Bianca kaget melihat sosok Axel. Dia mengusap kedua matanya tak percaya. Semakin lama, ia semakin yakin jika pria itu Axel. Suara Suryo yang terus memanggil namanya, tak digubris. "Non! Jadi, ini gimana? Non!" Suryo mengacak-acak rambutnya. Belum lagi, Axel menunggu Suryo tak ada niatan untuk meninggalkannya. Suryo bingung apa yang harus dilakukannya.
Bianca terus menatap Axel tanpa henti. Bibirnya tersenyum senang, hatinya terasa melayang diatas awan, pikirannya tentang klien seakan menghilang tanpa jejak. Axel memenuhi pikirannya dalam waktu lama hingga pria itu melihatnya. Keduanya saling bertatapan dengan senyuman mendarat pada bibir mereka.
"Bianca?"
"Benar. Ternyata ini kamu," ucapnya masih menatap Axel. Pria itu tersenyum.
"Aku gak mengira bisa ketemu kamu disini."
"Aku juga," tutur Bianca. Axel tertawa.
"Ternyata, dunia benar benar sempit. Padahal, takdir dapat mempertemukan kita ditempat lainnya. Eh, malah ketemu di jalanan yang macet." Axel menggelengkan kepala sambil tersenyum. Bianca tertawa kecil.
"Mau masuk? Mau mengobrol disini?" kata Bianca.
"Apa boleh?"
"Kenapa tidak?" Bianca memberikan kode pada Suryo agar keluar dari mobil. Namun, Suryo tak mengerti isyarat itu.
"Non, ada apa?" tanya Suryo secara terang-terangan. Bianca menghela nafas. Dia cukup kesal karena Suryo terlalu bodoh untuk mengerti apa yang diinginkannya. Axel tersenyum seakan mengerti apa yang dilakukan Bianca.
"Mau rokok?" tanya Axel pada Suryo.
"Boleh deh. Koreknya ada gak?"
"Tenang, ini ada." Axel memberikan rokok serta korek api.
"Tetapi, mobilmu..."
"Sudahlah, nanti saja!" kata Axel. Suryo hendak menyalakan koreknya, tetapi ia mengurungkan niatnya.
"Tunggu! Kamu tidak melaporkan aku ke polisi, kan?" Suryo tak berhenti khawatir. Axel merasa sedikit kesal terhadapnya. Namun, dia tetap tersenyum.
"Suryo, kamu ingin kupecat sekarang?" Bianca tak sabar mengusir Suryo dari mobilnya."
"Eh, Non, kenapa tiba-tiba? Apa saya membuat kesalahan?"
"Cepat rokok diluar sana! Atau aku pecat!" tegas Bianca mulai emosi. Axel tersenyum melihat sikap tegas Bianca.
"Ba┄baik, Non. Saya akan merokok di luar. Tetapi, jangan pecat saya, ya" ucap Suryo dengan gugup sekaligus khawatir. Ia mengelus dada. Ketika dia keluar dari mobil, Bianca membuka pintu mobil untuk Axel. Pria itu duduk di sebelahnya. Karena jarak mereka yang cukup dekat, membuat wajah Bianca merona merah.
"Ada apa dengan wajahmu? Kamu sakit?" Axel memegang dahi Bianca dengan lembut.
"Ti┄Tidak kok. Biasa, aku lagi mikirin soal klien," ucapnya berbohong.
"Klien? Kamu ingin ketemu sama klien?" tanya Axel. Bianca menganggukkan kepala.
"Macet begini, mungkin akan memakan waktu sekitar setengah atau satu jam lagi. Lewati jalan lain saja gak mungkin. Semua jalanan begitu padat. Tidak bisa memutar arah. Tetapi, kamu jangan takut. Karena ada aku disini yang akan menemanimu." Axel menggenggam tangan Bianca. Rasa gugup mengitari hati Bianca.
