Kali ini Halim tidak mau ada tawar menawar, keraguan, atau apapun yang menyiratkan kalau Helios masih belum benar-benar sepakat dengan rencana besar Herman Hartawan.
Melihat sikap Halim yang lebih tegas, Helios tidak mengatakan apapun. Tapi dalam hati dia bertekad, dia tidak akan mengeluh. Semua itu tidak ada gunanya. Yang dia harus lakukan, ikuti saja ke mana Halim dan Victor membawanya.
Setelah hampir dua jam, akhirnya pertemuan mereka selesai. Ada kelegaan di hati Helios. Dia bisa sedikit longgar bernapas, sebelum kemudian harus fokus mengingat dan menghafal segala hal yang dicekokkan kepadanya dalam waktu yang singkat.
“Kembalilah ke kamarmu, Tuan Muda. Aku dan Victor ada urusan. Nanti jam satu siang, pergilah ke kamar Tuan Besar dan makan siang bersamanya,” titah Halim.
“Baik, Pak. Terima kasih.” Helios bangun dan bersiap keluar ruangan itu.
Victor memanggil seorang pelayan pria dan memintanya mengantar Helios ke kamar. Helios tahu, bukan karena Victor kuatir Helios akan tersesat, tetapi tidak mau Helios melakukan selain yang diperintahkan padanya.
Bersama pelayan itu, Helios menuju ke lantai atas, ke kamar mewah yang sudah menjadi miliknya. Pelayan yang belum genap berusia tiga puluh tahun itu ramah dan sopan. Dia sangat menghargai Helios sebagai Tuan Muda. Tapi Helios bisa tahu ada tatapan aneh yang muncul di raut wajah pria itu.
Helios mencoba bersikap wajar saja. Pesan penting Halim tidak akan dia lupakan.
“Kamu adalah Tuan Muda, bersikaplah selayaknya seorang Tuan Muda di hadapan semua orang, siapapun itu. Dan itu dimulai ketika berhadapan dengan para pelayan di rumah ini.”
Saat melintas di ruang tengah terdengar suara tawa dari luar. Suara tawa gadis cantik yang Helios lihat tadi. Cepat-cepat Helios mendekat ke balkon dan memperhatikan lagi padanya.
“Tuan Muda?” Pelayan yang mengantar Helios memanggil. Dia kaget juga tiba-tiba Helios berbelok arah, menuju balkon dan bukan ke kamarnya.
Pelayan itu mengekor di belakang Helios. Dia langsung tahu, apa yang menarik perhatian Tuan Muda yang baru datang entah dari negeri mana.
Helios memperhatikan si gadis cantik yang kembali dari berolahraga. Helios menduga gadis itu jogging di area sekitar rumah besar itu. Meskipun penuh keringat dan wajahnya memerah karena hari mulai panas, kecantikan gadis itu tidak pudar.
“Melissa ga ada apa-apanya dibanding gadis itu. Siapa dia?” Tiba-tiiba ada yang berbicara di hati Helios.
“Tuan Muda, mari, kita kembali ke kamar.” Pelayan itu membuyarkan perhatian Helios.
Helios menoleh melihat pada pelayan itu. Helios membaca nama yang tertera di dada kiri baju seragam yang dia kenakan, ‘Hariandi’.
“Mas Hari, siapa yang tinggal di rumah itu? Cewek itu siapa?” Helios tidak bisa menahan diri dan ingin mendapat jawaban dari rasa penasaran yang menguat di dadanya.
“Itu rumah Tuan Besar juga. Yang tinggal di sana ada-“
“Ah! Hari! Kamu di sini rupanya. Kamu dicari Bu Vemy. Dia minta diantar ke pasar sekarang!” Seorang pelayan wanita muncul dan menyela pembicaraan Helios dengan Hari.
Helios dan Hari memutar badan melihat pada pelayan itu yang tak lain adalah Erma. Helios sangat ingat. Erma yang mengantar makanan untuknya saat baru bangun dan sadar berada di kamar saat baru datang di rumah itu.
“Oh, maaf, Tuan Muda!” Erma sangat terkejut saat melihat Helios ternyata yang bersama dengan Hari.
Wajah Erma tampak terpana melihat penampilan Helios yang sangat berbeda dari kali pertama dia melihatnya. Tampan, gagah, rapi, dan berkelas. Benar-benar memang seorang tuan muda keluarga sultan.
“Apa kabar, Mbak Erma?” Dengan senyum tipis dan ramah, Helios menyapa.
“Saya, Tuan? Baik. Terima kasih,” ujar Erma bingung. Aneh saja, dia ditanya begitu.
“Tuan Muda, mari kita ke kamar, lalu saya akan mengantar Bu Vemy. Kalau sedikit lambat, tanduknya bisa cepat muncul dan bisa gawat,” kata Hari.
