Home / Urban / Sang Tuan Muda Sejati / Bab 2. Pria Berkumis yang Misterius

Share

Bab 2. Pria Berkumis yang Misterius

Author: Ayunina Sharlyn
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Perlahan, mata Ardi terbuka, meskipun terasa berat. Kepalanya terasa berat dan pusing–membuatnya refleks menyentuh keningnya.

"Dia bangun, Tuan!" 

Suara seorang pria terdengar jelas di telinga Ardi. Sepertinya pria itu ada tidak jauh darinya.

Ardi memaksa untuk menoleh ke sumber suara. Cahaya di ruangan itu sangat terang dan membuatnya silau. 

Berapa terkejutnya Ardi ketika ia melihat apa yang ada di sekelilingnya!

"Di mana …?"

Sekitarnya tampak besar, luas, dan mewah. Dinding dan langit-langit kamar berwarna putih bersih, dengan barang-barang mewah ditata apik bak rumah jutawan. Semua juga berwarna putih. 

Aneh sekali. Apa ini di surga? Lalu siapa pria yang tadi bicara?

Ardi melihat seorang pria setengah baya berkumis duduk di kursi besar, kira-kira empat meter jaraknya dari ranjang. Di sebelah pria itu berdiri pria yang lebih muda, mungkin baru masuk usia tiga puluhan. Mereka mengenakan pakaian hitam-hitam, melawan semua warna putih yang ada di ruangan itu.

"Selamat datang, Anak Muda." Si pria yang lebih muda berkata. Suaranya sama dengan yang Ardi dengar sebelum ia pingsan. Sorot matanya tampak tajam saat menatap pada Ardi.

"Siapa kalian?" Ardi bertanya bingung. Kepalanya masih pusing, ingin sekali dia kembali berbaring.

"Minumlah, agar kamu merasa lebih baik." Pria muda itu maju mengambil gelas di atas nakas di sebelah tempat tidur dan menyodorkannya pada Ardi.

Segelas susu. 

Namun, Ardi hanya memandangi pria itu, tidak menerima gelas yang ada di depannya.

"Kamu perlu tenaga untuk memulai petualangan baru kamu." Kali ini pria setengah baya itu yang berbicara. Suaranya besar dan berat. Ada kharisma yang kuat dari nada suara pria itu.

Ardi mengerutkan kening. 

Apa maksud perkataan pria itu? Petualangan? Aneh sekali. Siapa dua pria itu? Malaikat?

Tapi mereka berpakaian serba hitam dan tidak bersayap. 

Akhirnya, Ardi mengulurkan tangan mengambil gelas susu yang disodorkan dan meneguknya beberapa kali. Nikmat sekali. Rasa hangat menyusup dari leher hingga ke perutnya.

"Hampir aku terlambat datang. Satu detik saja, aku tidak akan mendapatkanmu hidup-hidup." Pria setengah baya itu kembali berbicara.

Si pria muda mengambil gelas dari tangan Ardi, meletakkan lagi di atas nakas, lalu balik ke posisi semula di samping si pria setengah baya.

"Maksud Bapak?" Ardi merasa aneh dengan ucapan pria itu.

"Kalau aku terlambat, tubuhmu sudah remuk hanyut di sungai banjir itu." Dengan suara tegas, pria paruh baya itu kembali berkata. "Sungguh nekat. Kamu pikir dengan bunuh diri kamu akan bebas? Surga tidak menerima orang yang mati dengan cara mencabut nyawanya sendiri."

"Jadi aku belum mati?" Ardi menatap lebih tajam dengan wajah kebingungan. Sedetik kemudian sepasang mata Ardi terbelalak. "Aku sengaja di bawa ke sini? Apakah ini penculikan!?"

"Hahaha!" Si pria muda tertawa lepas. Wajahnya yang dingin dan garang langsung berubah, seakan ucapan Ardi benar-benaar membangkitkan selera humornya.

Sedang pria setengah baya yang dipanggil tuan itu sama sekali tidak tersenyum. Tatapan datar masih sama dari aura wajahnya.

"Ya, anggaplah kamu diculik." Pria itu bersandar pada punggung kursinya.

"Bapak salah sasaran," ucap Ardi. "Aku ini miskin dan tidak punya siapa-siapa. "

"Kamu kira aku orang bodoh, sampai salah mengambil orang?"