Hatinya begitu rapuh untuk tidak tergoda pada pria itu. Keduanya saling bertatapan cukup lama, hingga Axel mencium bibir Bianca begitu lembut. Ciuman mereka hanya berlangsung lima detik, setelah itu Axel melepaskan ciumannya. Dia tersenyum melihat Bianca yang salah tingkah.
"Jangan bilang, ini ciuman pertama kamu?" terka Axel.
"I┄Iya. Ini ciuman pertamaku." Bianca begitu gugup. Tak lama, tubuhnya bergetar. Axel tertawa. Bianca tersipu malu sambil menundukkan kepala.
"It's okay kalau ini memang ciuman pertama kamu. Kali ini, aku akan lebih lembut lagi," bisik Axel. Pria itu tak puas hanya sekali mencium Bianca.
"Tung┄" Belum menyelesaikan perkataannya, Axel mencium bibirnya. Bianca tak dapat berkutik.
Pesona Axel yang kuat serta sentuhan bibirnya yang lembut, membuat gadis itu seakan pasrah. Axel yang tak ingin membuang kesempatan itu, dia mulai memperdalam ciumannya. Bianca mengikuti lidah Axel yang menari dengan indah. Kedua tangan Bianca saling menggenggam. Ada sesuatu didalam dirinya yang terbangkitkan.
Axel pun terhenti. Sebenarnya, ia tak ingin berhenti. Tetapi, ia tak boleh gegabah. Dia harus sabar dalam mendekati Bianca. Walau, sesuatu yang ada dalam dirinya tak dapat dibendung lagi. Pria itu tersenyum melihat Bianca yang wajahnya semerah tomat.
"Gimana? Kamu sudah tidak gugup lagi?" tanya Axel.
"Ke┄Kenapa kamu tiba-tiba menciumku?" Bianca mencoba menghilangkan rasa gugup yang ada didalam dirinya.
"Apa kamu sungguh tidak mengerti dengan tindakanku?" tanya Axel. Bianca tampak berpikir. "Apa kamu ini seorang playboy yang sedang menggodaku?" tanyanya asal. Axel menelan ludah.
"Bianca, aku bukan pria seperti itu. Apa kamu tidak memahami perasaanku?"
"Aku tidak memiliki pengalaman. Jadi, aku tidak terlalu mengerti perasaan seorang pria. Aku hanya paham soal pekerjaan saja. Kalau kamu menanyakan soal pekerjaan, mungkin aku bisa menjawabnya. Tetapi, jika dilihat dari tindakanmu itu, aku..."
"Kamu memang pekerja keras. Aku semakin menyukaimu," ucap Axel seraya mengusap lembut kepala gadis itu. Jantung Bianca berdetak kencang tak menentu. Irama jantungnya seakan hampir meledak. Axel tersenyum. Dia memperhatikan bibir Bianca yang manis dan lembut. "Aku sungguh menyukaimu untuk pertama kalinya, Bianca."
Axel mencium bibir Bianca sekali lagi. Kali ini, ciumannya lebih ganas dan tak terkendali. Bianca tak dapat berkutik. Pikirannya seakan kosong. Axel tak henti mencium bibir itu. Hingga ciumannya beralih pada leher Bianca yang putih mulus. Leher itu selalu menjadi titik spot yang bagus bagi Axel. Lidahnya dapat bergerak bebas pada daerah itu.
Belum merasa puas, ciuman Axel semakin liar. Padahal, itu pertemuan kedua mereka, namun tindakannya semakin berani. Ia tak memikirkan apapun. Yang ia inginkan hanyalah Bianca. Pria itu bergerak cepat dengan melepaskan tiga kancing kemeja Bianca.
Disana terlihat bra berwarna hitam yang memperlihatkan keseksian gadis itu. Gairah Axel semakin memuncak. Lidahnya begitu rakus, ingin menguasai daerah itu tanpa henti. Tatapannya nakal ingin segera melepaskan penghalang berwarna hitam itu.
