Barang belanjaan yang cukup banyak membuat Vivian agak kesulitan membawanya. Ia melihat Suryo yang tertidur pulas di mobil. Suara ketukan kaca mobil mengagetkannya seketika.
"Eh, Non. Sudah selesai?" tanya Suryo seraya mengusap kedua matanya. Ia masih agak mengantuk.
"Udah dong. Oh ya, kenapa kamu memanggilku non lagi?"
"Udah kebiasaan, Non. Nggak enak rasanya kalau diubah begitu."
"Kamu menyebutku begitu, telingaku jadi gatel." Vivian mengusap telinga.
"Saya kan sudah memanggil Non bertahun-tahun. Rasanya tidak sopan jika tidak memanggil seperti itu. Nggak apa-apa kan, Non?" Suryo mengusap kedua matanya lagi.
"Ya udah terserah kamu."
"Barang belanjaan Non kemana? Saya mau taruh di bagasi mobil."
"Sudah ku taruh semua baru saja. Sepertinya, kamu masih mengantuk, ya."
"U-udah nggak, Non," kata Suryo. Ia tak ingin dianggap sebagai sopir yang tidak kompeten. Dia berusaha agar menahan rasa kantuknya.
"Pak Suryo, kalau
Vivian mengepalkan tangan. Ia tak mengira bertemu musuh lamanya di rumah itu. Awalnya, Victoria juga tak tahu kalau Vivian berada di tubuh Bianca. Namun, setelah insiden perselingkuhan Axel terkuak, Victoria dapat merasakan gelombang aura yang sangat kuat dari tubuh Bianca.Sejak saat itu ia mulai memperhatikan orang-orang disekitar Vivian secara diam-diam. Dia juga menanamkan sesuatu pada diri Meili saat anak buahnya dikalahkan oleh Vivian. Hal itu yang memicu Meili memilih bunuh diri.Jika dilihat dari karakteristik Meili, ia bukan tipe perempuan yang mengakhiri hidupnya. Victoria berhubungan dengan kematian Meili. Sayang, Vivian tak tahu hal itu. Tetapi, dia agak curiga ketika Meili lebih memilih melompat dari lantai tiga.Namun, kecurigaan itu perlahan memudar, saat melihat Meili bersimbah darah. Setelah semua terjadi, kini Vivian mulai mengerti. Kehadiran Victoria memberinya petunjuk. Yang dia tak bisa prediksikan, roh iblis itu datang lebih cepat ketimbang
Vivian mengenakan salah satu dress yang baru ia beli di Mall. Dia menatap cermin sambil tersenyum. Axel berdiri di belakang Vivian seraya memeluknya dari belakang. "Kamu cantik, Honey," puji Axel sambil mengusap kepala wanita itu dengan lembut."Ini tubuh Bianca. Bagaimana kamu tahu kalau aku cantik?" tanya Vivian. Senyuman Axel tampak pada bibirnya."Apapun itu, bagiku kamu cantik." Axel mencium rambut wanita itu dari belakang."Aku ingin mencoba dress yang lain.""Kamu beneran gak sabar ya ingin segera berkencan denganku?" godanya, menaikkan salah satu alis."Ya udah, aku pakai dress ini aja.""Duh, istriku ini mulai ngambek ya. Tetapi, sikapmu yang seperti ini bertambah manis. Aku suka," bisiknya dengan nada seksi. Lidah Axel bermain pada telinga itu. Tak lama, ia menyudahinya."Kalau kamu terlambat, kita akan kesulitan ke Bioskop," kata Vivian. Ia menatap malas seraya melipatkan kedua tangan. Axel tersenyum. Selain menggoda Vivian
Bianca merupakan sosok gadis yang cantik, mandiri, serta sukses. Kecantikannya yang luar biasa, tak sedikit pria meliriknya. Namun, penampilan yang kurang menarik membuat pria sering bosan terhadapnya. Walau berwajah cantik, pakaiannya serba biasa tak seperti keluarga terpandang yang lain. Tak ada yang tahu jika dirinya gadis yang kaya raya, jika tak mengenal baik latar belakangnya. Bianca tipe gadis pekerja keras dengan jadwalnya yang padat. Dia menjabat sebagai direktur perusahaan yang bergerak dibidang industri. Sejak perusahaan diambil alih olehnya semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Hanya dalam waktu tiga tahun, ia menjadikan perusahaan itu memiliki profit yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Perusahaan yang berasal dari neneknya itu sempat mengalami penurunan drastis ketika dipegang oleh ayahnya. Saat itu, ayah Bianca menikah setelah kematian ibunya. Padahal, belum genap satu tahun kematian sang ibu, ayahnya malah membawa seorang
