali, meminum isinya sebelum membuka mulutnya.“Apa kesukaanmu?”Dan itu adalah giliran Orvil untuk mengerutkan dahi. Pada malam ini. Pukul sebelas malam. Dan Elizabeth Leigh, putri dari pesaingnya, tunangannya, memutuskan untuk datang dan menanyakan–Kesukaannya?Gadis itu tersenyum kecil. “Jika kau bukan Orvil yang asli, kau bisa mengatakan padanya bahwa aku hanya akan bertanya tentang hal-hal kecil.”Matanya berkedut. “Kau menjebakku?”“Apa kau merasa terjebak?” dia menampakkan senyumnya, yang bahkan tak mencapai satu titik terendah ketulusan. “Tak pernah ada yang men
Elizabeth tak pernah mengharapkan bahwa dia akan mendapatkan sebuah ruangan untuk dirinya sendiri di kediaman para Gellert.Namun ketika dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dia menyadari bahwa mereka pasti telah menyiapkan ruangan tamu untuk berjaga jika seseorang ingin bermalam. Gadis itu berguling hingga dia berbaring di sisinya sendiri, mengerutkan dahi.Apakah para Gellert menerima tamu?Jika memang benar, bagaimana bisa Orvil menghindar. Mungkinkah mereka mengatakan bahwa dia begitu sibuk hingga dia tak memiliki waktu untuk menyapa mereka?Gadis itu menyentuh pakaiannya sendiri — sebuah gaun tidur satin putih dengan luaran tule yang sedikit menunjukkan lengannya melalui kainnya. Pakaian itu begitu pas dengan tubuhnya hingga dia merasa bahwa mereka memilih ini benar-benar untuknya.Walaupun itu tak mungkin.Mungkin dia hanya memiliki ukuran yang sama dengan Jennifer.Dan depan pikiran itu, Elizabeth kembali merebahkan tubuhnya, menghela nafas. Ketika dia menyalakan ponselnya,
“Nanti?” Elizabeth berbisik, menghela nafas.Ucapan itu terasa seperti janji. Dan jika dia adalah seseorang yang begitu lugu, Elizabeth akan berpegang pada harapan tersebut seperti seorang gadis yang berusaha mengenal orang yang memikat hatinya.Namun tidak.Dia memahami bahwa dirinya sendiri bukanlah seseorang yang polos. Motifnya untuk tetap berada disini cukup untuk membuktikan itu, bahkan ketika tak ada yang mengetahuinya.Dengan berakhirnya hubungannya dengan Pentious, itu akan menjadi awal dia tunduk pada ayahnya, pada perintah yang diberikan padanya. Dan dia memahami bahwa dia takkan dapat melakukan itu jika dia tak mengenal Orvil lebih jauh.Akan sedikit sulit jika dia tak bisa menembusnya.Namun dia tak bisa mengatakan apapun pada wanita di depannya. Jennifer telah mengatakan bahwa dia akan memihak adiknya, apapun yang terjadi. Elizabeth tak akan pernah memiliki sekutu di rumah ini.“Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Elizabeth?”Gadis itu mengangguk ketika mendengarnya, memai
Ketika Elizabeth membuka matanya, matahari pagi telah mengintip dari sisi-sisi gorden, menimbulkan garis-garis cahaya di atas lantai, juga pada punggung kakinya ketika dia menginjakkan keduanya disana.Gadis itu mengusap rambutnya, menoleh pada tumpukan baju yang begitu rapi di atas kursi. Ketika dia mendekatinya, dia menyadari bahwa mereka telah menyiapkan beberapa pakaian untuknya.Tak ada yang spesial di antara pakaian itu — sepasang celana jins dan atasan terpotong putih, juga sebuah jaket biru gelap. Dia menduga bahwa mereka akan membiarkannya mengenakan sepatunya sendiri.Sementara dia mandi, barulah Elizabeth menyadari bahwa dia tak dapat menemukan gaunnya dimana pun. Mungkin mereka tengah mencucinya, namun dia ingin tahu bagaimana caranya dia dapat membawanya pulang jika mereka tak mengembalikannya pagi ini.Apa dia harus menunggu hingga mereka selesai?Gadis itu mengikat rambutnya, mengenakan pakaian tersebut dengan hati-hati sebelum membuka pintunya, mencoba mencari jalan dim
Ketika Elizabeth tiba di kediamannya, rumahnya begitu sunyi — tak ada orang-orang yang melihat keluar, tak ada yang menyambut ketika mobilnya masuk dari gerbang. Seolah tak ada yang menantinya.Kecuali seorang gadis yang duduk di sofa ruang tamu, rambut kecoklatan pendeknya adalah satu-satunya yang dia lihat sebelum gadis itu menoleh padanya. Dan saat dia tersenyum, Elizabeth dapat mengenali garis wajah para Martin disana.Bibirnya tebal dengan hidung kecil, matanya memiliki kantung di bawahnya dengan rahang yang lembut dan pipi tembam.“Kau adalah Veronica,” ucapnya. “Adik James?”Veronica tersenyum, berdiri untuk menyambutnya. “Kau pasti adalah Elizabeth,” dia menyimpulkan. “James dan Noah mengatakan bahwa mereka mencarimu semalaman.”
