“Aku masih tidak percaya semua ini!”
Setelah mengatakan itu, Ardi mendengus. Lalu, ia melanjutkan, "Tapi bagaimana bisa kalian menemukan aku? Berapa lama kalian menguntit aku sampai akhirnya membawaku?"
"Pertanyaan yang bagus," jawab Halim sambil mengurai senyum di ujung bibirnya.
Ardi menunggu jawaban dan penjelasan lebih lanjut.
"Memang tidak mudah menemukan orang yang tepat. Tapi perjuanganku dan Victor tidak sia-sia. Kamu sangat sesuai dengan bayangan kami untuk menjadi putra tunggal, pewaris utama dari Dinasti Herman Duta Hartawan. Bersiaplah untuk itu, Tuan Muda." Halim menjawab tidak sejelas yang Ardi mau.
"Maksud aku i—"
"Tidak ada waktu menjelaskan dengan detail. Yang kamu lakukan adalah mengenal Tuan Herman dan memahami bahwa keluarga beliau tidak pantas mendapatkan harta miliaran,” sela Halim. “Jadi saat kamu bertemu mereka, kamu akan tahu apa dan bagaimana kamu harus bersikap."
Mendengar ucapan itu, Ardi mulai bisa meraba situasi di keluarga Hartawan.
Apakah seperti yang ada di film atau sinetron tentang keluarga yang berebut warisan? Jika ya, hidup seperti apa yang dijalani miliader itu?
"Malam ini beristirahatlah. Besok pagi aku akan datang dan memulai rencana kita," kata Halim lagi.
"Pak, aku belum berkata iya dengan tawaran Bapak," sahut Ardi.
Ini semua tiba-tiba dan sangat mengejutkan. Ardi dibawa begitu saja tanpa permisi. Lalu seenaknya Halim memaksa dia menjadi orang lain. Hei! Tidak semudah itu, Tuan!
Halim dan Victor saling memandang. Apa itu artinya Ardi menolak rencana besar Tuan Herman?
"Kamu mau menolak rencana Tuan Besar?" tanya Victor kaget. Setelah semua yang dia paparkan Ardi tidak mau ikut rencana mereka? Apa dia sudah tidak waras?
"Kamu mau balik pada hidup kamu yang hampir tidak bisa disebut kehidupan itu?" Langsung Victor bicara dengan keras dan ketus?
"Aku masih bingung. Apa harus aku? Aku tidak ada hubungannya dengan semua urusan Tuan Herman dan keluarganya." Ardi katakan saja apa yang muncul di kepalanya.
Victor menatap dalam pada Ardi. "Tuan Muda, jika gampang menemukan orang yang tepat, tidak perlu aku jauh-jauh menjelajah kota demi kota, menyelidiki hidup orang-orang yang aku tidak pernah tahu. Tidak perlu jauh-jauh aku mencari hingga pinggiran Semarang dan membawa kamu ke Jakarta."
"Jakarta? Kita di Jakarta?" Ardi terkejut mendengar itu.
Keduanya saling memandang. Ada rasa kesal yang tampak dari tatapan Victor.
"Ya, kita ada di ibukota negara Indonesia. Dengar baik-baik, ini juga bukan urusanku. Mau harta Tuan Besar dicuri saudaranya atau mau dihabiskan dalam semalam, itu juga bukan urusanku,” ucap Victor. “Tetapi aku melihat banyak keluarga yang akan kehilangan pekerjaan, anak-anak yang mungkin saja putus sekolah kalau bukan orang yang tepat yang memegang semua aset milik Tuan Besar."
Kemudian Victor melanjutkan. "Kalau aku yang mirip dengan Tuan Besar, aku bersedia menjadi Tua Muda Helios."
Ardi menelan ludahnya.
Kenapa Victor jadi marah? Apa salah kalau Ardi menolak? Apa iya Ardi akan berpura-pura jadi orang lain?
