Di puncak Menara Firdhan, yang menjulang di tengah-tengah Castelon, Raja Almarik IV berdiri memandang kerajaannya yang mulai retak. Dari ketinggian menara, ia bisa melihat kabut tebal yang menggantung di atas kota seperti kutukan yang tak berkesudahan. Di bawah, rakyatnya hidup dalam ketakutan, tercekik oleh pajak yang terus meningkat dan tentara yang berkeliaran dengan kekejaman.
Namun, bagi Almarik, ini hanyalah awal dari kekuasaannya. Selama musuh-musuhnya belum berhasil menggulingkannya, segala cara sah untuk mempertahankan tahta. Dan malam ini, ia akan membuat pergerakan yang menentukan. Di balik Almarik, sosok tinggi tegap berjongkok dengan kepala tertunduk. Ia adalah Panglima Valdrik, komandan terkuat dan paling setia di antara pasukan kerajaan. Valdrik dikenal sebagai pria tanpa ampun, seorang ahli strategi militer yang tak pernah gagal dalam pertempuran. “Pasukan telah bersiap, Yang Mulia,” ujar Valdrik dengan nada dingin. Almarik berbalik, menatap Panglimanya dengan mata tajam. “Bagus. Kita akan menghancurkan mereka semua sebelum mereka bisa menggerakkan pasukan lebih jauh ke dalam wilayah kita. Pemberontakan ini harus dipadamkan sebelum semakin meluas.” Valdrik mengangguk. “Tapi ada sesuatu yang perlu kau ketahui, Yang Mulia. Orang-orang mulai berbicara tentang seorang pemimpin baru di pihak pemberontak. Mereka menyebutnya Bayangan.” Nama itu membuat Almarik terdiam sejenak. “Bayangan?” gumamnya, seolah-olah mencoba mencerna arti dari nama itu. “Siapa dia?” “Tak ada yang tahu pasti, tapi dia sudah mulai menyatukan semua pemberontak di bawah panji yang sama. Mereka mengatakan bahwa dia memiliki kekuatan yang belum pernah kita lihat sebelumnya, kekuatan yang berasal dari kegelapan.” Almarik tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh dengan rasa sinis. “Tidak ada yang bisa melawan kekuatanku. Jika Bayangan ini memang ada, dia akan hancur seperti yang lainnya.” Panglima Valdrik mengangguk lagi, tetapi dia tahu bahwa Almarik sedang meremehkan ancaman yang nyata. Selama bertahun-tahun, Valdrik telah mempelajari banyak musuh, dan sosok yang bergerak dalam bayang-bayang seperti Bayangan bisa menjadi ancaman yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar pemberontak bersenjata. Namun, ia tidak berbicara lebih jauh. Di hadapan Almarik, keraguan tidak diperkenankan. Malam itu, perintah dikeluarkan. Ribuan prajurit bersenjata lengkap bergerak keluar dari benteng Castelon, menuju desa-desa di utara yang sudah mulai jatuh ke tangan pemberontak. Cahaya obor mereka membelah kegelapan malam, seperti ular api yang menjalar di antara perbukitan. Sementara itu, jauh dari Castelon, di sebuah desa tersembunyi di utara, Elira dan kelompok pemberontaknya telah bersiap-siap menghadapi serangan pasukan kerajaan. Di sampingnya, Bayangan berdiri diam, menyelimuti dirinya dengan jubah gelapnya yang nyaris tak menampakkan tubuhnya di bawah cahaya bulan yang redup. “Mereka datang,” ujar Elira dengan suara tegang, matanya menatap ke kejauhan di mana kilatan cahaya obor mulai terlihat dari perbukitan. “Biarkan mereka datang,” jawab Bayangan dengan suara pelan namun tegas. “Kita akan siap menyambut mereka.” Bayangan melangkah maju, berdiri di depan para prajurit pemberontak yang berkumpul di sekitar tenda. Raut wajah mereka dipenuhi ketakutan, tapi juga keberanian yang lahir dari tekad yang kuat. Mereka tahu bahwa pertarungan ini bisa jadi menentukan nasib mereka, tapi dengan Bayangan di pihak mereka, harapan seakan bangkit dari reruntuhan. “Hari ini, kita tidak hanya bertempur untuk kebebasan,” ujar Bayangan dengan suara yang menggema di udara malam, “Kita bertempur untuk masa depan. Almarik tidak akan pernah mengerti arti