Perlahan, mata Ardi terbuka, meskipun terasa berat. Kepalanya terasa berat dan pusing–membuatnya refleks menyentuh keningnya.
"Dia bangun, Tuan!"
Suara seorang pria terdengar jelas di telinga Ardi. Sepertinya pria itu ada tidak jauh darinya.
Ardi memaksa untuk menoleh ke sumber suara. Cahaya di ruangan itu sangat terang dan membuatnya silau.
Berapa terkejutnya Ardi ketika ia melihat apa yang ada di sekelilingnya!
"Di mana …?"
Sekitarnya tampak besar, luas, dan mewah. Dinding dan langit-langit kamar berwarna putih bersih, dengan barang-barang mewah ditata apik bak rumah jutawan. Semua juga berwarna putih.
Aneh sekali. Apa ini di surga? Lalu siapa pria yang tadi bicara?
Ardi melihat seorang pria setengah baya berkumis duduk di kursi besar, kira-kira empat meter jaraknya dari ranjang. Di sebelah pria itu berdiri pria yang lebih muda, mungkin baru masuk usia tiga puluhan. Mereka mengenakan pakaian hitam-hitam, melawan semua warna putih yang ada di ruangan itu.
"Selamat datang, Anak Muda." Si pria yang lebih muda berkata. Suaranya sama dengan yang Ardi dengar sebelum ia pingsan. Sorot matanya tampak tajam saat menatap pada Ardi.
"Siapa kalian?" Ardi bertanya bingung. Kepalanya masih pusing, ingin sekali dia kembali berbaring.
"Minumlah, agar kamu merasa lebih baik." Pria muda itu maju mengambil gelas di atas nakas di sebelah tempat tidur dan menyodorkannya pada Ardi.
Segelas susu.
Namun, Ardi hanya memandangi pria itu, tidak menerima gelas yang ada di depannya.
"Kamu perlu tenaga untuk memulai petualangan baru kamu." Kali ini pria setengah baya itu yang berbicara. Suaranya besar dan berat. Ada kharisma yang kuat dari nada suara pria itu.
Ardi mengerutkan kening.
Apa maksud perkataan pria itu? Petualangan? Aneh sekali. Siapa dua pria itu? Malaikat?
Tapi mereka berpakaian serba hitam dan tidak bersayap.
Akhirnya, Ardi mengulurkan tangan mengambil gelas susu yang disodorkan dan meneguknya beberapa kali. Nikmat sekali. Rasa hangat menyusup dari leher hingga ke perutnya.
"Hampir aku terlambat datang. Satu detik saja, aku tidak akan mendapatkanmu hidup-hidup." Pria setengah baya itu kembali berbicara.
Si pria muda mengambil gelas dari tangan Ardi, meletakkan lagi di atas nakas, lalu balik ke posisi semula di samping si pria setengah baya.
"Maksud Bapak?" Ardi merasa aneh dengan ucapan pria itu.
"Kalau aku terlambat, tubuhmu sudah remuk hanyut di sungai banjir itu." Dengan suara tegas, pria paruh baya itu kembali berkata. "Sungguh nekat. Kamu pikir dengan bunuh diri kamu akan bebas? Surga tidak menerima orang yang mati dengan cara mencabut nyawanya sendiri."
"Jadi aku belum mati?" Ardi menatap lebih tajam dengan wajah kebingungan. Sedetik kemudian sepasang mata Ardi terbelalak. "Aku sengaja di bawa ke sini? Apakah ini penculikan!?"
"Hahaha!" Si pria muda tertawa lepas. Wajahnya yang dingin dan garang langsung berubah, seakan ucapan Ardi benar-benaar membangkitkan selera humornya.
Sedang pria setengah baya yang dipanggil tuan itu sama sekali tidak tersenyum. Tatapan datar masih sama dari aura wajahnya.
"Ya, anggaplah kamu diculik." Pria itu bersandar pada punggung kursinya.
