Sekalipun perasaannya campur aduk, Ardi harus mengakui dia terpesona dengan kamar besar tempatnya disekap. Dia bahkan baru menyadari ada pantry lengkap dengan kulkas kecil di kamar itu.
"Semua lengkap di sini. Aku tidak perlu ke mana-mana, semua sudah ada." Ardi berkata pada dirinya.Lalu dia melangkah naik ke ranjang. Dia meraih remote control di atas nakas sebelah ranjang dan menyalakan TV. Bukan sembarang TV. Channel internasional ada pada tayangan TV yang dipasang di dinding seberang ranjang."Nyaman sekali. Biarpun disekap, aku tidak akan bosan, aku bisa melakukan apa yang aku mau." Ardi tersenyum.Asyik juga menjadi orang kaya. Semua sudah disiapkan lengkap dalam satu kamar. Baru satu kamar saja indahnya seperti ini. Luas, mungkin empat atau lima kali lebih besar dari kamar kosnya. Ukurannya hanya 3 kali 4 meter lebih sedikit. Hanya ada kasur di lantai, lemari kecil dan meja kecil untuk Ardi menyimpan barang-barangnya yang tidak seberapa itu.Lalu, bagaimana dengan seluruh rumah ini? Ardi seperti tidak mampu membayangkannya. Ah, Ardi jadi tidak sabar ingin tahu apa yang ada di luar ruangan besar itu. Tetapi apa boleh buat, Ardi harus menunggu sampai hari berganti.
Hampir tengah malam, setelah hampir tiga film habis dia tonton, Ardi pun terlelap. Dengan lampu kamar masih menyala terang, tidur terlentang memegang remote di tangan kanannya.*****"Selamat pagi, Tuan Muda! Sudah waktunya misi dimulai!" Suara itu mengejutkan Ardi.Dengan cepat dia membuka mata dan melihat di depannya Victor berdiri memandang dengan tajam padanya."Ah, aku ketiduran. Ini sudah pagi?" Ardi mengusap-usap wajahnya. Dia arahkan pandangan ke dinding. Hampir jam tujuh pagi. TV bahkan masih menyala. Ardi pun mematikannya."Nyenyak sekali tidurmu. Bersiaplah. Setengah jam lagi kita akan ada pertemuan penting." Victor berkata dengan serius."Pertemuan? Dengan Pak Halim?" tanya Ardi."Pakailah pakaian yang rapi, lalu ikut aku," kata Victor tidak menjawab pertanyaan Ardi.Ardi turun dari ranjang. Dia menuju ke lemari besar dan memilih pakaian yang menurutnya sesuai. Kaos berkerah warna hitam dengan celana krem.Victor memperhatikan Ardi. Dia ingin melihat bagaimana Ardi bertindak. Apakah pemuda kampung itu tahu kostum yang tepat untuk situasi yang akan dia hadapi.Ardi membawa pakaian itu ke kamar mandi. Mata Ardi melotot lebar melihat kamar mandi di kamar itu bagaikan kamar mandi hotel berbintang. Ardi tersenyum lebar. Dia bisa berlama-lama di sana tanpa kuatir digedor teman kos.Lebih lima belas menit Ardi akhirnya selesai. Andai punya waktu lebih lama, Ardi pasti akan memilih mandi di bathtub."Well, you look great!" komentar Victor saat Ardi keluar kamar mandi."Sungguh?" Ardi seketika mendekat ke cermin dan melihat dirinya. Padahal dia sudah melihat dirinya juga di cermin dalam kamar mandi."Tunggu," kata Victor. Pria itu mendekat ke lemari dan mengambil jas berwarna putih."Perlu pakai jas?" Ardi heran. Tapi dia tidak menolak saat Victor mengenakan jas itu ke tubuh Ardi."Done. Komplit kalau begini." Victor tersenyum lebar. "Kita berangkat."Ardi menurut saja. Dia mengikuti Victor yang lebih dulu meninggalkan kamar. Dada Ardi berdetak kuat. Keluar kamar besar itu, Ardi makin takjub dengan apa yang dia lihat di depannya. Rumah mewah dengan interior sangat aduhai.Victor terus berjalan ke sisi lain lantai itu. Ardi bisa melihat seperti apa indahnya lantai bawah. Benar-benar dia berada di rumah milyader. Tidak kalah bagus dari rumah mewah yang Ardi pernah lihat di film.
