Bianca membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar. Dia menghela nafas seketika. Dilihatnya, cermin yang menampakkan sosok dirinya. Ia tersenyum. Walau dalam suasana hati yang cukup buruk tadi, tetapi ia masih begitu cantik. Setelah lima belas menit kemudian, dia keluar dari sana.
Saat keluar dari toilet, dia ditarik oleh Axel. Pria itu langsung menciumnya lembut. Bianca ingin menampar siapa pria yang berani menciumnya. Namun, hal itu tak ia lakukan saat Axel melepaskan ciumannya. Pria itu tersenyum.
"Kamu disini?" Bianca masih tidak percaya jika Axel berada didekatnya. Ia mengira pikirannya dipenuhi Axel, sehingga menyebabkannya berkhayal. Gadis itu menampar pipinya sendiri.
"Kenapa ditampar, dear?" Axel mengusap pipi Bianca lembut. Setelah itu, ia mencium pipinya.
"A┄Aku kira ini cuma mimpi. Kamu tiba-tiba datang begitu saja tanpa mengabariku dan langsung menciumku. Gadis mana yang tidak langsung kaget?"
"Kamu masih ingat tidak, waktu itu ketika aku bilang aku juga ada acara?" ucap Axel. Bianca menganggukkan kepala. "Aku diundang disini oleh seseorang," katanya sambil menggenggam tangan Bianca. Mengecup kening gadis itu telah menjadi kebiasaannya.
"Diundang siapa?"
"Sepupuku. Lebih tepatnya sepupu jauhku."
"Sepupumu yang mana? Apa mungkin, Falco?" terkanya asal.
"Bukan, Sayang. Yang perempuan disisi Falco itu."
"I┄Istri dari CEO Falco and group? Jadi, kalian berdua sepupu?"
"Iya, Dear."
"Pantas saja, wajahnya tampak tak asing."
"Kemarilah." Axel menggenggam tangan Bianca.
"Kemana?"
"Sepupuku."
"Te┄Tetapi sepertinya..."
"Ayo, sayang!" Axel berjalan berdampingan bersama Bianca. Keduanya tampak serasi. Namun, seorang pria berwajah manis dengan lesung pipi tak sengaja menabrak Bianca.
"Ma┄Maaf," tuturnya dengan sopan.
"Lain Kali berhati-hatilah! Gimana kalau kamu melukai kekasihku ini?" ucap Axel, genggamannya terlepas dari tangan Bianca. Gadis itu tersenyum melihat sikap Axel yang tampak mengkhawatirkannya.
"Sudahlah, aku tidak apa-apa. Biarkan saja." Bianca menarik tangan Axel tanpa memikirkan pria berwajah manis itu. Pria itu melihat keduanya dengan perasaan bersalah. Dia menghela nafas sesaat.
"Aku harap dia baik-baik saja," batinnya seraya berjalan.
"Aku masih kesal. Dia itu menabrakmu," ujar Axel berpura-pura kesal.
Pria itu tak kesal. Ia menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan perasaan palsunya. Dia ingin berterima kasih dengan pria tadi yang tanpa sengaja malah membantunya. Tetapi, entah kenapa dia merasa tak asing dengan wajah itu. Axel memilih untuk melupakan pria tadi. Dia menatap Bianca dengan cukup serius. Gadis itu tersenyum.
"Aku gak apa-apa, Sayang," ucap Bianca. Aku senang, kamu begitu mencemaskanku."
"Itu karena rasa cintaku yang terlalu dalam untukmu. Bianca, aku mencintaimu," kata Axel. Deretan gigi atas dan bawahnya saling bersentuhan, menahan kebohongannya. Bianca mengecup bibir Axel. Tak ingin menyudahi begitu saja, Axel mencium Bianca dengan buas.
Untung saja, Sarah tak sedang bersama Bianca. Wanita itu menunggu di mobil. Dengan leluasa, mereka bisa menghabiskan waktu bersama untuk menunjukkan sikap romantis mereka. Axel menahan punggung Bianca tanpa melepaskan ciumannya.
