Herman, Helios, bersama Siska dan tiga orang tamu yang sedang duduk mengelilingi meja, mengarahkan pandangan pada pria tinggi jangkung yang baru datang ketika tamu-tamu mulai meninggalkan acara malam itu.“Raditya! Senang melihatmu bisa hadir juga malam ini. Mari, duduklah!” Herman merentangkan tangannya dan mempersilakan Raditya ikut bergabung dengan mereka.Raditya maju beberapa langkah. Dia berdiri tepat di belakang kursi yang berseberangan dengan Helios. Matanya mencermati pria muda yang gagah dan tampan yang tengah duduk di samping Herman. Dia tidak berkedip menatap Helios.“Wow … Siapa namamu?” tanya Raditya tanpa memperhatikan ucapan Herman.“Aku Helios Bintang Hartawan.” Dengan tenang, meskipun jantung mulai tidak tenang, Helios menjawab.Raditya tersenyum nyengir. Logat Helios bicara jelas bukan orang Jakarta. Lebih terkesan bernada orang Jawa.“Dari mana asalmu?” tanya Raditya lagi.Wajah Helios terasa mulai panas. Hampir dia membuka mulut menyebut kota asalnya, dengan cepat
Helios memandang Herman. Rasanya aneh berdua dengan seorang laki-laki yang menyebutnya anak. Helios tidak pernah punya ayah. Campur baur rasa di dadanya berdua saja dengan Herman.“Apapun yang muncul di kepala dan hatimu, katakan saja. Dari awal kamu harus jujur dan terbuka. Karena itu akan berpengaruh pada hal-hal lain yang nanti kamu hadapi, Helios.”Perlahan, Helios menarik napas dalam. Lalu dia mulai bicara.“Aku tidak nyaman, Tuan. Mereka tidak menerimaku. Mereka terganggu dengan kedatanganku.”Mendengar ucapan Helios, Herman tersenyum. “Itu pasti. Aku sudah tahu sejak awal apa yang akan terjadi dengan kepulangan kamu. Kalau mereka terganggu, mereka lebih baik pergi saja dari sini. Aku tidak akan menahan mereka untuk tinggal. Uang yang aku berikan sangat cukup untuk mereka hidup meskipun jauh dariku.”Helios mendengarkan. Dia perlu lebih jelas mengerti situasi di antara Herman, Siska, dan Raditya. Apa yang t
Helios merasa detak jantungnya terus berpacu. Dia sudah di dalam mobil mewah berwarna putih dan mentereng. Halim mengatakan mobil itu hampir tidak pernah dipakai sejak dibeli oleh Herman. Waktu dia mulai mencari anaknya, mobil itu dipastikan akan menjadi milik Helios. “Kamu bisa menyetir, kan?” Halim memandang Helios yang duduk tidak tenang di sampingnya. “Ya, aku pernah belajar menyetir. Tapi sudah cukup lama aku tidak menyetir mobil.” Helios bicara dengan menahan debaran yang terus menguat di dadanya. “Kalau masih perlu sopir, tinggal pilih siapa yang Tuan Muda mau. Di rumah ada beberapa pelayan yang siap.” Halim mulai menyalakan mobil dan menjalankan perlahan kendaraan itu meninggalkan area mansion. Helios memandang ke depan. Ini pertama kali dia akan keluar dari rumah besar dan menuju ke kantor Belum sampai gerbang depan kendaraan berpapasan dengan gadis cantik berambut coklat kemerahan yang menarik perhatian Helios.Mata Helios tak berkedip. Dengan legging hitam dan kaos keta
Helios menghentikan langkah tepat dua tapak dari pintu. Di ruang besar itu ada lebih dari seratus karyawan duduk di dalam, menunggu kehadiran Herman dan Helios. Halim terus mendorong kursi roda Herman dan naik ke panggung yang ada di sisi kiri dari pintu masuk. Helios masih terdiam di tempatnya. Semua mata tertuju pada Herman dan Halim. Begitu Herman berada di hadapan semua karyawannya, dia melihat ke samping dan tidak mendapati Helios di dekatnya. Dengan cepat, dia mencari di mana Helios. Dengan tatapan matanya, Herman meminta Helios mendekat. Masih dengan jantung berdetak tidak menentu, Helios melangkah lagi, mendekati Herman dan Halim. Helios berdiri di samping kanan Herman, sedangkan Halim dia mundur, lalu turun dari panggung dan duduk di kursi paling depan di sebelah Victor. “Hari ini adalah hari sangat istimewa buatku. Cukup lama aku tidak datang ke kantor karena fokus dengan kesehatanku.” Herman memulai pertemuan itu. Semua orang yang ada di ru
