Share

Bab 2. Pria Berkumis yang Misterius

Perlahan, mata Ardi terbuka, meskipun terasa berat. Kepalanya terasa berat dan pusing–membuatnya refleks menyentuh keningnya.

"Dia bangun, Tuan!" 

Suara seorang pria terdengar jelas di telinga Ardi. Sepertinya pria itu ada tidak jauh darinya.

Ardi memaksa untuk menoleh ke sumber suara. Cahaya di ruangan itu sangat terang dan membuatnya silau. 

Berapa terkejutnya Ardi ketika ia melihat apa yang ada di sekelilingnya!

"Di mana …?"

Sekitarnya tampak besar, luas, dan mewah. Dinding dan langit-langit kamar berwarna putih bersih, dengan barang-barang mewah ditata apik bak rumah jutawan. Semua juga berwarna putih. 

Aneh sekali. Apa ini di surga? Lalu siapa pria yang tadi bicara?

Ardi melihat seorang pria setengah baya berkumis duduk di kursi besar, kira-kira empat meter jaraknya dari ranjang. Di sebelah pria itu berdiri pria yang lebih muda, mungkin baru masuk usia tiga puluhan. Mereka mengenakan pakaian hitam-hitam, melawan semua warna putih yang ada di ruangan itu.

"Selamat datang, Anak Muda." Si pria yang lebih muda berkata. Suaranya sama dengan yang Ardi dengar sebelum ia pingsan. Sorot matanya tampak tajam saat menatap pada Ardi.

"Siapa kalian?" Ardi bertanya bingung. Kepalanya masih pusing, ingin sekali dia kembali berbaring.

"Minumlah, agar kamu merasa lebih baik." Pria muda itu maju mengambil gelas di atas nakas di sebelah tempat tidur dan menyodorkannya pada Ardi.

Segelas susu. 

Namun, Ardi hanya memandangi pria itu, tidak menerima gelas yang ada di depannya.

"Kamu perlu tenaga untuk memulai petualangan baru kamu." Kali ini pria setengah baya itu yang berbicara. Suaranya besar dan berat. Ada kharisma yang kuat dari nada suara pria itu.

Ardi mengerutkan kening. 

Apa maksud perkataan pria itu? Petualangan? Aneh sekali. Siapa dua pria itu? Malaikat?

Tapi mereka berpakaian serba hitam dan tidak bersayap. 

Akhirnya, Ardi mengulurkan tangan mengambil gelas susu yang disodorkan dan meneguknya beberapa kali. Nikmat sekali. Rasa hangat menyusup dari leher hingga ke perutnya.

"Hampir aku terlambat datang. Satu detik saja, aku tidak akan mendapatkanmu hidup-hidup." Pria setengah baya itu kembali berbicara.

Si pria muda mengambil gelas dari tangan Ardi, meletakkan lagi di atas nakas, lalu balik ke posisi semula di samping si pria setengah baya.

"Maksud Bapak?" Ardi merasa aneh dengan ucapan pria itu.

"Kalau aku terlambat, tubuhmu sudah remuk hanyut di sungai banjir itu." Dengan suara tegas, pria paruh baya itu kembali berkata. "Sungguh nekat. Kamu pikir dengan bunuh diri kamu akan bebas? Surga tidak menerima orang yang mati dengan cara mencabut nyawanya sendiri."

"Jadi aku belum mati?" Ardi menatap lebih tajam dengan wajah kebingungan. Sedetik kemudian sepasang mata Ardi terbelalak. "Aku sengaja di bawa ke sini? Apakah ini penculikan!?"

"Hahaha!" Si pria muda tertawa lepas. Wajahnya yang dingin dan garang langsung berubah, seakan ucapan Ardi benar-benaar membangkitkan selera humornya.

Sedang pria setengah baya yang dipanggil tuan itu sama sekali tidak tersenyum. Tatapan datar masih sama dari aura wajahnya.

"Ya, anggaplah kamu diculik." Pria itu bersandar pada punggung kursinya.

"Bapak salah sasaran," ucap Ardi. "Aku ini miskin dan tidak punya siapa-siapa. "

"Kamu kira aku orang bodoh, sampai salah mengambil orang?"

Ucapan pria itu makin tajam, setajam tatapannya menghunjam pada Ardi. 

Mata Ardi kembali melebar. Jantungnya berdegup kencang. Kharisma pria di hadapannya itu membuatnya gemetar. Ia tidak ingin membuatnya marah.

"Ardiandana Krisnadi. Dua puluh tahun. Tinggal di kamar kos sempit dan baru saja diusir pemiliknya. Dipecat karena masalah yang ditimbulkan oleh teman kerja." Pria berkumis itu berbicara lantang, jelas, dan tegas. "Pacarmu ternyata selingkuh, tidak peduli keadaan kamu yang sudah mengenaskan."

Ardi melotot lebar. Bagaimana bisa pria itu tahu semua kehidupan Ardi? Berarti benar dia adalah malaikat yang diutus untuk mengawasi hidup Ardi!

