Saat debu dari ledakan itu perlahan-lahan turun, istana Karstiel kini menjadi bayangan dari kebesarannya. Dinding yang dulu megah kini runtuh, dan suasana di sekeliling berubah sunyi—hanya suara langkah kaki dan angin yang menyapu sisa-sisa reruntuhan. Di tengah kekacauan ini, sisa-sisa sihir masih menggantung di udara seperti bayangan tak kasat mata, mengisyaratkan peristiwa besar yang baru saja terjadi. Elira terduduk di lantai, tubuhnya penuh luka. Dia menatap langit yang kini kembali gelap, seolah kekuatan sihir yang besar telah hilang dari dunia. Valerian berada di dekatnya, memegangi sisi tubuhnya yang terluka, namun tatapan matanya tidak lepas dari tubuh Lyana yang kini tergeletak di tengah ruangan. "Kita berhasil?" Elira bertanya dengan napas tersengal, masih sulit percaya bahwa semuanya telah berakhir. Valerian menatap Lyana yang tak bergerak, wajahnya kini tanpa aura kekuasaan. "Kristal itu hancur. Dia... tak punya kekuatan lagi." Namun, meskipun dia mengatakan itu, ada k
Setelah jatuhnya Lyana dan gulungan kegelapan yang hancur, suasana istana Karstiel yang porak-poranda terasa sunyi. Tidak ada lagi gemuruh pertempuran, dan langit yang sebelumnya gelap mulai terbuka sedikit, menampakkan secercah cahaya matahari yang enggan muncul. Namun, meskipun langit mulai cerah, hati rakyat Karstiel masih dibayangi oleh peristiwa yang baru saja terjadi.Di tengah reruntuhan istana, Valerian berdiri dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Dia menatap sisa-sisa kekuasaan Lyana yang kini tak berarti. Di sebelahnya, Elira terlihat pucat, duduk dengan napas berat. Meskipun kemenangan telah diraih, keduanya tahu bahwa ini hanyalah awal dari tantangan baru yang jauh lebih berat."Apa sekarang sudah berakhir?" tanya Elira, suaranya hampir seperti bisikan.Valerian tidak segera menjawab. Dia menatap reruntuhan istana dan sisa-sisa pasukan rakyat yang berkumpul di luar. "Mungkin pertempuran ini telah berakhir," jawabnya pelan, "tapi apa yang akan datang setelah ini... aku tidak
Sore yang tenang di Karstiel dirusak oleh suara perdebatan dari pusat kota, di mana rakyat, tentara, dan berbagai faksi berkumpul untuk memutuskan masa depan kerajaan. Sekilas, Karstiel tampak damai setelah kekalahan Lyana, tetapi di balik permukaan, kekacauan mulai berakar. Rehan dan Sorrel duduk bersama dalam sebuah pertemuan di balai kota yang sementara berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Mereka dikelilingi oleh beberapa tokoh berpengaruh dari berbagai faksi—baik rakyat biasa, pemimpin militer, hingga para pedagang dan bangsawan kecil yang selamat dari pertumpahan darah. Sorrel membuka diskusi dengan nada penuh ketegasan, "Kita tidak bisa membiarkan Karstiel jatuh ke dalam anarki. Kita butuh struktur yang baru—sistem yang adil bagi semua, bukan lagi kerajaan absolut yang memeras rakyatnya." Seorang pedagang yang duduk di seberang meja, Lorn, mengangguk setuju. "Kami para pedagang setuju bahwa kekuasaan harus disebar. Sumber daya kota ini harus dikelola untuk kepentingan bersam
Di tengah malam yang semakin pekat, kota Karstiel terasa sunyi namun penuh kegelisahan. Asap dari gudang yang terbakar belum sepenuhnya lenyap dari udara, mengingatkan setiap penduduk bahwa kelaparan semakin dekat. Di alun-alun kota, para prajurit berpatroli dengan tatapan waspada. Di satu sisi, mereka bersiap untuk menghadapi potensi pemberontakan dari rakyat yang putus asa; di sisi lain, mereka tahu bahwa ancaman sesungguhnya datang dari tempat yang lebih dalam—kegelapan yang tak terlihat.Di tengah istana yang rusak, Rehan duduk di ruangan pertemuan, wajahnya lelah. Di hadapannya, tergeletak berbagai laporan tentang kekacauan yang semakin memburuk di seluruh negeri. Kelaparan mulai memunculkan kerusuhan kecil di berbagai desa. Berita tentang sabotase Lady Thalia dan Lord Garren semakin menguat, tapi bukti nyata sulit didapat. Mereka memainkan permainan politik dari balik layar, dan semakin banyak rakyat yang mulai terpengaruh oleh propaganda mereka.Sorrel berdiri di samping peta b