Ucapan pria itu makin tajam, setajam tatapannya menghunjam pada Ardi. 

Mata Ardi kembali melebar. Jantungnya berdegup kencang. Kharisma pria di hadapannya itu membuatnya gemetar. Ia tidak ingin membuatnya marah.

"Ardiandana Krisnadi. Dua puluh tahun. Tinggal di kamar kos sempit dan baru saja diusir pemiliknya. Dipecat karena masalah yang ditimbulkan oleh teman kerja." Pria berkumis itu berbicara lantang, jelas, dan tegas. "Pacarmu ternyata selingkuh, tidak peduli keadaan kamu yang sudah mengenaskan."

Ardi melotot lebar. Bagaimana bisa pria itu tahu semua kehidupan Ardi? Berarti benar dia adalah malaikat yang diutus untuk mengawasi hidup Ardi!

"Kamu sebut aku malaikat? Terserah. Aku malaikat yang akan mengubah hidupmu." Lurus dan dalam tatapan pria berkumis itu.

"Maksud Bapak?" Ardi menautkan kedua alisnya. Dia tidak paham apa yang dibicarakan pria berkumis itu.

"Jawaban atas masalah hidup kamu cuma satu." Pria itu tak berkedip, seperti mau menembus dengan pandangan matanya sampai ke dasar hati Ardi. 

Ardi menelan ludah. Hatinya makin tidak tenang. Pasti pria itu bukan orang baik. Dia menculik orang miskin, memata-matainya sampai tahu detail kondisi hidupnya, pasti dia punya maksud jahat.

"Uang. Kalau kamu punya uang yang berlimpah, kamu bisa menyelesaikan semua masalah kamu." Pria itu melanjutkan.

Ardi mengepalkan kedua tangan lalu menekannya di atas kedua lutut. Dadanya berdebar makin cepat.

Diam-diam, ia merasa takut dan khawatir dengan apa yang diminta sosok itu padanya.

"Tuan, kurasa kita perlu memberi waktu buat Ardi. Sepertinya dia belum paham." Si pria muda akhirnya membuka mulutnya juga.

"Hm." Pria berkumis mengangguk. "Oke, panggil pelayan membawakan makanan kemari."

Pria muda itu berjalan ke arah pintu dan memanggil seseorang lalu kembali masuk. 

Selang dua menit, muncul seorang wanita muda mendorong rak beroda dengan tudung saji di atasnya. Penampilan wanita itu membuat Ardi melongo. 

Seperti di film-film yang mengisahkan para miliader, pelayan rumah itu berpakaian seragam dengan apron dan topi kecil di atas kepala. Dengan cekatan dia menyiapkan hidangan untuk Ardi.

"Silakan, Tuan Muda. Mudah-mudahan Tuan Muda berkenan," kata pelayan itu dengan sopan. Dia memandang Ardi sambil tersenyum manis dan sedikit menunduk.

"Apa?" Ardi heran disebut "tuan muda". Apa Ardi tidak salah dengar?

"Kamu bisa kembali ke belakang, Erma. Terima kasih." Tiba-tiba si pria muda menyela, menyuruh pelayan itu segera pergi.

"Baik, permisi Tuan Halim, Tuan Victor." Pelayan itu sekali lagi membungkuk lalu bergegas meninggalkan kamar.

Fokus Ardi langsung terarah pada si pria berkumis. "Kenapa dia memanggilku Tuan Muda?" 

Si pria berkumis–Halim namanya–hanya menatap Ardi dan berkata, “Makanlah. Lalu kita akan bicara sesuatu yang sangat serius."

Pria itu berdiri, merapikan jas hitam yang menempel pas di badannya yang tegap.  Dia memberi isyarat pada Victor, si pria yang lebih muda, agar ikut keluar dengannya. 

Saat pintu ditutup, barulah Ardi mengangkat sup dan mulai makan. 

"Ah, lezat sekali." Ardi bicara sendiri.

Sambil makan, mata Ardi melihat sekeliling kamar itu lagi. Ingatannya kembali ke saat ia dibawa dari jembatan.

Ardi bertanya-tanya, apa tujuan Halim menculiknya? Pemuda itu  tidak punya ide atau dugaan apa pun sebagai jawaban. 

