Kabut tebal masih menyelimuti medan perang, namun di istana dan di antara rakyat jelata, keputusan-keputusan besar mulai diambil. Masing-masing pihak yang terlibat kini semakin dekat menuju takdir mereka yang akan menentukan masa depan kerajaan Karstiel.
Perjalanan ke Jantung Kegelapan Elira bersama Bayangan Kegelapan memimpin sekelompok kecil prajurit pemberontak menuju perbatasan Castelon. Mereka kini tahu bahwa kunci untuk mengalahkan Almarik terletak di bawah istana, di dalam ruang rahasia tempat artefak sihir kuno disimpan. “Aku tak pernah berpikir kita akan sampai sejauh ini,” ujar Elira dengan suara rendah saat mereka mendekati hutan yang memisahkan perbatasan kota dan medan perang. Bayangan tetap diam, namun matanya terfokus pada jalan di depan. Dalam diamnya, Bayangan merasakan kehadiran sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang sedang mengintai dari balik kegelapan. “Jalan kita menuju istana tidak akan mudah. Almarik akan menjaga artefak itu dengan kekuatan penuh. Dan sihir kuno yang kita lawan bukanlah sesuatu yang bisa dihancurkan dengan senjata biasa.” Elira mengangguk. “Apa yang harus kita lakukan ketika kita sampai di sana? Jika sihir itu begitu kuat, bagaimana kita bisa menghancurkannya?” Bayangan berhenti sejenak. “Ada ritual kuno yang bisa memutuskan hubungan antara artefak dan penggunanya. Aku tahu caranya, tapi aku membutuhkan waktumu untuk melakukannya. Sementara itu, kau dan pasukanmu harus menahan mereka yang menjaga istana.” Elira mengerti. Pertarungan fisik di luar istana hanya menjadi pengalih perhatian untuk memungkinkan Bayangan melakukan tugasnya. “Jika kita berhasil,” pikir Elira, “Almarik akan kehilangan kekuatannya dan kita bisa mengakhiri tiraninya.” Perjalanan mereka terus berlanjut ke arah istana, melewati jalan setapak yang semakin berbahaya. Di setiap langkah, Elira merasakan ketegangan semakin meningkat. Di balik pepohonan, suara-suara aneh terdengar—seperti bisikan dari kegelapan. “Siapakah yang menguasai sihir ini?” tanya Elira tiba-tiba. Bayangan menoleh, tatapannya penuh kewaspadaan. “Sihir ini lebih tua dari Almarik. Sumbernya berasal dari Zaman Pertama, ketika para penguasa dunia menggunakan kekuatan yang bahkan para dewa pun takut untuk memegangnya. Almarik hanyalah pengguna, tapi kekuatan di baliknya lebih tua, lebih berbahaya.” Elira merasa ketakutan, tapi tidak ada jalan mundur lagi. Mereka sudah terlalu jauh. Pemberontakan di Dalam Istana Sementara itu, di dalam istana, Valerian melangkah dengan keyakinan menuju ruangan rahasia di mana Ratu Lyana menunggu. Mereka telah menyiapkan skenario penggulingan Almarik dengan cermat. Namun, tak seorang pun dari mereka yang tahu bahwa di luar istana, kekuatan yang lebih besar sedang bersiap untuk menantang mereka semua. “Semua sudah diatur,” kata Valerian ketika memasuki ruangan yang diselimuti tirai gelap. “Pasukan kita akan bergerak malam ini. Ketika Almarik sibuk dengan pertempuran di luar, kita akan memanfaatkan kekacauan itu untuk mengambil alih.” Lyana duduk di kursi besar, wajahnya tenang namun penuh perhitungan. “Bagus,” katanya lembut. “Tapi pastikan tidak ada kesalahan, Valerian. Jika rencana ini gagal, kita semua akan mati.” Valerian mengangguk. “Almarik tidak menyadari pengkhianatan kita. Para bangsawan sudah dipersiapkan. Ketika waktunya tiba, mereka akan bersamamu. Yang perlu kau lakukan hanyalah memberikan sinyal.” Namun, sebelum mereka sempat membicarakan lebih jauh, pintu ruangan terbuka dan seorang pelayan tergesa-gesa masuk. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. “Yang Mulia, ada kabar buruk,” katanya sambil membungkuk. “Pemberontak telah menyusup ke perbatasan Castelon. Mereka menuju ke arah istana.” Wajah Lyana menegang seketika. “Bagaimana bisa mereka begitu dekat? Pasukan Almarik seharusnya menjaga perbatasan.” Valerian mengerutkan kening. “Ini lebih cepat dari yang kita perkirakan. Kita harus mempercepat rencana kita.” Lyana bangkit dari kursinya dengan anggun namun tegas. “Siapkan semua. Malam ini, Almarik akan jatuh, dan pemberontak itu akan menemukan istana dalam kendali kita.” Namun, di dalam hati, Lyana merasa ada sesuatu yang salah. Pemberontak terlalu cepat. Dia merasakan bayangan ancaman yang lebih besar dari sekadar pasukan pemberontak biasa. Rakyat yang Bangkit dari Keterpurukan Di luar tembok istana, kondisi rakyat semakin memburuk. Di tengah kekacauan yang melanda kota, suara pemberontakan mulai terdengar di setiap sudut. Rakyat yang selama ini hidup dalam ketakutan mulai kehilangan rasa takut mereka, digantikan oleh kemarahan yang telah lama terpendam. Karina dan Mikal, yang sebelumnya ragu untuk melarikan diri, kini berada di tengah kerumunan yang semakin besar. Mereka berkumpul di alun-alun kota di mana sebuah api besar dinyalakan, simbol perlawanan mereka terhadap kekuasaan Almarik. “Kita tidak bisa terus hidup di bawah penindasan ini!” teriak seorang pria tua dari depan kerumunan. “Almarik telah menghancurkan hidup kita, dan jika kita tidak bertindak sekarang, kita semua akan mati dalam penderitaan!” Sorakan keras menggema di antara rakyat jelata, termasuk Karina dan Mikal. Mikal, yang sebelumnya pesimis, kini merasa semangat pemberontakan mulai membakar dalam dirinya. “Ini saatnya,” katanya kepada Karina. “Kita tidak bisa hanya menunggu nasib. Kita harus berjuang.” Karina menggenggam tangan suaminya, merasakan hal yang sama. “Benar. Ini adalah kesempatan kita untuk mengubah segalanya.” Namun, di antara sorakan dan semangat perlawanan, bayangan tentara Almarik muncul di ujung jalan. Mereka datang dengan wajah dingin, siap meredam pemberontakan ini dengan kekerasan. Mikal melihat ke arah tentara itu dan kemudian menoleh ke Karina. “Kita harus pergi sekarang, atau kita akan mati di sini.” Tapi Karina tetap berdiri tegak. “Tidak. Aku tidak akan lari lagi. Kita harus melawan.” Sorakan perlawanan semakin membesar saat tentara mendekat. Api pemberontakan telah menyala, dan tidak ada yang bisa menghentikannya.Kabut malam mulai turun ketika pasukan Elira, bersama Bayangan Kegelapan, berhasil mendekati tembok Castelon. Keheningan yang aneh menyelimuti medan, dan di atas mereka, istana Castelon menjulang, suram dan megah, bagai menunggu kehancuran yang akan datang. "Kita hampir sampai," ujar Bayangan Kegelapan dengan suara yang nyaris terdengar, mata tajamnya memindai sekeliling. "Namun di sini, kekuatan sihir Almarik paling kuat. Kita tidak boleh lengah." Elira mengangguk, merasakan ketegangan yang mencekam. Pasukannya tampak lelah, tetapi semangat mereka tetap menyala. Mereka tahu bahwa ini mungkin menjadi kesempatan terakhir untuk membebaskan Karstiel. Di dalam istana, situasi memanas. Valerian berjalan cepat melalui koridor menuju ruang pribadi Almarik, diikuti oleh beberapa pengawal setia. Dia telah memutuskan untuk mempercepat rencananya. Jika Almarik jatuh malam ini, Valerian bisa mengambil kendali sebelum pemberontak mencapai tembok istana. "Pastikan penjaga menggandakan kekua
