Share

7. Persimpangan Takdir

Kabut tebal masih menyelimuti medan perang, namun di istana dan di antara rakyat jelata, keputusan-keputusan besar mulai diambil. Masing-masing pihak yang terlibat kini semakin dekat menuju takdir mereka yang akan menentukan masa depan kerajaan Karstiel.

Perjalanan ke Jantung Kegelapan

Elira bersama Bayangan Kegelapan memimpin sekelompok kecil prajurit pemberontak menuju perbatasan Castelon. Mereka kini tahu bahwa kunci untuk mengalahkan Almarik terletak di bawah istana, di dalam ruang rahasia tempat artefak sihir kuno disimpan.

“Aku tak pernah berpikir kita akan sampai sejauh ini,” ujar Elira dengan suara rendah saat mereka mendekati hutan yang memisahkan perbatasan kota dan medan perang.

Bayangan tetap diam, namun matanya terfokus pada jalan di depan. Dalam diamnya, Bayangan merasakan kehadiran sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang sedang mengintai dari balik kegelapan. “Jalan kita menuju istana tidak akan mudah. Almarik akan menjaga artefak itu dengan kekuatan penuh. Dan sihir kuno yang kita lawan bukanlah sesuatu yang bisa dihancurkan dengan senjata biasa.”

Elira mengangguk. “Apa yang harus kita lakukan ketika kita sampai di sana? Jika sihir itu begitu kuat, bagaimana kita bisa menghancurkannya?”

Bayangan berhenti sejenak. “Ada ritual kuno yang bisa memutuskan hubungan antara artefak dan penggunanya. Aku tahu caranya, tapi aku membutuhkan waktumu untuk melakukannya. Sementara itu, kau dan pasukanmu harus menahan mereka yang menjaga istana.”

Elira mengerti. Pertarungan fisik di luar istana hanya menjadi pengalih perhatian untuk memungkinkan Bayangan melakukan tugasnya. “Jika kita berhasil,” pikir Elira, “Almarik akan kehilangan kekuatannya dan kita bisa mengakhiri tiraninya.”

Perjalanan mereka terus berlanjut ke arah istana, melewati jalan setapak yang semakin berbahaya. Di setiap langkah, Elira merasakan ketegangan semakin meningkat. Di balik pepohonan, suara-suara aneh terdengar—seperti bisikan dari kegelapan.

“Siapakah yang menguasai sihir ini?” tanya Elira tiba-tiba.

Bayangan menoleh, tatapannya penuh kewaspadaan. “Sihir ini lebih tua dari Almarik. Sumbernya berasal dari Zaman Pertama, ketika para penguasa dunia menggunakan kekuatan yang bahkan para dewa pun takut untuk memegangnya. Almarik hanyalah pengguna, tapi kekuatan di baliknya lebih tua, lebih berbahaya.”

Elira merasa ketakutan, tapi tidak ada jalan mundur lagi. Mereka sudah terlalu jauh.

Pemberontakan di Dalam Istana

Sementara itu, di dalam istana, Valerian melangkah dengan keyakinan menuju ruangan rahasia di mana Ratu Lyana menunggu. Mereka telah menyiapkan skenario penggulingan Almarik dengan cermat. Namun, tak seorang pun dari mereka yang tahu bahwa di luar istana, kekuatan yang lebih besar sedang bersiap untuk menantang mereka semua.

“Semua sudah diatur,” kata Valerian ketika memasuki ruangan yang diselimuti tirai gelap. “Pasukan kita akan bergerak malam ini. Ketika Almarik sibuk dengan pertempuran di luar, kita akan memanfaatkan kekacauan itu untuk mengambil alih.”

Lyana duduk di kursi besar, wajahnya tenang namun penuh perhitungan. “Bagus,” katanya lembut. “Tapi pastikan tidak ada kesalahan, Valerian. Jika rencana ini gagal, kita semua akan mati.”

Valerian mengangguk. “Almarik tidak menyadari pengkhianatan kita. Para bangsawan sudah dipersiapkan. Ketika waktunya tiba, mereka akan bersamamu. Yang perlu kau lakukan hanyalah memberikan sinyal.”

Namun, sebelum mereka sempat membicarakan lebih jauh, pintu ruangan terbuka dan seorang pelayan tergesa-gesa masuk. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar.

“Yang Mulia, ada kabar buruk,” katanya sambil membungkuk. “Pemberontak telah menyusup ke perbatasan Castelon. Mereka menuju ke arah istana.”

Wajah Lyana menegang seketika. “Bagaimana bisa mereka begitu dekat? Pasukan Almarik seharusnya menjaga perbatasan.”

Valerian mengerutkan kening. “Ini lebih cepat dari yang kita perkirakan. Kita harus mempercepat rencana kita.”

Lyana bangkit dari kursinya dengan anggun namun tegas. “Siapkan semua. Malam ini, Almarik akan jatuh, dan pemberontak itu akan menemukan istana dalam kendali kita.”

Namun, di dalam hati, Lyana merasa ada sesuatu yang salah. Pemberontak terlalu cepat. Dia merasakan bayangan ancaman yang lebih besar dari sekadar pasukan pemberontak biasa.

Rakyat yang Bangkit dari Keterpurukan

Di luar tembok istana, kondisi rakyat semakin memburuk. Di tengah kekacauan yang melanda kota, suara pemberontakan mulai terdengar di setiap sudut. Rakyat yang selama ini hidup dalam ketakutan mulai kehilangan rasa takut mereka, digantikan oleh kemarahan yang telah lama terpendam.

Karina dan Mikal, yang sebelumnya ragu untuk melarikan diri, kini berada di tengah kerumunan yang semakin besar. Mereka berkumpul di alun-alun kota di mana sebuah api besar dinyalakan, simbol perlawanan mereka terhadap kekuasaan Almarik.

“Kita tidak bisa terus hidup di bawah penindasan ini!” teriak seorang pria tua dari depan kerumunan. “Almarik telah menghancurkan hidup kita, dan jika kita tidak bertindak sekarang, kita semua akan mati dalam penderitaan!”

Sorakan keras menggema di antara rakyat jelata, termasuk Karina dan Mikal. Mikal, yang sebelumnya pesimis, kini merasa semangat pemberontakan mulai membakar dalam dirinya.

“Ini saatnya,” katanya kepada Karina. “Kita tidak bisa hanya menunggu nasib. Kita harus berjuang.”

Karina menggenggam tangan suaminya, merasakan hal yang sama. “Benar. Ini adalah kesempatan kita untuk mengubah segalanya.”

Namun, di antara sorakan dan semangat perlawanan, bayangan tentara Almarik muncul di ujung jalan. Mereka datang dengan wajah dingin, siap meredam pemberontakan ini dengan kekerasan.

Mikal melihat ke arah tentara itu dan kemudian menoleh ke Karina. “Kita harus pergi sekarang, atau kita akan mati di sini.”

Tapi Karina tetap berdiri tegak. “Tidak. Aku tidak akan lari lagi. Kita harus melawan.”

Sorakan perlawanan semakin membesar saat tentara mendekat. Api pemberontakan telah menyala, dan tidak ada yang bisa menghentikannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status