Jantung Helios seperti melompat dan meledak saat Victor mengajaknya berkeliling rumah yang sangat besar itu. Ruangan-ruangan yang ada luas, lengkap dengan berbagai barang mewah dan modern. Helios rasanya seperti masuk ke sebuah istana entah di negeri mana. Bahkan dia hampir yakin dia memang tengah bermimpi dan terjebak di sana, tanpa tahu kapan akan bangun.
Selama berkeliling yang tidak cukup sepuluh menit itu, Helios berulang kali berdecak kagum dengan semua yang dia lihat. Hotel berbintang pun pasti kalah dengan kemegahan rumah Tuan Besar Hartawan. Cocok sekali kalau namanya Hartawan. Isi rumahnya sudah menggambarkan seberapa banyak hartanya."Kamu harus langsung menghafal ruangan-ruangan di mansion ini, Tuan Muda. Karena ini rumah kamu. Setelah Tuan Besar, kamu yang punya kuasa di sini." Victor berbicara sementara mereka berada di lantai atas, berjalan di balkon.Dari situ Helios melihat rumah besar lain di seberang gedung tempatnya berada. Helios tidak tahu mana yang lebih besar, yang pasti model dan cat rumah itu senada dengan rumah yang ditempati Tuan Besar. Yang Helios yakin, itu rumah yang semalam di sana, dia lihat gadis cantik dengan postur aduhai datang dan masuk ke dalamnya.Di sekitar dua rumah besar itu ada taman-taman yang indah dan asri. Ada pula rumah-rumah yang lebih kecil dan gazebo-gazebo yang makin menambah indahnya kompleks kediaman keluarga Hartawan."Rumah sebesar ini berapa orang yang tinggal, Bang?" Helios akhirnya bertanya juga karena panasaran."Di rumah besar ini, Tuan Herman saja. Dia tidak ada keluarga lain yang serumah. Aku dan Tuan Halim diberi kamar, tetapi kami tidak selalu tinggal di sini." Victor menjelaskan."Ohh?" Helios sangat heran mendengar itu. Untuk apa orang membangun rumah dengan bentuk sebesar dan semegah itu, tapi tinggal sendirian."Tuan Besar dulu berpikir dia akan punya beberapa anak, makanya dia buat rumah besar ini. Tetapi istrinya punya masalah dengan kandungan sehingga tidak mungkin bisa hamil. Karena sakit di rahimnya juga yang menyebabkan istri Tuan Besar meninggal lima tahun lalu," jawab Victor."Oohh ..." Hanya itu yang terdengar dari bibir Helios. Ternyata kekayaan yang berlimpah bukan jaminan semua yang diimpikan terwujud.Helios hampir saja berbalik dan kembali ke dalam rumah, tiba-tiba dia mendengar suara dari rumah di seberang. Suara wanita yang terdengar manis di telinganya. Dengan cepat Helios mengarahkan matanya ke teras rumah itu.
Gadis cantik yang tadi malam Helios lihat muncul lagi! Kali ini dia mengenakan celana ketat berwarna di atas lutut, dengan kaos ketat tanpa lengan, paduan hitam, kuning, dan putih. Sedang sepatu kets putih menghiasi kakinya yang jenjang dan indah.
Kulitnya yang bersih tampak mulus dan menambah kecantikannya. Dia berjongkok membetulkan tali sepatunya yang terlepas. Segera dia kembali berdiri. Hampir saja dia turun dari teras, dia menoleh lagi ke arah rumah.
“Jangan lupa pesananku, Mbak! Jus buah saja!” Suaranya kembali terdengar. Dia melihat pada seorang wanita yang berdiri di pintu rumah.
Tangan gadis itu kemudian meraup rambut panjangnya yang berwarna coklat kemerahan, lalu dia ikat acak di atas kepala. Setelah itu dia berlari kecil meninggalkan rumah. Tampaknya dia sedang memulai hari dengan berolahraga. Oh, manis sekali! Setiap gerakannya seolah menarik Helios agar tetap memandang kepadanya.