Suara alarm berbunyi dengan cukup keras. Bianca menggeliat, mematikan alarm tanpa melihat angka yang tertera pada alarm itu. Tanpa terasa, waktu telah menunjukkan pukul 8. Bianca yang masih tak sadar akan keterlambatan jadwal rapat pagi ini, masih mengusap kedua matanya dengan gerakan santai. Tak lama, ponselnya berdering. Bianca mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa nama di layar handphonenya. "Bu, kenapa masih belum datang? Semuanya sudah hadir dan sedang menunggu kedatangan ibu." "Datang? Memangnya ada apa?" tanya Bianca, ia lupa sesaat. "Sedang rapat, Bu. Bukankah ibu sendiri yang memajukan jadwal rapat hari ini ketika dua hari yang lalu?" ujar Sarah, sang sekretaris. "Rapat? Astaga! Kenapa aku bisa lupa begini," ucap Bianca, sembari menepuk dahi. "Rapat sudah dimulai satu jam yang lalu. Dan saya telah menghubungi ibu berkali-kali, namun ibu tidak mengangkatnya." "Begini saja, kamu handle dulu, ya. Saya akan segera m
Hari minggu merupakan hari yang paling membahagiakan bagi Bianca karena dia memiliki waktu untuk bersantai sejenak. Untuk itu, dia memilih bangun siang. Waktu telah menunjukkan pukul 8, Bianca terbangun seraya mengusap kedua matanya.Sarah, sekretaris pribadinya mengirim pesan lewat wa. Dia mengatakan kalau hari ini ada klien pada pukul 9:00 WIB. "Astaga! Kenapa aku bisa lupa?" Langkahnya terburu-buru dengan melepaskan piyamanya hanya dalam hitungan detik. Lalu, mencuci muka serta menggosok gigi dengan cepat.Setelah itu, ia langsung memakai kemejanya berwarna hitam dengan lengan yang panjangnya hampir mendekati telapak tangannya. Penampilannya yang nerd, tak mengira dia seorang miliarder.Karena terburu-buru, sepasang sepatu high heelsnya berbeda. Yang kanan berwarna navy, sedangkan yang kiri berwarna hitam. Tinggi kedua high heelsnya sama. Jadi, tak terlalu terasa kalau beda.Tanpa menghiraukan sepasang sepatunya yang tak serasi, ia melangkah kakinya un
Bianca kaget melihat sosok Axel. Dia mengusap kedua matanya tak percaya. Semakin lama, ia semakin yakin jika pria itu Axel. Suara Suryo yang terus memanggil namanya, tak digubris. "Non! Jadi, ini gimana? Non!" Suryo mengacak-acak rambutnya. Belum lagi, Axel menunggu Suryo tak ada niatan untuk meninggalkannya. Suryo bingung apa yang harus dilakukannya.Bianca terus menatap Axel tanpa henti. Bibirnya tersenyum senang, hatinya terasa melayang diatas awan, pikirannya tentang klien seakan menghilang tanpa jejak. Axel memenuhi pikirannya dalam waktu lama hingga pria itu melihatnya. Keduanya saling bertatapan dengan senyuman mendarat pada bibir mereka."Bianca?""Benar. Ternyata ini kamu," ucapnya masih menatap Axel. Pria itu tersenyum."Aku gak mengira bisa ketemu kamu disini.""Aku juga," tutur Bianca. Axel tertawa."Ternyata, dunia benar benar sempit. Padahal, takdir dapat mempertemukan kita ditempat lainnya. Eh, malah ketemu di jalanan yang mac
Bianca mengacak-acak rambutnya seakan ia ingin membanting sesuatu yang ada di dekatnya. Sarah yang sedang bersamanya, berusaha untuk menenangkan gadis itu. Namun, rasa amarah Bianca tak kunjung reda. Bagaimana tidak, dia kehilangan klien besarnya hanya dalam sekejap saja."Sudah kubilang sebelumnya kalau kamu yang lebih dulu menghandle klien itu, karena aku terjebak kemacetan parah. Apa kamu sungguh tidak mengerti apa yang kukatakan?""Maaf, Bu, tetapi saya sudah berusaha untuk menjelaskan situasinya. Bahkan, saya mengatakan kalau anda akan segera datang kemari. Tetapi, dia tidak percaya dengan kata-kata yang saya ucapkan. Dia malah akan menuntut perusahaan karena merasa ditipu.""Apa? Menuntut perusahaan? Yang benar saja." Bianca mengacak-acak rambutnya frustasi."Ibu, tenanglah. Saya rasa, sebaiknya ibu langsung menghubungi CEO dari Falco and group saja. Karena kata-kata ibu akan membuat CEO itu percaya dan tidak akan menuntut perusahaan anda.""