"Victor, tahan dirimu. Jangan buat Tuan Muda makin bingung." Halim menegur. Dia paham pria muda di depannya yang dia ambil tiba-tiba itu pasti sedang bingung dan masih perlu waktu mencerna semuanya."Baik, Tuan.” Victor mengangkat dua tangan seperti orang yang mau menyerah. “Bagian selanjutnya aku serahkan pada Tuan saja."
Halim melepas tangannya dan meletakkan di atas meja. Tubuhnya mendekat hampir merapat pada meja.
"Tuan Muda, aku tidak sedang tawar-menawar dengan kamu. Ini yang aku tunjukkan nyata di depanmu. Hidupmu yang ingin kamu akhiri karena terlalu berat kamu jalani atau hidup di sini, kamu punya semua yang kamu perlukan dengan menjadi Tuan Muda Helios?
"Kamu masih muda, waktu hidup kamu masih panjang. Apakah akan kamu akhiri sia-sia? Sedangkan di sini, dengan menjadi Helios Bintang Hartawan, kamu sedang menyelamatkan banyak kehidupan. Bukan hanya hidupmu yang berubah, tapi banyak yang lain karena kamu ada di posisi ini."Tegas dan berkarisma, Halim berkata.
Degupan kuat di ada Ardi belum mereda. Yang Halim katakan benar. Kembali menjadi Ardi hidupnya akan sia-sia. Dia kembali akan berhadapan dengan ibu kos galak yang pasti akan mengusirnya. Lalu, dia masih akan bertemu kekasih yang sudah mencampakkannya. Juga, Ardi belum tahu akan dapat uang dari mana karena dia sudah dipecat dari pekerjaan.
"Kamu mau mati sia-sia atau mendapatkan kesempatan menjadi orang yang berguna?" Kalimat itu menghunjam di hati Ardi.Ardi menarik napas dalam. Dia menegakkan punggungnya dan menatap Halim lekat-lekat.
"Baiklah. Aku Helios Bintang Hartawan." Dengan suara bergetar Ardi mengucapkan itu.
Victor mengepalkan tangan tanda kegirangan. Halim tersenyum lebih lebar. Dia terlihat sangat lega mendengar yang Ardi katakan.
"Anak baik," ujar Halim masih dengan senyumnya. "Aku dan Victor harus mengurus hal yang lain. Puaskan dirimu. Besok kita akan bertemu lagi dan bersiaplah untuk banyak hal baru yang akan kamu temui."
Halim dan Victor meninggalkan ruangan itu. Semua berkas yang tadi ditunjukkan pada Ardi mereka bereskan dan simpan kembali. Folder pun mereka bawa. Ardi hanya memandangi saja kedua pria itu beranjak dan hilang di balik pintu.
Begitu kedua pria yang masih misterius bagi Ardi itu berlalu, Ardi bangun dari kursinya dan melangkah ke depan cermin besar lagi. Dia perhatikan dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Aku jadi tuan muda? Aku bukan lagi Ardiandana Krisnadi, pemuda miskin dari kampung. Aku adalah Helios Bintang Hartawan, pewaris utama dari Dinasti Herman Duta Hartawan." Dengan jelas sambil menatap dirinya di cermin, Ardi bicara.
Sebenarnya kalau tampang dia lumayan. Tinggi juga posturnya. Sayang saja, nasib buruk terus mengikuti sejak dia bocah. Bahkan boleh dikata sejak dia lahir. Mungkin malah sejak dia masih dalam rahim ibunya. Tapi Ardi tidak terlalu tahu detail kisah hidupnya sendiri.
Ardi berbalik, lalu mengedarkan mata ke seluruh ruangan. Kamar yang besar. Kalau tidak salah perhitungan, kamar itu empat atau lima kali lebih besar dari kamar kosnya selama ini. Kamar sebagus ini akan jadi kamarnya. Mimpi apa dia?
Ardi melangkah cepat menuju ke lemari besar di samping cermin besar itu dan segera membuka isinya. Ardi masih terkagum-kagum dengan deretan pakaian-pakaian bermerek yang digantung memenuhi lemari. Cepat tangan Ardi meraih satu kemeja yang berwarna putih dengan motif abstrak biru dan hitam. Bagus sekali.