"Bapak salah sasaran," ucap Ardi. "Aku ini miskin dan tidak punya siapa-siapa. "
"Kamu kira aku orang bodoh, sampai salah mengambil orang?"
Ucapan pria itu makin tajam, setajam tatapannya menghunjam pada Ardi.
Mata Ardi kembali melebar. Jantungnya berdegup kencang. Kharisma pria di hadapannya itu membuatnya gemetar. Ia tidak ingin membuatnya marah.
"Ardiandana Krisnadi. Dua puluh tahun. Tinggal di kamar kos sempit dan baru saja diusir pemiliknya. Dipecat karena masalah yang ditimbulkan oleh teman kerja." Pria berkumis itu berbicara lantang, jelas, dan tegas. "Pacarmu ternyata selingkuh, tidak peduli keadaan kamu yang sudah mengenaskan."
Ardi melotot lebar. Bagaimana bisa pria itu tahu semua kehidupan Ardi? Berarti benar dia adalah malaikat yang diutus untuk mengawasi hidup Ardi!
"Kamu sebut aku malaikat? Terserah. Aku malaikat yang akan mengubah hidupmu." Lurus dan dalam tatapan pria berkumis itu.
"Maksud Bapak?" Ardi menautkan kedua alisnya. Dia tidak paham apa yang dibicarakan pria berkumis itu.
"Jawaban atas masalah hidup kamu cuma satu." Pria itu tak berkedip, seperti mau menembus dengan pandangan matanya sampai ke dasar hati Ardi.
Ardi menelan ludah. Hatinya makin tidak tenang. Pasti pria itu bukan orang baik. Dia menculik orang miskin, memata-matainya sampai tahu detail kondisi hidupnya, pasti dia punya maksud jahat.
"Uang. Kalau kamu punya uang yang berlimpah, kamu bisa menyelesaikan semua masalah kamu." Pria itu melanjutkan.
Ardi mengepalkan kedua tangan lalu menekannya di atas kedua lutut. Dadanya berdebar makin cepat.
Diam-diam, ia merasa takut dan khawatir dengan apa yang diminta sosok itu padanya.
"Tuan, kurasa kita perlu memberi waktu buat Ardi. Sepertinya dia belum paham." Si pria muda akhirnya membuka mulutnya juga.
"Hm." Pria berkumis mengangguk. "Oke, panggil pelayan membawakan makanan kemari."
Pria muda itu berjalan ke arah pintu dan memanggil seseorang lalu kembali masuk.
Selang dua menit, muncul seorang wanita muda mendorong rak beroda dengan tudung saji di atasnya. Penampilan wanita itu membuat Ardi melongo.
Seperti di film-film yang mengisahkan para miliader, pelayan rumah itu berpakaian seragam dengan apron dan topi kecil di atas kepala. Dengan cekatan dia menyiapkan hidangan untuk Ardi.
"Silakan, Tuan Muda. Mudah-mudahan Tuan Muda berkenan," kata pelayan itu dengan sopan. Dia memandang Ardi sambil tersenyum manis dan sedikit menunduk.
"Apa?" Ardi heran disebut "tuan muda". Apa Ardi tidak salah dengar?
"Kamu bisa kembali ke belakang, Erma. Terima kasih." Tiba-tiba si pria muda menyela, menyuruh pelayan itu segera pergi.
"Baik, permisi Tuan Halim, Tuan Victor." Pelayan itu sekali lagi membungkuk lalu bergegas meninggalkan kamar.
Fokus Ardi langsung terarah pada si pria berkumis. "Kenapa dia memanggilku Tuan Muda?"
Si pria berkumis–Halim namanya–hanya menatap Ardi dan berkata, “Makanlah. Lalu kita akan bicara sesuatu yang sangat serius."
Pria itu berdiri, merapikan jas hitam yang menempel pas di badannya yang tegap. Dia memberi isyarat pada Victor, si pria yang lebih muda, agar ikut keluar dengannya.