Masih merenungi nasib, mata Ardi tertuju pada cermin besar di dinding seberang ranjang. 

Ardi meletakkan mangkuk sup yang hampir kosong, lalu berjalan mendekati cermin besar itu.

Betapa kaget Ardi melihat dirinya. Dia memakai piyama bagus dan keren berwarna cokelat gelap dan bahannya–

Ardi menyentuhnya. Halus dan lembut.

"Ini sutra?" tanya Ardi pada dirinya sendiri. "Ini semua nyata, kan? Aku tidak mimpi?"

"Ah, kamu sudah selesai, Tuan Muda!?" 

Suara itu mengejutkan Ardi. 

Cepat-cepat dia berbalik. Victor dan Halim kembali masuk dan mengambil posisi mereka semula.

"Tuan Muda Helios Bintang Hartawan. Mulai hari ini, itulah dirimu!" Tegas dan dengan tatapan lurus pada Ardi, Halim bicara.

Jantung Ardi seperti melompat mendengar kata-kata si pria berkumis. Tatapan datar dan tajamnya berlipat menjadi tampak seram. 

"Kamu adalah pewaris sah, anak Tuan Herman Duta Hartawan yang akan memegang semua aset dan kekayaan ayahmu. Tuan Muda Helios, selamat pulang. Tugas besar telah menunggu." Halim meneruskan kata-katanya. 

"Aku tidak mengerti. Siapa itu Helios? Aku Ardiandana." Ardi memegang dada dengan tangan kanan. Rasanya tubuh Ardi seperti oleng.

Related chapters

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 3. Kenapa Aku?

    “Siapa itu Helios?”Halim tidak mengomentari perkataan Ardi. Dia justru menoleh dan bicara setengah berbisik pada Victor. Victor mengangguk dan bergerak mendekati bufet kecil di sisi kanannya. Dia mengambil sebuah folder berwarna biru gelap dan memberikannya kepada Halim.Halim membuka folder dan mengambil beberapa dokumen penting. Dia membebernya di atas meja. Ardi mengerutkan kening mencoba melihat dengan lebih jelas, berkas apa saja yang ada di sana."Mendekatlah, Tuan Muda. Ini beberapa berkas yang akan paling kamu butuhkan untuk menjalankan misi besar hidupmu," kata Halim."Misi besar?" Ardi refleks mengulang kata itu. Apa lagi yang dia dengar?Dengan ragu dan kebingungan, Ardi berpindah duduk di samping Halim, menghadapi sebuah meja bundar. Tampak akta kelahiran, KTP, buku rekening, kartu ATM, dan tidak ketinggalan kartu kredit."Ambil akta kelahiran itu dan bacalah," kata Halim memerintah.Ardi menurut saja perkataan Halim. "Helios Bintang Hartawan." Pelan Ardi membaca. Tang

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 4. Tidak Ada Pilihan

    “Aku masih tidak percaya semua ini!”Setelah mengatakan itu, Ardi mendengus. Lalu, ia melanjutkan, "Tapi bagaimana bisa kalian menemukan aku? Berapa lama kalian menguntit aku sampai akhirnya membawaku?" "Pertanyaan yang bagus," jawab Halim sambil mengurai senyum di ujung bibirnya.Ardi menunggu jawaban dan penjelasan lebih lanjut."Memang tidak mudah menemukan orang yang tepat. Tapi perjuanganku dan Victor tidak sia-sia. Kamu sangat sesuai dengan bayangan kami untuk menjadi putra tunggal, pewaris utama dari Dinasti Herman Duta Hartawan. Bersiaplah untuk itu, Tuan Muda." Halim menjawab tidak sejelas yang Ardi mau."Maksud aku i—""Tidak ada waktu menjelaskan dengan detail. Yang kamu lakukan adalah mengenal Tuan Herman dan memahami bahwa keluarga beliau tidak pantas mendapatkan harta miliaran,” sela Halim. “Jadi saat kamu bertemu mereka, kamu akan tahu apa dan bagaimana kamu harus bersikap."Mendengar ucapan itu, Ardi mulai bisa meraba situasi di keluarga Hartawan. Apakah seperti yang

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 5. Selamat Datang, Anakku!