"Astaga. Ini baju satu lembar gini, bisa jatah makanku lebih satu minggu harganya." Ardi bicara sendiri.
Tiba-tiba sorotan lampu mobil masuk dari jendela yang tak jauh di sebelah kiri lemari. Ardi bergerak mendekati jendela. Dari kaca, Ardi melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti dan diparkir di halaman rumah besar itu.
Seorang gadis turun dari dalam mobil. Suasana remang-remang, sehingga Ardi tak bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu. Yang pasti, dia berambut lurus panjang hampir sepunggung dengan postur tubuh imut tetapi padat berisi dan bagus.
"Siapa gadis itu? Apakah masih keluarga Tuan Herman?" Ardi bergumam sambil menatap lebih tajam pada si gadis yang berjalan ke arah teras rumah.
Mata Ardi terus mengekori gadis yang baru datang ke rumah itu. Tepat saat gadis itu berdiri di teras, Ardi bisa melihat wajahnya. Cantik. Tidak sangat cantik, tetapi menarik dan unik. Pakaian yang dia kenakan press body. Kaos hitam dan celana pendek di atas lutut berwarna putih. Sepatu flat putih melengkapi penampilannya, makin asyik dilihat.
"Aku ingin tahu siapa gadis itu. Dia berbeda dari gadis-gadis yang aku lihat sebelumnya." Hati Ardi bicara.
Si gadis masuk ke dalam rumah. Seorang pelayan menyambutnya membawakan koper merah yang sebelumnya ditarik gadis itu.
Ardi masih memandang keluar jendela. Dia penasaran jika dia bertemu dengan gadis itu, apa yang akan terjadi? Ardi berbalik menuju ke pintu dan mencoba membukanya, tetapi terkunci.
"Jadi aku ditawan Pak Halim dan Bang Victor?" Ardi mengerutkan keningnya. Ada rasa kesal tapi juga takut menyusup cepat di dada Ardi. Kembali matanya memandang sekeliling ke seluruh ruangan besar itu. "Sampai kapan aku disekap di sini?"
Sekalipun perasaannya campur aduk, Ardi harus mengakui dia terpesona dengan kamar besar tempatnya disekap. Dia bahkan baru menyadari ada pantry lengkap dengan kulkas kecil di kamar itu. "Semua lengkap di sini. Aku tidak perlu ke mana-mana, semua sudah ada." Ardi berkata pada dirinya.Lalu dia melangkah naik ke ranjang. Dia meraih remote control di atas nakas sebelah ranjang dan menyalakan TV. Bukan sembarang TV. Channel internasional ada pada tayangan TV yang dipasang di dinding seberang ranjang."Nyaman sekali. Biarpun disekap, aku tidak akan bosan, aku bisa melakukan apa yang aku mau." Ardi tersenyum.Asyik juga menjadi orang kaya. Semua sudah disiapkan lengkap dalam satu kamar. Baru satu kamar saja indahnya seperti ini. Luas, mungkin empat atau lima kali lebih besar dari kamar kosnya. Ukurannya hanya 3 kali 4 meter lebih sedikit. Hanya ada kasur di lantai, lemari kecil dan meja kecil untuk Ardi menyimpan barang-barangnya yang tidak seberapa itu.Lalu, bagaimana dengan seluruh ruma
Jantung Helios seperti melompat dan meledak saat Victor mengajaknya berkeliling rumah yang sangat besar itu. Ruangan-ruangan yang ada luas, lengkap dengan berbagai barang mewah dan modern. Helios rasanya seperti masuk ke sebuah istana entah di negeri mana. Bahkan dia hampir yakin dia memang tengah bermimpi dan terjebak di sana, tanpa tahu kapan akan bangun.Selama berkeliling yang tidak cukup sepuluh menit itu, Helios berulang kali berdecak kagum dengan semua yang dia lihat. Hotel berbintang pun pasti kalah dengan kemegahan rumah Tuan Besar Hartawan. Cocok sekali kalau namanya Hartawan. Isi rumahnya sudah menggambarkan seberapa banyak hartanya."Kamu harus langsung menghafal ruangan-ruangan di mansion ini, Tuan Muda. Karena ini rumah kamu. Setelah Tuan Besar, kamu yang punya kuasa di sini." Victor berbicara sementara mereka berada di lantai atas, berjalan di balkon.Dari situ Helios melihat rumah besar lain di seberang gedung tempatnya berada. Helios tidak tahu mana yang lebih besar,
