Share

Bab 7. Semakin Penasaran

Kali ini Halim tidak mau ada tawar menawar, keraguan, atau apapun yang menyiratkan kalau Helios masih belum benar-benar sepakat dengan rencana besar Herman Hartawan.

Melihat sikap Halim yang lebih tegas, Helios tidak mengatakan apapun. Tapi dalam hati dia bertekad, dia tidak akan mengeluh. Semua itu tidak ada gunanya. Yang dia harus lakukan, ikuti saja ke mana Halim dan Victor membawanya.

Setelah hampir dua jam, akhirnya pertemuan mereka selesai. Ada kelegaan di hati Helios. Dia bisa sedikit longgar bernapas, sebelum kemudian harus fokus mengingat dan menghafal segala hal yang dicekokkan kepadanya dalam waktu yang singkat.

“Kembalilah ke kamarmu, Tuan Muda. Aku dan Victor ada urusan. Nanti jam satu siang, pergilah ke kamar Tuan Besar dan makan siang bersamanya,” titah Halim.

“Baik, Pak. Terima kasih.” Helios bangun dan bersiap keluar ruangan itu.

Victor memanggil seorang pelayan pria dan memintanya mengantar Helios ke kamar. Helios tahu, bukan karena Victor kuatir Helios akan tersesat, tetapi tidak mau Helios melakukan selain yang diperintahkan padanya.

Bersama pelayan itu, Helios menuju ke lantai atas, ke kamar mewah yang sudah menjadi miliknya. Pelayan yang belum genap berusia tiga puluh tahun itu ramah dan sopan. Dia sangat menghargai Helios sebagai Tuan Muda. Tapi Helios bisa tahu ada tatapan aneh yang muncul di raut wajah pria itu.

Helios mencoba bersikap wajar saja. Pesan penting Halim tidak akan dia lupakan.

“Kamu adalah Tuan Muda, bersikaplah selayaknya seorang Tuan Muda di hadapan semua orang, siapapun itu. Dan itu dimulai ketika berhadapan dengan para pelayan di rumah ini.”

Saat melintas di ruang tengah terdengar suara tawa dari luar. Suara tawa gadis cantik yang Helios lihat tadi. Cepat-cepat Helios mendekat ke balkon dan memperhatikan lagi padanya.

“Tuan Muda?” Pelayan yang mengantar Helios memanggil. Dia kaget juga tiba-tiba Helios berbelok arah, menuju balkon dan bukan ke kamarnya.

Pelayan itu mengekor di belakang Helios. Dia langsung tahu, apa yang menarik perhatian Tuan Muda yang baru datang entah dari negeri mana.

Helios memperhatikan si gadis cantik yang kembali dari berolahraga. Helios menduga gadis itu jogging di area sekitar rumah besar itu. Meskipun penuh keringat dan wajahnya memerah karena hari mulai panas, kecantikan gadis itu tidak pudar.

“Melissa ga ada apa-apanya dibanding gadis itu. Siapa dia?” Tiba-tiiba ada yang berbicara di hati Helios.

“Tuan Muda, mari, kita kembali ke kamar.” Pelayan itu membuyarkan perhatian Helios.

Helios menoleh melihat pada pelayan itu. Helios membaca nama yang tertera di dada kiri baju seragam yang dia kenakan, ‘Hariandi’.

“Mas Hari, siapa yang tinggal di rumah itu? Cewek itu siapa?” Helios tidak bisa menahan diri dan ingin mendapat jawaban dari rasa penasaran yang menguat di dadanya.

“Itu rumah Tuan Besar juga. Yang tinggal di sana ada-“

“Ah! Hari! Kamu di sini rupanya. Kamu dicari Bu Vemy. Dia minta diantar ke pasar sekarang!” Seorang pelayan wanita muncul dan menyela pembicaraan Helios dengan Hari.

Helios dan Hari memutar badan melihat pada pelayan itu yang tak lain adalah Erma. Helios sangat ingat. Erma yang mengantar makanan untuknya saat baru bangun dan sadar berada di kamar saat baru datang di rumah itu.

“Oh, maaf, Tuan Muda!” Erma sangat terkejut saat melihat Helios ternyata yang bersama dengan Hari.

Wajah Erma tampak terpana melihat penampilan Helios yang sangat berbeda dari kali pertama dia melihatnya. Tampan, gagah, rapi, dan berkelas. Benar-benar memang seorang tuan muda keluarga sultan.

“Apa kabar, Mbak Erma?” Dengan senyum tipis dan ramah, Helios menyapa.

“Saya, Tuan? Baik. Terima kasih,” ujar Erma bingung. Aneh saja, dia ditanya begitu.

“Tuan Muda, mari kita ke kamar, lalu saya akan mengantar Bu Vemy. Kalau sedikit lambat, tanduknya bisa cepat muncul dan bisa gawat,” kata Hari.