    Sekalipun perasaannya campur aduk, Ardi harus mengakui dia terpesona dengan kamar besar tempatnya disekap. Dia bahkan baru menyadari ada pantry lengkap dengan kulkas kecil di kamar itu. "Semua lengkap di sini. Aku tidak perlu ke mana-mana, semua sudah ada." Ardi berkata pada dirinya.Lalu dia melangkah naik ke ranjang. Dia meraih remote control di atas nakas sebelah ranjang dan menyalakan TV. Bukan sembarang TV. Channel internasional ada pada tayangan TV yang dipasang di dinding seberang ranjang."Nyaman sekali. Biarpun disekap, aku tidak akan bosan, aku bisa melakukan apa yang aku mau." Ardi tersenyum.Asyik juga menjadi orang kaya. Semua sudah disiapkan lengkap dalam satu kamar. Baru satu kamar saja indahnya seperti ini. Luas, mungkin empat atau lima kali lebih besar dari kamar kosnya. Ukurannya hanya 3 kali 4 meter lebih sedikit. Hanya ada kasur di lantai, lemari kecil dan meja kecil untuk Ardi menyimpan barang-barangnya yang tidak seberapa itu.Lalu, bagaimana dengan seluruh ruma

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 6. Siapa Gadis itu?

    Jantung Helios seperti melompat dan meledak saat Victor mengajaknya berkeliling rumah yang sangat besar itu. Ruangan-ruangan yang ada luas, lengkap dengan berbagai barang mewah dan modern. Helios rasanya seperti masuk ke sebuah istana entah di negeri mana. Bahkan dia hampir yakin dia memang tengah bermimpi dan terjebak di sana, tanpa tahu kapan akan bangun.Selama berkeliling yang tidak cukup sepuluh menit itu, Helios berulang kali berdecak kagum dengan semua yang dia lihat. Hotel berbintang pun pasti kalah dengan kemegahan rumah Tuan Besar Hartawan. Cocok sekali kalau namanya Hartawan. Isi rumahnya sudah menggambarkan seberapa banyak hartanya."Kamu harus langsung menghafal ruangan-ruangan di mansion ini, Tuan Muda. Karena ini rumah kamu. Setelah Tuan Besar, kamu yang punya kuasa di sini." Victor berbicara sementara mereka berada di lantai atas, berjalan di balkon.Dari situ Helios melihat rumah besar lain di seberang gedung tempatnya berada. Helios tidak tahu mana yang lebih besar,

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 7. Semakin Penasaran

    Kali ini Halim tidak mau ada tawar menawar, keraguan, atau apapun yang menyiratkan kalau Helios masih belum benar-benar sepakat dengan rencana besar Herman Hartawan. Melihat sikap Halim yang lebih tegas, Helios tidak mengatakan apapun. Tapi dalam hati dia bertekad, dia tidak akan mengeluh. Semua itu tidak ada gunanya. Yang dia harus lakukan, ikuti saja ke mana Halim dan Victor membawanya. Setelah hampir dua jam, akhirnya pertemuan mereka selesai. Ada kelegaan di hati Helios. Dia bisa sedikit longgar bernapas, sebelum kemudian harus fokus mengingat dan menghafal segala hal yang dicekokkan kepadanya dalam waktu yang singkat. “Kembalilah ke kamarmu, Tuan Muda. Aku dan Victor ada urusan. Nanti jam satu siang, pergilah ke kamar Tuan Besar dan makan siang bersamanya,” titah Halim. “Baik, Pak. Terima kasih.” Helios bangun dan bersiap keluar ruangan itu. Victor memanggil seorang pelayan pria dan memintanya mengantar Helios ke kamar. Helios tahu, bukan karena Victor kuatir Helios akan ter

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 8. Pesta Penyambutan yang Menegangkan