Di bawah tanah istana Castelon, energi yang dilepaskan dari artefak kuno terus bergemuruh, membuat tembok-tembok di sekelilingnya bergetar hebat. Elira, Valerian, dan Lyana merasakan aura kekuatan yang begitu kuat dan liar, seperti angin badai yang tak terkendali. Bayangan Kegelapan berdiri di tengah-tengah, mantranya telah selesai, dan kini semua bergantung pada hasil dari sihir kuno yang mereka hadapi. "Kita harus memutuskan ini sekarang," ujar Valerian, suaranya keras namun gemetar, matanya tajam menatap Elira dan Bayangan. "Jika kita biarkan ini terus berlanjut, Karstiel akan runtuh bersamaan dengan kekuasaan Almarik." Elira menatap Valerian, lalu melihat ke arah Lyana yang berdiri dengan penuh wibawa. "Tidak ada yang akan berakhir dengan baik jika kekuasaan tetap ada di tangan kalian. Aku berjuang untuk kebebasan rakyat, bukan untuk takhta atau kekuasaan." "Dan apa yang akan terjadi setelah Almarik jatuh?" balas Lyana dengan nada sinis. "Rakyatmu akan terbagi, dipimpin oleh ke
Langit di atas Karstiel berwarna merah darah, dihiasi dengan kilatan-kilatan petir yang tidak alami. Istana Castelon yang megah, lambang kekuasaan mutlak Raja Almarik, mulai hancur sedikit demi sedikit. Namun, meskipun gemuruh kehancuran memenuhi udara, suasana penuh ketegangan di dalam istana justru semakin terasa.Di bawah tanah, di jantung kekuatan sihir kuno, Elira tersungkur di lantai berdebu, tubuhnya terasa berat, dan napasnya terengah-engah. Ledakan dari artefak telah mengguncang tubuhnya, membuat kesadaran hampir meninggalkannya. Namun, suara gemuruh dari dinding yang retak memaksanya membuka mata. Di depannya, Valerian berusaha bangkit dari reruntuhan, sementara Bayangan Kegelapan sudah tidak terlihat lagi."Kita tidak bisa tinggal di sini," gumam Elira dengan napas tersengal, meskipun kakinya masih gemetar saat mencoba berdiri. Tatapan matanya menyapu ruangan yang mulai hancur, menyadari bahwa waktu mereka hampir habis.Valerian, yang perlahan bangkit dengan tubuh berdarah,
Langit yang memerah kini penuh dengan petir biru yang tak henti-hentinya membelah udara, menyilaukan setiap mata yang menatapnya. Suasana Karstiel diliputi kekacauan. Di bawah kilatan-kilatan itu, Elira dan Valerian berlari menembus reruntuhan istana yang kian rapuh. Mereka tahu tak ada waktu untuk berdebat atau ragu. Setiap langkah adalah perjuangan menuju satu tujuan: menghentikan Lyana, yang kini menggenggam kekuatan kuno yang tak terbayangkan."Kita sudah dekat!" teriak Valerian di antara suara gemuruh kehancuran. Tubuhnya luka parah, darah mengalir di sekujur lengannya, tapi tekadnya tetap bulat. Elira bisa melihat sorotan tegas di matanya, meskipun beban pertempuran sebelumnya tampak jelas melemahkannya."Jangan berhenti! Jika kita biarkan dia terus menguasai kekuatan itu, Karstiel akan musnah," Elira balas dengan nada keras, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan. Apa yang Lyana lakukan bukan hanya akan menghancurkan musuh mereka—tetapi dunia yang telah mereka kenal.Di ujung loro
Di tengah reruntuhan istana Karstiel, kabut tebal yang gelap mulai melayang dari gulungan kuno yang dipegang Lyana. Cahaya suram memancar dari gulungan itu, memantulkan kegelapan yang menelan ruangan dan sekitarnya. Udara di sekitar mulai terasa berat, seperti tarikan napas terakhir dunia yang sekarat. Kegelapan ini bukanlah sihir biasa; ini adalah kekuatan purba yang telah lama tersembunyi, menunggu saat untuk dibangkitkan. Rehan, Valerian, dan Sorrel berdiri berjajar di depan Lyana, merasakan getaran gelap yang keluar dari dirinya. Meski mereka telah melalui pertempuran yang berat, kini tantangan di hadapan mereka terasa jauh lebih mengerikan. Kekuasaan yang dimiliki Lyana kini tak lagi hanya tentang sihir kuno yang dia ambil dari kristal, melainkan sesuatu yang lebih dalam dan lebih jahat. "Apa ini?" tanya Valerian, napasnya tersengal, matanya tak lepas dari gulungan yang dipegang Lyana. "Ini bukan kekuatan sihir biasa," jawab Sorrel dengan ketegangan yang tak bisa ia sembunyika