Helios mengerutkan kening. Dia merasa aneh dengan ucapan Hari. Tanpa bicara apapun, Helios mengikuti Hari yang mendahului langkah mereka menuju ke kamar besar Helios. Sedangkan Erma hanya memandangi saja Tuan Muda tampan rupawan itu berlalu dari hadapannya.
“Pesan Tuan Halim, saat makan siang Tu-“
“Aku harus ke kamar Tuan Besar dan makan siang bersamanya. Aku tidak akan lupa.” Helios meneruskan kalimat Hari.
“Baik, saya permisi, Tuan Muda.” Hari tersenyum, sedikit menunduk dan membungkuk, lalu dia meninggalkan Helios di kamar itu.
Helios segera masuk dan terus menuju ke balkon. Dia masih penasaran dengan gadis cantik di seberang rumah tempat dia berdiri. Apakah gadis itu masih di sana? Sayang, saat Helios mengarahkan mata ke rumah itu, tidak tampak lagi seorangpun di sana. Rumah itu tertutup rapat dan sepi.
“Hmm … aku harus sabar menunggu sampai aku dapat jawaban siapa gadis itu. Sudahlah, aku harus mulai bergerak.” Helios membalikkan badan dan menuju ke ranjang besar dan mewah di kamar itu.
Dengan cepat, Helios melepas jas yang dia kenakan, melepas juga sepatunya, lalu melompat ke atas ranjang. Ah, empuk sekali. Sangat nyaman. Sejak lahir, kasur yang ada di bawah tubuhnya ini yang paling baik yang pernah Helios nikmati.
Sambil berbaring memandang langit-langit kamar, Helios mengingat semua deretan kisah tentang sejarah dirinya yang telah dia baca saat ada di ruang kerja Halim. Jangan sampai ada yang terlewat, atau salah mengingat, dan Helios salah menjawab ketika bertemu orang-orang yang akan datang di hari istimewa penyambutannya sebagai Tuan Muda.
“Apakah gadis itu akan datang?” Pertanyaan itu membuat Helios segera bangun dan duduk dengan tegak. “Jika dia keluarga Hartawan, pasti dia datang.”
Helios harus siap untuk hari itu. Dia tidak boleh mempermalukan Tuan Besar dan harus tampil mengagumkan di mata gadis cantik itu.
*****
Hari Minggu tiba. Sejak bangun pagi dada Helios seolah-olah tidak berdetak dengan normal. Ruang tengah di lantai satu rumah itu yang langsung terhubung dengan taman samping disiapkan begitu rupa untuk acara istimewa bagi keluarga Hartawan.
Sepanjang hari itu Victor ada di sekitar Helios. Selain dia mengontrol semua persiapan, berulang kali Victor memberi pertanyaan-pertanyaan pada Helios yang harus dijawab cepat dan benar. Itu semacam simulasi jika nanti Helios akan bertemu dengan keluarga dan para tamu undangan acara penyambutan kedatangan anak Tunggal Herman Duta Hartawan.
“Great! You are so smart, Young Master! I know that you are the one.” Dengan senyum lebar Victor menepuk kedua pundak Helios.
Helios hanya tersenyum tipis. Itu hanya simulasi. Seperti apa nanti jadinya? Siapa yang akan tahu. Dalam hati, entah berapa banyak doa singkat yang terus Helios serukan.
“Tuhan, tolong aku … Tuhan, aku harus gimana? … Tuhan, bantu aku agar bisa bersikap benar di depan semua orang …” Berulang-ulang kalimat-kalimat yang hampir sama berbunyi di hati Helios.
Hingga jam yang dinanti tiba. Victor, lagi-lagi memastikan Helios benar-benar siap menghadiri acara yang digelar demi kelangsungan Nasib dinasti Hartawan itu. Sejak jam setengah enam sore, tamu-tamu mulai berdatangan. Mobil-mobil mewah yang jarang Helios temui di jalanan dia lihat dari balkon di kamarnya, mulai memadati area parkir.
Menyaksikan itu, jantung Helios makin beradu. Seperti apa tamu-tamu Tuan Besar Hartawan? Bagaimana mereka akan memandang Helios? Selama ini yang mereka tahu, Tuan Besar tidak punya seorang anak pun. Bahkan istrinya juga telah tiada.
Drrttt … Ponsel Victor bergetar. Dengan cepat dia menerima panggilan itu.
“Baik, Tuan. Kami segera ke sana,” kata Victor dengan tenang, tapi juga sedikit tegang.
Dia menyimpan ponsel di saku lalu menoleh pada Helios.
“Now, Young Master. This is the time.” Tatapan Victor menghujam Helios.