Elizabeth dapat mendengar helaan nafas dari kakaknya, namun ketika dia berbalik dan beranjak naik ke ruangannya, dia dapat merasakannya mengikutinya. Noah memiliki tapak ringan dan tanpa suara, namun dia telah hidup terlalu lama di rumah ini untuk menyadari kehadiran setiap dari mereka.Sang kakak menutup pintunya. “Aku tak pernah melihat pakaianmu sebelumnya,” ucapnya, membuka percakapan mereka. “Darimana kau mendapatkannya?”“Apa aku tak diizinkan untuk membeli pakaian baru?”“Baik,” ucapnya, menghela nafas. “Akan kuralat perkataanku — aku tak pernah melihatmu membeli pakaian seperti itu sebelumnya. Darimana kau mendapatkannya?”Elizabeth mengalihkan pandangan, meletakkan tas yang masih dia bawa di depan meja riasnya. “Darimana menurutmu?”
Ketika Elizabeth menjejakkan kaki untuk kembali ke kediaman para Gellert, dia dapat merasakan sesuatu yang jauh melebihi rasa mencekam — sesuatu yang sama sekali tak pernah dia rasakan ketika dia pertama kali datang kesana. Namun dia memahami itu, karena bahkan bagaimana pun, dia begitu menyadari bahwa kediaman ini takkan pernah menjadi rumahnya.Tak ada satupun yang berada disana, bahkan Jennifer, yang terkadang datang untuk menghampiri mereka. Hanya ada Orvil, dengan punggung menghadapnya sementara dia menatap ke luar jendela, sebuah gelas di genggamannya.Laki-laki itu menoleh padanya.Dan Elizabeth tak tahu apa yang harus dia lakukan atau bahkan katakan padanya. Tidak untuk sekarang ini. Tidak ketika dia menyadari betapa salahnya dia. Mungkin akan lebih baik baginya untuk menutup mulut dan diam, menerima apapun yang akan dia berikan padanya.Baik itu surat perceraian, atau bahkan jika Orvil kembali mengulurkan tangan untuk kembali berdansa dengannya dalam setiap tipu muslihat yang
Elizabeth dapat merasakan pandangan Noah, tatapan itu begitu tajam hingga dia yakin bahwa kakaknya dapat membunuhnya dengan itu. Dan ketika dia dapat mendengar langkahnya, sebuah bayangan menghadang.Veronica berada di depannya. “Kau tak bisa melakukan apapun padanya.”Wanita itu dapat melihat bagaimana mata kakaknya berkedut. “Minggir, Veronica,” ucapnya. “Ini adalah urusan para Leigh.”Elizabeth merasakan genggaman gadis itu padanya. “Kau tak bisa melakukan apapun padanya,” ucapnya lagi, seolah itu adalah hal yang mutlak. “Dia adalah Gellert sekarang.”Gellert.Nama itu menancapkan duri yang lain ke dalam hatinya. Karena Elizabeth dapat merasakan bahwa dia telah mengkhianati keluarga yang seharusnya menjadi miliknya sekarang.Dia telah berbohong pada Orvil.Dia telah berbohong pada Jennifer.Semua itu karena dia tak melihat mereka sebagai seseorang yang seharusnya dia hargai. Namun ketika dia memikirkannya lagi — bukankah itu berarti ayah dan kakaknya tak menganggapnya sebagai seora
Elizabeth tak tahu apa yang harus dia lakukan ketika dia terduduk di ruangan tamu para Martin.Pulang ke rumah adalah sesuatu yang akan sulit dia lakukan sekarang — terutama dengan apa yang terjadi padanya dan Orvil pagi tadi.Dia dapat melihat rasa terluka yang begitu kentara di wajahnya, dan itu membuat Elizabeth tak sanggup untuk menjelaskan apapun — apapun yang akan dia katakan akan berujung untuk semakin menyakitinya. Dia tahu akan itu.Dan ketika suaminya itu tak mengatakan apapun dan