Matahari belum sepenuhnya terbit ketika suara genderang perang mulai bergema di kejauhan. Pasukan Almarik yang terluka kembali ke kota Castelon dalam keputusasaan. Namun, pertempuran di luar hanyalah permulaan dari permainan kekuasaan yang lebih besar, di mana sihir kuno, ambisi politik, dan kekacauan masyarakat bertemu.
Kesepakatan Rahasia di Balik Tirai Di istana Castelon, Lord Valerian melangkah dengan langkah ringan menuju ruang rahasia tempat pertemuan yang sangat dinantikan akan segera berlangsung. Bayangan intrik politik semakin pekat saat Valerian mengatur pertemuan dengan Ratu Lyana. Ia tahu bahwa kekuatan Lyana, yang selama ini tersembunyi di bawah bayang-bayang Almarik, bisa menjadi kunci untuk menggulingkan raja tiran tersebut. Ketika Valerian memasuki ruangan, Lyana sudah menunggu. Wajahnya yang cantik terpahat dalam topeng ketenangan, tetapi di balik matanya, ada kekuatan yang tertahan. "Kau datang," kata Lyana tanpa emosi, matanya menatap Valerian tajam. "Aku selalu tahu, Ratu, bahwa kekuasaan yang sebenarnya tak pernah ada di tangan Almarik," Valerian tersenyum licik. "Aku datang untuk menawarkan aliansi." Lyana terdiam sejenak. "Dan apa yang kau tawarkan?" Valerian mencondongkan tubuhnya ke depan. "Aku bisa menggulingkan Almarik. Aku memiliki dukungan dari bangsawan dan pasukan yang cukup untuk membuatnya jatuh. Tapi aku butuh dirimu, Lyana. Jika kita bergabung, kau bisa memerintah kerajaan ini setelah dia tersingkir." Mata Lyana menyipit. "Dan apa yang kau inginkan sebagai gantinya, Valerian? Kekuasaan semata?" Valerian tersenyum licik. "Kekuasaan adalah alat, tapi yang kuinginkan adalah stabilitas. Dengan Almarik, kita berada di ambang kehancuran. Tapi denganmu di atas takhta, aku bisa membantu menciptakan kerajaan yang lebih stabil, meskipun itu berarti menggunakan jalan yang kejam." Lyana menimbang kata-katanya. Dia tahu bahwa kekuasaan bukanlah hadiah yang bisa diraih dengan mudah. Tapi tawaran Valerian memberinya kesempatan untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman Almarik, sekaligus meraih kekuatan yang selama ini dia idamkan. "Baiklah," kata Lyana akhirnya. "Kita akan bekerja sama. Tapi ingat, Valerian, aku tidak akan menjadi alat bagi siapa pun." Valerian tersenyum. "Kita akan lihat, Yang Mulia." Kesepakatan itu mengukuhkan konspirasi yang semakin dalam. Dua sosok paling berbahaya di istana kini bersatu dalam tujuan yang sama: menggulingkan Almarik dan membentuk kerajaan baru yang mereka impikan. Peperangan dan Sihir Tua yang Bangkit Di luar kota, pasukan pemberontak Elira terus berjuang menghadapi kekuatan Almarik. Namun, tidak hanya manusia yang terlibat dalam pertempuran ini. Bayangan yang menyertainya, yang dikenal sebagai Bayangan Kegelapan, mulai memperlihatkan kekuatan sebenarnya. Ketika senja datang dan medan perang menjadi sunyi, Elira berdiri di antara prajuritnya yang terluka. Ia merasakan keputusasaan, tetapi kehadiran Bayangan memberinya sedikit harapan. "Apa yang sebenarnya kau cari?" tanya Elira, akhirnya menanyakan pertanyaan yang telah mengganggu pikirannya. Bayangan memandang ke arah cakrawala yang memudar. "Aku bukan dari sini, Elira. Aku berasal dari dunia yang terpecah akibat kekuatan sihir kuno yang sama seperti yang dimiliki Almarik. Sihir itu telah mencemari segala sesuatu di kerajaan ini, dan jika dibiarkan, akan membawa kehancuran total." "Jadi ini bukan hanya tentang Almarik?" Elira merasa ketakutan, namun sekaligus penasaran. "Tidak," jawab Bayangan. "Ini tentang menjaga keseimbangan kekuatan antara dunia manusia dan sihir. Ketika