"Di kamar itu, kita akan bertemu Tuan Besar." Victor bicara begitu mereka berhadapan dengan sebuah kamar yang Ardi yakin sama besar dengan kamar yang dia tempati.Victor mengetuk pintu, lalu membukanya. Di dalam ruangan, dua pria sedang duduk bersebelahan. Seorang berpakaian serba hitam. Ardi tahu itu Halim. Seorang lagi, lelaki yang lebih tua dari Halim, dia mengenakan piyama tidur berwarna merah tua. Tampak pucat dengan tubuh kurus dan rambut sangat tipis. Ardi langsung bisa mengenali siapa pria itu. "Selamat pagi, Tuan Besar. Lihat, siapa yang aku bawa pada Tuan Besar." Victor berjalan mendekat sambil menoleh pada Ardi, lalu dia melangkah lagi.Halim dan Tuan Besar mengarahkan pandangan pada Ardi."Akhirnya. Aku punya keturunan juga. Kamu hebat, Halim. Kamu berhasil membawanya padaku." Suara pria itu sedikit serak dan bergetar. Kemudian doa melihat pada Victor. "Kamu juga hebat, Vic. Tanpa kalian aku tak mungkin bisa melihat Helios." Ardi menghentikan langkah. Dia memperhatikan Tuan Besar Herman. Dia tampak tidak sehat. Tetapi matanya bersinar dan ada senyum di bibirnya. Ardi ingat foto yang Victor tunjukkan hari sebelumnya. Yang Ardi lihat di depannya, seorang pria yang lemah dan sakit. Tetapi dia tidak bisa pungkiri, wajah pria itu memang mirip dengan Ardi."Kemarilah, mendekatlah, Son." Tangan Herman terangkat. Dia meminta Ardi mendekat.Dengan jantung berdegup tidak tenang, Ardi mengarahkan langkah mendekati Herman. Ardi duduk di sofa tepat di samping Herman. Tangan Herman masih terulur, dia menyentuh bahu Ardi."Selamat datang, Anakku. Helios Bintang Hartawan. Sangat lama aku ingin menyematkan nama itu dan memanggil seorang anak, anakku dengan nama itu." Suara Herman masih bergetar. Tapi sinar matanya menyorotkan dia senang dan gembira. Hati Ardi berdebar makin kuat. Dia pandangi Herman lekat-lekat. Yang muncul dalam pikirannya, sejak bayi dia tidak pernah mengenal ayahnya. Ibu mengatakan jika ayah sudah mati sejak dia masih dalam kandungan. Berhadapan dengan Herman, pria yang mirip dengannya, yang memberikan nama dan semua harta untuknya, bayangan seorang ayah yang lenyap dari hidupnya bangkit kembali. "Helios. Matahari. Pembawa terang di bumi, yang memberi kehidupan pada makhluk. Bintang. Dia punya sinar dari dirinya sendiri. Kamu harus bersinar dalam hidupmu. Itu makna nama yang aku berikan pada putraku. Kamu paham?" Tajam dan dalam, dengan suara yang masih bergetar, Herman bicara. Seperti inikah jika dia punya seorang ayah? Nama Ardi cukup bagus. Tapi dia tidak pernah tahu apa artinya, yang pasti namanya mirip dengan nama ibunya. Sementara, nama yang tiba-tiba diberikan padanya oleh orang asing itu punya makna begitu dalam. "Ingat baik-baik, kamu adalah Helios Bintang Hartawan. Dan akan terus seperti itu," ucap Herman dengan sangat serius. "Tetapi perjanjian harus tetap dilakukan, Tuan Besar. Aku belum menjelaskan pada Tuan Muda Helios mengenai itu," kata Halim menyela. Ardi, oh, tunggu ... Namanya bukan lagi Ardi, tetapi HELIOS! Dan akan disebut begitu untuk seterusnya.Helios menoleh pada Halim. Pria itu, masih