melangkah pergi menjauh darinya, Elizabeth menyadari bahwa dia takkan pernah bisa memperbaiki itu.Apapun itu, bahkan ketika dia telah memutuskan untuk melepaskan segalanya dan tetap bersamanya.Elizabeth takkan pernah memiliki rasa percaya dari Orvil kembali. Tidak setelah ini.Dia menangkupkan wajah ke kedua telapak tangannya, menghembuskan nafas ketika merasakan bahwa dia akan segera menangis.Dia tak pantas untuk itu.Walaupun dia ingin kembali untuk memohon padanya, Elizabeth tahu kapan untuk
Ketika Elizabeth terbangun di atas ranjangnya — ranjang Orvil, dia dapat merasakan dirinya tersenyum, memainkan dada yang ada di bawah telapak tangannya, jemari menelusuri kulit disana.Dengkuran laki-laki itu terdengar, nafas di atas rambutnya dan dia dapat merasakan betapa nyaman dirinya ketika pagi hari begitu lamban.Dia menoleh ke arah bantal yang mereka tinggalkan tadi malam di ruangan mereka, meninggalkan beberapa di setiap ruangan untuk berjaga jika Tilly mengantuk dan masih tak familiar dengan rumah barunya.Bantal tersebut kosong, dan Elizabeth harus menyimpulkan bahwa kucing tersebut berada di suatu bantal di ruangan lain.Ketika dia menoleh ke arah jam, Elizabeth dapat melihat angka enam tertunjuk di jarum pendeknya, membuatnya tergoda untuk menutup mata dan menyandarkan kepala kembali pada suaminya.Wanita itu tersenyum kecil.Mungkinkah ayah dan kakaknya akan menyadari bagaimana dia hendak melarikan diri?Mungkinkah mereka bertanya-tanya ketika dia tak dapat lagi dihubun
Orvil masih menatapnya, mengusapkan tangan pada wajahnya sementara mata melekat padanya. Laki-laki itu menaikkan alis.“Kau yakin?” dia bertanya. “Aku akan mengatakan bahwa entah kau terlalu naif atau kau menyembunyikan sesuatu. Dan mengenal dirimu, kita berdua tahu bahwa kau tak polos sama sekali.”Wanita itu terdiam, membalas tatapannya.Akan sangat lucu sekali jika dia tak menjawab apapun padanya, memastikan bahwa apa yang Orvil duga memiliki sedikit kebenaran di atasnya. Akan sangat lucu jika kedoknya diketahui dengan segera.Dia harus kembali ke rumahnya.Dia harus mengemban perjanjian yang tak dapat dia lalui.Dia harus mengucapkan selamat tinggal pada kebebasannya.Elizabeth menyentuh pipi suaminya, mengecup bibirnya kembali. “Tidak ada,” janjinya. “Aku hanya ingin kau mencintaiku.”Dia dapat melihat bagaimana mata Orvil berkedut, menyadari bahwa dia tak terlalu yakin tentang apa yang istrinya itu katakan. Namun dengan sebuah keajaiban — atau tidak, sebenarnya, laki-laki itu me
Elizabeth tak tahu apapun tentang pembicaraan apa yang ingin Orvil bicarakan, namun dia dapat melihat bagaimana laki-laki itu menatapnya, mencoba untuk bersikap baik-baik saja.Jadi wanita itu menganggukkan kepala, menurunkan Tilly kembali hingga kucing tersebut dengan bahagia masuk ke dalam belakang meja, yang harus dia akui membuatnya lega bahwa kucingnya tak berwarna putih.Dia mendongak, mendorong dirinya untuk berdiri di depannya, dekat dengannya hingga dia harus tetap menengadahkan kepala untuk melihatnya.“Apa yang ingin kau bicarakan?” mulainya.Dan Orvil mengalihkan pandangan. “Akan lebih baik bagi kita untuk tidak membicarakannya disini,” dia mengakui. “Aku tak yakin bahwa kakimu cukup kuat.”Mata Elizabeth membulat, berbalik ketika menyadari bagaimana suaminya tengah beranjak pergi melewatinya, mulut wanita itu terbuka penuh rasa tak percaya.“Otot kakiku cukup baik!”“Tentu saja, Sayangku,” sahutnya, tertawa — entah karena panggilan yang dia berikan atau karena humor yang