Namun, ketika tangannya bergerak untuk melepaskannya, langkahnya tertahan. Gadis itu menggelengkan kepala. "Ada apa?" tanya Axel mengerutkan kening, ada rasa kecewa yang tampak pada wajahnya. Bianca memperbaiki kemejanya yang terbuka. Tak lama, ia mulai menjauh.
"Maaf. Aku gak bisa. Aku rasa ini terlalu terburu-buru," ucap Bianca tanpa melihat pria itu. "Dan juga... di sekitar sini banyak kendaraan bermotor. Aku hanya..."
"Aku mengerti. Aku minta maaf, aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri." Axel mendekati Bianca sambil menggenggam tangannya. "Jangan marah, ya! Aku telah kelewatan."
"Lain kali jangan diulangi lagi. Tiba-tiba pikiranku kosong. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Tindakanmu itu membuatku seperti orang linglung." Bianca mencoba untuk menatap Axel.
"Sebenarnya, aku tidak pernah seperti ini. Mungkin aku... telah jatuh hati padamu, sehingga aku tidak bisa menahan diri didekatmu." Axel menatap Bianca, memperlihatkan keseriusannya. Akankah pria itu tulus dengan Bianca?
"Kamu jatuh cinta padaku? Tetapi kita baru dua kali bertemu."
"Bagi aku, cinta hanya butuh satu detik. Kamu tahu kenapa?"
"Memangnya kenapa?"
"Karena cinta tidak pernah memandang waktu. Apalagi ketika tatapan kedua mataku bertemu dengan sepasang mata indahmu. Sejak itu, aku telah jatuh hati denganmu." Axel menatap Bianca. Kemudian, pria itu hendak mencium bibirnya, namun suara pintu mengagetkannya. Bianca mendorong Axel secara tiba-tiba. Suryo membuka pintu mobil.
"Non, sepertinya ada jalur disebelah sana yang kosong," ujar Suryo. Pria itu tidak memahami situasinya.
"Jalur kosong? Apa maksud kamu?" Pikiran Bianca mendadak kosong. Axel tersenyum melihat Bianca salah tingkah.
"Non, gimana sih? Kan disini lagi macet. Waktu saya merokok, banyak kendaraan dari belakang yang mencoba memasuki jalur kosong itu. Dan jalur itu cukup lebar. Kalau dapat memotong jalur kendaraan lain, mungkin dapat keluar melalui jalur itu."
"Seriusan? Ya sudah kita langsung kesana saja."
"Tetapi, Non..."
"Ada apa?"
"Bagaimana dengan mobilnya? Goresan-goresan itu terlihat tajam."
"Itu..."
"Sudahlah, aku tidak mempermasalahkannya lagi," celetuk Axel terlihat santai.
"Kamu yakin? Gak mau melaporkan saya ke polisi?"
"Dari awal aku tidak membesar-besarkan masalah. Jadi, lain kali kamu harus lebih berhati-hati saja."
"Te┄Terima kasih kalau begitu." Suryo terlihat senang, memperlihatkan deretan giginya yang berwarna kekuningan. Axel tersenyum sambil menggenggam tangan Bianca. Ketika Suryo merapikan duduknya, Axel mengecup lembut bibir Bianca.
"Sampai ketemu lagi, Dear. Aku akan selalu merindukanmu," bisik Axel sebelum membuka pintu mobil. Wajah Bianca bersemu merah.