Kali ini Halim tidak mau ada tawar menawar, keraguan, atau apapun yang menyiratkan kalau Helios masih belum benar-benar sepakat dengan rencana besar Herman Hartawan. Melihat sikap Halim yang lebih tegas, Helios tidak mengatakan apapun. Tapi dalam hati dia bertekad, dia tidak akan mengeluh. Semua itu tidak ada gunanya. Yang dia harus lakukan, ikuti saja ke mana Halim dan Victor membawanya. Setelah hampir dua jam, akhirnya pertemuan mereka selesai. Ada kelegaan di hati Helios. Dia bisa sedikit longgar bernapas, sebelum kemudian harus fokus mengingat dan menghafal segala hal yang dicekokkan kepadanya dalam waktu yang singkat. “Kembalilah ke kamarmu, Tuan Muda. Aku dan Victor ada urusan. Nanti jam satu siang, pergilah ke kamar Tuan Besar dan makan siang bersamanya,” titah Halim. “Baik, Pak. Terima kasih.” Helios bangun dan bersiap keluar ruangan itu. Victor memanggil seorang pelayan pria dan memintanya mengantar Helios ke kamar. Helios tahu, bukan karena Victor kuatir Helios akan ter
“Mari, kita sambut … Tuan Muda Helios Bintang Hartawan!”Debaran makin kuat melanda dada Helios. Dia berdiri di tangga teratas dari lantai dua. Di ruang bawah, ruang tengah yang sudah disulap dengan begitu indah, semua mata tertuju padanya. Tatapan-tatapan penuh tanya yang diselingi senyum, membuat hati Helios makin tak menentu.Musik yang menghantar Sang Tuan Muda hadir di tengah pesta itu mengalun manis. Lembut, syahdu, tetapi juga megah. Selangkah demi selangkah Helios mengayunkan kaki menuruni anak tangga, smentara MC acara terus berbicara memperkenalkan Sang Tuan Muda.Gelisah dan resah yang memenuhi hati Helios. Tetapi yang dia harus lakukan adalah tersenyum. Bukan senyum kecut dan kurang percaya diri, sebaliknya senyum bahagia karena dia pulang ke rumah dan bertemu ayah tercinta.Tepuk tangan terus mengiringi Helios hingga dia tiba di anak tangga paling bawah. Di saat itu, Herman menyambut Helios dengan senyum lebar. Meskipun di kursi rodanya, Herman tampak sumringah. Tangannya
Herman, Helios, bersama Siska dan tiga orang tamu yang sedang duduk mengelilingi meja, mengarahkan pandangan pada pria tinggi jangkung yang baru datang ketika tamu-tamu mulai meninggalkan acara malam itu.“Raditya! Senang melihatmu bisa hadir juga malam ini. Mari, duduklah!” Herman merentangkan tangannya dan mempersilakan Raditya ikut bergabung dengan mereka.Raditya maju beberapa langkah. Dia berdiri tepat di belakang kursi yang berseberangan dengan Helios. Matanya mencermati pria muda yang gagah dan tampan yang tengah duduk di samping Herman. Dia tidak berkedip menatap Helios.“Wow … Siapa namamu?” tanya Raditya tanpa memperhatikan ucapan Herman.“Aku Helios Bintang Hartawan.” Dengan tenang, meskipun jantung mulai tidak tenang, Helios menjawab.Raditya tersenyum nyengir. Logat Helios bicara jelas bukan orang Jakarta. Lebih terkesan bernada orang Jawa.“Dari mana asalmu?” tanya Raditya lagi.Wajah Helios terasa mulai panas. Hampir dia membuka mulut menyebut kota asalnya, dengan cepat