Saat pintu ditutup, barulah Ardi mengangkat sup dan mulai makan.
"Ah, lezat sekali." Ardi bicara sendiri.
Sambil makan, mata Ardi melihat sekeliling kamar itu lagi. Ingatannya kembali ke saat ia dibawa dari jembatan.
Ardi bertanya-tanya, apa tujuan Halim menculiknya? Pemuda itu tidak punya ide atau dugaan apa pun sebagai jawaban.
Masih merenungi nasib, mata Ardi tertuju pada cermin besar di dinding seberang ranjang.
Ardi meletakkan mangkuk sup yang hampir kosong, lalu berjalan mendekati cermin besar itu.
Betapa kaget Ardi melihat dirinya. Dia memakai piyama bagus dan keren berwarna cokelat gelap dan bahannya–
Ardi menyentuhnya. Halus dan lembut.
"Ini sutra?" tanya Ardi pada dirinya sendiri. "Ini semua nyata, kan? Aku tidak mimpi?"
"Ah, kamu sudah selesai, Tuan Muda!?"
Suara itu mengejutkan Ardi.
Cepat-cepat dia berbalik. Victor dan Halim kembali masuk dan mengambil posisi mereka semula.
"Tuan Muda Helios Bintang Hartawan. Mulai hari ini, itulah dirimu!" Tegas dan dengan tatapan lurus pada Ardi, Halim bicara.
Jantung Ardi seperti melompat mendengar kata-kata si pria berkumis. Tatapan datar dan tajamnya berlipat menjadi tampak seram.
"Kamu adalah pewaris sah, anak Tuan Herman Duta Hartawan yang akan memegang semua aset dan kekayaan ayahmu. Tuan Muda Helios, selamat pulang. Tugas besar telah menunggu." Halim meneruskan kata-katanya.
"Aku tidak mengerti. Siapa itu Helios? Aku Ardiandana." Ardi memegang dada dengan tangan kanan. Rasanya tubuh Ardi seperti oleng.
“Siapa itu Helios?”Halim tidak mengomentari perkataan Ardi. Dia justru menoleh dan bicara setengah berbisik pada Victor. Victor mengangguk dan bergerak mendekati bufet kecil di sisi kanannya. Dia mengambil sebuah folder berwarna biru gelap dan memberikannya kepada Halim.Halim membuka folder dan mengambil beberapa dokumen penting. Dia membebernya di atas meja. Ardi mengerutkan kening mencoba melihat dengan lebih jelas, berkas apa saja yang ada di sana."Mendekatlah, Tuan Muda. Ini beberapa berkas yang akan paling kamu butuhkan untuk menjalankan misi besar hidupmu," kata Halim."Misi besar?" Ardi refleks mengulang kata itu. Apa lagi yang dia dengar?Dengan ragu dan kebingungan, Ardi berpindah duduk di samping Halim, menghadapi sebuah meja bundar. Tampak akta kelahiran, KTP, buku rekening, kartu ATM, dan tidak ketinggalan kartu kredit."Ambil akta kelahiran itu dan bacalah," kata Halim memerintah.Ardi menurut saja perkataan Halim. "Helios Bintang Hartawan." Pelan Ardi membaca. Tang
“Aku masih tidak percaya semua ini!”Setelah mengatakan itu, Ardi mendengus. Lalu, ia melanjutkan, "Tapi bagaimana bisa kalian menemukan aku? Berapa lama kalian menguntit aku sampai akhirnya membawaku?" "Pertanyaan yang bagus," jawab Halim sambil mengurai senyum di ujung bibirnya.Ardi menunggu jawaban dan penjelasan lebih lanjut."Memang tidak mudah menemukan orang yang tepat. Tapi perjuanganku dan Victor tidak sia-sia. Kamu sangat sesuai dengan bayangan kami untuk menjadi putra tunggal, pewaris utama dari Dinasti Herman Duta Hartawan. Bersiaplah untuk itu, Tuan Muda." Halim menjawab tidak sejelas yang Ardi mau."Maksud aku i—""Tidak ada waktu menjelaskan dengan detail. Yang kamu lakukan adalah mengenal Tuan Herman dan memahami bahwa keluarga beliau tidak pantas mendapatkan harta miliaran,” sela Halim. “Jadi saat kamu bertemu mereka, kamu akan tahu apa dan bagaimana kamu harus bersikap."Mendengar ucapan itu, Ardi mulai bisa meraba situasi di keluarga Hartawan. Apakah seperti yang