Helios mengerutkan kening. Dia merasa aneh dengan ucapan Hari. Tanpa bicara apapun, Helios mengikuti Hari yang mendahului langkah mereka menuju ke kamar besar Helios. Sedangkan Erma hanya memandangi saja Tuan Muda tampan rupawan itu berlalu dari hadapannya.

“Pesan Tuan Halim, saat makan siang Tu-“

“Aku harus ke kamar Tuan Besar dan makan siang bersamanya. Aku tidak akan lupa.” Helios meneruskan kalimat Hari.

“Baik, saya permisi, Tuan Muda.” Hari tersenyum, sedikit menunduk dan membungkuk, lalu dia meninggalkan Helios di kamar itu.

Helios segera masuk dan terus menuju ke balkon. Dia masih penasaran dengan gadis cantik di seberang rumah tempat dia berdiri. Apakah gadis itu masih di sana? Sayang, saat Helios mengarahkan mata ke rumah itu, tidak tampak lagi seorangpun di sana. Rumah itu tertutup rapat dan sepi.

“Hmm … aku harus sabar menunggu sampai aku dapat jawaban siapa gadis itu. Sudahlah, aku harus mulai bergerak.” Helios membalikkan badan dan menuju ke ranjang besar dan mewah di kamar itu.

Dengan cepat, Helios melepas jas yang dia kenakan, melepas juga sepatunya, lalu melompat ke atas ranjang. Ah, empuk sekali. Sangat nyaman. Sejak lahir, kasur yang ada di bawah tubuhnya ini yang paling baik yang pernah Helios nikmati.

Sambil berbaring memandang langit-langit kamar, Helios mengingat semua deretan kisah tentang sejarah dirinya yang telah dia baca saat ada di ruang kerja Halim. Jangan sampai ada yang terlewat, atau salah mengingat, dan Helios salah menjawab ketika bertemu orang-orang yang akan datang di hari istimewa penyambutannya sebagai Tuan Muda.

“Apakah gadis itu akan datang?” Pertanyaan itu membuat Helios segera bangun dan duduk dengan tegak. “Jika dia keluarga Hartawan, pasti dia datang.”

Helios harus siap untuk hari itu. Dia tidak boleh mempermalukan Tuan Besar dan harus tampil mengagumkan di mata gadis cantik itu.

*****

Hari Minggu tiba. Sejak bangun pagi dada Helios seolah-olah tidak berdetak dengan normal. Ruang tengah di lantai satu rumah itu yang langsung terhubung dengan taman samping disiapkan begitu rupa untuk acara istimewa bagi keluarga Hartawan.

Sepanjang hari itu Victor ada di sekitar Helios. Selain dia mengontrol semua persiapan, berulang kali Victor memberi pertanyaan-pertanyaan pada Helios yang harus dijawab cepat dan benar. Itu semacam simulasi jika nanti Helios akan bertemu dengan keluarga dan para tamu undangan acara penyambutan kedatangan anak Tunggal Herman Duta Hartawan.

“Great! You are so smart, Young Master! I know that you are the one.” Dengan senyum lebar Victor menepuk kedua pundak Helios.

Helios hanya tersenyum tipis. Itu hanya simulasi. Seperti apa nanti jadinya? Siapa yang akan tahu. Dalam hati, entah berapa banyak doa singkat yang terus Helios serukan.

“Tuhan, tolong aku … Tuhan, aku harus gimana? … Tuhan, bantu aku agar bisa bersikap benar di depan semua orang …” Berulang-ulang kalimat-kalimat yang hampir sama berbunyi di hati Helios.

Hingga jam yang dinanti tiba. Victor, lagi-lagi memastikan Helios benar-benar siap menghadiri acara yang digelar demi kelangsungan Nasib dinasti Hartawan itu. Sejak jam setengah enam sore, tamu-tamu mulai berdatangan. Mobil-mobil mewah yang jarang Helios temui di jalanan dia lihat dari balkon di kamarnya, mulai memadati area parkir.

Menyaksikan itu, jantung Helios makin beradu. Seperti apa tamu-tamu Tuan Besar Hartawan? Bagaimana mereka akan memandang Helios? Selama ini yang mereka tahu, Tuan Besar tidak punya seorang anak pun. Bahkan istrinya juga telah tiada.

Drrttt … Ponsel Victor bergetar. Dengan cepat dia menerima panggilan itu.

“Baik, Tuan. Kami segera ke sana,” kata Victor dengan tenang, tapi juga sedikit tegang.

Dia menyimpan ponsel di saku lalu menoleh pada Helios.

“Now, Young Master. This is the time.” Tatapan Victor menghujam Helios.

Helios berdiri dengan tangan terasa gemetar. Permainan dimulai! Apa yang akan terjadi setelah ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status