Helios berdiri dengan tangan terasa gemetar. Permainan dimulai! Apa yang akan terjadi setelah ini?
“Mari, kita sambut … Tuan Muda Helios Bintang Hartawan!”Debaran makin kuat melanda dada Helios. Dia berdiri di tangga teratas dari lantai dua. Di ruang bawah, ruang tengah yang sudah disulap dengan begitu indah, semua mata tertuju padanya. Tatapan-tatapan penuh tanya yang diselingi senyum, membuat hati Helios makin tak menentu.Musik yang menghantar Sang Tuan Muda hadir di tengah pesta itu mengalun manis. Lembut, syahdu, tetapi juga megah. Selangkah demi selangkah Helios mengayunkan kaki menuruni anak tangga, smentara MC acara terus berbicara memperkenalkan Sang Tuan Muda.Gelisah dan resah yang memenuhi hati Helios. Tetapi yang dia harus lakukan adalah tersenyum. Bukan senyum kecut dan kurang percaya diri, sebaliknya senyum bahagia karena dia pulang ke rumah dan bertemu ayah tercinta.Tepuk tangan terus mengiringi Helios hingga dia tiba di anak tangga paling bawah. Di saat itu, Herman menyambut Helios dengan senyum lebar. Meskipun di kursi rodanya, Herman tampak sumringah. Tangannya
Herman, Helios, bersama Siska dan tiga orang tamu yang sedang duduk mengelilingi meja, mengarahkan pandangan pada pria tinggi jangkung yang baru datang ketika tamu-tamu mulai meninggalkan acara malam itu.“Raditya! Senang melihatmu bisa hadir juga malam ini. Mari, duduklah!” Herman merentangkan tangannya dan mempersilakan Raditya ikut bergabung dengan mereka.Raditya maju beberapa langkah. Dia berdiri tepat di belakang kursi yang berseberangan dengan Helios. Matanya mencermati pria muda yang gagah dan tampan yang tengah duduk di samping Herman. Dia tidak berkedip menatap Helios.“Wow … Siapa namamu?” tanya Raditya tanpa memperhatikan ucapan Herman.“Aku Helios Bintang Hartawan.” Dengan tenang, meskipun jantung mulai tidak tenang, Helios menjawab.Raditya tersenyum nyengir. Logat Helios bicara jelas bukan orang Jakarta. Lebih terkesan bernada orang Jawa.“Dari mana asalmu?” tanya Raditya lagi.Wajah Helios terasa mulai panas. Hampir dia membuka mulut menyebut kota asalnya, dengan cepat
Helios memandang Herman. Rasanya aneh berdua dengan seorang laki-laki yang menyebutnya anak. Helios tidak pernah punya ayah. Campur baur rasa di dadanya berdua saja dengan Herman.“Apapun yang muncul di kepala dan hatimu, katakan saja. Dari awal kamu harus jujur dan terbuka. Karena itu akan berpengaruh pada hal-hal lain yang nanti kamu hadapi, Helios.”Perlahan, Helios menarik napas dalam. Lalu dia mulai bicara.“Aku tidak nyaman, Tuan. Mereka tidak menerimaku. Mereka terganggu dengan kedatanganku.”Mendengar ucapan Helios, Herman tersenyum. “Itu pasti. Aku sudah tahu sejak awal apa yang akan terjadi dengan kepulangan kamu. Kalau mereka terganggu, mereka lebih baik pergi saja dari sini. Aku tidak akan menahan mereka untuk tinggal. Uang yang aku berikan sangat cukup untuk mereka hidup meskipun jauh dariku.”Helios mendengarkan. Dia perlu lebih jelas mengerti situasi di antara Herman, Siska, dan Raditya. Apa yang t
Helios merasa detak jantungnya terus berpacu. Dia sudah di dalam mobil mewah berwarna putih dan mentereng. Halim mengatakan mobil itu hampir tidak pernah dipakai sejak dibeli oleh Herman. Waktu dia mulai mencari anaknya, mobil itu dipastikan akan menjadi milik Helios. “Kamu bisa menyetir, kan?” Halim memandang Helios yang duduk tidak tenang di sampingnya. “Ya, aku pernah belajar menyetir. Tapi sudah cukup lama aku tidak menyetir mobil.” Helios bicara dengan menahan debaran yang terus menguat di dadanya. “Kalau masih perlu sopir, tinggal pilih siapa yang Tuan Muda mau. Di rumah ada beberapa pelayan yang siap.” Halim mulai menyalakan mobil dan menjalankan perlahan kendaraan itu meninggalkan area mansion. Helios memandang ke depan. Ini pertama kali dia akan keluar dari rumah besar dan menuju ke kantor Belum sampai gerbang depan kendaraan berpapasan dengan gadis cantik berambut coklat kemerahan yang menarik perhatian Helios.Mata Helios tak berkedip. Dengan legging hitam dan kaos keta