Keesokan harinya, kabut tebal menyelimuti Karstiel, seolah alam pun bersekongkol untuk menyembunyikan apa yang akan terjadi. Di dalam istana, persiapan perang dimulai. Sorrel mengatur pasukan dengan disiplin keras, matanya penuh kewaspadaan. Meskipun pasukan Rehan tampak kuat, Sorrel tahu bahwa mereka telah kehilangan banyak dalam beberapa bulan terakhir. Kekalahan bukan hanya soal jumlah prajurit, tetapi juga soal semangat yang kian pudar.Sementara itu, Rehan dan Elira sedang membicarakan strategi yang lebih besar. Mereka tahu bahwa masalah ini tak bisa hanya dihadapi dengan kekuatan fisik. Kegelapan yang sedang bangkit di Karstiel lebih licik dan lebih kuat dari yang pernah mereka duga."Kita tidak punya banyak waktu, Elira," kata Rehan dengan nada datar, namun penuh tekanan. "Kalau kita terus menunggu, kita hanya memberi kesempatan pada musuh untuk semakin memperkuat cengkeraman mereka."Elira menatap peta kuno di depannya, berusaha mencari jawaban dalam simbol-simbol magis yang t
Pagi di Karstiel dimulai dengan gemuruh yang tidak biasa. Matahari masih belum sepenuhnya muncul di cakrawala, namun ketegangan di ibu kota kerajaan sudah terasa di setiap sudut jalan. Pasukan Rehan bersiap menghadapi ancaman yang semakin dekat, tidak hanya dari kekuatan politik yang merebak, tetapi juga dari ancaman magis yang tak terlihat.Rehan, yang telah terjaga sepanjang malam, berdiri di atas menara pengawas istana, memandang ke arah barak pasukan yang mulai ramai. Pikirannya dibebani oleh berbagai ancaman—pengkhianatan di dalam tubuh pasukan, kekuatan gelap yang mulai merayap ke Karstiel, dan tekanan politik yang semakin kuat dari Lord Garren dan Lady Thalia. Dia tahu bahwa setiap keputusan yang diambil hari ini akan menentukan nasib kerajaan yang telah dia jaga sekuat tenaga."Kita semakin terdesak," gumamnya sambil menatap jauh ke arah kota. Di belakangnya, Sorrel berjalan mendekat, dengan wajah keras penuh ketegasan."Rakyat mulai kehilangan kesabaran," kata Sorrel tanpa ba
Pagi di Karstiel dimulai dengan gemuruh yang tidak biasa. Matahari masih belum sepenuhnya muncul di cakrawala, namun ketegangan di ibu kota kerajaan sudah terasa di setiap sudut jalan. Pasukan Rehan bersiap menghadapi ancaman yang semakin dekat, tidak hanya dari kekuatan politik yang merebak, tetapi juga dari ancaman magis yang tak terlihat.Rehan, yang telah terjaga sepanjang malam, berdiri di atas menara pengawas istana, memandang ke arah barak pasukan yang mulai ramai. Pikirannya dibebani oleh berbagai ancaman—pengkhianatan di dalam tubuh pasukan, kekuatan gelap yang mulai merayap ke Karstiel, dan tekanan politik yang semakin kuat dari Lord Garren dan Lady Thalia. Dia tahu bahwa setiap keputusan yang diambil hari ini akan menentukan nasib kerajaan yang telah dia jaga sekuat tenaga."Kita semakin terdesak," gumamnya sambil menatap jauh ke arah kota. Di belakangnya, Sorrel berjalan mendekat, dengan wajah keras penuh ketegasan."Rakyat mulai kehilangan kesabaran," kata Sorrel tanpa ba
Langit di atas Karstiel menggelap, meskipun masih siang hari. Gumpalan awan hitam berkumpul di langit, seolah-olah menandakan bahwa sesuatu yang lebih besar dari perang fisik akan segera terjadi. Rakyat yang berkerumun di alun-alun mendongak ke langit dengan ketakutan di mata mereka. Ini bukan hanya badai biasa; ini adalah tanda bahwa sesuatu yang jauh lebih menakutkan sedang mendekat.Rehan menatap ke langit, matanya menyipit melihat bayang-bayang yang bergerak cepat di antara awan. "Kita kehabisan waktu," gumamnya pelan pada Sorrel, yang berada di sampingnya dengan tangan di gagang pedangnya, siap menghadapi serangan kapan saja.Sorrel mengangguk. "Kegelapan semakin dekat, dan kita belum tahu bagaimana cara melawannya. Pasukan kita bisa bertahan dari pemberontakan rakyat, tetapi ini… ini di luar kendali kita."Rehan meneguk ludahnya, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Bagaimana mereka bisa melawan sesuatu yang bahkan tidak bisa mereka lihat den