    “Mari, kita sambut … Tuan Muda Helios Bintang Hartawan!”Debaran makin kuat melanda dada Helios. Dia berdiri di tangga teratas dari lantai dua. Di ruang bawah, ruang tengah yang sudah disulap dengan begitu indah, semua mata tertuju padanya. Tatapan-tatapan penuh tanya yang diselingi senyum, membuat hati Helios makin tak menentu.Musik yang menghantar Sang Tuan Muda hadir di tengah pesta itu mengalun manis. Lembut, syahdu, tetapi juga megah. Selangkah demi selangkah Helios mengayunkan kaki menuruni anak tangga, smentara MC acara terus berbicara memperkenalkan Sang Tuan Muda.Gelisah dan resah yang memenuhi hati Helios. Tetapi yang dia harus lakukan adalah tersenyum. Bukan senyum kecut dan kurang percaya diri, sebaliknya senyum bahagia karena dia pulang ke rumah dan bertemu ayah tercinta.Tepuk tangan terus mengiringi Helios hingga dia tiba di anak tangga paling bawah. Di saat itu, Herman menyambut Helios dengan senyum lebar. Meskipun di kursi rodanya, Herman tampak sumringah. Tangannya

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 9. Pertengkaran Tak Terhindarkan

    Herman, Helios, bersama Siska dan tiga orang tamu yang sedang duduk mengelilingi meja, mengarahkan pandangan pada pria tinggi jangkung yang baru datang ketika tamu-tamu mulai meninggalkan acara malam itu.“Raditya! Senang melihatmu bisa hadir juga malam ini. Mari, duduklah!” Herman merentangkan tangannya dan mempersilakan Raditya ikut bergabung dengan mereka.Raditya maju beberapa langkah. Dia berdiri tepat di belakang kursi yang berseberangan dengan Helios. Matanya mencermati pria muda yang gagah dan tampan yang tengah duduk di samping Herman. Dia tidak berkedip menatap Helios.“Wow … Siapa namamu?” tanya Raditya tanpa memperhatikan ucapan Herman.“Aku Helios Bintang Hartawan.” Dengan tenang, meskipun jantung mulai tidak tenang, Helios menjawab.Raditya tersenyum nyengir. Logat Helios bicara jelas bukan orang Jakarta. Lebih terkesan bernada orang Jawa.“Dari mana asalmu?” tanya Raditya lagi.Wajah Helios terasa mulai panas. Hampir dia membuka mulut menyebut kota asalnya, dengan cepat

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 10. Cerita tentang Siska dan Raditya

    Helios memandang Herman. Rasanya aneh berdua dengan seorang laki-laki yang menyebutnya anak. Helios tidak pernah punya ayah. Campur baur rasa di dadanya berdua saja dengan Herman.“Apapun yang muncul di kepala dan hatimu, katakan saja. Dari awal kamu harus jujur dan terbuka. Karena itu akan berpengaruh pada hal-hal lain yang nanti kamu hadapi, Helios.”Perlahan, Helios menarik napas dalam. Lalu dia mulai bicara.“Aku tidak nyaman, Tuan. Mereka tidak menerimaku. Mereka terganggu dengan kedatanganku.”Mendengar ucapan Helios, Herman tersenyum. “Itu pasti. Aku sudah tahu sejak awal apa yang akan terjadi dengan kepulangan kamu. Kalau mereka terganggu, mereka lebih baik pergi saja dari sini. Aku tidak akan menahan mereka untuk tinggal. Uang yang aku berikan sangat cukup untuk mereka hidup meskipun jauh dariku.”Helios mendengarkan. Dia perlu lebih jelas mengerti situasi di antara Herman, Siska, dan Raditya. Apa yang t

Latest chapter

  • Sang Tuan Muda Sejati   Extra Moment - Part 2

    Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu

  • Sang Tuan Muda Sejati   Extra Moment - Part 1

    "Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 133. Finally, Tuan Muda

    "Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 132. Gertakan Tuan Besar

    Dua pasang mata di depan Herman menatap padanya. Sudah pasti Helios dan Violette menunggu kalimat berikut yang akan Herman ucapkan. Tetapi muncul sedikit cemas, kalau sampai emosi Herman naik, jantungnya bisa bermasalah lagi."Aku sudah mendapatkan penyelesaian dari semua kemelut yang selama ini membuat hidupku terasa sangat rumit dan menekan." Lebih tegas Herman bicara, meskipun tetap terdengar tenang. "Maksud Papa?" Helios menegakkan punggung. Dadanya tiba-tiba berdegup kuat. Yang dia takutkan jika Herman tidak akan menerima Violetta di mansion karena Siska sudah tidak ada lagi sebagai anak angkat keluarga Hartawan. "Masalahku yang utama adalah aku perlu penerus untuk keluargaku. Aku ini sudah tua dan sakit-sakitan." Herman kembali melanjutkan menikmati makanannya. Helios dan Violetta memperhatikan setiap gerakan Herman. Herman mengangkat wajahnya, dan mengarahkan pandangan pada Violetta. Lalu dia menoleh ke arah belakangnya. Ada pelayan pengganti Erma berdiri beberapa meter di

