Kabut malam mulai turun ketika pasukan Elira, bersama Bayangan Kegelapan, berhasil mendekati tembok Castelon. Keheningan yang aneh menyelimuti medan, dan di atas mereka, istana Castelon menjulang, suram dan megah, bagai menunggu kehancuran yang akan datang.
"Kita hampir sampai," ujar Bayangan Kegelapan dengan suara yang nyaris terdengar, mata tajamnya memindai sekeliling. "Namun di sini, kekuatan sihir Almarik paling kuat. Kita tidak boleh lengah." Elira mengangguk, merasakan ketegangan yang mencekam. Pasukannya tampak lelah, tetapi semangat mereka tetap menyala. Mereka tahu bahwa ini mungkin menjadi kesempatan terakhir untuk membebaskan Karstiel. Di dalam istana, situasi memanas. Valerian berjalan cepat melalui koridor menuju ruang pribadi Almarik, diikuti oleh beberapa pengawal setia. Dia telah memutuskan untuk mempercepat rencananya. Jika Almarik jatuh malam ini, Valerian bisa mengambil kendali sebelum pemberontak mencapai tembok istana. "Pastikan penjaga menggandakan kekuatan di ruang bawah tanah," perintah Valerian kepada seorang pengawal. "Artefak itu tidak boleh disentuh, berapapun harganya." Namun, tak jauh dari sana, Lyana juga sedang bergerak dengan cepat. Dia telah menyusun rencana alternatif jika Valerian memutuskan untuk mengkhianatinya. Dalam ketidakpastian istana, kepercayaan adalah barang langka, dan dia tak akan membiarkan siapapun mengambil kesempatan darinya. Di dalam pikirannya, ada satu tujuan: takhta. "Kita harus siap," bisiknya kepada salah seorang dayangnya. "Ketika waktunya tiba, kita akan menyerang dari dalam." Di tengah kerumunan rakyat yang mulai memenuhi jalan-jalan Castelon, api perlawanan mulai menyala. Rehan dan Sorrel memimpin pemberontakan yang sudah lama mereka persiapkan. Tanpa ragu, mereka berbaris menuju gerbang kota, berhadapan langsung dengan tentara Almarik yang terkejut oleh keberanian rakyat jelata yang selama ini dianggap terlalu lemah untuk melawan. "Inilah saatnya!" teriak Rehan dengan penuh semangat. "Kita tidak akan tunduk lagi pada penguasa tiran ini. Malam ini kita rebut kota!" Di tengah kerumunan, Karina berdiri bersama Mikal. Dia melihat kegigihan di mata suaminya, yang sebelumnya sempat ragu. Mereka tahu bahwa mereka bisa mati dalam upaya ini, namun mereka juga tahu bahwa tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain melawan. Pasukan Almarik mulai bergerak maju, namun suara genderang perlawanan dari rakyat mulai membanjiri jalanan. Pertempuran berdarah dimulai, dan Castelon terbakar oleh semangat revolusi. Di bawah tanah istana, Bayangan Kegelapan dan Elira akhirnya sampai di gerbang menuju ruang tempat artefak sihir kuno disimpan. Gerbang itu dijaga oleh pasukan elit Almarik, prajurit-prajurit yang telah dipilih untuk melindungi rahasia terbesar sang penguasa. "Inilah waktunya," bisik Bayangan, mengangkat tangannya yang bersinar lembut dengan sihir kuno. "Kita harus memutus hubungan Almarik dengan sihir ini." Pertarungan meletus dengan cepat. Elira dan prajuritnya menyerang dengan penuh keberanian, sementara Bayangan melangkah ke depan, merapal mantra kuno yang telah disiapkannya. Tembok istana bergetar, dan cahaya dari artefak itu mulai meredup. Namun, ketika mereka hampir berhasil, pintu lain terbuka. Valerian dan prajuritnya muncul, mata mereka dipenuhi ketidakpercayaan saat melihat Elira dan Bayangan. Valerian menyadari bahwa pertarungan ini bukan hanya soal menggulingkan Almarik—sihir kuno yang dipegang oleh Bayangan juga menjadi ancaman bagi rencananya. "Kalian tidak boleh mengambil ini dariku!" Valerian berteriak, menghunus pedangnya. "Aku akan menjadi penguasa Karstiel, bukan kalian!" Elira bersiap menghadapi ancaman baru ini, sementara di kejauhan, Lyana menyaksikan semua dari balik bayangan. Senyuman tipis