Almarik menggunakan sihir kuno yang ia temukan, dia membuka pintu menuju kehancuran yang lebih besar. Pasukan kita hanya bisa menang jika kita menghancurkan sumber sihir itu." Elira menggigit bibirnya, memahami betapa besar taruhannya. "Di mana kita bisa menemukan sumber sihir itu?" Bayangan mengangkat tangannya dan menunjukkan arah utara. "Di dalam istana Castelon, di bawah tanah, ada artefak kuno yang memberi kekuatan kepada Almarik. Jika kita menghancurkannya, sihirnya akan melemah, dan kita bisa mengalahkannya." Elira merasakan dadanya berdegup kencang. Ini bukan hanya peperangan fisik, tapi juga pertempuran dengan kekuatan yang tak kasat mata. "Lalu apa yang akan terjadi pada dunia kita setelah itu?" "Jika kita gagal, dunia ini akan jatuh ke dalam kegelapan abadi," jawab Bayangan, suaranya penuh kewaspadaan. "Dan tak ada yang bisa menghentikan kehancuran itu." Keruntuhan Distopia Di dalam tembok Castelon, rakyat semakin merasakan dampak kekejaman Almarik. Pasukan kerajaan terus memungut pajak dari penduduk yang kelaparan, dan banyak yang mulai berbisik tentang pemberontakan. Namun, ketakutan akan hukuman membuat banyak orang enggan bertindak. Sorrel, seorang pemimpin pemberontak di desa Ravar, berdiri di hadapan rakyatnya. Mereka sudah lama hidup di bawah penindasan Almarik, tapi kini mereka semakin tak sanggup menanggungnya. "Kita tidak bisa terus hidup seperti ini," kata Sorrel dengan suara gemetar. "Rakyat mulai mati kelaparan, dan kita hanya menunggu giliran." Seorang pemuda di antara kerumunan, Rehan, bangkit dengan amarah di wajahnya. "Apa gunanya menunggu pemberontak? Mereka belum datang! Kita harus melakukan sesuatu sekarang!" Sorrel menatap Rehan. "Aku tahu, tapi melawan tanpa strategi akan membuat kita semua mati. Kita harus menunggu sinyal dari pemberontak di Castelon." Rehan menggertakkan giginya. "Kita sudah menunggu terlalu lama. Dunia ini sudah mati. Almarik telah merusaknya, dan kita adalah korban dari kebrutalan itu." Sorrel menunduk, tahu bahwa Rehan benar. Kehidupan di bawah tirani Almarik telah membawa rakyat Karstiel ke jurang kehancuran. Banyak desa telah jatuh, dan kota-kota besar menjadi tempat yang tak lagi aman bagi rakyat kecil. Pekerja paksa, kelaparan, dan ketidakadilan merajalela, membuat masyarakat merasa seolah hidup mereka hanya bayangan dari dunia yang lebih baik. Meskipun rasa putus asa mulai merambat, Sorrel tetap berusaha memegang kendali. "Pemberontakan ini akan datang, Rehan. Dan ketika saatnya tiba, kita akan mengakhiri kekuasaan Almarik." Namun, di dalam hati kecilnya, Sorrel juga takut bahwa mungkin sudah terlambat. Distopia telah mencengkeram kerajaan, dan harapan semakin memudar.Kabut tebal masih menyelimuti medan perang, namun di istana dan di antara rakyat jelata, keputusan-keputusan besar mulai diambil. Masing-masing pihak yang terlibat kini semakin dekat menuju takdir mereka yang akan menentukan masa depan kerajaan Karstiel.Perjalanan ke Jantung KegelapanElira bersama Bayangan Kegelapan memimpin sekelompok kecil prajurit pemberontak menuju perbatasan Castelon. Mereka kini tahu bahwa kunci untuk mengalahkan Almarik terletak di bawah istana, di dalam ruang rahasia tempat artefak sihir kuno disimpan.“Aku tak pernah berpikir kita akan sampai sejauh ini,” ujar Elira dengan suara rendah saat mereka mendekati hutan yang memisahkan perbatasan kota dan medan perang.Bayangan tetap diam, namun matanya terfokus pada jalan di depan. Dalam diamnya, Bayangan merasakan kehadiran sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang sedang mengintai dari balik kegelapan. “Jalan kita menuju istana tidak akan mudah. Almarik akan menjaga artefak itu dengan kekuatan penuh. Dan sihi