Ciuman itu bergerak secara membabi-buta, Bianca agak kewalahan. Merasa cukup puas, ia melepaskan ciuman itu, nafas keduanya beradu. Keringat tiba-tiba muncul pada mereka. "Kamu begitu cantik hari ini. Aku semakin tak ingin melepaskanmu," bisik Axel. Wajah Bianca memerah. Kedua orang itu saling bertatapan hingga mengulangi ciuman mereka.
Kali ini, Axel memainkan lidahnya dengan liar, menyerbu mulut Bianca. Ciuman panas kedua orang itu mengundang perhatian orang-orang disekitar mereka. Belasan menit telah berlangsung, Axel menyudahi ciuman keduanya. Bianca menstabilkan nafasnya. Ia berkeringat lebih banyak dibandingkan tadi. Gadis itu menatap Axel.
"Mau lagi?" goda Axel sambil berbisik. Dia menarik Bianca hingga jarak keduanya 5 cm. Akan tetapi, Bianca mencubit pinggang pria itu.
"Ini tempat umum. A┄Aku akan mengambil makanan dulu," ujar Bianca bersemu merah. Dia meninggalkan Axel dengan tergesa-gesa. Pria itu tersenyum, tetapi tidak dengan hatinya yang masih membeku. Entah sampai kapan dia tidak membuka hatinya untuk Bianca. Akankah Axel tak pernah merasa berdosa telah sering memainkan gadis polos itu?
******
Angel menggeliat, dia cukup lelah. Dia berada di kamar yang berukuran besar, khusus baginya dan Falco untuk beristirahat disana. Wanita itu meninggalkan Falco yang masih berada di lantai satu. Sementara, dirinya ada di lantai tiga. High heels setinggi 20 cm, membuat kakinya bengkak.
Dia melepaskan high heels nya, lalu merentangkan kedua kakinya sambil rebahan diatas sofa yang empuk. Ia menutup mata. Beberapa menit kemudian, sang suami, Falco datang ketempat itu. Pria itu tersenyum. "Ternyata kamu disini. Aku mencarimu kemana-mana," ucap Falco. Namun, Angel tak terlalu menggubrisnya. Wanita itu tertidur.
Falco mengecup bibir istrinya. "Kamu pasti lelah banget, ya." Falco melepaskan pakaiannya. Sebelum ia melepaskan celananya, ia memikirkan sesuatu. Pria itu mengambil pakaian istrinya walau tak banyak. Walau gedung megah itu dimiliki Falco, tak banyak pakaian mereka yang ada disana.
Falco mengambil baju crop berwarna hitam berbahan katun dengan celana pendek yang santai. Dia melepaskan dress yang melekat pada tubuh Angel. Dia memakaikan pakaian padanya secara perlahan. Dia tak ingin membangunkan wanita itu. Setelah selesai, dia melemparkan dress itu pada keranjang khusus pakaian kotor.
Falco mencium kening Angel seraya memberinya selimut. Setelah itu, dia memutuskan untuk mandi. Suara shower membangunkan Angel sejenak. Dia menggeliat. Dia cukup kaget pakaiannya telah berganti. "Pasti Falco," batinnya. Tak begitu lama, Falco keluar dari kamar mandi.
"Sayang!" sapa Angel seraya bergerak mencium bibir Falco.
"Kamu menungguku di depan pintu kamar mandi?" tanya Falco mengerutkan kening. Angel menganggukkan kepala. "Kamu gak mandi?"
"Apa aku sebau itu?" Angel mencium aroma tubuhnya.
"Cepatlah mandi sana! Aku menunggumu," bisik Falco sambil menggodanya.
"Tunggu aku kalau begitu." Angel mengedipkan salah satu matanya.
Tak lama, mereka menghabiskan malam yang penuh bergairah. Sepasang suami istri itu saling menginginkan dengan setiap desahan yang menggema di seluruh kamar itu tanpa terdengar orang lain dari luar. Sementara itu, Axel meminum segelas anggur merah bersama Bianca.
"Aku tidak melihat sepupumu. Kemana dia?" tanya Bianca tiba-tiba.
"Entahlah. Aku juga tidak melihat suaminya. Mungkin, mereka sedang bersama," ucap Falco. Dia mengerti apa yang terjadi pada pasangan suami istri itu.