setia dengan pakaian hitam-hitam, memandang lurus pada Helios. "Aku yakin kamu tahu yang akan kamu lakukan soal itu. Aku mau sarapan bersama putraku. Mana makananku?" ujar Herman. Dia menepuk tiga kali. Menit berikutnya muncul dua pelayan dari pintu dengan membawa makanan untuk sarapan mereka pagi itu. Makan pagi berlangsung. Tidak banyak percakapan terjadi. Herman hanya membicarakan tentang rumah dan apa yang ada di dalamnya. Mansion itu satu kompleks terdiri dari dua rumah besar dan beberapa rumah kecil di sekitarnya. Herman meminta Victor yang mengajak Helios berkeliling. Usai makan, Herman minum obatnya, lalu dia beranjak ke ranjang. Ternyata dia perlu kursi roda hanya sekadar naik ke kasur yang berjarak kira-kira tiga meter saja dari sofa tempatnya duduk.Helios terus memperhatikan pria tua dan sakit itu. Dia tidak terlihat galak atau arogan. Seperti orang yang lanjut usia pada umumnya, dia lemah dan tidak berdaya dengan tubuhnya sendiri. Yang Helios tak bisa lupa sambutan hangatnya ketika pertama melihat Helios. Dia begitu yakin menyerahkan semua miliknya pada pemuda asing yang ditemukan anak buahnya di kota lain. Sangat aneh, sungguh sangat aneh.
“Untuk selanjutnya, uruslah dengan Helios, Halim. Aku akan memintanya bertemu denganku lagi nanti,” ucap Herman.
“Baik, Tuan Besar,” ujar Halim lalu dia menoleh pada Helios. "Kamu siap, Tuan Muda?"Tatapan itu terlihat serius. Siap untuk apa?
Jantung Helios seperti melompat dan meledak saat Victor mengajaknya berkeliling rumah yang sangat besar itu. Ruangan-ruangan yang ada luas, lengkap dengan berbagai barang mewah dan modern. Helios rasanya seperti masuk ke sebuah istana entah di negeri mana. Bahkan dia hampir yakin dia memang tengah bermimpi dan terjebak di sana, tanpa tahu kapan akan bangun.Selama berkeliling yang tidak cukup sepuluh menit itu, Helios berulang kali berdecak kagum dengan semua yang dia lihat. Hotel berbintang pun pasti kalah dengan kemegahan rumah Tuan Besar Hartawan. Cocok sekali kalau namanya Hartawan. Isi rumahnya sudah menggambarkan seberapa banyak hartanya."Kamu harus langsung menghafal ruangan-ruangan di mansion ini, Tuan Muda. Karena ini rumah kamu. Setelah Tuan Besar, kamu yang punya kuasa di sini." Victor berbicara sementara mereka berada di lantai atas, berjalan di balkon.Dari situ Helios melihat rumah besar lain di seberang gedung tempatnya berada. Helios tidak tahu mana yang lebih besar,
Kali ini Halim tidak mau ada tawar menawar, keraguan, atau apapun yang menyiratkan kalau Helios masih belum benar-benar sepakat dengan rencana besar Herman Hartawan. Melihat sikap Halim yang lebih tegas, Helios tidak mengatakan apapun. Tapi dalam hati dia bertekad, dia tidak akan mengeluh. Semua itu tidak ada gunanya. Yang dia harus lakukan, ikuti saja ke mana Halim dan Victor membawanya. Setelah hampir dua jam, akhirnya pertemuan mereka selesai. Ada kelegaan di hati Helios. Dia bisa sedikit longgar bernapas, sebelum kemudian harus fokus mengingat dan menghafal segala hal yang dicekokkan kepadanya dalam waktu yang singkat. “Kembalilah ke kamarmu, Tuan Muda. Aku dan Victor ada urusan. Nanti jam satu siang, pergilah ke kamar Tuan Besar dan makan siang bersamanya,” titah Halim. “Baik, Pak. Terima kasih.” Helios bangun dan bersiap keluar ruangan itu. Victor memanggil seorang pelayan pria dan memintanya mengantar Helios ke kamar. Helios tahu, bukan karena Victor kuatir Helios akan ter