muncul di wajahnya—semua bergerak sesuai dengan rencananya. Malam ini, di bawah langit Castelon yang berapi-api, takdir tiga kekuatan akan bertemu. Kilatan pedang beradu di ruang bawah tanah istana Castelon, di mana tiga kekuatan besar bertarung di ambang kehancuran. Di satu sisi, Elira dan prajurit pemberontaknya bertarung mati-matian untuk mencapai artefak kuno yang merupakan sumber kekuatan Almarik. Di sisi lain, Valerian dan prajuritnya memblokir jalan, bertekad mempertahankan artefak untuk diri mereka sendiri. Sementara itu, di balik bayang-bayang, Lyana mengamati setiap langkah dengan cermat, menunggu saat yang tepat untuk mengambil keuntungan dari kekacauan. "Mundur, Elira!" teriak Valerian, pedangnya melesat ke arah pejuang pemberontak itu. "Ini bukan urusanmu!" Elira menghindar dengan gesit, matanya memancarkan tekad. "Ini adalah urusan semua orang! Karstiel bukan milikmu, Valerian, dan bukan juga milik Almarik!" Ia menyerang balik dengan kekuatan yang tak terduga, membuat Valerian terpaksa mundur beberapa langkah. Di tengah-tengah pertarungan, Bayangan Kegelapan sibuk merapal mantra. Kekuatan kuno dari artefak itu mulai bergetar, seakan terhubung dengan mantranya. Namun, waktu hampir habis. Pasukan Almarik yang berjaga di sekitar istana semakin banyak mendekat, dan suara mereka terdengar kian dekat di luar ruang bawah tanah. "Kita harus segera menyelesaikan ini!" teriak Elira di sela-sela pertarungan, melirik ke arah Bayangan yang masih berkonsentrasi penuh. Di luar, suasana kota Castelon semakin kacau. Di jalan-jalan utama, rakyat yang dipimpin Rehan dan Sorrel berhasil mendesak tentara Almarik ke sudut-sudut kota. Kerumunan pemberontak semakin besar, dan bendera perlawanan berkibar tinggi di antara asap kebakaran yang mulai menjalar. "Maju! Kita harus mencapai gerbang istana!" teriak Rehan dengan penuh semangat, mengangkat tombaknya tinggi-tinggi. Sorrel berada di sisinya, mengarahkan gelombang rakyat yang berani melawan meski tanpa senjata yang memadai. "Tentara Almarik semakin banyak," bisik Sorrel dengan cemas. "Kita harus bergerak lebih cepat, atau mereka akan mengepung kita dari belakang." Namun, di tengah kerumunan, seorang mata-mata Almarik bergerak dengan cepat, menyampaikan pesan langsung ke markas tentara utama. "Rakyat sudah sampai di depan gerbang istana," lapornya singkat. "Mereka bergerak cepat. Kita harus segera menghentikan mereka." Di dalam istana, Ratu Lyana memutuskan waktunya sudah tiba. Dalam diam, ia melangkah keluar dari bayang-bayang, menuju tempat di mana pertarungan sengit berlangsung. Dengan satu isyarat, para pengawal pribadinya mulai mengepung ruang bawah tanah. "Cukup," suara Lyana yang tenang namun tegas menggema di seluruh ruangan. Valerian dan Elira berhenti bertarung sejenak, mata mereka tertuju pada Lyana yang kini berdiri dengan anggun di antara mereka. "Ratu Lyana!" seru Valerian dengan mata terbelalak. "Apa yang kau lakukan di sini?" Lyana tersenyum tipis, tanpa sedikit pun menunjukkan ketegangan. "Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Mengambil alih kekuasaan." Valerian tertegun, namun kemudian senyumnya menghilang ketika ia menyadari bahwa Lyana telah bermain di belakangnya selama ini. "Kau berencana mengkhianatiku?" tanyanya, pedangnya teracung ke arah sang ratu. "Ini bukan pengkhianatan, Valerian," jawab Lyana dengan dingin. "Ini adalah penegasan bahwa takhta tidak akan jatuh ke tangan siapa pun kecuali aku." Sementara itu, Bayangan Kegelapan berhasil menyelesaikan mantranya. Cahaya aneh memancar dari artefak kuno itu, membuat seluruh ruangan bergetar hebat. Semua yang ada di dalamnya tersentak, termasuk Lyana, Valerian, dan Elira. Artefak itu mulai retak, dan kekuatan sihir yang dipegang Almarik perlahan mulai terlepas. "Apa yang kau lakukan?" tanya Lyana dengan marah, matanya tertuju pada Bayangan. "Kau akan menghancurkan segalanya!" Bayangan hanya menatapnya, wajahnya tanpa emosi. "Ini adalah harga yang harus dibayar. Kekuasaan Almarik harus dihancurkan, beserta sihirnya." Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara langkah kaki pasukan Almarik terdengar dari kejauhan. Pasukan elit raja, yang telah disiapkan untuk mempertahankan istana, tiba dengan jumlah yang besar, siap untuk membendung pemberontakan dari dalam. Di luar, rakyat yang dipimpin Rehan berhasil mendobrak gerbang istana. Sorrel melihat ke arah istana yang megah, tapi penuh dengan bayang-bayang kematian. "Kita berhasil," katanya dengan napas terengah-engah, tapi Rehan tampak tidak terlalu optimis. "Pertempuran sebenarnya baru dimulai." Tentara Almarik yang tersisa di kota mulai mundur ke dalam istana, menyiapkan pertahanan terakhir mereka. Pertumpahan darah tak terhindarkan, dan rakyat kini berhadapan langsung dengan kekuatan penuh Almarik. Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi asap dan api, tiga kekuatan besar—pemberontak, pasukan Almarik, dan rakyat yang bangkit—semuanya bertempur untuk takhta, kebebasan, dan kehancuran.Di bawah tanah istana Castelon, energi yang dilepaskan dari artefak kuno terus bergemuruh, membuat tembok-tembok di sekelilingnya bergetar hebat. Elira, Valerian, dan Lyana merasakan aura kekuatan yang begitu kuat dan liar, seperti angin badai yang tak terkendali. Bayangan Kegelapan berdiri di tengah-tengah, mantranya telah selesai, dan kini semua bergantung pada hasil dari sihir kuno yang mereka hadapi. "Kita harus memutuskan ini sekarang," ujar Valerian, suaranya keras namun gemetar, matanya tajam menatap Elira dan Bayangan. "Jika kita biarkan ini terus berlanjut, Karstiel akan runtuh bersamaan dengan kekuasaan Almarik." Elira menatap Valerian, lalu melihat ke arah Lyana yang berdiri dengan penuh wibawa. "Tidak ada yang akan berakhir dengan baik jika kekuasaan tetap ada di tangan kalian. Aku berjuang untuk kebebasan rakyat, bukan untuk takhta atau kekuasaan." "Dan apa yang akan terjadi setelah Almarik jatuh?" balas Lyana dengan nada sinis. "Rakyatmu akan terbagi, dipimpin oleh ke
Langit di atas Karstiel berwarna merah darah, dihiasi dengan kilatan-kilatan petir yang tidak alami. Istana Castelon yang megah, lambang kekuasaan mutlak Raja Almarik, mulai hancur sedikit demi sedikit. Namun, meskipun gemuruh kehancuran memenuhi udara, suasana penuh ketegangan di dalam istana justru semakin terasa.Di bawah tanah, di jantung kekuatan sihir kuno, Elira tersungkur di lantai berdebu, tubuhnya terasa berat, dan napasnya terengah-engah. Ledakan dari artefak telah mengguncang tubuhnya, membuat kesadaran hampir meninggalkannya. Namun, suara gemuruh dari dinding yang retak memaksanya membuka mata. Di depannya, Valerian berusaha bangkit dari reruntuhan, sementara Bayangan Kegelapan sudah tidak terlihat lagi."Kita tidak bisa tinggal di sini," gumam Elira dengan napas tersengal, meskipun kakinya masih gemetar saat mencoba berdiri. Tatapan matanya menyapu ruangan yang mulai hancur, menyadari bahwa waktu mereka hampir habis.Valerian, yang perlahan bangkit dengan tubuh berdarah,
Langit yang memerah kini penuh dengan petir biru yang tak henti-hentinya membelah udara, menyilaukan setiap mata yang menatapnya. Suasana Karstiel diliputi kekacauan. Di bawah kilatan-kilatan itu, Elira dan Valerian berlari menembus reruntuhan istana yang kian rapuh. Mereka tahu tak ada waktu untuk berdebat atau ragu. Setiap langkah adalah perjuangan menuju satu tujuan: menghentikan Lyana, yang kini menggenggam kekuatan kuno yang tak terbayangkan."Kita sudah dekat!" teriak Valerian di antara suara gemuruh kehancuran. Tubuhnya luka parah, darah mengalir di sekujur lengannya, tapi tekadnya tetap bulat. Elira bisa melihat sorotan tegas di matanya, meskipun beban pertempuran sebelumnya tampak jelas melemahkannya."Jangan berhenti! Jika kita biarkan dia terus menguasai kekuatan itu, Karstiel akan musnah," Elira balas dengan nada keras, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan. Apa yang Lyana lakukan bukan hanya akan menghancurkan musuh mereka—tetapi dunia yang telah mereka kenal.Di ujung loro