"Mereka meninggalkan pesta begitu saja?"
"Mereka kaya. Wajar saja pergi di tengah pesta yang berlangsung. Pasti ada beberapa orang yang mengurusnya nanti."
"Tetapi, tidak semua orang kaya begitu," ucap Bianca merasa tersindir.
"Aku tidak sedang membicarakanmu, Sayang," Axel mengecup lembut bibir kekasihnya. Setelah beberapa detik, Bianca pergi begitu saja.
"Mau kemana, Dear?"
"Kepalaku agak sedikit pusing."
"Mungkin karena kamu terlalu banyak minum," ucap Axel.
Bianca berjalan sempoyongan. Axel menangkapnya dengan cepat. Seakan telah diprediksikan, ia membawa gadis itu. Apa yang merasukinya, sehingga Bianca mencium bibir Axel dengan rakus. Pria itu menyeringai. Dalam waktu bersamaan, Sarah yang tengah menunggu Bianca merasa curiga tidak seperti biasanya bos nya seperti itu.
Sopir Bianca menguap, pria itu terlihat mengantuk. Tanpa terasa, kedua matanya terpejam. "Jangan tidur dulu!" seru Sarah. Namun, Suryo terlalu mengantuk, dia tidak dapat mendengarkan suara wanita itu. Kemudian, Sarah memilih turun dari mobil untuk mencari Bianca.
Suasana didalam tidak seramai tadi. Begitu banyak orang yang memilih pulang. Bahkan, hanya segelintir orang yang terlihat. Sarah berjalan tak menemukan keberadaan Bianca.
"Apa mungkin dia sudah pulang? Tetapi kalau pulang, kenapa dia gak naik ke mobilnya?" pikir Sarah. "Atau mungkin sesuatu terjadi dengannya? Mungkin aku harus menghubungi polisi." Sarah mengambil ponselnya dari dalam tasnya. Namun, langkahnya terhenti. "Percuma lapor polisi karena belum 24 jam, pasti tidak mungkin ditindaklanjuti." Sarah memijat pelipisnya. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi.
Bianca dengan pakaian utuhnya berciuman panas bersama Axel. Wanita itu pasrah dibawa Axel di sebuah kamar yang megah. Wanita itu tak protes bagaimana Axel memperlakukannya. Axel mendekatinya sambil menyeringai.
"Salahmu sendiri yang terlalu jual mahal. Kamu akan menjadi milikku malam ini," batin Axel menatap tajam Bianca. Entah apa yang ia rencanakan dengan gadis malang itu. Angel seakan terhipnotis dan tak dapat berbuat apa-apa.
Malam penuh bintang menjadikan waktu terindah bagi Axel. Pria itu tak berhenti menatap Bianca. Gadis yang malang, tak bisakah Axel bersikap lebih lembut padanya tanpa bertindak begitu keji? Axel tak peduli. Bianca sangat bermanfaat untuknya dimasa mendatang.Hanya dengan cara ini, pria itu memiliki Bianca. Tanpa berpikir panjang, Axel menurunkan resleting pada dress bagian belakang Bianca. Gerakannya cukup cepat, namun tak merusak resleting itu sendiri. Ponsel Bianca yang telah disilent dari awal saat pria itu membawanya, tak dapat mengganggu aktivitasnya.Setelah resleting terbuka, ia segera melepaskan pakaian itu yang terus mengganggunya. Tampak pakaian dalam Bianca yang menggiurkan. Axel tegang sesaat. Dia tak bisa berpikir jernih. Bianca tak menolak saat pria itu menyentuhnya. Malam yang berwarna dengan segala desahan yang menggelora. Bianca yang tak menolaknya, membuat Axel bergerak semakin liar.Malam penuh dosa itu tak ada rasa penyesalan bagi Axel. Pikir
Waktu terlewati dengan sempurna, tak terasa satu bulan telah berlalu. Waktu yang cukup cepat ini, membuat seorang wanita merasa gugup. Ia memejamkan kedua mata sambil menikmati angin yang terus berdatangan ke arahnya.Dia berdiri di sebuah balkon kantornya. Termenung mungkin pilihan terbaiknya saat ini. Sarah datang tiba-tiba tanpa sengaja mengagetkannya. "Ibu terlihat melamun. Bukankah seharusnya anda senang karena sebentar lagi akan menikah?" tanya Sarah."Sarah, menurutmu bagaimana perasaanmu ketika menikah?""Gugup dan ragu. Tetapi, ketika memikirkannya kembali saya tidak ragu lagi.""Secepat itukah keraguanmu hilang?""Iya. Tidak begitu baik, jika hati dikelilingi keraguan dalam waktu yang lama. Oh ya, saya punya tips agar dapat mengurangi rasa gugup serta keraguan anda.""Gimana caranya?""Ibu harus memejamkan kedua mata sambil mengingat setiap momentum anda bersamanya. Saya yakin setelah itu, anda pasti merasa lebih rileks."