Mata Helios tak berkedip. Cantik, keren, tampak berkelas, dan …
“Tuan Muda!?” Suara itu memaksa Helio membalikkan tubuh, melihat pada Victor yang ternyata menunggunya meneruskan perjalanan mereka berkeliling rumah.
“Aku lihat itu, di rumah itu …”
“Rumah Siska. Dia tinggal dengan putrinya. Nanti Tuan Muda akan tahu. Kita lebih baik bergegas. Tuan Halim menunggu untuk memulai hari ini.” Victor menjawab cepat.
Jawaban itu tidak melegakan Helios. Siapa Siska? Lalu gadis itu? Apa dia Siska? Itu pertanyaan yang muncul di kepala Helios. Sekilas Helios menoleh melihat apakah gadis itu masih di sana. Ternyata sudah tidak tampak lagi oleh mata Helios.
*****
“Aku harus menghafal semua ini?” tanya Helios pada Victor dan Halim.
Helios tak berkedip menatap layar di depannya. Dadanya berdetak cepat sejak dia mulai membaca tulisan berderet rapi yang ada di layar laptop yang diberikan Victor. Bukan kaleng-kaleng, laptop keluaran terbaru, dengan spec yang sangat bagus untuk seorang pengusaha super sibuk. Mujizat yang kesekian terjadi dalam hidup Helios, itu yang muncul di kepalanya.
“Hari Minggu malam akan ada acara special untuk menyambut kepulangan Tuan Muda Helios. Kamu akan bertemu keluarga Hartawan, kolega dekat Tuan Besar, serta orang-orang terdekat yang Tuan Besar undang untuk hadir.” Halim mulai menjelaskan.
“Apa?” Dada Helios makin melaju. Itu berarti dua hari lagi.
“Kamu harus tahu sejarah hidup Helios Bintang Hartawan. Karena itu hidupmu. Ketika mereka bertanya, jawablah dengan benar. Itu skenario lengkap tentang riwayat Tuan Muda. Kamu paham?” lanjut Halim.
“Baik …” Helios menjawab sambil kembali membaca catatan tentang kehidupan Sang Tuan Muda.
Gila! Ini semua kegilaan yang tak pernah Helios kira. Dia benar-benar harus menenggelamkan Ardiandana Krisnadi ke dalam laguna. Pemuda kampung yang miskin itu seolah-olah telah mati hanyut di Sungai lalu masuk ke laut hingga kedalaman yang tak mungkin dijangkau.
“Waktu dua hari kurasa sangat cukup untuk kamu paham semua hal tentang Tuan Muda Helios.” Mengatakan itu, tangan Halim bergerak. Dia membuka file lain, yang tampak kemudian, di layar LED di dinding adalah sebuah video tentang usaha yang dikelola oleh Hartawan.
Refleks tangan Helios mencengkeram jemarinya. Ini lebih mengerikan lagi! Bukan satu atua dua usaha, tetapi lima usaha sekaligus yang bertautan satu sama lain. Ini bukan main-main. Pasti karyawan Hartawan bukan hitungan ratusan orang tetapi ribuan.
Keringat dingin seolah tak terbendung, mulai mengumpul di kening Helios. Menyusul di leher depan dan belakang, juga di tangannya kiri dan kanan. Apakah ini bukan sebuah kesalahan? Dia, pemuda kampung yang hanya tahu menjadi cleaning service tiba-tiba harus meneruskan Perusahaan super besar itu?
“Pak Halim, ini semua aku yang akan mengurusnya?” Helios bertanya dengan dada berdebar dan suara sedikit gemetar.
“Yup, karena kamu pewaris Tunggal.” Cepat Halim menyahut.
“Ini pasti salah. Aku tidak akan bisa. Aku ha-“
“Kamu tidak mungkin mundur, Tuan Muda!” Kali itu Victor yang menyahut dengan nada kesal.
Jelas pria berkulit sawo matang itu tidak suka lagi-lagi Helios memunculkan Ardi di dalam dirinya. Helios menoleh dengan tatapan tajam melihat pada Victor.