Helios memandang Herman. Rasanya aneh berdua dengan seorang laki-laki yang menyebutnya anak. Helios tidak pernah punya ayah. Campur baur rasa di dadanya berdua saja dengan Herman.“Apapun yang muncul di kepala dan hatimu, katakan saja. Dari awal kamu harus jujur dan terbuka. Karena itu akan berpengaruh pada hal-hal lain yang nanti kamu hadapi, Helios.”Perlahan, Helios menarik napas dalam. Lalu dia mulai bicara.“Aku tidak nyaman, Tuan. Mereka tidak menerimaku. Mereka terganggu dengan kedatanganku.”Mendengar ucapan Helios, Herman tersenyum. “Itu pasti. Aku sudah tahu sejak awal apa yang akan terjadi dengan kepulangan kamu. Kalau mereka terganggu, mereka lebih baik pergi saja dari sini. Aku tidak akan menahan mereka untuk tinggal. Uang yang aku berikan sangat cukup untuk mereka hidup meskipun jauh dariku.”Helios mendengarkan. Dia perlu lebih jelas mengerti situasi di antara Herman, Siska, dan Raditya. Apa yang t
Helios merasa detak jantungnya terus berpacu. Dia sudah di dalam mobil mewah berwarna putih dan mentereng. Halim mengatakan mobil itu hampir tidak pernah dipakai sejak dibeli oleh Herman. Waktu dia mulai mencari anaknya, mobil itu dipastikan akan menjadi milik Helios. “Kamu bisa menyetir, kan?” Halim memandang Helios yang duduk tidak tenang di sampingnya. “Ya, aku pernah belajar menyetir. Tapi sudah cukup lama aku tidak menyetir mobil.” Helios bicara dengan menahan debaran yang terus menguat di dadanya. “Kalau masih perlu sopir, tinggal pilih siapa yang Tuan Muda mau. Di rumah ada beberapa pelayan yang siap.” Halim mulai menyalakan mobil dan menjalankan perlahan kendaraan itu meninggalkan area mansion. Helios memandang ke depan. Ini pertama kali dia akan keluar dari rumah besar dan menuju ke kantor Belum sampai gerbang depan kendaraan berpapasan dengan gadis cantik berambut coklat kemerahan yang menarik perhatian Helios.Mata Helios tak berkedip. Dengan legging hitam dan kaos keta
Helios menghentikan langkah tepat dua tapak dari pintu. Di ruang besar itu ada lebih dari seratus karyawan duduk di dalam, menunggu kehadiran Herman dan Helios. Halim terus mendorong kursi roda Herman dan naik ke panggung yang ada di sisi kiri dari pintu masuk. Helios masih terdiam di tempatnya. Semua mata tertuju pada Herman dan Halim. Begitu Herman berada di hadapan semua karyawannya, dia melihat ke samping dan tidak mendapati Helios di dekatnya. Dengan cepat, dia mencari di mana Helios. Dengan tatapan matanya, Herman meminta Helios mendekat. Masih dengan jantung berdetak tidak menentu, Helios melangkah lagi, mendekati Herman dan Halim. Helios berdiri di samping kanan Herman, sedangkan Halim dia mundur, lalu turun dari panggung dan duduk di kursi paling depan di sebelah Victor. “Hari ini adalah hari sangat istimewa buatku. Cukup lama aku tidak datang ke kantor karena fokus dengan kesehatanku.” Herman memulai pertemuan itu. Semua orang yang ada di ru
Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu
"Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie
"Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di
Dua pasang mata di depan Herman menatap padanya. Sudah pasti Helios dan Violette menunggu kalimat berikut yang akan Herman ucapkan. Tetapi muncul sedikit cemas, kalau sampai emosi Herman naik, jantungnya bisa bermasalah lagi."Aku sudah mendapatkan penyelesaian dari semua kemelut yang selama ini membuat hidupku terasa sangat rumit dan menekan." Lebih tegas Herman bicara, meskipun tetap terdengar tenang. "Maksud Papa?" Helios menegakkan punggung. Dadanya tiba-tiba berdegup kuat. Yang dia takutkan jika Herman tidak akan menerima Violetta di mansion karena Siska sudah tidak ada lagi sebagai anak angkat keluarga Hartawan. "Masalahku yang utama adalah aku perlu penerus untuk keluargaku. Aku ini sudah tua dan sakit-sakitan." Herman kembali melanjutkan menikmati makanannya. Helios dan Violetta memperhatikan setiap gerakan Herman. Herman mengangkat wajahnya, dan mengarahkan pandangan pada Violetta. Lalu dia menoleh ke arah belakangnya. Ada pelayan pengganti Erma berdiri beberapa meter di