Di tengah reruntuhan istana Karstiel, kabut tebal yang gelap mulai melayang dari gulungan kuno yang dipegang Lyana. Cahaya suram memancar dari gulungan itu, memantulkan kegelapan yang menelan ruangan dan sekitarnya. Udara di sekitar mulai terasa berat, seperti tarikan napas terakhir dunia yang sekarat. Kegelapan ini bukanlah sihir biasa; ini adalah kekuatan purba yang telah lama tersembunyi, menunggu saat untuk dibangkitkan. Rehan, Valerian, dan Sorrel berdiri berjajar di depan Lyana, merasakan getaran gelap yang keluar dari dirinya. Meski mereka telah melalui pertempuran yang berat, kini tantangan di hadapan mereka terasa jauh lebih mengerikan. Kekuasaan yang dimiliki Lyana kini tak lagi hanya tentang sihir kuno yang dia ambil dari kristal, melainkan sesuatu yang lebih dalam dan lebih jahat. "Apa ini?" tanya Valerian, napasnya tersengal, matanya tak lepas dari gulungan yang dipegang Lyana. "Ini bukan kekuatan sihir biasa," jawab Sorrel dengan ketegangan yang tak bisa ia sembunyika
Saat debu dari ledakan itu perlahan-lahan turun, istana Karstiel kini menjadi bayangan dari kebesarannya. Dinding yang dulu megah kini runtuh, dan suasana di sekeliling berubah sunyi—hanya suara langkah kaki dan angin yang menyapu sisa-sisa reruntuhan. Di tengah kekacauan ini, sisa-sisa sihir masih menggantung di udara seperti bayangan tak kasat mata, mengisyaratkan peristiwa besar yang baru saja terjadi. Elira terduduk di lantai, tubuhnya penuh luka. Dia menatap langit yang kini kembali gelap, seolah kekuatan sihir yang besar telah hilang dari dunia. Valerian berada di dekatnya, memegangi sisi tubuhnya yang terluka, namun tatapan matanya tidak lepas dari tubuh Lyana yang kini tergeletak di tengah ruangan. "Kita berhasil?" Elira bertanya dengan napas tersengal, masih sulit percaya bahwa semuanya telah berakhir. Valerian menatap Lyana yang tak bergerak, wajahnya kini tanpa aura kekuasaan. "Kristal itu hancur. Dia... tak punya kekuatan lagi." Namun, meskipun dia mengatakan itu, ada k
Setelah jatuhnya Lyana dan gulungan kegelapan yang hancur, suasana istana Karstiel yang porak-poranda terasa sunyi. Tidak ada lagi gemuruh pertempuran, dan langit yang sebelumnya gelap mulai terbuka sedikit, menampakkan secercah cahaya matahari yang enggan muncul. Namun, meskipun langit mulai cerah, hati rakyat Karstiel masih dibayangi oleh peristiwa yang baru saja terjadi.Di tengah reruntuhan istana, Valerian berdiri dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Dia menatap sisa-sisa kekuasaan Lyana yang kini tak berarti. Di sebelahnya, Elira terlihat pucat, duduk dengan napas berat. Meskipun kemenangan telah diraih, keduanya tahu bahwa ini hanyalah awal dari tantangan baru yang jauh lebih berat."Apa sekarang sudah berakhir?" tanya Elira, suaranya hampir seperti bisikan.Valerian tidak segera menjawab. Dia menatap reruntuhan istana dan sisa-sisa pasukan rakyat yang berkumpul di luar. "Mungkin pertempuran ini telah berakhir," jawabnya pelan, "tapi apa yang akan datang setelah ini... aku tidak