“Ingat, kamu adalah Helios Bintang Hartawan! Melihat semua itu, kamu harusnay bersemangat, karena kamu punya terlalu banyak kesempatan menjadi sesuatu di hidupmu dan bagi banyak orang!”
Kata-kata Victor itu membuat panas kepala dan dada Helios. Tetapi kalimat itu tidak bisa sembarang diabaikan.
“Kamu anak Tuan Hartawan. Jiwa pejuang itu tidak akan luntur ketika ada persoalan. Justru dia akan mencari peluang bagaimana mengatasi apa yang menghadang di depannya.” Victor melanjutkan.
Helios menggigit giginya sendiri. Kepalan di tangannya semakin kuat. Tidak ada pilihan, tidak ada jalan mundur.
“Bagaimana caranya aku akan bisa mengetahui semua hal itu hanya dalam waktu dua hari?” tanya Helios. Kalimat yang terdengar bukan lagi ungkapan takut, tetapi rasa ingin tahu agar mendapat pertolongan.
Halim tersenyum. Dia melipat kedua tangan, menyatukan sepuluh jarinya seperti hendak berdoa. Dia letakkan siku di atas meja dan memandang lurus pada Helios.
“Jangan kamu membuat kesimpulan sendiri, Tuan Muda. Aku dan Victor, tentu saja dengan seizin Tuan Besar, sudah mengatur segala sesuatunya agar kamu siap. Lawan Tuan Muda bukan anak remaja yang baru gede. Ikut saja apa yang sudah kami atur. Siapkan dirimu menghadapi semuanya.” Tatapan tajam Halim menghujam. Senyum sinis yang dia lemparkan.
Seperti Victor, kesabarannya mulai habis menghadapi Helios!
Kali ini Halim tidak mau ada tawar menawar, keraguan, atau apapun yang menyiratkan kalau Helios masih belum benar-benar sepakat dengan rencana besar Herman Hartawan. Melihat sikap Halim yang lebih tegas, Helios tidak mengatakan apapun. Tapi dalam hati dia bertekad, dia tidak akan mengeluh. Semua itu tidak ada gunanya. Yang dia harus lakukan, ikuti saja ke mana Halim dan Victor membawanya. Setelah hampir dua jam, akhirnya pertemuan mereka selesai. Ada kelegaan di hati Helios. Dia bisa sedikit longgar bernapas, sebelum kemudian harus fokus mengingat dan menghafal segala hal yang dicekokkan kepadanya dalam waktu yang singkat. “Kembalilah ke kamarmu, Tuan Muda. Aku dan Victor ada urusan. Nanti jam satu siang, pergilah ke kamar Tuan Besar dan makan siang bersamanya,” titah Halim. “Baik, Pak. Terima kasih.” Helios bangun dan bersiap keluar ruangan itu. Victor memanggil seorang pelayan pria dan memintanya mengantar Helios ke kamar. Helios tahu, bukan karena Victor kuatir Helios akan ter
“Mari, kita sambut … Tuan Muda Helios Bintang Hartawan!”Debaran makin kuat melanda dada Helios. Dia berdiri di tangga teratas dari lantai dua. Di ruang bawah, ruang tengah yang sudah disulap dengan begitu indah, semua mata tertuju padanya. Tatapan-tatapan penuh tanya yang diselingi senyum, membuat hati Helios makin tak menentu.Musik yang menghantar Sang Tuan Muda hadir di tengah pesta itu mengalun manis. Lembut, syahdu, tetapi juga megah. Selangkah demi selangkah Helios mengayunkan kaki menuruni anak tangga, smentara MC acara terus berbicara memperkenalkan Sang Tuan Muda.Gelisah dan resah yang memenuhi hati Helios. Tetapi yang dia harus lakukan adalah tersenyum. Bukan senyum kecut dan kurang percaya diri, sebaliknya senyum bahagia karena dia pulang ke rumah dan bertemu ayah tercinta.Tepuk tangan terus mengiringi Helios hingga dia tiba di anak tangga paling bawah. Di saat itu, Herman menyambut Helios dengan senyum lebar. Meskipun di kursi rodanya, Herman tampak sumringah. Tangannya