Kabut malam mulai turun ketika pasukan Elira, bersama Bayangan Kegelapan, berhasil mendekati tembok Castelon. Keheningan yang aneh menyelimuti medan, dan di atas mereka, istana Castelon menjulang, suram dan megah, bagai menunggu kehancuran yang akan datang. "Kita hampir sampai," ujar Bayangan Kegelapan dengan suara yang nyaris terdengar, mata tajamnya memindai sekeliling. "Namun di sini, kekuatan sihir Almarik paling kuat. Kita tidak boleh lengah." Elira mengangguk, merasakan ketegangan yang mencekam. Pasukannya tampak lelah, tetapi semangat mereka tetap menyala. Mereka tahu bahwa ini mungkin menjadi kesempatan terakhir untuk membebaskan Karstiel. Di dalam istana, situasi memanas. Valerian berjalan cepat melalui koridor menuju ruang pribadi Almarik, diikuti oleh beberapa pengawal setia. Dia telah memutuskan untuk mempercepat rencananya. Jika Almarik jatuh malam ini, Valerian bisa mengambil kendali sebelum pemberontak mencapai tembok istana. "Pastikan penjaga menggandakan kekua
Di bawah tanah istana Castelon, energi yang dilepaskan dari artefak kuno terus bergemuruh, membuat tembok-tembok di sekelilingnya bergetar hebat. Elira, Valerian, dan Lyana merasakan aura kekuatan yang begitu kuat dan liar, seperti angin badai yang tak terkendali. Bayangan Kegelapan berdiri di tengah-tengah, mantranya telah selesai, dan kini semua bergantung pada hasil dari sihir kuno yang mereka hadapi. "Kita harus memutuskan ini sekarang," ujar Valerian, suaranya keras namun gemetar, matanya tajam menatap Elira dan Bayangan. "Jika kita biarkan ini terus berlanjut, Karstiel akan runtuh bersamaan dengan kekuasaan Almarik." Elira menatap Valerian, lalu melihat ke arah Lyana yang berdiri dengan penuh wibawa. "Tidak ada yang akan berakhir dengan baik jika kekuasaan tetap ada di tangan kalian. Aku berjuang untuk kebebasan rakyat, bukan untuk takhta atau kekuasaan." "Dan apa yang akan terjadi setelah Almarik jatuh?" balas Lyana dengan nada sinis. "Rakyatmu akan terbagi, dipimpin oleh ke
Langit di atas Karstiel berwarna merah darah, dihiasi dengan kilatan-kilatan petir yang tidak alami. Istana Castelon yang megah, lambang kekuasaan mutlak Raja Almarik, mulai hancur sedikit demi sedikit. Namun, meskipun gemuruh kehancuran memenuhi udara, suasana penuh ketegangan di dalam istana justru semakin terasa.Di bawah tanah, di jantung kekuatan sihir kuno, Elira tersungkur di lantai berdebu, tubuhnya terasa berat, dan napasnya terengah-engah. Ledakan dari artefak telah mengguncang tubuhnya, membuat kesadaran hampir meninggalkannya. Namun, suara gemuruh dari dinding yang retak memaksanya membuka mata. Di depannya, Valerian berusaha bangkit dari reruntuhan, sementara Bayangan Kegelapan sudah tidak terlihat lagi."Kita tidak bisa tinggal di sini," gumam Elira dengan napas tersengal, meskipun kakinya masih gemetar saat mencoba berdiri. Tatapan matanya menyapu ruangan yang mulai hancur, menyadari bahwa waktu mereka hampir habis.Valerian, yang perlahan bangkit dengan tubuh berdarah,