"Kamu sebut aku malaikat? Terserah. Aku malaikat yang akan mengubah hidupmu." Lurus dan dalam tatapan pria berkumis itu.

"Maksud Bapak?" Ardi menautkan kedua alisnya. Dia tidak paham apa yang dibicarakan pria berkumis itu.

"Jawaban atas masalah hidup kamu cuma satu." Pria itu tak berkedip, seperti mau menembus dengan pandangan matanya sampai ke dasar hati Ardi. 

Ardi menelan ludah. Hatinya makin tidak tenang. Pasti pria itu bukan orang baik. Dia menculik orang miskin, memata-matainya sampai tahu detail kondisi hidupnya, pasti dia punya maksud jahat.

"Uang. Kalau kamu punya uang yang berlimpah, kamu bisa menyelesaikan semua masalah kamu." Pria itu melanjutkan.

Ardi mengepalkan kedua tangan lalu menekannya di atas kedua lutut. Dadanya berdebar makin cepat.

Diam-diam, ia merasa takut dan khawatir dengan apa yang diminta sosok itu padanya.

"Tuan, kurasa kita perlu memberi waktu buat Ardi. Sepertinya dia belum paham." Si pria muda akhirnya membuka mulutnya juga.

"Hm." Pria berkumis mengangguk. "Oke, panggil pelayan membawakan makanan kemari."

Pria muda itu berjalan ke arah pintu dan memanggil seseorang lalu kembali masuk. 

Selang dua menit, muncul seorang wanita muda mendorong rak beroda dengan tudung saji di atasnya. Penampilan wanita itu membuat Ardi melongo. 

Seperti di film-film yang mengisahkan para miliader, pelayan rumah itu berpakaian seragam dengan apron dan topi kecil di atas kepala. Dengan cekatan dia menyiapkan hidangan untuk Ardi.

"Silakan, Tuan Muda. Mudah-mudahan Tuan Muda berkenan," kata pelayan itu dengan sopan. Dia memandang Ardi sambil tersenyum manis dan sedikit menunduk.

"Apa?" Ardi heran disebut "tuan muda". Apa Ardi tidak salah dengar?

"Kamu bisa kembali ke belakang, Erma. Terima kasih." Tiba-tiba si pria muda menyela, menyuruh pelayan itu segera pergi.

"Baik, permisi Tuan Halim, Tuan Victor." Pelayan itu sekali lagi membungkuk lalu bergegas meninggalkan kamar.

Fokus Ardi langsung terarah pada si pria berkumis. "Kenapa dia memanggilku Tuan Muda?" 

Si pria berkumis–Halim namanya–hanya menatap Ardi dan berkata, “Makanlah. Lalu kita akan bicara sesuatu yang sangat serius."

Pria itu berdiri, merapikan jas hitam yang menempel pas di badannya yang tegap.  Dia memberi isyarat pada Victor, si pria yang lebih muda, agar ikut keluar dengannya. 

Saat pintu ditutup, barulah Ardi mengangkat sup dan mulai makan. 

"Ah, lezat sekali." Ardi bicara sendiri.

Sambil makan, mata Ardi melihat sekeliling kamar itu lagi. Ingatannya kembali ke saat ia dibawa dari jembatan.

Ardi bertanya-tanya, apa tujuan Halim menculiknya? Pemuda itu  tidak punya ide atau dugaan apa pun sebagai jawaban. 

Masih merenungi nasib, mata Ardi tertuju pada cermin besar di dinding seberang ranjang. 

Ardi meletakkan mangkuk sup yang hampir kosong, lalu berjalan mendekati cermin besar itu.

Betapa kaget Ardi melihat dirinya. Dia memakai piyama bagus dan keren berwarna cokelat gelap dan bahannya–

Ardi menyentuhnya. Halus dan lembut.

"Ini sutra?" tanya Ardi pada dirinya sendiri. "Ini semua nyata, kan? Aku tidak mimpi?"

"Ah, kamu sudah selesai, Tuan Muda!?" 

Suara itu mengejutkan Ardi. 

Cepat-cepat dia berbalik. Victor dan Halim kembali masuk dan mengambil posisi mereka semula.

"Tuan Muda Helios Bintang Hartawan. Mulai hari ini, itulah dirimu!" Tegas dan dengan tatapan lurus pada Ardi, Halim bicara.

Jantung Ardi seperti melompat mendengar kata-kata si pria berkumis. Tatapan datar dan tajamnya berlipat menjadi tampak seram. 

"Kamu adalah pewaris sah, anak Tuan Herman Duta Hartawan yang akan memegang semua aset dan kekayaan ayahmu. Tuan Muda Helios, selamat pulang. Tugas besar telah menunggu." Halim meneruskan kata-katanya. 

"Aku tidak mengerti. Siapa itu Helios? Aku Ardiandana." Ardi memegang dada dengan tangan kanan. Rasanya tubuh Ardi seperti oleng.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status