Tilly mengeong setiap kali mobil mereka berbelok, membuatnya mengulurkan jemari untuk mengelusnya.Mampir ke kediaman para Leigh adalah hal yang mudah, walaupun dia merasa bahwa dia tak pernah leluasa ketika dia berada di dalam sana — seolah ada sesuatu yang mencoba untuk menahannya jika dia ingin membuka diri disana.“Aku tahu,” gumamnya, menunduk pada kucing tersebut, yang mengeong kembali. “Apa kau merindukan tuanmu?”Tilly tak membalas, memilih untuk berputar di sekitar kerangkeng yang mengelilinginya. Itu sedikit membuat Orvil merasa bahwa dia sebaiknya melepaskannya. Namun ada sedikit rasa khawatir ketika menyadari bahwa dia tak mengenal kucing itu sama sekali, bahwa dia takkan mampu menenangkannya jika dia merasa tak nyaman.“Kita akan bertemu dengannya nanti,” dia berjanji. “Dia akan sangat senang ketika bertemu lagi denganmu,” ucapnya, tersenyum. “Kalian berdua.”Kucing hitam itu mendongak, menampakkan mata bulat ke arahnya, membuka mulut kembali dan mengeong. Dan Orvil berha
Orvil menatap kakaknya.Ada sedikit rasa tak terima yang dia rasakan ketika mendengarnya. Namun dia takkan mengatakan bahwa dia memahami setidaknya kenapa dia mengatakan semua hal itu pada Pentious.Aneh rasanya ketika dia mengatakan bahwa dia membebaskan Elizabeth untuk menemui siapapun yang dia inginkan, namun justru melarang satu-satunya orang yang sangat ingin dia ingin temui agar mereka tak bertemu.Aneh.Aneh sekali.Namun akan lebih aneh baginya untuk mengatakan bawa dia memiliki perasaan untuknya.Dia dan Elizabeth belum lama saling mengenal, bahkan dengan status mereka saat ini, keduanya sadar bahwa mereka berada dalam keterpaksaan.Laki-laki itu mengalihkan pandangan, enggan untuk melihat kakaknya yang menaikkan alis padanya, memberikan sebuah senyuman yang dia tahu tengah mengejeknya.“Apa kau meninggalkan istriku di rumah sendirian?”“Dia mengurung diri di ruangannya seharian,” ucap kakaknya. “Kau ingin aku memaksa masuk ke dalam sana. Aku yakin dia sedang bekerja.”“Aku t
Sejujurnya, Orvil tak tahu menahu tentang apa yang harus dia persiapkan untuk bulan madunya. Dia terpikir bahwa dia semestinya menganggap ini sebagai perjalanan liburan biasa, dimana dia akan menghabiskan waktu bersama seseorang yang disebut sebagai istrinya.Mungkin dia harus menyiapkan akomodasi dimana mereka akan beristirahat, lalu tempat yang bisa saja mereka kunjungi. Namun Orvil kembali mengalami krisis ketika menyadari bahwa dia tak pernah bertanya apa yang disukai Elizabeth.Atau bagaimana dia ingin menghabiskan harinya.Sekarang bukanlah saat dimana dia terlalu bangga untuk menanyakan hal itu padanya, namun dia telah berjanji untuk menyiapkan segalanya — mungkinkah Elizabeth akan meremehkannya jika dia tak menepati apa yang dia katakan?Mungkin dia akan membutuhkan bantuan kakaknya.Dia terduduk di depan mejanya, berkas-berkas yang telah dia selesaikan teronggok di depan sementara dia menghela nafas, menyentuh bagian tengah hidungnya di antara jemarinya.Pintu berderit terbuk