Langit yang memerah kini penuh dengan petir biru yang tak henti-hentinya membelah udara, menyilaukan setiap mata yang menatapnya. Suasana Karstiel diliputi kekacauan. Di bawah kilatan-kilatan itu, Elira dan Valerian berlari menembus reruntuhan istana yang kian rapuh. Mereka tahu tak ada waktu untuk berdebat atau ragu. Setiap langkah adalah perjuangan menuju satu tujuan: menghentikan Lyana, yang kini menggenggam kekuatan kuno yang tak terbayangkan."Kita sudah dekat!" teriak Valerian di antara suara gemuruh kehancuran. Tubuhnya luka parah, darah mengalir di sekujur lengannya, tapi tekadnya tetap bulat. Elira bisa melihat sorotan tegas di matanya, meskipun beban pertempuran sebelumnya tampak jelas melemahkannya."Jangan berhenti! Jika kita biarkan dia terus menguasai kekuatan itu, Karstiel akan musnah," Elira balas dengan nada keras, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan. Apa yang Lyana lakukan bukan hanya akan menghancurkan musuh mereka—tetapi dunia yang telah mereka kenal.Di ujung loro
Di tengah reruntuhan istana Karstiel, kabut tebal yang gelap mulai melayang dari gulungan kuno yang dipegang Lyana. Cahaya suram memancar dari gulungan itu, memantulkan kegelapan yang menelan ruangan dan sekitarnya. Udara di sekitar mulai terasa berat, seperti tarikan napas terakhir dunia yang sekarat. Kegelapan ini bukanlah sihir biasa; ini adalah kekuatan purba yang telah lama tersembunyi, menunggu saat untuk dibangkitkan. Rehan, Valerian, dan Sorrel berdiri berjajar di depan Lyana, merasakan getaran gelap yang keluar dari dirinya. Meski mereka telah melalui pertempuran yang berat, kini tantangan di hadapan mereka terasa jauh lebih mengerikan. Kekuasaan yang dimiliki Lyana kini tak lagi hanya tentang sihir kuno yang dia ambil dari kristal, melainkan sesuatu yang lebih dalam dan lebih jahat. "Apa ini?" tanya Valerian, napasnya tersengal, matanya tak lepas dari gulungan yang dipegang Lyana. "Ini bukan kekuatan sihir biasa," jawab Sorrel dengan ketegangan yang tak bisa ia sembunyika
Saat debu dari ledakan itu perlahan-lahan turun, istana Karstiel kini menjadi bayangan dari kebesarannya. Dinding yang dulu megah kini runtuh, dan suasana di sekeliling berubah sunyi—hanya suara langkah kaki dan angin yang menyapu sisa-sisa reruntuhan. Di tengah kekacauan ini, sisa-sisa sihir masih menggantung di udara seperti bayangan tak kasat mata, mengisyaratkan peristiwa besar yang baru saja terjadi. Elira terduduk di lantai, tubuhnya penuh luka. Dia menatap langit yang kini kembali gelap, seolah kekuatan sihir yang besar telah hilang dari dunia. Valerian berada di dekatnya, memegangi sisi tubuhnya yang terluka, namun tatapan matanya tidak lepas dari tubuh Lyana yang kini tergeletak di tengah ruangan. "Kita berhasil?" Elira bertanya dengan napas tersengal, masih sulit percaya bahwa semuanya telah berakhir. Valerian menatap Lyana yang tak bergerak, wajahnya kini tanpa aura kekuasaan. "Kristal itu hancur. Dia... tak punya kekuatan lagi." Namun, meskipun dia mengatakan itu, ada k
Setelah jatuhnya Lyana dan gulungan kegelapan yang hancur, suasana istana Karstiel yang porak-poranda terasa sunyi. Tidak ada lagi gemuruh pertempuran, dan langit yang sebelumnya gelap mulai terbuka sedikit, menampakkan secercah cahaya matahari yang enggan muncul. Namun, meskipun langit mulai cerah, hati rakyat Karstiel masih dibayangi oleh peristiwa yang baru saja terjadi.Di tengah reruntuhan istana, Valerian berdiri dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Dia menatap sisa-sisa kekuasaan Lyana yang kini tak berarti. Di sebelahnya, Elira terlihat pucat, duduk dengan napas berat. Meskipun kemenangan telah diraih, keduanya tahu bahwa ini hanyalah awal dari tantangan baru yang jauh lebih berat."Apa sekarang sudah berakhir?" tanya Elira, suaranya hampir seperti bisikan.Valerian tidak segera menjawab. Dia menatap reruntuhan istana dan sisa-sisa pasukan rakyat yang berkumpul di luar. "Mungkin pertempuran ini telah berakhir," jawabnya pelan, "tapi apa yang akan datang setelah ini... aku tidak