Herman, Helios, bersama Siska dan tiga orang tamu yang sedang duduk mengelilingi meja, mengarahkan pandangan pada pria tinggi jangkung yang baru datang ketika tamu-tamu mulai meninggalkan acara malam itu.“Raditya! Senang melihatmu bisa hadir juga malam ini. Mari, duduklah!” Herman merentangkan tangannya dan mempersilakan Raditya ikut bergabung dengan mereka.Raditya maju beberapa langkah. Dia berdiri tepat di belakang kursi yang berseberangan dengan Helios. Matanya mencermati pria muda yang gagah dan tampan yang tengah duduk di samping Herman. Dia tidak berkedip menatap Helios.“Wow … Siapa namamu?” tanya Raditya tanpa memperhatikan ucapan Herman.“Aku Helios Bintang Hartawan.” Dengan tenang, meskipun jantung mulai tidak tenang, Helios menjawab.Raditya tersenyum nyengir. Logat Helios bicara jelas bukan orang Jakarta. Lebih terkesan bernada orang Jawa.“Dari mana asalmu?” tanya Raditya lagi.Wajah Helios terasa mulai panas. Hampir dia membuka mulut menyebut kota asalnya, dengan cepat
Helios memandang Herman. Rasanya aneh berdua dengan seorang laki-laki yang menyebutnya anak. Helios tidak pernah punya ayah. Campur baur rasa di dadanya berdua saja dengan Herman.“Apapun yang muncul di kepala dan hatimu, katakan saja. Dari awal kamu harus jujur dan terbuka. Karena itu akan berpengaruh pada hal-hal lain yang nanti kamu hadapi, Helios.”Perlahan, Helios menarik napas dalam. Lalu dia mulai bicara.“Aku tidak nyaman, Tuan. Mereka tidak menerimaku. Mereka terganggu dengan kedatanganku.”Mendengar ucapan Helios, Herman tersenyum. “Itu pasti. Aku sudah tahu sejak awal apa yang akan terjadi dengan kepulangan kamu. Kalau mereka terganggu, mereka lebih baik pergi saja dari sini. Aku tidak akan menahan mereka untuk tinggal. Uang yang aku berikan sangat cukup untuk mereka hidup meskipun jauh dariku.”Helios mendengarkan. Dia perlu lebih jelas mengerti situasi di antara Herman, Siska, dan Raditya. Apa yang t
Helios merasa detak jantungnya terus berpacu. Dia sudah di dalam mobil mewah berwarna putih dan mentereng. Halim mengatakan mobil itu hampir tidak pernah dipakai sejak dibeli oleh Herman. Waktu dia mulai mencari anaknya, mobil itu dipastikan akan menjadi milik Helios. “Kamu bisa menyetir, kan?” Halim memandang Helios yang duduk tidak tenang di sampingnya. “Ya, aku pernah belajar menyetir. Tapi sudah cukup lama aku tidak menyetir mobil.” Helios bicara dengan menahan debaran yang terus menguat di dadanya. “Kalau masih perlu sopir, tinggal pilih siapa yang Tuan Muda mau. Di rumah ada beberapa pelayan yang siap.” Halim mulai menyalakan mobil dan menjalankan perlahan kendaraan itu meninggalkan area mansion. Helios memandang ke depan. Ini pertama kali dia akan keluar dari rumah besar dan menuju ke kantor Belum sampai gerbang depan kendaraan berpapasan dengan gadis cantik berambut coklat kemerahan yang menarik perhatian Helios.Mata Helios tak berkedip. Dengan legging hitam dan kaos keta