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 131. Semua Sudah Selesai

    Herman menanyakan Violetta. Ini benar-benar kejutan. Helios menaikkan kedua alisnya menatap Herman."Aku lihat dia sedang sedih, Helios. Di mana dia?" Herman menegaskan lagi.Helios semakin terkejut. Dari mana Herman tahu jika Violetta sedang bersedih? Tapi memang itu kenyataannya."Aku telpon dia. Aku akan minta dia ke sini." Helios mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kontak Violetta.Dering panggilan Helios beberapa kali, tetapi tidak ada respon. Helios mencoba lagi, hingga kali ketiga baru Violetta menerima panggilannya."Hel ... mama ... mama sdh pergi, Hel ..." Terbata-bata sambil menangis Violetta berkata."Apa?" Refleks kata itu yang Helios ucapkan."Hel ... aku, aku ..."Helios menatap Herman. Ini kesedihan yang Herman maksud. Herman tahu kalau Violetta sedang sedih."Pa, aku temui Vio." Helios berkata dengan pandangan datar, sedikit nanar.Victor memperhatikan ekspresi yang tiba-tiba berbeda."Ya, pergilah." Herman mengangguk.Helios mendekati Victor dan berbisik,"Tante Sis

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 130. Selamat Jalan, Selamat Datang

    Violetta masuk kamar Siska. Wanita itu kembali menggunakan alat bantu pernapasan dan kondisinya tiba-tiba sangat lemah. Namun, kesadarannya masih ada. Dia memandang Violetta dan mengulurkan tangan kirinya yang gemetar.Violetta mendekat dan memegang tangan kiri Siska. Hatinya sangat sedih. Melihat ibunya berjuang untuk bernapas, Violetta tidak tega."Kamu ... Vio ..." Siska memaksa diri bicara.Violetta mendekat ke dekat wajah Siska agar bisa mendengar yang Siska katakan."Baha ... gia ... Jangan ... ja ... ngan, se ... dih." Semakin pelan terdengar tapi masih dapat Violetta tangkap.Mendengar itu begitu saja air mata meluncur di mata Violetta. Dia mengangkat muka dan memandang Siska. Mata Siska terus menatap pada Violetta. Lemah dan redup, sayu dan semakin berat."Mama, aku pasti bahagia. Aku janji." Violetta berkata sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis.Mata Siska tampa makin berat. Senyum kecil di ujung bibirnya. Sedang napasnya semakin berat. Dia mulai tersengal-sengal

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 129. Klarifikasi Tuan Muda Hartawan

    Halim dan Victor bertindak. Niat Helios ingin meluruskan postingan Siska segera mereka tanggapi. Halim membantu Helios menata apa-apa yang perlu Helios katakan di publik dan bagian mana yang cukup menjadi konsumsi pribadi saja.Sedangkan Victor, dia memanggil tiga media yang cukup dikenal dan kredibel untuk ikut membuat video ketika Helios membuat pernyataan. Ini sengaja dilakukan, langsung dengan media, bukan video yang siap ditayangkan setelah lewat proses editing dan lain-lain.Tetap sangat dibatasi berapa dari pers yang bisa datang, karena lokasi dilakukan di rumah sakit. Dua hari persiapan maka rencana dijalankan. Saat memulai Helios sangat tegang. Violetta, Halim, dan Victor juga sama."Hel, good luck. Thanks for all." Violetta mengatakan itu sepenuh hati dan juga menyemangati Helios.Helios mengangguk lalu berjalan ke kursi yang disiapkan untuknya. Pengambilan gambar dilakukan di taman yang tidak jauh dari tempat Herman dirawat."Hari ini, meskipun bukan yang aku inginkan, aku

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 128. Napas Terakhir

    Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama

  • Sang Tuan Muda Sejati   Bab 127. Tidak Tahu Lagi

    Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s

DMCA.com Protection Status