Angel menggedor kaca pintu mobil dengan cukup keras. Gadis yang menodong pisau langsung berpakaian dengan benar. Saat itu terjadi, Axel membuka pintu, lalu menjauhkan diri darinya. Gadis itu kesal. Dengan langkah yang cepat, ia ingin menangkap Axel kembali. "Aku serahkan dia ke kamu, ya. Aku tunggu disana," bisik Axel seraya mengecup bibir Angel lembut."Sial! Aku selalu mendapatkan bagian yang gak enak." Angel dan gadis itu saling menatap. Angel menyeringai. Tanpa basa-basi ia merebut pisau di tangan gadis itu. Kini giliran Angel bertindak. Dia mengarahkan pisau tepat pada pipi gadis itu. "Pergilah, sejauh mungkin! Atau wajah ini akan kubuat cacat," ancam Angel tak main-main. Gadis itu tertawa keras."Kalian sama saja. Selalu menggunakan kekerasan untuk memecahkan solusi.""Bukankah kamu juga sama? Aku hanya memperlakukanmu sama seperti apa yang kamu lakukan terhadapnya.""Kali ini, aku akan melepaskanmu. Tetapi, tidak untuk lain waktu. Aku akan mengejar
Vivian mengenakan salah satu dress yang baru ia beli di Mall. Dia menatap cermin sambil tersenyum. Axel berdiri di belakang Vivian seraya memeluknya dari belakang. "Kamu cantik, Honey," puji Axel sambil mengusap kepala wanita itu dengan lembut."Ini tubuh Bianca. Bagaimana kamu tahu kalau aku cantik?" tanya Vivian. Senyuman Axel tampak pada bibirnya."Apapun itu, bagiku kamu cantik." Axel mencium rambut wanita itu dari belakang."Aku ingin mencoba dress yang lain.""Kamu beneran gak sabar ya ingin segera berkencan denganku?" godanya, menaikkan salah satu alis."Ya udah, aku pakai dress ini aja.""Duh, istriku ini mulai ngambek ya. Tetapi, sikapmu yang seperti ini bertambah manis. Aku suka," bisiknya dengan nada seksi. Lidah Axel bermain pada telinga itu. Tak lama, ia menyudahinya."Kalau kamu terlambat, kita akan kesulitan ke Bioskop," kata Vivian. Ia menatap malas seraya melipatkan kedua tangan. Axel tersenyum. Selain menggoda Vivian
Vivian mengepalkan tangan. Ia tak mengira bertemu musuh lamanya di rumah itu. Awalnya, Victoria juga tak tahu kalau Vivian berada di tubuh Bianca. Namun, setelah insiden perselingkuhan Axel terkuak, Victoria dapat merasakan gelombang aura yang sangat kuat dari tubuh Bianca.Sejak saat itu ia mulai memperhatikan orang-orang disekitar Vivian secara diam-diam. Dia juga menanamkan sesuatu pada diri Meili saat anak buahnya dikalahkan oleh Vivian. Hal itu yang memicu Meili memilih bunuh diri.Jika dilihat dari karakteristik Meili, ia bukan tipe perempuan yang mengakhiri hidupnya. Victoria berhubungan dengan kematian Meili. Sayang, Vivian tak tahu hal itu. Tetapi, dia agak curiga ketika Meili lebih memilih melompat dari lantai tiga.Namun, kecurigaan itu perlahan memudar, saat melihat Meili bersimbah darah. Setelah semua terjadi, kini Vivian mulai mengerti. Kehadiran Victoria memberinya petunjuk. Yang dia tak bisa prediksikan, roh iblis itu datang lebih cepat ketimbang