“Mari, kita sambut … Tuan Muda Helios Bintang Hartawan!”Debaran makin kuat melanda dada Helios. Dia berdiri di tangga teratas dari lantai dua. Di ruang bawah, ruang tengah yang sudah disulap dengan begitu indah, semua mata tertuju padanya. Tatapan-tatapan penuh tanya yang diselingi senyum, membuat hati Helios makin tak menentu.Musik yang menghantar Sang Tuan Muda hadir di tengah pesta itu mengalun manis. Lembut, syahdu, tetapi juga megah. Selangkah demi selangkah Helios mengayunkan kaki menuruni anak tangga, smentara MC acara terus berbicara memperkenalkan Sang Tuan Muda.Gelisah dan resah yang memenuhi hati Helios. Tetapi yang dia harus lakukan adalah tersenyum. Bukan senyum kecut dan kurang percaya diri, sebaliknya senyum bahagia karena dia pulang ke rumah dan bertemu ayah tercinta.Tepuk tangan terus mengiringi Helios hingga dia tiba di anak tangga paling bawah. Di saat itu, Herman menyambut Helios dengan senyum lebar. Meskipun di kursi rodanya, Herman tampak sumringah. Tangannya
Herman, Helios, bersama Siska dan tiga orang tamu yang sedang duduk mengelilingi meja, mengarahkan pandangan pada pria tinggi jangkung yang baru datang ketika tamu-tamu mulai meninggalkan acara malam itu.“Raditya! Senang melihatmu bisa hadir juga malam ini. Mari, duduklah!” Herman merentangkan tangannya dan mempersilakan Raditya ikut bergabung dengan mereka.Raditya maju beberapa langkah. Dia berdiri tepat di belakang kursi yang berseberangan dengan Helios. Matanya mencermati pria muda yang gagah dan tampan yang tengah duduk di samping Herman. Dia tidak berkedip menatap Helios.“Wow … Siapa namamu?” tanya Raditya tanpa memperhatikan ucapan Herman.“Aku Helios Bintang Hartawan.” Dengan tenang, meskipun jantung mulai tidak tenang, Helios menjawab.Raditya tersenyum nyengir. Logat Helios bicara jelas bukan orang Jakarta. Lebih terkesan bernada orang Jawa.“Dari mana asalmu?” tanya Raditya lagi.Wajah Helios terasa mulai panas. Hampir dia membuka mulut menyebut kota asalnya, dengan cepat
Helios memandang Herman. Rasanya aneh berdua dengan seorang laki-laki yang menyebutnya anak. Helios tidak pernah punya ayah. Campur baur rasa di dadanya berdua saja dengan Herman.“Apapun yang muncul di kepala dan hatimu, katakan saja. Dari awal kamu harus jujur dan terbuka. Karena itu akan berpengaruh pada hal-hal lain yang nanti kamu hadapi, Helios.”Perlahan, Helios menarik napas dalam. Lalu dia mulai bicara.“Aku tidak nyaman, Tuan. Mereka tidak menerimaku. Mereka terganggu dengan kedatanganku.”Mendengar ucapan Helios, Herman tersenyum. “Itu pasti. Aku sudah tahu sejak awal apa yang akan terjadi dengan kepulangan kamu. Kalau mereka terganggu, mereka lebih baik pergi saja dari sini. Aku tidak akan menahan mereka untuk tinggal. Uang yang aku berikan sangat cukup untuk mereka hidup meskipun jauh dariku.”Helios mendengarkan. Dia perlu lebih jelas mengerti situasi di antara Herman, Siska, dan Raditya. Apa yang t