dari kebebasan, tapi kita akan mengajarkannya dengan darah, dengan keberanian, dan dengan kehendak kita. Bersiaplah, karena malam ini, kita tidak akan menyerah. Kita akan merebut kembali apa yang seharusnya milik kita.” Para pemberontak mengangkat senjata mereka, meneriakkan sumpah setia untuk berperang sampai akhir. Bayangan mengangguk, lalu memutar tubuhnya dan menatap ke arah gerombolan pasukan kerajaan yang semakin mendekat. Di atas bukit, Valdrik melihat gerakan pasukan pemberontak yang mulai membentuk barisan pertahanan. “Mereka sudah siap, Yang Mulia,” lapornya kepada Almarik yang duduk di atas kudanya. Almarik menghunus pedangnya, pedang perak yang berkilauan di bawah cahaya bulan. “Hancurkan mereka. Jangan biarkan satupun dari mereka hidup.” Pertempuran segera dimulai. Pasukan Almarik menyerang dengan kekuatan penuh, sementara para pemberontak bertahan dengan segenap tenaga mereka. Pedang bertemu pedang, teriakan perang bergema di udara, dan darah mulai membasahi tanah yang dingin. Elira bertarung di garis depan, mengayunkan pedangnya dengan keterampilan yang mematikan. Sementara itu, Bayangan bergerak dengan cepat, seolah-olah dia tidak terikat oleh aturan dunia ini. Gerakannya halus, seperti bayangan, dan musuh-musuhnya jatuh sebelum mereka sempat menyadari kehadirannya. Namun, di tengah kekacauan itu, Valdrik melihat sesuatu yang tidak biasa. Bayangan bergerak terlalu cepat, terlalu licin untuk ditangkap oleh mata manusia biasa. Setiap kali prajurit kerajaan mencoba menebasnya, Bayangan sudah menghilang, hanya untuk muncul di tempat lain beberapa detik kemudian. “Ini bukan manusia biasa,” gumam Valdrik pada dirinya sendiri, matanya menyipit saat dia mencoba menganalisis gerakan Bayangan. Pertempuran semakin memanas. Pasukan kerajaan mulai terdesak, meskipun mereka memiliki jumlah yang jauh lebih besar. Setiap kali mereka mencoba memukul mundur pemberontak, Bayangan muncul, menghancurkan barisan mereka dengan gerakan yang tak terduga. Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Valdrik memutuskan untuk turun tangan sendiri. Dia mengeluarkan pedang besarnya, lalu maju dengan langkah mantap, memotong jalannya menuju pusat pertempuran di mana Bayangan sedang bertarung. Ketika mereka akhirnya berhadapan, dunia seolah-olah berhenti berputar. Kedua sosok itu saling menatap dalam keheningan, seolah-olah mereka sudah lama mengetahui bahwa saat ini akan tiba. “Siapa kau sebenarnya?” tanya Valdrik dengan suara rendah. Bayangan hanya tersenyum samar dari balik tudungnya. “Aku adalah apa yang kau takuti, Panglima. Aku adalah kekuatan yang akan menghancurkan segala tirani.” Valdrik tidak menunggu jawaban lebih lama. Dengan satu ayunan kuat, dia menyerang Bayangan, tetapi musuhnya sudah menghilang sebelum pedangnya bisa mengenai sasaran. Valdrik menyipitkan mata, mencoba membaca arah gerakan Bayangan, tetapi terlalu sulit. Bayangan bergerak seperti kilatan—tak terduga, cepat, dan mematikan. Pertarungan mereka menjadi pusat perhatian di medan perang, tetapi satu hal yang pasti: pertempuran ini tidak akan berakhir dengan mudah.Kerajaan Karstiel semakin terbelah antara tirani dan pemberontakan, namun kekuatan yang lebih dalam dan gelap mulai berperan. Di medan perang, di istana, dan di seluruh pelosok kerajaan, nasib semua orang bergantung pada permainan politik yang mematikan. Sementara itu, masyarakat berada di ambang kehancuran, merasakan dampak tirani yang semakin menyesakkan. Pertempuran di Tengah Kegelapan Bayangan malam turun dengan cepat di atas medan perang. Di tengah keributan prajurit yang terluka dan debu yang beterbangan, Elira berusaha mengendalikan situasi. Pasukan pemberontak masih bertahan, meskipun mereka kalah jumlah. Di dekatnya, Bayangan bergerak dengan ketenangan yang tak biasa, setiap langkahnya mematikan, setiap gerakannya tampak mengandung kekuatan yang tak bisa dijelaskan. Pertarungan antara Panglima Valdrik dan Bayangan berlangsung sengit. Valdrik, dengan pedang besar di tangan, terus menyerang, mencoba memojokkan lawannya. Namun, Bayangan melesat seperti angin, bergerak tanpa