Sekalipun perasaannya campur aduk, Ardi harus mengakui dia terpesona dengan kamar besar tempatnya disekap. Dia bahkan baru menyadari ada pantry lengkap dengan kulkas kecil di kamar itu. "Semua lengkap di sini. Aku tidak perlu ke mana-mana, semua sudah ada." Ardi berkata pada dirinya.Lalu dia melangkah naik ke ranjang. Dia meraih remote control di atas nakas sebelah ranjang dan menyalakan TV. Bukan sembarang TV. Channel internasional ada pada tayangan TV yang dipasang di dinding seberang ranjang."Nyaman sekali. Biarpun disekap, aku tidak akan bosan, aku bisa melakukan apa yang aku mau." Ardi tersenyum.Asyik juga menjadi orang kaya. Semua sudah disiapkan lengkap dalam satu kamar. Baru satu kamar saja indahnya seperti ini. Luas, mungkin empat atau lima kali lebih besar dari kamar kosnya. Ukurannya hanya 3 kali 4 meter lebih sedikit. Hanya ada kasur di lantai, lemari kecil dan meja kecil untuk Ardi menyimpan barang-barangnya yang tidak seberapa itu.Lalu, bagaimana dengan seluruh ruma
Jantung Helios seperti melompat dan meledak saat Victor mengajaknya berkeliling rumah yang sangat besar itu. Ruangan-ruangan yang ada luas, lengkap dengan berbagai barang mewah dan modern. Helios rasanya seperti masuk ke sebuah istana entah di negeri mana. Bahkan dia hampir yakin dia memang tengah bermimpi dan terjebak di sana, tanpa tahu kapan akan bangun.Selama berkeliling yang tidak cukup sepuluh menit itu, Helios berulang kali berdecak kagum dengan semua yang dia lihat. Hotel berbintang pun pasti kalah dengan kemegahan rumah Tuan Besar Hartawan. Cocok sekali kalau namanya Hartawan. Isi rumahnya sudah menggambarkan seberapa banyak hartanya."Kamu harus langsung menghafal ruangan-ruangan di mansion ini, Tuan Muda. Karena ini rumah kamu. Setelah Tuan Besar, kamu yang punya kuasa di sini." Victor berbicara sementara mereka berada di lantai atas, berjalan di balkon.Dari situ Helios melihat rumah besar lain di seberang gedung tempatnya berada. Helios tidak tahu mana yang lebih besar,
Kali ini Halim tidak mau ada tawar menawar, keraguan, atau apapun yang menyiratkan kalau Helios masih belum benar-benar sepakat dengan rencana besar Herman Hartawan. Melihat sikap Halim yang lebih tegas, Helios tidak mengatakan apapun. Tapi dalam hati dia bertekad, dia tidak akan mengeluh. Semua itu tidak ada gunanya. Yang dia harus lakukan, ikuti saja ke mana Halim dan Victor membawanya. Setelah hampir dua jam, akhirnya pertemuan mereka selesai. Ada kelegaan di hati Helios. Dia bisa sedikit longgar bernapas, sebelum kemudian harus fokus mengingat dan menghafal segala hal yang dicekokkan kepadanya dalam waktu yang singkat. “Kembalilah ke kamarmu, Tuan Muda. Aku dan Victor ada urusan. Nanti jam satu siang, pergilah ke kamar Tuan Besar dan makan siang bersamanya,” titah Halim. “Baik, Pak. Terima kasih.” Helios bangun dan bersiap keluar ruangan itu. Victor memanggil seorang pelayan pria dan memintanya mengantar Helios ke kamar. Helios tahu, bukan karena Victor kuatir Helios akan ter