Donita sudah maju beberapa langkah dan hampir mencapai pintu. Mendengar pertanyaan Victor, Donita berbalik, menatap pria berambut cepak itu. “Tunggu kabar dariku. Sampai jumpa.” Donita menjawab, seperti biasa, dingin dan datar. Lalu wanita itu masuk ke dalam kelas dan menutup pintu. Victor mengangkat kedua bahunya kemudian berlalu dari sana. Dia kembali meneruskan pekerjaannya sambil menunggu kabar dari Helios jika kelas hari itu usai. Di kantor, Victor memastikan semua deretan rencana perjalanan misi Helios akan berjalan lancar. Sementara dia membaca lagi semua catatan dari awal sekali muncul ide menemukan seseorang yang mirip dengan Herman Hartawan, Victor berhenti pada satu hasil pembicaraan dengan Halim dan Herman. “Kurasa bagian ini Tuan Besar dan Pak Halim lupa. Seharusnya Helios diberi ketegasan dari awal soal ini. Aku tidak bisa menundanya. Jika tidak kuingatkan segera, bisa-bisa terjadi sesuatu dan Helios tid
Victor tidak langsung menjawab pertanyaan Donita. Dia tidak boleh asal memberikan jawaban karena bagaimana Victor dan Halim menemukan Sang Tuan Muda, ini sangat rahasia. Kisah sebenarnya harus rapat tersimpan dari semua orang."Itulah misteri hidup, Doni. Tuan Besar mulai sering sakit, cemas karena tidak ada penerus di keluarga Hartawan. Di saat itu, kisah masa lalu yang hampir dia lupakan muncul ke permukaan." Jawaban Victor membuat Donita menaikkan kedua alisnya."Really? It is sound unusual," ujar Donita."Indeed. Tapi apa mau dikata. Begitulah yang terjadi. Tuan Muda Helios itu anak Tuan Herman dengan kekasihnya kala muda. Aku juga tidak tahu jelas seperti apa. Tuan Besar meminta aku dan Pak Halim membawa Tuan Muda pulang, saat dia siap." Tetap hati-hati jawaban Victor. Donita tidak bereaksi apa-apa. Tapi tatapannya lebih tajam seolah-olah ingin menerjang ke dasar hati Victor. Victor merasa detak jantungnya mulai melaju cepat. Ini kelebihan Donita. Dia akan tahu orang yang dia h
Ruang kerja Herman.Pria dengan rambut putih dan tipis itu duduk di kursi kerjanya. Dia menghadapi lembaran penting di depannya. Sedang Helios duduk tepat di seberang meja Herman. Halim dan Victor duduk di sisi kiri dan kanan Helios, agak di belakang."Satu minggu awal, kurasa misi berjalan baik dan masih di dalam rencana." Herman memberi kesimpulan dari semua yang mereka telah bicarakan.Helios menatap lurus pada Herman. Rasa kagum mulai tumbuh di hati Helios pada pria itu. Dia pekerja keras, penuh semangat, dan menghargai semua orang yang berjuang bersamanya.Namun, rasa iba juga muncul di hati Helios. Di tengah segala kesuksesan yang Herman raih, dia kesepian. Tidak ada istri dan anak bersamanya. Keluarga yang dia kenal hanya memanfaatkan dirinya saja."Aku senang kamu serius dengan misi ini, Helios." Senyum khas Herman muncul."Terima kasih, Pa." Helios berucap, tapi tidak ada senyum di bibirnya."Meski begitu, misi ini harus ditandai dengan sesuatu yang menjadi bukti tanggung jawa
Langit cerah, matahari mulai menyorotkan sinarnya pertanda hari baru telah bergerak..Hari itu Helios tidak ke kantor tetapi akan ke akademi. Karena kelas dimulai setengah sepuluh Helios punya waktu agak longgar di pagi hari.Ide muncul tiba-tiba di kepala Helios. Kenapa dia tidak berolahraga saja? Sudah lama juga dia tidak menggerakkan fisik untuk menjaga kebugaran. Helios membuka lemari mengambil pakaian olahraga afa tergantung di sana. Celana olahraga selutut dan kaos ketat yang Helios pilih. Lalu dia turun dari lantai atas dan keluar rumah.Sampai di teras, mata Helios memandang ke rumah seberang. Tidak terlihat siapapun di sana. Apakah Violetta tidak jogging pagi itu? Beberapa hari Helios memang tidak melihatnya."Sudahlah. Mulai saja, sebelum hari semakin panas." Pelan Helios bicara pada diri sendiri.Langkah kaki terayun. Helios berlari kecil menuju taman yang cukup luas di area depan kompleks mansion Hartawan. Beberapa jenis bunga mekar cantik di taman, menambah manis pagi itu.
Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu
"Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie
"Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di
Dua pasang mata di depan Herman menatap padanya. Sudah pasti Helios dan Violette menunggu kalimat berikut yang akan Herman ucapkan. Tetapi muncul sedikit cemas, kalau sampai emosi Herman naik, jantungnya bisa bermasalah lagi."Aku sudah mendapatkan penyelesaian dari semua kemelut yang selama ini membuat hidupku terasa sangat rumit dan menekan." Lebih tegas Herman bicara, meskipun tetap terdengar tenang. "Maksud Papa?" Helios menegakkan punggung. Dadanya tiba-tiba berdegup kuat. Yang dia takutkan jika Herman tidak akan menerima Violetta di mansion karena Siska sudah tidak ada lagi sebagai anak angkat keluarga Hartawan. "Masalahku yang utama adalah aku perlu penerus untuk keluargaku. Aku ini sudah tua dan sakit-sakitan." Herman kembali melanjutkan menikmati makanannya. Helios dan Violetta memperhatikan setiap gerakan Herman. Herman mengangkat wajahnya, dan mengarahkan pandangan pada Violetta. Lalu dia menoleh ke arah belakangnya. Ada pelayan pengganti Erma berdiri beberapa meter di
Herman menanyakan Violetta. Ini benar-benar kejutan. Helios menaikkan kedua alisnya menatap Herman."Aku lihat dia sedang sedih, Helios. Di mana dia?" Herman menegaskan lagi.Helios semakin terkejut. Dari mana Herman tahu jika Violetta sedang bersedih? Tapi memang itu kenyataannya."Aku telpon dia. Aku akan minta dia ke sini." Helios mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kontak Violetta.Dering panggilan Helios beberapa kali, tetapi tidak ada respon. Helios mencoba lagi, hingga kali ketiga baru Violetta menerima panggilannya."Hel ... mama ... mama sdh pergi, Hel ..." Terbata-bata sambil menangis Violetta berkata."Apa?" Refleks kata itu yang Helios ucapkan."Hel ... aku, aku ..."Helios menatap Herman. Ini kesedihan yang Herman maksud. Herman tahu kalau Violetta sedang sedih."Pa, aku temui Vio." Helios berkata dengan pandangan datar, sedikit nanar.Victor memperhatikan ekspresi yang tiba-tiba berbeda."Ya, pergilah." Herman mengangguk.Helios mendekati Victor dan berbisik,"Tante Sis
Violetta masuk kamar Siska. Wanita itu kembali menggunakan alat bantu pernapasan dan kondisinya tiba-tiba sangat lemah. Namun, kesadarannya masih ada. Dia memandang Violetta dan mengulurkan tangan kirinya yang gemetar.Violetta mendekat dan memegang tangan kiri Siska. Hatinya sangat sedih. Melihat ibunya berjuang untuk bernapas, Violetta tidak tega."Kamu ... Vio ..." Siska memaksa diri bicara.Violetta mendekat ke dekat wajah Siska agar bisa mendengar yang Siska katakan."Baha ... gia ... Jangan ... ja ... ngan, se ... dih." Semakin pelan terdengar tapi masih dapat Violetta tangkap.Mendengar itu begitu saja air mata meluncur di mata Violetta. Dia mengangkat muka dan memandang Siska. Mata Siska terus menatap pada Violetta. Lemah dan redup, sayu dan semakin berat."Mama, aku pasti bahagia. Aku janji." Violetta berkata sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis.Mata Siska tampa makin berat. Senyum kecil di ujung bibirnya. Sedang napasnya semakin berat. Dia mulai tersengal-sengal
Halim dan Victor bertindak. Niat Helios ingin meluruskan postingan Siska segera mereka tanggapi. Halim membantu Helios menata apa-apa yang perlu Helios katakan di publik dan bagian mana yang cukup menjadi konsumsi pribadi saja.Sedangkan Victor, dia memanggil tiga media yang cukup dikenal dan kredibel untuk ikut membuat video ketika Helios membuat pernyataan. Ini sengaja dilakukan, langsung dengan media, bukan video yang siap ditayangkan setelah lewat proses editing dan lain-lain.Tetap sangat dibatasi berapa dari pers yang bisa datang, karena lokasi dilakukan di rumah sakit. Dua hari persiapan maka rencana dijalankan. Saat memulai Helios sangat tegang. Violetta, Halim, dan Victor juga sama."Hel, good luck. Thanks for all." Violetta mengatakan itu sepenuh hati dan juga menyemangati Helios.Helios mengangguk lalu berjalan ke kursi yang disiapkan untuknya. Pengambilan gambar dilakukan di taman yang tidak jauh dari tempat Herman dirawat."Hari ini, meskipun bukan yang aku inginkan, aku
Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s