Saat fajar mulai muncul, medan perang di luar Castelon terbungkus kabut tebal. Hening yang mencekam menggantikan hiruk-pikuk pertempuran malam sebelumnya. Di antara mayat-mayat yang berserakan, Bayangan berjalan perlahan. Setiap langkahnya seolah memisahkan dunia nyata dari sesuatu yang lebih gelap dan penuh misteri. Bayangan Kegelapan dan Kekuatan Ajaib Bayangan berdiri di puncak bukit, memandang ke arah medan pertempuran yang hancur di bawahnya. Elira mendekat, wajahnya penuh kelelahan, tetapi matanya masih menyala dengan api pemberontakan. “Kita berhasil menahan mereka malam ini,” ujar Elira. “Tapi aku tahu ini hanya permulaan. Pasukan Almarik tidak akan berhenti.” Bayangan tetap diam, memandangi langit yang mulai merah saat matahari terbit. “Aku bisa merasakan kekuatan yang lebih besar di balik semua ini, Elira. Bukan hanya Almarik yang menjadi ancaman.” Elira menyipitkan matanya. “Apa maksudmu?” “Ada sesuatu yang lebih tua, lebih gelap, yang sedang bangkit. Sesuatu yang tid
Matahari belum sepenuhnya terbit ketika suara genderang perang mulai bergema di kejauhan. Pasukan Almarik yang terluka kembali ke kota Castelon dalam keputusasaan. Namun, pertempuran di luar hanyalah permulaan dari permainan kekuasaan yang lebih besar, di mana sihir kuno, ambisi politik, dan kekacauan masyarakat bertemu.Kesepakatan Rahasia di Balik TiraiDi istana Castelon, Lord Valerian melangkah dengan langkah ringan menuju ruang rahasia tempat pertemuan yang sangat dinantikan akan segera berlangsung. Bayangan intrik politik semakin pekat saat Valerian mengatur pertemuan dengan Ratu Lyana. Ia tahu bahwa kekuatan Lyana, yang selama ini tersembunyi di bawah bayang-bayang Almarik, bisa menjadi kunci untuk menggulingkan raja tiran tersebut.Ketika Valerian memasuki ruangan, Lyana sudah menunggu. Wajahnya yang cantik terpahat dalam topeng ketenangan, tetapi di balik matanya, ada kekuatan yang tertahan."Kau datang," kata Lyana tanpa emosi, matanya menatap Valerian tajam."Aku selalu tah
Kabut tebal masih menyelimuti medan perang, namun di istana dan di antara rakyat jelata, keputusan-keputusan besar mulai diambil. Masing-masing pihak yang terlibat kini semakin dekat menuju takdir mereka yang akan menentukan masa depan kerajaan Karstiel.Perjalanan ke Jantung KegelapanElira bersama Bayangan Kegelapan memimpin sekelompok kecil prajurit pemberontak menuju perbatasan Castelon. Mereka kini tahu bahwa kunci untuk mengalahkan Almarik terletak di bawah istana, di dalam ruang rahasia tempat artefak sihir kuno disimpan.“Aku tak pernah berpikir kita akan sampai sejauh ini,” ujar Elira dengan suara rendah saat mereka mendekati hutan yang memisahkan perbatasan kota dan medan perang.Bayangan tetap diam, namun matanya terfokus pada jalan di depan. Dalam diamnya, Bayangan merasakan kehadiran sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang sedang mengintai dari balik kegelapan. “Jalan kita menuju istana tidak akan mudah. Almarik akan menjaga artefak itu dengan kekuatan penuh. Dan sihi