Barang belanjaan yang cukup banyak membuat Vivian agak kesulitan membawanya. Ia melihat Suryo yang tertidur pulas di mobil. Suara ketukan kaca mobil mengagetkannya seketika."Eh, Non. Sudah selesai?" tanya Suryo seraya mengusap kedua matanya. Ia masih agak mengantuk."Udah dong. Oh ya, kenapa kamu memanggilku non lagi?""Udah kebiasaan, Non. Nggak enak rasanya kalau diubah begitu.""Kamu menyebutku begitu, telingaku jadi gatel." Vivian mengusap telinga."Saya kan sudah memanggil Non bertahun-tahun. Rasanya tidak sopan jika tidak memanggil seperti itu. Nggak apa-apa kan, Non?" Suryo mengusap kedua matanya lagi."Ya udah terserah kamu.""Barang belanjaan Non kemana? Saya mau taruh di bagasi mobil.""Sudah ku taruh semua baru saja. Sepertinya, kamu masih mengantuk, ya.""U-udah nggak, Non," kata Suryo. Ia tak ingin dianggap sebagai sopir yang tidak kompeten. Dia berusaha agar menahan rasa kantuknya."Pak Suryo, kalau
Keduanya saling bertatapan. Tak berlangsung lama, malaikat maut itu mengeluarkan rantai ikatan. Rantai itu dapat mengikat roh iblis dengan cukup kuat. Namun, Vivian selalu tahu trik ini.Dia berhasil menghindar walau tak menggunakan kekuatannya. Malaikat maut itu terus mengayunkan rantai ikatan ke arah Vivian. Lagi-lagi hal itu sia-sia. Vivian menyeringai.Dia tahu malaikat maut tidak pernah menunjukkan kekesalannya. Terlihat, hanya dua kali serangan gagal, malaikat maut terhenti. Ia menyimpan kembali rantai ikatan itu."Apa kamu nggak bosan ingin menangkapku terus?" Vivian mengerucutkan bibir."Vivian, kamu sudah terlalu lama hidup di dunia manusia. Sudah saatnya, kamu kembali ke gerbang langit.""Gak mau. Aku tahu, kalian p
Sebuah Mall yang berada di daerah perkotaan lebih ramai ketimbang biasanya. Mungkin dikarenakan hari minggu, menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk menghabiskan hari liburnya di Mall. Beberapa butik ternama telah dipadati pengunjung. Mereka berbondong-bondong membeli pakaian dengan harga murah. Terjadinya diskon besar-besaran hampir semua butik yang ada di Mall tersebut. Salah satu pengunjung Mall itu memancarkan auranya. Orang-orang berlalu lalang terkesima dengan kecantikan serta bentuk badan yang dimilikinya. Sosok itu adalah Vivian. Walau semua pakaian Bianca serba tertutup, tak menjadi penghalang baginya untuk berpakaian terbuka. Ia menyulap salah satu kemeja Bianca yang berlengan panjang menjadi tanpa lengan. Dia melepas semua lengannya tanpa menyisakan sedikitpun menggunakan pendedel. Lalu, ia menggunakan benang dan juga jarum. Ia meminjam semua peralatan itu pada Ratna. Kemudian, ia menjahit bagian yang kurang rapi. Masih belum cukup puas,
Roh iblis itu menatap Axel sambil tersenyum. Langkahnya semakin dekat hingga wajah mereka berjarak beberapa sentimeter saja. "Ikuti aku!" kata roh iblis itu. Axel mengikutinya. Mereka duduk di salah satu kursi yang berada di Taman. Banyak orang berpacaran disana. Axel dan roh iblis itu memilih tempat yang sepi, sehingga tidak ada yang mendengar apa yang mereka bicarakan. Mereka juga tidak terpengaruh oleh suara-suara bising lainnya. "Tempat ini sudah cukup sepi, ceritakan padaku apa yang kamu ketahui tentangnya." "Kamu nggak takut denganku? Gimana kalau aku menipumu?" Roh iblis itu tersenyum miring. "Kamu adalah roh iblis. Sedangkan aku hanyalah manusia biasa. Berada di tubuhku juga nggak enak." Axel memalingkan wajahnya. Sebenarnya, ia masih takut dengan roh iblis di depannya. "Hahaha…. Kamu cukup menarik. Oh ya, kamu ingin tahu cerita Vivian atau roh iblis?" "Vivian kan roh iblis. Nggak ada bedanya, kan?" "Aku memberikanmu pi