Bianca mengacak-acak rambutnya seakan ia ingin membanting sesuatu yang ada di dekatnya. Sarah yang sedang bersamanya, berusaha untuk menenangkan gadis itu. Namun, rasa amarah Bianca tak kunjung reda. Bagaimana tidak, dia kehilangan klien besarnya hanya dalam sekejap saja."Sudah kubilang sebelumnya kalau kamu yang lebih dulu menghandle klien itu, karena aku terjebak kemacetan parah. Apa kamu sungguh tidak mengerti apa yang kukatakan?""Maaf, Bu, tetapi saya sudah berusaha untuk menjelaskan situasinya. Bahkan, saya mengatakan kalau anda akan segera datang kemari. Tetapi, dia tidak percaya dengan kata-kata yang saya ucapkan. Dia malah akan menuntut perusahaan karena merasa ditipu.""Apa? Menuntut perusahaan? Yang benar saja." Bianca mengacak-acak rambutnya frustasi."Ibu, tenanglah. Saya rasa, sebaiknya ibu langsung menghubungi CEO dari Falco and group saja. Karena kata-kata ibu akan membuat CEO itu percaya dan tidak akan menuntut perusahaan anda.""
Angel menggedor kaca pintu mobil dengan cukup keras. Gadis yang menodong pisau langsung berpakaian dengan benar. Saat itu terjadi, Axel membuka pintu, lalu menjauhkan diri darinya. Gadis itu kesal. Dengan langkah yang cepat, ia ingin menangkap Axel kembali. "Aku serahkan dia ke kamu, ya. Aku tunggu disana," bisik Axel seraya mengecup bibir Angel lembut."Sial! Aku selalu mendapatkan bagian yang gak enak." Angel dan gadis itu saling menatap. Angel menyeringai. Tanpa basa-basi ia merebut pisau di tangan gadis itu. Kini giliran Angel bertindak. Dia mengarahkan pisau tepat pada pipi gadis itu. "Pergilah, sejauh mungkin! Atau wajah ini akan kubuat cacat," ancam Angel tak main-main. Gadis itu tertawa keras."Kalian sama saja. Selalu menggunakan kekerasan untuk memecahkan solusi.""Bukankah kamu juga sama? Aku hanya memperlakukanmu sama seperti apa yang kamu lakukan terhadapnya.""Kali ini, aku akan melepaskanmu. Tetapi, tidak untuk lain waktu. Aku akan mengejar
Mobil Pajero milik Bianca terhenti pada sebuah Mall yang terletak di daerah pertengahan kota. Sarah, sekretaris Bianca juga ikut bersamanya. "Non, kita sudah sampai. Sebaiknya, non Bianca dan non Sarah turun disini saja. Biar saya memarkirkan mobilnya," ucap Suryo, mobil yang ia kendarai telah berada pada Lobby Mall. "Ya sudah. Jangan keluyuran kemana-mana! Tetap di parkiran," tegas Bianca yang seakan tahu kebiasaan Suryo. Biasanya, ketika Bianca pergi ke suatu tempat, Suryo tiba-tiba menghilang hingga gadis itu menunggunya terlalu lama. "Baik, Non," ucap Suryo sambil menundukkan kepala. Pria itu membukakan mobilnya untuk Bianca, Pada waktu bersamaan, Sarah membuka pintu mobil, lalu menunggu Bianca turun dari mobil. Ketika Bianca dan Sarah berjalan memasuki Mall, saat itu seorang pria tak sengaja menabrak Bianca. "Je m'excuse. Est-ce que ça va?" kata pria bule berdarah perancis. Pria itu mengatakan dia minta maaf dan menanyakan keadaan Bianca. Akan tetapi, ga