Helios merasa detak jantungnya terus berpacu. Dia sudah di dalam mobil mewah berwarna putih dan mentereng. Halim mengatakan mobil itu hampir tidak pernah dipakai sejak dibeli oleh Herman. Waktu dia mulai mencari anaknya, mobil itu dipastikan akan menjadi milik Helios. “Kamu bisa menyetir, kan?” Halim memandang Helios yang duduk tidak tenang di sampingnya. “Ya, aku pernah belajar menyetir. Tapi sudah cukup lama aku tidak menyetir mobil.” Helios bicara dengan menahan debaran yang terus menguat di dadanya. “Kalau masih perlu sopir, tinggal pilih siapa yang Tuan Muda mau. Di rumah ada beberapa pelayan yang siap.” Halim mulai menyalakan mobil dan menjalankan perlahan kendaraan itu meninggalkan area mansion. Helios memandang ke depan. Ini pertama kali dia akan keluar dari rumah besar dan menuju ke kantor Belum sampai gerbang depan kendaraan berpapasan dengan gadis cantik berambut coklat kemerahan yang menarik perhatian Helios.Mata Helios tak berkedip. Dengan legging hitam dan kaos keta
Helios menghentikan langkah tepat dua tapak dari pintu. Di ruang besar itu ada lebih dari seratus karyawan duduk di dalam, menunggu kehadiran Herman dan Helios. Halim terus mendorong kursi roda Herman dan naik ke panggung yang ada di sisi kiri dari pintu masuk. Helios masih terdiam di tempatnya. Semua mata tertuju pada Herman dan Halim. Begitu Herman berada di hadapan semua karyawannya, dia melihat ke samping dan tidak mendapati Helios di dekatnya. Dengan cepat, dia mencari di mana Helios. Dengan tatapan matanya, Herman meminta Helios mendekat. Masih dengan jantung berdetak tidak menentu, Helios melangkah lagi, mendekati Herman dan Halim. Helios berdiri di samping kanan Herman, sedangkan Halim dia mundur, lalu turun dari panggung dan duduk di kursi paling depan di sebelah Victor. “Hari ini adalah hari sangat istimewa buatku. Cukup lama aku tidak datang ke kantor karena fokus dengan kesehatanku.” Herman memulai pertemuan itu. Semua orang yang ada di ru
Donita sudah maju beberapa langkah dan hampir mencapai pintu. Mendengar pertanyaan Victor, Donita berbalik, menatap pria berambut cepak itu. “Tunggu kabar dariku. Sampai jumpa.” Donita menjawab, seperti biasa, dingin dan datar. Lalu wanita itu masuk ke dalam kelas dan menutup pintu. Victor mengangkat kedua bahunya kemudian berlalu dari sana. Dia kembali meneruskan pekerjaannya sambil menunggu kabar dari Helios jika kelas hari itu usai. Di kantor, Victor memastikan semua deretan rencana perjalanan misi Helios akan berjalan lancar. Sementara dia membaca lagi semua catatan dari awal sekali muncul ide menemukan seseorang yang mirip dengan Herman Hartawan, Victor berhenti pada satu hasil pembicaraan dengan Halim dan Herman. “Kurasa bagian ini Tuan Besar dan Pak Halim lupa. Seharusnya Helios diberi ketegasan dari awal soal ini. Aku tidak bisa menundanya. Jika tidak kuingatkan segera, bisa-bisa terjadi sesuatu dan Helios tid