Share

bab 3: Kilatan Pedang Dan Sumpah Setia

Di puncak Menara Firdhan, yang menjulang di tengah-tengah Castelon, Raja Almarik IV berdiri memandang kerajaannya yang mulai retak. Dari ketinggian menara, ia bisa melihat kabut tebal yang menggantung di atas kota seperti kutukan yang tak berkesudahan. Di bawah, rakyatnya hidup dalam ketakutan, tercekik oleh pajak yang terus meningkat dan tentara yang berkeliaran dengan kekejaman.

Namun, bagi Almarik, ini hanyalah awal dari kekuasaannya. Selama musuh-musuhnya belum berhasil menggulingkannya, segala cara sah untuk mempertahankan tahta. Dan malam ini, ia akan membuat pergerakan yang menentukan.

Di balik Almarik, sosok tinggi tegap berjongkok dengan kepala tertunduk. Ia adalah Panglima Valdrik, komandan terkuat dan paling setia di antara pasukan kerajaan. Valdrik dikenal sebagai pria tanpa ampun, seorang ahli strategi militer yang tak pernah gagal dalam pertempuran.

“Pasukan telah bersiap, Yang Mulia,” ujar Valdrik dengan nada dingin.

Almarik berbalik, menatap Panglimanya dengan mata tajam. “Bagus. Kita akan menghancurkan mereka semua sebelum mereka bisa menggerakkan pasukan lebih jauh ke dalam wilayah kita. Pemberontakan ini harus dipadamkan sebelum semakin meluas.”

Valdrik mengangguk. “Tapi ada sesuatu yang perlu kau ketahui, Yang Mulia. Orang-orang mulai berbicara tentang seorang pemimpin baru di pihak pemberontak. Mereka menyebutnya Bayangan.”

Nama itu membuat Almarik terdiam sejenak. “Bayangan?” gumamnya, seolah-olah mencoba mencerna arti dari nama itu. “Siapa dia?”

“Tak ada yang tahu pasti, tapi dia sudah mulai menyatukan semua pemberontak di bawah panji yang sama. Mereka mengatakan bahwa dia memiliki kekuatan yang belum pernah kita lihat sebelumnya, kekuatan yang berasal dari kegelapan.”

Almarik tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh dengan rasa sinis. “Tidak ada yang bisa melawan kekuatanku. Jika Bayangan ini memang ada, dia akan hancur seperti yang lainnya.”

Panglima Valdrik mengangguk lagi, tetapi dia tahu bahwa Almarik sedang meremehkan ancaman yang nyata. Selama bertahun-tahun, Valdrik telah mempelajari banyak musuh, dan sosok yang bergerak dalam bayang-bayang seperti Bayangan bisa menjadi ancaman yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar pemberontak bersenjata. Namun, ia tidak berbicara lebih jauh. Di hadapan Almarik, keraguan tidak diperkenankan.

Malam itu, perintah dikeluarkan. Ribuan prajurit bersenjata lengkap bergerak keluar dari benteng Castelon, menuju desa-desa di utara yang sudah mulai jatuh ke tangan pemberontak. Cahaya obor mereka membelah kegelapan malam, seperti ular api yang menjalar di antara perbukitan.

Sementara itu, jauh dari Castelon, di sebuah desa tersembunyi di utara, Elira dan kelompok pemberontaknya telah bersiap-siap menghadapi serangan pasukan kerajaan. Di sampingnya, Bayangan berdiri diam, menyelimuti dirinya dengan jubah gelapnya yang nyaris tak menampakkan tubuhnya di bawah cahaya bulan yang redup.

“Mereka datang,” ujar Elira dengan suara tegang, matanya menatap ke kejauhan di mana kilatan cahaya obor mulai terlihat dari perbukitan.

“Biarkan mereka datang,” jawab Bayangan dengan suara pelan namun tegas. “Kita akan siap menyambut mereka.”