Helios menghentikan langkah tepat dua tapak dari pintu. Di ruang besar itu ada lebih dari seratus karyawan duduk di dalam, menunggu kehadiran Herman dan Helios. Halim terus mendorong kursi roda Herman dan naik ke panggung yang ada di sisi kiri dari pintu masuk. Helios masih terdiam di tempatnya. Semua mata tertuju pada Herman dan Halim. Begitu Herman berada di hadapan semua karyawannya, dia melihat ke samping dan tidak mendapati Helios di dekatnya. Dengan cepat, dia mencari di mana Helios. Dengan tatapan matanya, Herman meminta Helios mendekat. Masih dengan jantung berdetak tidak menentu, Helios melangkah lagi, mendekati Herman dan Halim. Helios berdiri di samping kanan Herman, sedangkan Halim dia mundur, lalu turun dari panggung dan duduk di kursi paling depan di sebelah Victor. “Hari ini adalah hari sangat istimewa buatku. Cukup lama aku tidak datang ke kantor karena fokus dengan kesehatanku.” Herman memulai pertemuan itu. Semua orang yang ada di ru
Donita sudah maju beberapa langkah dan hampir mencapai pintu. Mendengar pertanyaan Victor, Donita berbalik, menatap pria berambut cepak itu. “Tunggu kabar dariku. Sampai jumpa.” Donita menjawab, seperti biasa, dingin dan datar. Lalu wanita itu masuk ke dalam kelas dan menutup pintu. Victor mengangkat kedua bahunya kemudian berlalu dari sana. Dia kembali meneruskan pekerjaannya sambil menunggu kabar dari Helios jika kelas hari itu usai. Di kantor, Victor memastikan semua deretan rencana perjalanan misi Helios akan berjalan lancar. Sementara dia membaca lagi semua catatan dari awal sekali muncul ide menemukan seseorang yang mirip dengan Herman Hartawan, Victor berhenti pada satu hasil pembicaraan dengan Halim dan Herman. “Kurasa bagian ini Tuan Besar dan Pak Halim lupa. Seharusnya Helios diberi ketegasan dari awal soal ini. Aku tidak bisa menundanya. Jika tidak kuingatkan segera, bisa-bisa terjadi sesuatu dan Helios tid
Victor tidak langsung menjawab pertanyaan Donita. Dia tidak boleh asal memberikan jawaban karena bagaimana Victor dan Halim menemukan Sang Tuan Muda, ini sangat rahasia. Kisah sebenarnya harus rapat tersimpan dari semua orang."Itulah misteri hidup, Doni. Tuan Besar mulai sering sakit, cemas karena tidak ada penerus di keluarga Hartawan. Di saat itu, kisah masa lalu yang hampir dia lupakan muncul ke permukaan." Jawaban Victor membuat Donita menaikkan kedua alisnya."Really? It is sound unusual," ujar Donita."Indeed. Tapi apa mau dikata. Begitulah yang terjadi. Tuan Muda Helios itu anak Tuan Herman dengan kekasihnya kala muda. Aku juga tidak tahu jelas seperti apa. Tuan Besar meminta aku dan Pak Halim membawa Tuan Muda pulang, saat dia siap." Tetap hati-hati jawaban Victor. Donita tidak bereaksi apa-apa. Tapi tatapannya lebih tajam seolah-olah ingin menerjang ke dasar hati Victor. Victor merasa detak jantungnya mulai melaju cepat. Ini kelebihan Donita. Dia akan tahu orang yang dia h
Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu
"Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie
"Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di
Dua pasang mata di depan Herman menatap padanya. Sudah pasti Helios dan Violette menunggu kalimat berikut yang akan Herman ucapkan. Tetapi muncul sedikit cemas, kalau sampai emosi Herman naik, jantungnya bisa bermasalah lagi."Aku sudah mendapatkan penyelesaian dari semua kemelut yang selama ini membuat hidupku terasa sangat rumit dan menekan." Lebih tegas Herman bicara, meskipun tetap terdengar tenang. "Maksud Papa?" Helios menegakkan punggung. Dadanya tiba-tiba berdegup kuat. Yang dia takutkan jika Herman tidak akan menerima Violetta di mansion karena Siska sudah tidak ada lagi sebagai anak angkat keluarga Hartawan. "Masalahku yang utama adalah aku perlu penerus untuk keluargaku. Aku ini sudah tua dan sakit-sakitan." Herman kembali melanjutkan menikmati makanannya. Helios dan Violetta memperhatikan setiap gerakan Herman. Herman mengangkat wajahnya, dan mengarahkan pandangan pada Violetta. Lalu dia menoleh ke arah belakangnya. Ada pelayan pengganti Erma berdiri beberapa meter di