Herman menanyakan Violetta. Ini benar-benar kejutan. Helios menaikkan kedua alisnya menatap Herman."Aku lihat dia sedang sedih, Helios. Di mana dia?" Herman menegaskan lagi.Helios semakin terkejut. Dari mana Herman tahu jika Violetta sedang bersedih? Tapi memang itu kenyataannya."Aku telpon dia. Aku akan minta dia ke sini." Helios mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kontak Violetta.Dering panggilan Helios beberapa kali, tetapi tidak ada respon. Helios mencoba lagi, hingga kali ketiga baru Violetta menerima panggilannya."Hel ... mama ... mama sdh pergi, Hel ..." Terbata-bata sambil menangis Violetta berkata."Apa?" Refleks kata itu yang Helios ucapkan."Hel ... aku, aku ..."Helios menatap Herman. Ini kesedihan yang Herman maksud. Herman tahu kalau Violetta sedang sedih."Pa, aku temui Vio." Helios berkata dengan pandangan datar, sedikit nanar.Victor memperhatikan ekspresi yang tiba-tiba berbeda."Ya, pergilah." Herman mengangguk.Helios mendekati Victor dan berbisik,"Tante Sis
Violetta masuk kamar Siska. Wanita itu kembali menggunakan alat bantu pernapasan dan kondisinya tiba-tiba sangat lemah. Namun, kesadarannya masih ada. Dia memandang Violetta dan mengulurkan tangan kirinya yang gemetar.Violetta mendekat dan memegang tangan kiri Siska. Hatinya sangat sedih. Melihat ibunya berjuang untuk bernapas, Violetta tidak tega."Kamu ... Vio ..." Siska memaksa diri bicara.Violetta mendekat ke dekat wajah Siska agar bisa mendengar yang Siska katakan."Baha ... gia ... Jangan ... ja ... ngan, se ... dih." Semakin pelan terdengar tapi masih dapat Violetta tangkap.Mendengar itu begitu saja air mata meluncur di mata Violetta. Dia mengangkat muka dan memandang Siska. Mata Siska terus menatap pada Violetta. Lemah dan redup, sayu dan semakin berat."Mama, aku pasti bahagia. Aku janji." Violetta berkata sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis.Mata Siska tampa makin berat. Senyum kecil di ujung bibirnya. Sedang napasnya semakin berat. Dia mulai tersengal-sengal
Halim dan Victor bertindak. Niat Helios ingin meluruskan postingan Siska segera mereka tanggapi. Halim membantu Helios menata apa-apa yang perlu Helios katakan di publik dan bagian mana yang cukup menjadi konsumsi pribadi saja.Sedangkan Victor, dia memanggil tiga media yang cukup dikenal dan kredibel untuk ikut membuat video ketika Helios membuat pernyataan. Ini sengaja dilakukan, langsung dengan media, bukan video yang siap ditayangkan setelah lewat proses editing dan lain-lain.Tetap sangat dibatasi berapa dari pers yang bisa datang, karena lokasi dilakukan di rumah sakit. Dua hari persiapan maka rencana dijalankan. Saat memulai Helios sangat tegang. Violetta, Halim, dan Victor juga sama."Hel, good luck. Thanks for all." Violetta mengatakan itu sepenuh hati dan juga menyemangati Helios.Helios mengangguk lalu berjalan ke kursi yang disiapkan untuknya. Pengambilan gambar dilakukan di taman yang tidak jauh dari tempat Herman dirawat."Hari ini, meskipun bukan yang aku inginkan, aku
Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s