Axel dan Bianca memutuskan untuk berpacaran. Mereka saling bertegur sapa lewat telepon, bahkan sering melontarkan kata-kata mesra. Hubungan mereka semakin hari, semakin membaik. "Gimana kabarmu dikantor, Dear?" tanya Axel bernada manja lewat panggilan teleponnya."Biasalah lagi sibuk. Oh ya, beberapa hari lagi aku akan pergi ke ulang tahun seseorang, apa kamu ingin pergi bersamaku?" Bianca berharap jika dia dapat bersama dengan Axel ke acara itu."Wah, kenapa pas sekali ya acaranya, Dear.""Kenapa? Kamu lagi lembur kerja atau ada sesuatu yang lain?""Pekerjaanku memang tidak tetap sih, tetapi bukan karena itu. Maaf ya, Dear. Aku gak bisa menemanimu," ucapnya. Axel memiliki janji dengan angel, membuatnya tidak bisa pergi bersama Bianca. "Oh ya, bagaimana kalau kita bertemu saja. Aku sudah kangen sama kamu," ucap Axel. Pria itu ingin mencicipi bibir seksi Bianca. Pikirannya liar membuat sekujur tubuhnya tegang. Dia ingin merasakan setiap bagian tubuh Bianca
Apartemen Axel terbilang lumayan besar. Tetapi, bagi seseorang yang memiliki harta berlimpah, apartemennya bukanlah apa-apa. Namun, Bianca tak pernah mempermasalahkan hal itu. Gadis itu memilih duduk di sofa. Bibirnya tersenyum manis. "Kenapa? Kecil ya apartemenku?" tanya Axel."Aku gak berpikir begitu.""Lalu apa yang kamu pikirkan?" Axel duduk disebelah Bianca. Pria itu menyentuh kepala Bianca, lalu disandarkan pada bahunya."Apartemenmu rapi dan bersih.""Itu karena aku yang rajin membersihkannya," ungkap Axel agak sedikit gugup. "Untung saja, aku selalu membersihkan Apartemenku setiap hari," batinnya."Lalu, sebenarnya apa pekerjaanmu?""Kamu ingin tahu?" tanya Axel. Bianca menganggukkan kepala. Pria itu membelai rambut panjangnya dengan lembut. Sesekali, ia mengecup lembut kening Bianca. Perasaan Bianca semakin kuat karena sikap manis pria itu."Kalau kamu belum memiliki pekerjaan yang tetap, aku bisa memberimu jabatan di kantor,
Awan tak terlihat terang, semuanya terasa gelap, hanya bintang yang mampu menemani sang kegelapan malam. Cahaya lampu juga melengkapi dunia yang gemerlap. Adanya sebuah bangunan megah dengan bergaya Eropa, dipenuhi lampu berwarna terang membentuk kemegahan.Bangunan itu memiliki pintu utama yang tinggi, bahkan jika ada seorang manusia dengan tinggi dua meter, masih dapat berjalan dengan baik melalui pintu tersebut. Tinggi pintu itu berkisar 3.5 m. Orang-orang terlihat seperti semut, jika melalui pintu itu.Tempat yang megah tak jauh dari tamu-tamu berkelas tinggi. Mereka semua mengenakan pakaian dengan brand terkenal dari dress, jas, high heels, sepatu, tas, hingga segala jenis benda yang melekat pada penampilan mereka.Bianca dan Sarah yang tak ingin ketinggalan. Mereka mengenakan dress dengan brand yang terkenal. Bianca dengan dress navy polosnya, menampakkan bentuk tubuhnya serta dadanya yang terlihat membesar. Sedangkan Sarah mengenakan dress panjang berwarn
Axel dan Angel masih betah berdiri di lantai dua tanpa menyambut tamu lainnya. Angel memanggil pelayan yang berjalan melewatinya untuk mengambilkan dua gelas anggur merah. "Kamu selalu tahu apa yang menjadi kesukaanku," ungkap Axel menampakkan senyuman mautnya."Kita kan sudah kenal lama, Xel. Semuanya tentangmu aku tahu bahkan ukuran semua yang kamu pakai," ujar Angel. Pria itu menyeringai dengan tatapan nakalnya."Eh iya, kamu masih disini?" tanya Axel."Emang kenapa? Kamu udah gak sabar ketemu ama dia?""Bukan begitu. Saat ini, statusnya adalah pacarku. Walau aku sudah melihatnya dari sini, entah kenapa aku tidak bisa menemuinya langsung. Menurutmu kenapa?""Karena kamu gak menganggap dia sebagai orang spesial dihatimu." Kepala Angel bersandar pada bahu lebar Axel. "Xel!" panggil Angel seraya mendongakkan kepalanya."Hmm? Apa?""Kamu serius ingin memanfaatkannya?""Kalau iya kenapa?""Kamu gak takut suatu hari nanti k