Helios menghentikan langkah tepat dua tapak dari pintu. Di ruang besar itu ada lebih dari seratus karyawan duduk di dalam, menunggu kehadiran Herman dan Helios. Halim terus mendorong kursi roda Herman dan naik ke panggung yang ada di sisi kiri dari pintu masuk. Helios masih terdiam di tempatnya. Semua mata tertuju pada Herman dan Halim. Begitu Herman berada di hadapan semua karyawannya, dia melihat ke samping dan tidak mendapati Helios di dekatnya. Dengan cepat, dia mencari di mana Helios. Dengan tatapan matanya, Herman meminta Helios mendekat. Masih dengan jantung berdetak tidak menentu, Helios melangkah lagi, mendekati Herman dan Halim. Helios berdiri di samping kanan Herman, sedangkan Halim dia mundur, lalu turun dari panggung dan duduk di kursi paling depan di sebelah Victor. “Hari ini adalah hari sangat istimewa buatku. Cukup lama aku tidak datang ke kantor karena fokus dengan kesehatanku.” Herman memulai pertemuan itu. Semua orang yang ada di ru
Donita sudah maju beberapa langkah dan hampir mencapai pintu. Mendengar pertanyaan Victor, Donita berbalik, menatap pria berambut cepak itu. “Tunggu kabar dariku. Sampai jumpa.” Donita menjawab, seperti biasa, dingin dan datar. Lalu wanita itu masuk ke dalam kelas dan menutup pintu. Victor mengangkat kedua bahunya kemudian berlalu dari sana. Dia kembali meneruskan pekerjaannya sambil menunggu kabar dari Helios jika kelas hari itu usai. Di kantor, Victor memastikan semua deretan rencana perjalanan misi Helios akan berjalan lancar. Sementara dia membaca lagi semua catatan dari awal sekali muncul ide menemukan seseorang yang mirip dengan Herman Hartawan, Victor berhenti pada satu hasil pembicaraan dengan Halim dan Herman. “Kurasa bagian ini Tuan Besar dan Pak Halim lupa. Seharusnya Helios diberi ketegasan dari awal soal ini. Aku tidak bisa menundanya. Jika tidak kuingatkan segera, bisa-bisa terjadi sesuatu dan Helios tid
Victor tidak langsung menjawab pertanyaan Donita. Dia tidak boleh asal memberikan jawaban karena bagaimana Victor dan Halim menemukan Sang Tuan Muda, ini sangat rahasia. Kisah sebenarnya harus rapat tersimpan dari semua orang."Itulah misteri hidup, Doni. Tuan Besar mulai sering sakit, cemas karena tidak ada penerus di keluarga Hartawan. Di saat itu, kisah masa lalu yang hampir dia lupakan muncul ke permukaan." Jawaban Victor membuat Donita menaikkan kedua alisnya."Really? It is sound unusual," ujar Donita."Indeed. Tapi apa mau dikata. Begitulah yang terjadi. Tuan Muda Helios itu anak Tuan Herman dengan kekasihnya kala muda. Aku juga tidak tahu jelas seperti apa. Tuan Besar meminta aku dan Pak Halim membawa Tuan Muda pulang, saat dia siap." Tetap hati-hati jawaban Victor. Donita tidak bereaksi apa-apa. Tapi tatapannya lebih tajam seolah-olah ingin menerjang ke dasar hati Victor. Victor merasa detak jantungnya mulai melaju cepat. Ini kelebihan Donita. Dia akan tahu orang yang dia h
Ruang kerja Herman.Pria dengan rambut putih dan tipis itu duduk di kursi kerjanya. Dia menghadapi lembaran penting di depannya. Sedang Helios duduk tepat di seberang meja Herman. Halim dan Victor duduk di sisi kiri dan kanan Helios, agak di belakang."Satu minggu awal, kurasa misi berjalan baik dan masih di dalam rencana." Herman memberi kesimpulan dari semua yang mereka telah bicarakan.Helios menatap lurus pada Herman. Rasa kagum mulai tumbuh di hati Helios pada pria itu. Dia pekerja keras, penuh semangat, dan menghargai semua orang yang berjuang bersamanya.Namun, rasa iba juga muncul di hati Helios. Di tengah segala kesuksesan yang Herman raih, dia kesepian. Tidak ada istri dan anak bersamanya. Keluarga yang dia kenal hanya memanfaatkan dirinya saja."Aku senang kamu serius dengan misi ini, Helios." Senyum khas Herman muncul."Terima kasih, Pa." Helios berucap, tapi tidak ada senyum di bibirnya."Meski begitu, misi ini harus ditandai dengan sesuatu yang menjadi bukti tanggung jawa