Herman menanyakan Violetta. Ini benar-benar kejutan. Helios menaikkan kedua alisnya menatap Herman."Aku lihat dia sedang sedih, Helios. Di mana dia?" Herman menegaskan lagi.Helios semakin terkejut. Dari mana Herman tahu jika Violetta sedang bersedih? Tapi memang itu kenyataannya."Aku telpon dia. Aku akan minta dia ke sini." Helios mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kontak Violetta.Dering panggilan Helios beberapa kali, tetapi tidak ada respon. Helios mencoba lagi, hingga kali ketiga baru Violetta menerima panggilannya."Hel ... mama ... mama sdh pergi, Hel ..." Terbata-bata sambil menangis Violetta berkata."Apa?" Refleks kata itu yang Helios ucapkan."Hel ... aku, aku ..."Helios menatap Herman. Ini kesedihan yang Herman maksud. Herman tahu kalau Violetta sedang sedih."Pa, aku temui Vio." Helios berkata dengan pandangan datar, sedikit nanar.Victor memperhatikan ekspresi yang tiba-tiba berbeda."Ya, pergilah." Herman mengangguk.Helios mendekati Victor dan berbisik,"Tante Sis
Violetta masuk kamar Siska. Wanita itu kembali menggunakan alat bantu pernapasan dan kondisinya tiba-tiba sangat lemah. Namun, kesadarannya masih ada. Dia memandang Violetta dan mengulurkan tangan kirinya yang gemetar.Violetta mendekat dan memegang tangan kiri Siska. Hatinya sangat sedih. Melihat ibunya berjuang untuk bernapas, Violetta tidak tega."Kamu ... Vio ..." Siska memaksa diri bicara.Violetta mendekat ke dekat wajah Siska agar bisa mendengar yang Siska katakan."Baha ... gia ... Jangan ... ja ... ngan, se ... dih." Semakin pelan terdengar tapi masih dapat Violetta tangkap.Mendengar itu begitu saja air mata meluncur di mata Violetta. Dia mengangkat muka dan memandang Siska. Mata Siska terus menatap pada Violetta. Lemah dan redup, sayu dan semakin berat."Mama, aku pasti bahagia. Aku janji." Violetta berkata sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis.Mata Siska tampa makin berat. Senyum kecil di ujung bibirnya. Sedang napasnya semakin berat. Dia mulai tersengal-sengal
Halim dan Victor bertindak. Niat Helios ingin meluruskan postingan Siska segera mereka tanggapi. Halim membantu Helios menata apa-apa yang perlu Helios katakan di publik dan bagian mana yang cukup menjadi konsumsi pribadi saja.Sedangkan Victor, dia memanggil tiga media yang cukup dikenal dan kredibel untuk ikut membuat video ketika Helios membuat pernyataan. Ini sengaja dilakukan, langsung dengan media, bukan video yang siap ditayangkan setelah lewat proses editing dan lain-lain.Tetap sangat dibatasi berapa dari pers yang bisa datang, karena lokasi dilakukan di rumah sakit. Dua hari persiapan maka rencana dijalankan. Saat memulai Helios sangat tegang. Violetta, Halim, dan Victor juga sama."Hel, good luck. Thanks for all." Violetta mengatakan itu sepenuh hati dan juga menyemangati Helios.Helios mengangguk lalu berjalan ke kursi yang disiapkan untuknya. Pengambilan gambar dilakukan di taman yang tidak jauh dari tempat Herman dirawat."Hari ini, meskipun bukan yang aku inginkan, aku
Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s