Bianca membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar. Dia menghela nafas seketika. Dilihatnya, cermin yang menampakkan sosok dirinya. Ia tersenyum. Walau dalam suasana hati yang cukup buruk tadi, tetapi ia masih begitu cantik. Setelah lima belas menit kemudian, dia keluar dari sana.Saat keluar dari toilet, dia ditarik oleh Axel. Pria itu langsung menciumnya lembut. Bianca ingin menampar siapa pria yang berani menciumnya. Namun, hal itu tak ia lakukan saat Axel melepaskan ciumannya. Pria itu tersenyum."Kamu disini?" Bianca masih tidak percaya jika Axel berada didekatnya. Ia mengira pikirannya dipenuhi Axel, sehingga menyebabkannya berkhayal. Gadis itu menampar pipinya sendiri."Kenapa ditampar, dear?" Axel mengusap pipi Bianca lembut. Setelah itu, ia mencium pipinya."A┄Aku kira ini cuma mimpi. Kamu tiba-tiba datang begitu saja tanpa mengabariku dan langsung menciumku. Gadis mana yang tidak langsung kaget?""Kamu masih ingat tidak, waktu itu ketika
Vivian mengenakan salah satu dress yang baru ia beli di Mall. Dia menatap cermin sambil tersenyum. Axel berdiri di belakang Vivian seraya memeluknya dari belakang. "Kamu cantik, Honey," puji Axel sambil mengusap kepala wanita itu dengan lembut."Ini tubuh Bianca. Bagaimana kamu tahu kalau aku cantik?" tanya Vivian. Senyuman Axel tampak pada bibirnya."Apapun itu, bagiku kamu cantik." Axel mencium rambut wanita itu dari belakang."Aku ingin mencoba dress yang lain.""Kamu beneran gak sabar ya ingin segera berkencan denganku?" godanya, menaikkan salah satu alis."Ya udah, aku pakai dress ini aja.""Duh, istriku ini mulai ngambek ya. Tetapi, sikapmu yang seperti ini bertambah manis. Aku suka," bisiknya dengan nada seksi. Lidah Axel bermain pada telinga itu. Tak lama, ia menyudahinya."Kalau kamu terlambat, kita akan kesulitan ke Bioskop," kata Vivian. Ia menatap malas seraya melipatkan kedua tangan. Axel tersenyum. Selain menggoda Vivian
Vivian mengepalkan tangan. Ia tak mengira bertemu musuh lamanya di rumah itu. Awalnya, Victoria juga tak tahu kalau Vivian berada di tubuh Bianca. Namun, setelah insiden perselingkuhan Axel terkuak, Victoria dapat merasakan gelombang aura yang sangat kuat dari tubuh Bianca.Sejak saat itu ia mulai memperhatikan orang-orang disekitar Vivian secara diam-diam. Dia juga menanamkan sesuatu pada diri Meili saat anak buahnya dikalahkan oleh Vivian. Hal itu yang memicu Meili memilih bunuh diri.Jika dilihat dari karakteristik Meili, ia bukan tipe perempuan yang mengakhiri hidupnya. Victoria berhubungan dengan kematian Meili. Sayang, Vivian tak tahu hal itu. Tetapi, dia agak curiga ketika Meili lebih memilih melompat dari lantai tiga.Namun, kecurigaan itu perlahan memudar, saat melihat Meili bersimbah darah. Setelah semua terjadi, kini Vivian mulai mengerti. Kehadiran Victoria memberinya petunjuk. Yang dia tak bisa prediksikan, roh iblis itu datang lebih cepat ketimbang