Saat debu dari ledakan itu perlahan-lahan turun, istana Karstiel kini menjadi bayangan dari kebesarannya. Dinding yang dulu megah kini runtuh, dan suasana di sekeliling berubah sunyi—hanya suara langkah kaki dan angin yang menyapu sisa-sisa reruntuhan. Di tengah kekacauan ini, sisa-sisa sihir masih menggantung di udara seperti bayangan tak kasat mata, mengisyaratkan peristiwa besar yang baru saja terjadi. Elira terduduk di lantai, tubuhnya penuh luka. Dia menatap langit yang kini kembali gelap, seolah kekuatan sihir yang besar telah hilang dari dunia. Valerian berada di dekatnya, memegangi sisi tubuhnya yang terluka, namun tatapan matanya tidak lepas dari tubuh Lyana yang kini tergeletak di tengah ruangan. "Kita berhasil?" Elira bertanya dengan napas tersengal, masih sulit percaya bahwa semuanya telah berakhir. Valerian menatap Lyana yang tak bergerak, wajahnya kini tanpa aura kekuasaan. "Kristal itu hancur. Dia... tak punya kekuatan lagi." Namun, meskipun dia mengatakan itu, ada k
Setelah jatuhnya Lyana dan gulungan kegelapan yang hancur, suasana istana Karstiel yang porak-poranda terasa sunyi. Tidak ada lagi gemuruh pertempuran, dan langit yang sebelumnya gelap mulai terbuka sedikit, menampakkan secercah cahaya matahari yang enggan muncul. Namun, meskipun langit mulai cerah, hati rakyat Karstiel masih dibayangi oleh peristiwa yang baru saja terjadi.Di tengah reruntuhan istana, Valerian berdiri dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Dia menatap sisa-sisa kekuasaan Lyana yang kini tak berarti. Di sebelahnya, Elira terlihat pucat, duduk dengan napas berat. Meskipun kemenangan telah diraih, keduanya tahu bahwa ini hanyalah awal dari tantangan baru yang jauh lebih berat."Apa sekarang sudah berakhir?" tanya Elira, suaranya hampir seperti bisikan.Valerian tidak segera menjawab. Dia menatap reruntuhan istana dan sisa-sisa pasukan rakyat yang berkumpul di luar. "Mungkin pertempuran ini telah berakhir," jawabnya pelan, "tapi apa yang akan datang setelah ini... aku tidak
Sore yang tenang di Karstiel dirusak oleh suara perdebatan dari pusat kota, di mana rakyat, tentara, dan berbagai faksi berkumpul untuk memutuskan masa depan kerajaan. Sekilas, Karstiel tampak damai setelah kekalahan Lyana, tetapi di balik permukaan, kekacauan mulai berakar. Rehan dan Sorrel duduk bersama dalam sebuah pertemuan di balai kota yang sementara berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Mereka dikelilingi oleh beberapa tokoh berpengaruh dari berbagai faksi—baik rakyat biasa, pemimpin militer, hingga para pedagang dan bangsawan kecil yang selamat dari pertumpahan darah. Sorrel membuka diskusi dengan nada penuh ketegasan, "Kita tidak bisa membiarkan Karstiel jatuh ke dalam anarki. Kita butuh struktur yang baru—sistem yang adil bagi semua, bukan lagi kerajaan absolut yang memeras rakyatnya." Seorang pedagang yang duduk di seberang meja, Lorn, mengangguk setuju. "Kami para pedagang setuju bahwa kekuasaan harus disebar. Sumber daya kota ini harus dikelola untuk kepentingan bersam