Share

#003. Pilihan

“Aku bisa menjelaskan,” bisik Elizabeth.

Pentious menatapnya, menghela nafas. “Kurasa kau memang harus menjelaskannya.”

Gadis itu menghela nafas, mengalihkan pandangan kembali. Dia dapat merasakan binar penuh harap yang terus mengarah padanya — walaupun dia tak tahu apa yang dia inginkan.

Dia yakin sekali bahwa Pentious tak bisa untuk tidak mengharapkan bahwa itu semua tak benar. Namun jika juga tahu bahwa laki-laki itu tetap familiar dengan perbedaan mereka, bahwa dia memiliki sesuatu yang takkan bisa dia lepas — bahwa dia adalah putri ayahnya.

Dan apapun yang dia inginkan, Elizabeth tahu bahwa dia takkan pernah bisa memberikannya. Entah itu ketenangan atau kestabilan.

Mungkin dia telah menyadarinya ketika mereka memiliki hubungan ini, mungkin dia mengharapkannya untuk berubah. Namun satu hal yang dia tahu adalah bahwa baik dia ataupun laki-laki itu memiliki harapan semu bagi mereka berdua.

Pentious yang menginginkannya untuk setidaknya memilihnya dengan kesadaran penuh — bukan karena rasa sedih atau ingin melarikan diri.

Elizabeth yang menginginkannya untuk membiarkan dirinya, bukannya  menuntut penjelasan akan segala hal.

“Aku tak tahu bahwa mereka akan menjodohkanku,” dia membela diri, mendekat ketika mendengarnya mendengus — seolah tak mempercayai ucapannya. “Aku tak menginginkan ini.”

“Kau bisa mengatakannya jika kau tak menginginkannya.”

Elizabeth menghela nafas kembali, menggelengkan kepala. “Kau tak tahu keluargaku.”

Salah.

Dia yakin bahwa Pentious sangat tahu tentang keluarga macam apa yang dia miliki. Namun dia mendengar laki-laki itu menghela nafas, mengeluarkan sebuah tawa yang goresnya menyayat hatinya.

“Benar,” bisiknya. “Aku tak tahu apapun tentang keluarga yang kau miliki.”

“Pen–”

“Karena bukan seperti itu keluarga yang seharusnya, El,” dia berucap, memotongnya. “Aku tak yakin ada keluarga seperti keluargamu di tempat lain.”

“Ada banyak,” bisiknya. “Kau hanya tak pernah melihatnya.”

“Tentu saja aku tak pernah melihatnya,” dia mendengus, dan entah kenapa, Elizabeth merasa bahwa dia tengah menyinggungnya. “Karena kita berdua tak memiliki tempat tumbuh yang sama.”

“Tentu saja tidak.”

“Terlalu berbeda,” gumam laki-laki itu. “Bukankah begitu?”

Gadis itu mengalihkan pandangan. Seketika, kemeja yang menjadi pakaiannya sekarang ini terasa tidak nyaman. Mungkin dia akan lebih baik jika mengenakan gaunnya kembali.

Setidaknya itu akan menjadi dirinya sendiri dan dia tak lagi berpura-pura. Bukankah begitu?

“Kau harus mengakuinya, Elizabeth.”

Dia menatapnya, mencoba untuk melihat setitik perasaan bahwa dia hanya mengatakan itu karena rasa sakitnya, karena dia telah terluka dengan apa yang terjadi.

Namun tidak. Elizabeth gagal untuk menemukan apa yang dia cari di sorot mata itu. Seolah Pentious telah siap untuk meninggalkannya jika dia mengucapkan satu kata bahwa dia setuju dengannya.

Gadis itu membuka mulutnya, namun tak ada yang keluar darinya. Matanya berkedip, membuatnya beralih dan melihat ke arah jendela.

“Jika aku tak melakukan ini,” bisiknya, menelan kenyataan yang telah dia abaikan selama dia melarikan diri dari pesta. “Aku tak tahu jika ayahku akan mengakuiku.”

Ketika dia menoleh pada pandangan Pentious, laki-laki tersebut telah menghela nafas, mundur untuk berdiri menjauh darinya. Dan ketika genggaman tangannya meleset dari lengan, Elizabeth menelan sebuah rasa bersalah.

“Aku tahu bahwa kau tak mempercayaiku,” ucapnya, berbisik, kepala bergantung seolah dia mengakui bahwa dia telah kalah.

“Apa yang kau katakan?”

“Aku tahu,” dia berucap. “Bahwa aku takkan bisa memberikan apa yang ayahmu atau bahkan kakakmu berikan padamu–”

“Pentious,” dia menegur. “Aku tak mengatakan bahwa kau takkan pernah bisa membiayaiku — bahkan aku bisa membiayai diriku sendiri.”

“Lalu apa yang menakutimu?”

Elizabeth terdiam. Benar sekali. Apa yang menakutinya? Dia memiliki uangnya sendiri, lalu kenapa dia begitu ingin bergantung pada kakak dan ayahnya?

Atau mungkin dia hanya menginginkan sebuah pengakuan dari keluarganya — sesuatu yang tak pernah diberikan ayahnya seperti bagaimana dia memperlakukan kakaknya?

Yah.

Mungkin itu.

Namun menyadari helaan nafas Pentious, Elizabeth mengalihkan tubuhnya dan beranjak untuk duduk di sofa.

“Aku tak tahu apa yang harus kulakukan,” ucapnya. “Aku tak bisa memuaskan baik salah satu dari kalian — jadi kurasa aku akan tetap disini sampai kapanpun ‘kan?”

Elizabeth menutup mata, melipat kedua tangan di dada dan menghela nafasnya.

Dia tak pernah memiliki tujuan untuk menyakiti pria yang dia cintai, bahkan ketika dia tahu bahwa hubungan mereka tak memiliki ujung apapun.

Tapi mungkin dia telah menemukan titik baliknya. Mereka tak memiliki kesempatan untuk melanjutkan apa yang mereka miliki.

Dan tak ada apapun yang bisa Elizabeth lakukan selain pergi darinya.

Sanggupkah ia bertahan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status