Barang belanjaan yang cukup banyak membuat Vivian agak kesulitan membawanya. Ia melihat Suryo yang tertidur pulas di mobil. Suara ketukan kaca mobil mengagetkannya seketika."Eh, Non. Sudah selesai?" tanya Suryo seraya mengusap kedua matanya. Ia masih agak mengantuk."Udah dong. Oh ya, kenapa kamu memanggilku non lagi?""Udah kebiasaan, Non. Nggak enak rasanya kalau diubah begitu.""Kamu menyebutku begitu, telingaku jadi gatel." Vivian mengusap telinga."Saya kan sudah memanggil Non bertahun-tahun. Rasanya tidak sopan jika tidak memanggil seperti itu. Nggak apa-apa kan, Non?" Suryo mengusap kedua matanya lagi."Ya udah terserah kamu.""Barang belanjaan Non kemana? Saya mau taruh di bagasi mobil.""Sudah ku taruh semua baru saja. Sepertinya, kamu masih mengantuk, ya.""U-udah nggak, Non," kata Suryo. Ia tak ingin dianggap sebagai sopir yang tidak kompeten. Dia berusaha agar menahan rasa kantuknya."Pak Suryo, kalau
Keduanya saling bertatapan. Tak berlangsung lama, malaikat maut itu mengeluarkan rantai ikatan. Rantai itu dapat mengikat roh iblis dengan cukup kuat. Namun, Vivian selalu tahu trik ini.Dia berhasil menghindar walau tak menggunakan kekuatannya. Malaikat maut itu terus mengayunkan rantai ikatan ke arah Vivian. Lagi-lagi hal itu sia-sia. Vivian menyeringai.Dia tahu malaikat maut tidak pernah menunjukkan kekesalannya. Terlihat, hanya dua kali serangan gagal, malaikat maut terhenti. Ia menyimpan kembali rantai ikatan itu."Apa kamu nggak bosan ingin menangkapku terus?" Vivian mengerucutkan bibir."Vivian, kamu sudah terlalu lama hidup di dunia manusia. Sudah saatnya, kamu kembali ke gerbang langit.""Gak mau. Aku tahu, kalian p
Sebuah Mall yang berada di daerah perkotaan lebih ramai ketimbang biasanya. Mungkin dikarenakan hari minggu, menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk menghabiskan hari liburnya di Mall. Beberapa butik ternama telah dipadati pengunjung. Mereka berbondong-bondong membeli pakaian dengan harga murah. Terjadinya diskon besar-besaran hampir semua butik yang ada di Mall tersebut. Salah satu pengunjung Mall itu memancarkan auranya. Orang-orang berlalu lalang terkesima dengan kecantikan serta bentuk badan yang dimilikinya. Sosok itu adalah Vivian. Walau semua pakaian Bianca serba tertutup, tak menjadi penghalang baginya untuk berpakaian terbuka. Ia menyulap salah satu kemeja Bianca yang berlengan panjang menjadi tanpa lengan. Dia melepas semua lengannya tanpa menyisakan sedikitpun menggunakan pendedel. Lalu, ia menggunakan benang dan juga jarum. Ia meminjam semua peralatan itu pada Ratna. Kemudian, ia menjahit bagian yang kurang rapi. Masih belum cukup puas,
Roh iblis itu menatap Axel sambil tersenyum. Langkahnya semakin dekat hingga wajah mereka berjarak beberapa sentimeter saja. "Ikuti aku!" kata roh iblis itu. Axel mengikutinya. Mereka duduk di salah satu kursi yang berada di Taman. Banyak orang berpacaran disana. Axel dan roh iblis itu memilih tempat yang sepi, sehingga tidak ada yang mendengar apa yang mereka bicarakan. Mereka juga tidak terpengaruh oleh suara-suara bising lainnya. "Tempat ini sudah cukup sepi, ceritakan padaku apa yang kamu ketahui tentangnya." "Kamu nggak takut denganku? Gimana kalau aku menipumu?" Roh iblis itu tersenyum miring. "Kamu adalah roh iblis. Sedangkan aku hanyalah manusia biasa. Berada di tubuhku juga nggak enak." Axel memalingkan wajahnya. Sebenarnya, ia masih takut dengan roh iblis di depannya. "Hahaha…. Kamu cukup menarik. Oh ya, kamu ingin tahu cerita Vivian atau roh iblis?" "Vivian kan roh iblis. Nggak ada bedanya, kan?" "Aku memberikanmu pi