Kabut malam mulai turun ketika pasukan Elira, bersama Bayangan Kegelapan, berhasil mendekati tembok Castelon. Keheningan yang aneh menyelimuti medan, dan di atas mereka, istana Castelon menjulang, suram dan megah, bagai menunggu kehancuran yang akan datang. "Kita hampir sampai," ujar Bayangan Kegelapan dengan suara yang nyaris terdengar, mata tajamnya memindai sekeliling. "Namun di sini, kekuatan sihir Almarik paling kuat. Kita tidak boleh lengah." Elira mengangguk, merasakan ketegangan yang mencekam. Pasukannya tampak lelah, tetapi semangat mereka tetap menyala. Mereka tahu bahwa ini mungkin menjadi kesempatan terakhir untuk membebaskan Karstiel. Di dalam istana, situasi memanas. Valerian berjalan cepat melalui koridor menuju ruang pribadi Almarik, diikuti oleh beberapa pengawal setia. Dia telah memutuskan untuk mempercepat rencananya. Jika Almarik jatuh malam ini, Valerian bisa mengambil kendali sebelum pemberontak mencapai tembok istana. "Pastikan penjaga menggandakan kekua
Di bawah tanah istana Castelon, energi yang dilepaskan dari artefak kuno terus bergemuruh, membuat tembok-tembok di sekelilingnya bergetar hebat. Elira, Valerian, dan Lyana merasakan aura kekuatan yang begitu kuat dan liar, seperti angin badai yang tak terkendali. Bayangan Kegelapan berdiri di tengah-tengah, mantranya telah selesai, dan kini semua bergantung pada hasil dari sihir kuno yang mereka hadapi. "Kita harus memutuskan ini sekarang," ujar Valerian, suaranya keras namun gemetar, matanya tajam menatap Elira dan Bayangan. "Jika kita biarkan ini terus berlanjut, Karstiel akan runtuh bersamaan dengan kekuasaan Almarik." Elira menatap Valerian, lalu melihat ke arah Lyana yang berdiri dengan penuh wibawa. "Tidak ada yang akan berakhir dengan baik jika kekuasaan tetap ada di tangan kalian. Aku berjuang untuk kebebasan rakyat, bukan untuk takhta atau kekuasaan." "Dan apa yang akan terjadi setelah Almarik jatuh?" balas Lyana dengan nada sinis. "Rakyatmu akan terbagi, dipimpin oleh ke
Langit di atas Karstiel berwarna merah darah, dihiasi dengan kilatan-kilatan petir yang tidak alami. Istana Castelon yang megah, lambang kekuasaan mutlak Raja Almarik, mulai hancur sedikit demi sedikit. Namun, meskipun gemuruh kehancuran memenuhi udara, suasana penuh ketegangan di dalam istana justru semakin terasa.Di bawah tanah, di jantung kekuatan sihir kuno, Elira tersungkur di lantai berdebu, tubuhnya terasa berat, dan napasnya terengah-engah. Ledakan dari artefak telah mengguncang tubuhnya, membuat kesadaran hampir meninggalkannya. Namun, suara gemuruh dari dinding yang retak memaksanya membuka mata. Di depannya, Valerian berusaha bangkit dari reruntuhan, sementara Bayangan Kegelapan sudah tidak terlihat lagi."Kita tidak bisa tinggal di sini," gumam Elira dengan napas tersengal, meskipun kakinya masih gemetar saat mencoba berdiri. Tatapan matanya menyapu ruangan yang mulai hancur, menyadari bahwa waktu mereka hampir habis.Valerian, yang perlahan bangkit dengan tubuh berdarah,
Langit yang memerah kini penuh dengan petir biru yang tak henti-hentinya membelah udara, menyilaukan setiap mata yang menatapnya. Suasana Karstiel diliputi kekacauan. Di bawah kilatan-kilatan itu, Elira dan Valerian berlari menembus reruntuhan istana yang kian rapuh. Mereka tahu tak ada waktu untuk berdebat atau ragu. Setiap langkah adalah perjuangan menuju satu tujuan: menghentikan Lyana, yang kini menggenggam kekuatan kuno yang tak terbayangkan."Kita sudah dekat!" teriak Valerian di antara suara gemuruh kehancuran. Tubuhnya luka parah, darah mengalir di sekujur lengannya, tapi tekadnya tetap bulat. Elira bisa melihat sorotan tegas di matanya, meskipun beban pertempuran sebelumnya tampak jelas melemahkannya."Jangan berhenti! Jika kita biarkan dia terus menguasai kekuatan itu, Karstiel akan musnah," Elira balas dengan nada keras, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan. Apa yang Lyana lakukan bukan hanya akan menghancurkan musuh mereka—tetapi dunia yang telah mereka kenal.Di ujung loro