Sore yang tenang di Karstiel dirusak oleh suara perdebatan dari pusat kota, di mana rakyat, tentara, dan berbagai faksi berkumpul untuk memutuskan masa depan kerajaan. Sekilas, Karstiel tampak damai setelah kekalahan Lyana, tetapi di balik permukaan, kekacauan mulai berakar. Rehan dan Sorrel duduk bersama dalam sebuah pertemuan di balai kota yang sementara berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Mereka dikelilingi oleh beberapa tokoh berpengaruh dari berbagai faksi—baik rakyat biasa, pemimpin militer, hingga para pedagang dan bangsawan kecil yang selamat dari pertumpahan darah. Sorrel membuka diskusi dengan nada penuh ketegasan, "Kita tidak bisa membiarkan Karstiel jatuh ke dalam anarki. Kita butuh struktur yang baru—sistem yang adil bagi semua, bukan lagi kerajaan absolut yang memeras rakyatnya." Seorang pedagang yang duduk di seberang meja, Lorn, mengangguk setuju. "Kami para pedagang setuju bahwa kekuasaan harus disebar. Sumber daya kota ini harus dikelola untuk kepentingan bersam
Di tengah malam yang semakin pekat, kota Karstiel terasa sunyi namun penuh kegelisahan. Asap dari gudang yang terbakar belum sepenuhnya lenyap dari udara, mengingatkan setiap penduduk bahwa kelaparan semakin dekat. Di alun-alun kota, para prajurit berpatroli dengan tatapan waspada. Di satu sisi, mereka bersiap untuk menghadapi potensi pemberontakan dari rakyat yang putus asa; di sisi lain, mereka tahu bahwa ancaman sesungguhnya datang dari tempat yang lebih dalam—kegelapan yang tak terlihat.Di tengah istana yang rusak, Rehan duduk di ruangan pertemuan, wajahnya lelah. Di hadapannya, tergeletak berbagai laporan tentang kekacauan yang semakin memburuk di seluruh negeri. Kelaparan mulai memunculkan kerusuhan kecil di berbagai desa. Berita tentang sabotase Lady Thalia dan Lord Garren semakin menguat, tapi bukti nyata sulit didapat. Mereka memainkan permainan politik dari balik layar, dan semakin banyak rakyat yang mulai terpengaruh oleh propaganda mereka.Sorrel berdiri di samping peta b
Masa bayi Luna dan putra Raja Rehan berjalan dalam dua dunia yang berbeda. Di istana, putra Rehan tumbuh dikelilingi oleh kemewahan dan kemuliaan. Setiap langkahnya diawasi oleh pelayan dan pengasuh yang setia, sementara para ahli dan penasihat kerajaan mengawasi perkembangan mental dan fisiknya dengan teliti. Setiap suara tangis dari sang pangeran akan disambut dengan segera oleh orang-orang yang siap menenangkan, memberinya kenyamanan dan perlindungan penuh.Di sisi lain, Luna tumbuh di rumah sederhana di pinggir istana, di dalam lingkungan yang tenang namun jauh dari kemewahan. Ibunya, Rose, menyayanginya dengan segenap jiwa. Meski tidak memiliki semua keistimewaan yang dimiliki pangeran, Luna tumbuh dengan cinta yang tulus. Rose mengajarkan Luna tentang kehidupan sederhana, kerja keras, dan kebijaksanaan. Dari hari ke hari, kecantikan Luna semakin terpancar, dan di balik matanya yang cerah tersimpan rasa ingin tahu yang tak terpadamkan.Perbedaan Nasib dan Awal PertemuanWaktu ber
Di luar istana, suasana pagi tak kalah meriah. Di hari yang sama dengan kelahiran pewaris takhta kerajaan Edholm, seorang bayi perempuan lain dilahirkan di dalam benteng pelayan. Bayi itu, meski tidak lahir dari keluarga bangsawan, membawa kebahagiaan yang sama besarnya bagi ibunya, Rose, seorang pelayan setia yang telah mengabdi kepada keluarga kerajaan selama bertahun-tahun.Bayi itu diberi nama Luna, sebuah nama yang diambil dari sinar rembulan yang menerangi malam kelahirannya. Luna lahir dengan kecantikan alami yang segera membuat banyak orang terpesona. Matanya yang cerah dan kulitnya yang lembut seperti porselen menjadi anugerah bagi Rose, seorang ibu yang penuh cinta dan kebanggaan.Kehamilan yang Diketahui oleh Raja RehanBeberapa bulan sebelum kelahiran ini, Raja Rehan sendiri mengetahui tentang kehamilan Rose secara tidak sengaja ketika ia sedang berkeliling memeriksa persiapan di istana. Melihat perut Rose yang mulai membesar, Raja Rehan berhenti dan menanyakan keadaannya.