Angel menatap tak percaya apa yang dilihatnya. Ia terlihat gugup. Sedangkan Axel berpakaian kembali. Dia mulai menjauh dari Angel. Ketakutan kembali menerpa pria itu. Tubuhnya mulai bergetar. Bibirnya pucat. "Ngel, aku cabut dulu, ya. Dah." "Duh, si Axel ini malah main kabur segala," batin Angel. Ketika Axel berpapasan dengan Falco, pria itu menariknya. Dia memukuli Axel bertubi-tubi. "Stop Falco!" seru Angel. Ia menghentikan suaminya. Tatapan mata Falco marah bercampur kecewa. Angel menatap Falco sambil memegang tangannya. Ia meneteskan air mata. Karena air mata itu, Falco berubah menjadi lembut. Ia tak lagi memukuli Axel. "Kenapa, Angel? Apa kekuranganku dari pria itu?" Falco menatap Angel kecewa. Tak terasa, ia meneteskan air mata. "Maaf. Kamu boleh menyalahkanku. Aku…" "Aaaaaaah!" Falco berteriak histeris. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia tak ingin memukul atau memarahi istrinya. Dia begitu mencintai Angel. Dia lebih suka m
Axel tidur pada paha Angel. Mereka tak melakukan apa-apa. Axel menggenggam tangan wanita itu, lalu mengecupnya lembut. Sebelum mengenal Vivian, tak cukup hanya ciuman ditangan.Pria itu bergerak liar hingga Angel kewalahan. Namun, saat ini, ia tak ingin melakukannya. Entah apa yang terjadi padanya, ia seakan tak bergairah. Padahal, Angel mengenakan baju tanpa lengan memperlihatkan belahan dadanya serta celana pendek di atas lutut.Siapa yang tidak tergoda dengan penampilannya seperti itu? Berada di pangkuan Angel, baginya lebih dari cukup. Ia tak ingin lebih. Selain itu, Angel tak mengajak Axel untuk berhubungan badan.Sebenarnya, Axel lebih sering mengajaknya untuk melakukan perbuatan dosa itu, ketimbang dirinya. Tak heran, ketika Axel tak ingin melakukan itu, Angel juga tak berinisiatif. Wanita itu mengerti apa yang terjadi pada Axel."Jadi, kamu telah jatuh hati beneran sama istrimu?" tanya Angel. Sudah kesekian kali Axel tak menjawab. Ia bimbang. Ange
Wanita itu mengusap punggung Axel, membiarkannya membenamkan kepala. Beberapa orang melihat ke arah mereka, namun tak terlalu peduli dengan hubungan keduanya. "Why? Kamu begitu kangennya ya sama aku, sehingga kamu peluk aku gini?" tanya wanita itu. "Angel, kamu kemana aja? Kamu tahu kalau aku kangen." Axel melepaskan pelukannya perlahan. Ia menatap wajah itu. "Ayo, ke Apartemenmu!" seru Angel tiba-tiba. "Lalu, gimana dengan suamimu?" "Suamiku lagi ke luar kota. Kamu gak perlu cemas." "Ngel, aku gak mau seperti waktu itu. Kamu tau gak, apa yang dilakukan suamimu itu? Aku hampir mati." Axel merinding seketika saat mengingat kejadian waktu itu. "Sorry, Xel. Aku gak bermaksud membuatmu takut." Wajahnya kusam. Kemudian, Angel duduk di pasir. Kedua kakinya disejajarkan didepan. "Tetapi, suamimu gak pernah memukul atau interogasi kamu, kan?" "Dia hanya memelukku. Dia mengatakan tentang perasaannya. Dan ia berharap, kalau kami