“Mari, kita sambut … Tuan Muda Helios Bintang Hartawan!”Debaran makin kuat melanda dada Helios. Dia berdiri di tangga teratas dari lantai dua. Di ruang bawah, ruang tengah yang sudah disulap dengan begitu indah, semua mata tertuju padanya. Tatapan-tatapan penuh tanya yang diselingi senyum, membuat hati Helios makin tak menentu.Musik yang menghantar Sang Tuan Muda hadir di tengah pesta itu mengalun manis. Lembut, syahdu, tetapi juga megah. Selangkah demi selangkah Helios mengayunkan kaki menuruni anak tangga, smentara MC acara terus berbicara memperkenalkan Sang Tuan Muda.Gelisah dan resah yang memenuhi hati Helios. Tetapi yang dia harus lakukan adalah tersenyum. Bukan senyum kecut dan kurang percaya diri, sebaliknya senyum bahagia karena dia pulang ke rumah dan bertemu ayah tercinta.Tepuk tangan terus mengiringi Helios hingga dia tiba di anak tangga paling bawah. Di saat itu, Herman menyambut Helios dengan senyum lebar. Meskipun di kursi rodanya, Herman tampak sumringah. Tangannya
Herman, Helios, bersama Siska dan tiga orang tamu yang sedang duduk mengelilingi meja, mengarahkan pandangan pada pria tinggi jangkung yang baru datang ketika tamu-tamu mulai meninggalkan acara malam itu.“Raditya! Senang melihatmu bisa hadir juga malam ini. Mari, duduklah!” Herman merentangkan tangannya dan mempersilakan Raditya ikut bergabung dengan mereka.Raditya maju beberapa langkah. Dia berdiri tepat di belakang kursi yang berseberangan dengan Helios. Matanya mencermati pria muda yang gagah dan tampan yang tengah duduk di samping Herman. Dia tidak berkedip menatap Helios.“Wow … Siapa namamu?” tanya Raditya tanpa memperhatikan ucapan Herman.“Aku Helios Bintang Hartawan.” Dengan tenang, meskipun jantung mulai tidak tenang, Helios menjawab.Raditya tersenyum nyengir. Logat Helios bicara jelas bukan orang Jakarta. Lebih terkesan bernada orang Jawa.“Dari mana asalmu?” tanya Raditya lagi.Wajah Helios terasa mulai panas. Hampir dia membuka mulut menyebut kota asalnya, dengan cepat
Helios memandang Herman. Rasanya aneh berdua dengan seorang laki-laki yang menyebutnya anak. Helios tidak pernah punya ayah. Campur baur rasa di dadanya berdua saja dengan Herman.“Apapun yang muncul di kepala dan hatimu, katakan saja. Dari awal kamu harus jujur dan terbuka. Karena itu akan berpengaruh pada hal-hal lain yang nanti kamu hadapi, Helios.”Perlahan, Helios menarik napas dalam. Lalu dia mulai bicara.“Aku tidak nyaman, Tuan. Mereka tidak menerimaku. Mereka terganggu dengan kedatanganku.”Mendengar ucapan Helios, Herman tersenyum. “Itu pasti. Aku sudah tahu sejak awal apa yang akan terjadi dengan kepulangan kamu. Kalau mereka terganggu, mereka lebih baik pergi saja dari sini. Aku tidak akan menahan mereka untuk tinggal. Uang yang aku berikan sangat cukup untuk mereka hidup meskipun jauh dariku.”Helios mendengarkan. Dia perlu lebih jelas mengerti situasi di antara Herman, Siska, dan Raditya. Apa yang t