Pagi itu, suasana istana Edholm dipenuhi dengan kegembiraan dan antusiasme. Setelah berita kelahiran pewaris takhta tersebar ke seluruh kerajaan, utusan dari berbagai wilayah tetangga mulai berdatangan membawa hadiah sebagai tanda penghormatan dan perayaan. Setiap kerajaan, besar maupun kecil, ingin menunjukkan dukungan dan rasa hormat kepada Raja Rehan dan Ratu Natasya. Mereka mengirim hadiah-hadiah istimewa yang menggambarkan kebesaran dan kekayaan negeri masing-masing.Di aula besar istana, Natasya duduk di kursi kebesarannya, bayi kecilnya beristirahat dalam dekapan lembut. Sementara Rehan berdiri di sisinya, mengawasi jalannya upacara penyerahan hadiah dengan wajah penuh kebanggaan.Hadiah dari Kerajaan EldoriaUtusan pertama yang datang adalah dari Kerajaan Eldoria, salah satu kerajaan tetangga yang paling kuat dan makmur. Mereka dikenal akan seni dan keahlian kerajinan tangan yang luar biasa. Utusan tersebut, seorang pria berusia lanjut dengan jubah keemasan yang disulam dengan
Fajar menyingsing dengan lembut di atas istana Edholm, memandikan dunia dengan sinar keemasan yang hangat. Hari itu, tidak ada yang lebih berarti bagi Natasya selain keheningan pagi yang baru saja pecah oleh suara-suara kecil dari sang bayi yang tengah menggeliat di dalam dekapan hangatnya. Matanya belum terbuka penuh, tapi tubuh mungilnya sudah mencari kehangatan ibunya, insting alami yang menyatukan mereka berdua dalam keajaiban yang begitu murni.Natasya, yang kini telah menjadi seorang ibu, duduk di atas ranjang berkanopi sutra. Wajahnya tampak lelah setelah malam yang panjang, namun kelelahan itu tertutupi oleh cahaya lembut yang terpancar dari sorot matanya. Ia memandangi wajah bayinya—wajah yang begitu sempurna, dengan pipi halus dan bibir mungil yang sesekali bergerak, seolah menggumamkan janji-janji masa depan.Bayi itu adalah anugerah bagi Natasya, namun ia juga membawa tanggung jawab yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dunia yang dulu terasa begitu luas dan penuh petua
Pagi di Edholm kali ini berbeda. Matahari memanjat langit dengan keagungan yang lebih cerah dari biasanya, cahayanya menyinari seluruh sudut kerajaan, menyentuh lembah-lembah hijau dan bukit-bukit emas, memberikan kehangatan yang tak biasa. Udara dipenuhi semerbak bunga musim semi yang dibawa angin lembut, dan di atas sana, burung-burung berkicau seakan turut merayakan peristiwa yang paling ditunggu-tunggu oleh segenap rakyat Edholm.Di seluruh penjuru kerajaan, rakyat bersuka cita. Suara lonceng besar di menara pusat berdentang keras, mengirimkan kabar gembira bahwa anak Raja Rehan dan Permaisuri Natasya telah lahir. Seluruh Edholm bergetar dalam gemuruh perayaan, tak ada seorang pun yang bisa melawan dorongan hati untuk bersorak bahagia. Sebuah era baru telah dimulai, dan bersama kelahiran bayi kerajaan, muncul harapan baru yang begitu dinantikan oleh rakyat yang selama ini hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian.Rakyat Edholm Bersuka CitaDi pasar-pasar yang biasanya dipenuhi ter