Angel menatap tak percaya apa yang dilihatnya. Ia terlihat gugup. Sedangkan Axel berpakaian kembali. Dia mulai menjauh dari Angel. Ketakutan kembali menerpa pria itu. Tubuhnya mulai bergetar. Bibirnya pucat. "Ngel, aku cabut dulu, ya. Dah." "Duh, si Axel ini malah main kabur segala," batin Angel. Ketika Axel berpapasan dengan Falco, pria itu menariknya. Dia memukuli Axel bertubi-tubi. "Stop Falco!" seru Angel. Ia menghentikan suaminya. Tatapan mata Falco marah bercampur kecewa. Angel menatap Falco sambil memegang tangannya. Ia meneteskan air mata. Karena air mata itu, Falco berubah menjadi lembut. Ia tak lagi memukuli Axel. "Kenapa, Angel? Apa kekuranganku dari pria itu?" Falco menatap Angel kecewa. Tak terasa, ia meneteskan air mata. "Maaf. Kamu boleh menyalahkanku. Aku…" "Aaaaaaah!" Falco berteriak histeris. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia tak ingin memukul atau memarahi istrinya. Dia begitu mencintai Angel. Dia lebih suka m
Axel tidur pada paha Angel. Mereka tak melakukan apa-apa. Axel menggenggam tangan wanita itu, lalu mengecupnya lembut. Sebelum mengenal Vivian, tak cukup hanya ciuman ditangan.Pria itu bergerak liar hingga Angel kewalahan. Namun, saat ini, ia tak ingin melakukannya. Entah apa yang terjadi padanya, ia seakan tak bergairah. Padahal, Angel mengenakan baju tanpa lengan memperlihatkan belahan dadanya serta celana pendek di atas lutut.Siapa yang tidak tergoda dengan penampilannya seperti itu? Berada di pangkuan Angel, baginya lebih dari cukup. Ia tak ingin lebih. Selain itu, Angel tak mengajak Axel untuk berhubungan badan.Sebenarnya, Axel lebih sering mengajaknya untuk melakukan perbuatan dosa itu, ketimbang dirinya. Tak heran, ketika Axel tak ingin melakukan itu, Angel juga tak berinisiatif. Wanita itu mengerti apa yang terjadi pada Axel."Jadi, kamu telah jatuh hati beneran sama istrimu?" tanya Angel. Sudah kesekian kali Axel tak menjawab. Ia bimbang. Ange
Wanita itu mengusap punggung Axel, membiarkannya membenamkan kepala. Beberapa orang melihat ke arah mereka, namun tak terlalu peduli dengan hubungan keduanya. "Why? Kamu begitu kangennya ya sama aku, sehingga kamu peluk aku gini?" tanya wanita itu. "Angel, kamu kemana aja? Kamu tahu kalau aku kangen." Axel melepaskan pelukannya perlahan. Ia menatap wajah itu. "Ayo, ke Apartemenmu!" seru Angel tiba-tiba. "Lalu, gimana dengan suamimu?" "Suamiku lagi ke luar kota. Kamu gak perlu cemas." "Ngel, aku gak mau seperti waktu itu. Kamu tau gak, apa yang dilakukan suamimu itu? Aku hampir mati." Axel merinding seketika saat mengingat kejadian waktu itu. "Sorry, Xel. Aku gak bermaksud membuatmu takut." Wajahnya kusam. Kemudian, Angel duduk di pasir. Kedua kakinya disejajarkan didepan. "Tetapi, suamimu gak pernah memukul atau interogasi kamu, kan?" "Dia hanya memelukku. Dia mengatakan tentang perasaannya. Dan ia berharap, kalau kami