Bayangan melangkah maju, berdiri di depan para prajurit pemberontak yang berkumpul di sekitar tenda. Raut wajah mereka dipenuhi ketakutan, tapi juga keberanian yang lahir dari tekad yang kuat. Mereka tahu bahwa pertarungan ini bisa jadi menentukan nasib mereka, tapi dengan Bayangan di pihak mereka, harapan seakan bangkit dari reruntuhan.

“Hari ini, kita tidak hanya bertempur untuk kebebasan,” ujar Bayangan dengan suara yang menggema di udara malam, “Kita bertempur untuk masa depan. Almarik tidak akan pernah mengerti arti dari kebebasan, tapi kita akan mengajarkannya dengan darah, dengan keberanian, dan dengan kehendak kita. Bersiaplah, karena malam ini, kita tidak akan menyerah. Kita akan merebut kembali apa yang seharusnya milik kita.”

Para pemberontak mengangkat senjata mereka, meneriakkan sumpah setia untuk berperang sampai akhir. Bayangan mengangguk, lalu memutar tubuhnya dan menatap ke arah gerombolan pasukan kerajaan yang semakin mendekat.

Di atas bukit, Valdrik melihat gerakan pasukan pemberontak yang mulai membentuk barisan pertahanan. “Mereka sudah siap, Yang Mulia,” lapornya kepada Almarik yang duduk di atas kudanya.

Almarik menghunus pedangnya, pedang perak yang berkilauan di bawah cahaya bulan. “Hancurkan mereka. Jangan biarkan satupun dari mereka hidup.”

Pertempuran segera dimulai. Pasukan Almarik menyerang dengan kekuatan penuh, sementara para pemberontak bertahan dengan segenap tenaga mereka. Pedang bertemu pedang, teriakan perang bergema di udara, dan darah mulai membasahi tanah yang dingin. Elira bertarung di garis depan, mengayunkan pedangnya dengan keterampilan yang mematikan. Sementara itu, Bayangan bergerak dengan cepat, seolah-olah dia tidak terikat oleh aturan dunia ini. Gerakannya halus, seperti bayangan, dan musuh-musuhnya jatuh sebelum mereka sempat menyadari kehadirannya.

Namun, di tengah kekacauan itu, Valdrik melihat sesuatu yang tidak biasa. Bayangan bergerak terlalu cepat, terlalu licin untuk ditangkap oleh mata manusia biasa. Setiap kali prajurit kerajaan mencoba menebasnya, Bayangan sudah menghilang, hanya untuk muncul di tempat lain beberapa detik kemudian.

“Ini bukan manusia biasa,” gumam Valdrik pada dirinya sendiri, matanya menyipit saat dia mencoba menganalisis gerakan Bayangan.

Pertempuran semakin memanas. Pasukan kerajaan mulai terdesak, meskipun mereka memiliki jumlah yang jauh lebih besar. Setiap kali mereka mencoba memukul mundur pemberontak, Bayangan muncul, menghancurkan barisan mereka dengan gerakan yang tak terduga.

Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Valdrik memutuskan untuk turun tangan sendiri. Dia mengeluarkan pedang besarnya, lalu maju dengan langkah mantap, memotong jalannya menuju pusat pertempuran di mana Bayangan sedang bertarung.

Ketika mereka akhirnya berhadapan, dunia seolah-olah berhenti berputar. Kedua sosok itu saling menatap dalam keheningan, seolah-olah mereka sudah lama mengetahui bahwa saat ini akan tiba.

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Valdrik dengan suara rendah.

Bayangan hanya tersenyum samar dari balik tudungnya. “Aku adalah apa yang kau takuti, Panglima. Aku adalah kekuatan yang akan menghancurkan segala tirani.”

Valdrik tidak menunggu jawaban lebih lama. Dengan satu ayunan kuat, dia menyerang Bayangan, tetapi musuhnya sudah menghilang sebelum pedangnya bisa mengenai sasaran. Valdrik menyipitkan mata, mencoba membaca arah gerakan Bayangan, tetapi terlalu sulit. Bayangan bergerak seperti kilatan—tak terduga, cepat, dan mematikan.

Pertarungan mereka menjadi pusat perhatian di medan perang, tetapi satu hal yang pasti: pertempuran ini tidak akan berakhir dengan mudah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status