Malam di Edholm terasa berbeda dari biasanya. Bintang-bintang tampak lebih terang, seolah alam semesta menyaksikan momen yang begitu agung. Angin malam berhembus pelan, menyelusup lembut di antara pepohonan istana, membawa bisikan-bisikan dari zaman yang telah lama berlalu. Di istana megah itu, waktu seakan terhenti; segenap kehidupan seolah tertumpu pada satu titik—di mana Natasya, permaisuri tercinta, tengah berada di ambang keajaiban yang telah lama dinantikan. Di dalam kamar yang dipenuhi cahaya lilin lembut, Natasya terbaring, matanya memancarkan kekuatan dari dalam dirinya. Ia telah melewati perjalanan yang panjang, sembilan bulan yang penuh cinta, harapan, dan impian. Kini, waktunya telah tiba. Tubuhnya adalah samudra yang menggulung gelombang, setiap tarikan napasnya seperti pasang yang naik, memanggil kehidupan yang akan segera hadir. Rehan berada di sisinya, menggenggam erat tangan Natasya, seolah tak ingin melepaskannya pada detik-detik genting ini. Wajahnya tegang, namun
Malam itu, bulan menggantung rendah di langit Edholm, membasahi tanah istana dengan cahayanya yang lembut dan tenang. Di balkon utama, Raja Rehan duduk seorang diri, memandang horizon yang seolah tak bertepi. Dedaunan di taman istana berbisik pelan dihembus angin malam, namun hati Rehan tak pernah sepi dari suara-suara yang bergemuruh di dalam dirinya.Ia menanti. Penantian yang panjang dan penuh gairah, namun juga penuh kecemasan yang terselubung dalam harapan.Di dalam istana yang megah ini, di kamar yang penuh kehangatan dan cinta, Natasya beristirahat. Perutnya yang membesar adalah bukti dari kehidupan baru yang tumbuh di dalamnya, buah cinta yang lahir dari ikatan mereka berdua—seorang anak, seorang pewaris, seorang yang akan membawa nama Edholm ke masa depan.Rehan sering bertanya dalam hati, bagaimana rasanya memeluk darah dagingnya sendiri untuk pertama kali? Bagaimana wajah anaknya kelak, apakah ia akan mewarisi senyum lembut Natasya, atau mata tajam yang ia miliki? Setiap ma
Suasana pagi itu di ibu kota Edholm terasa berbeda dari biasanya. Angin sejuk berhembus lembut, membawa serta aroma embun pagi yang menyegarkan. Warga berkumpul di alun-alun utama di depan istana, wajah-wajah mereka dipenuhi dengan rasa penasaran dan antisipasi. Kabarnya, Raja Rehan akan memberikan pengumuman penting hari ini, sebuah kabar yang berpotensi mengguncang seluruh kerajaan.Rehan, yang biasanya tampak tegas dan berwibawa, hari itu terlihat penuh kebahagiaan. Berdiri di balkon istana bersama Natasya yang tengah hamil, ia memandang lautan rakyatnya dengan senyum hangat. Suara lonceng besar istana berdentang, menandakan bahwa saatnya bagi Rehan untuk berbicara."Rakyat Edholm yang aku cintai," suara Rehan bergema di seluruh alun-alun, menarik perhatian ribuan warga yang menunggu kata-katanya. "Hari ini, aku membawa kabar gembira yang tidak hanya akan mempengaruhi istana, tetapi juga seluruh kerajaan kita."Sorak-sorai kecil terdengar dari kerumunan. Warga mulai saling berbisik
Hari itu, suasana istana Edholm dipenuhi dengan kegembiraan yang tak biasa. Bukan karena kemenangan militer atau keberhasilan diplomasi yang berhasil Rehan raih, melainkan berita yang jauh lebih personal dan mendalam bagi kerajaan. Natasya, kekasih dan pendamping setia Raja Rehan, mengandung anak pertama mereka.Berita itu pertama kali sampai ke telinga Rehan saat ia sedang duduk di ruang singgasananya, memeriksa laporan dari dewan penasihat ekonomi. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan Natasya berjalan masuk dengan senyum tipis di wajahnya, matanya berkilau dengan emosi yang tidak biasa."Ada yang harus aku sampaikan, Rehan," ucapnya pelan, namun penuh arti.Rehan, yang biasanya selalu fokus pada urusan kerajaan, langsung menghentikan pekerjaannya dan memandang Natasya dengan penuh perhatian. Ada sesuatu dalam ekspresi kekasihnya yang membuatnya sadar bahwa ini bukanlah kabar biasa."Apa yang terjadi, Natasya?" tanyanya, dengan nada suara lembut namun penuh dengan rasa ingin tahu.N