Langit menampakkan kesenduan yang beraroma mistis. Hawa dingin seakan membeku seketika. Aura gelap mengelilingi Bianca dalam sekejap. Sepasang mata berwarna merah terlihat mengganas. Senyuman yang licik tak dapat terkendali. Aura iblis mengelilingi Bianca. Kini, Bianca terlihat berbeda.Sosok Vivian yang berada didalam tubuhnya akan mengubah seluruh kehidupan Bianca. "Hahaha... Akhirnya setelah sekian lama aku menginginkan tubuh manusia, tak kusangka aku berhasil mendapatkannya," ujar Vivian dengan sorotan mata yang tajam. Dia tampak bersemangat dengan tubuh barunya.Semua memori pada kehidupan Bianca menyatu pada diri Vivian. Wanita itu sudah mengetahui semua hal yang terjadi pada Bianca dengan memori itu. Selain itu, dia memiliki energi yang mematikan. Akankah Vivian membawa sebuah malapetaka? Kenyataannya, dia menatap tajam Axel dan ibu tiri Bianca. Senyuman jahat mendarat pada bibir manisnya. "Kalian ini, sangat menjijikkan," batin Vivian seraya mendekati mereka.
Malam ini bertaburan bintang penuh warna, seakan pertanda baik bagi Axel. Dekorasi yang indah dengan bunga mawar disekitarnya, menampakkan keromantisan yang menggebu. Tatanan yang rapi serta aroma bunga mawar mengusik hidung menambah gairah yang membara. Pria itu memasuki kamar pengantin dengan segala kelicikan yang terukir dibenaknya. Ia melihat Vivian yang berdiri dengan tenang, ia tak sabar ingin meraih wanita itu ke dalam dekapannya. Dilihatnya, Vivian berdiri di depannya sambil tersenyum. Ia berjalan mendekati wanita itu. Ia menatap penuh gairah tanpa rasa malu. Tatapan Vivian memperdaya Axel dalam waktu singkat. Jati dirinya sebagai roh iblis, tak sulit untuk menaklukkan pria manapun, termasuk Axel. Mungkin, Bianca tak pandai merayu pria. Tetapi, Vivian selalu memiliki aura tersendiri yang memungkinkan Axel terjebak dalam permainannya. Axel mendekati Vivian tak sabar. Ia menatap dengan setiap keinginannya yang liar. Senyuman Vivian menggoda Axel s
Sebuah kamar suite hotel yang terbilang mewah, memiliki kolam, ukuran kamar yang besar, serta fasilitas yang lengkap. Salah satu kamar suite yang terbilang mewah terletak di lantai 4. Disana terdapat jendela yang besar, dapat menikmati panorama indah di sekitarnya. Sosok wanita tengah berdiri seraya menggeliat. Ia berjalan ke arah jendela sambil menikmati pemandangan yang ada di luar. Wanita itu tersenyum memandang keindahan disana. Wanita itu sendirian tanpa didampingi siapapun. "Memang, dunia manusia sangatlah bagus. Aku tidak rugi berada di tubuh ini," batin Vivian tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya. Wanita itu menikmati suasana hotel itu. Sebagai roh iblis, ia ingin lebih lama berada didunia manusia. Tak lama, wanita itu berjalan untuk pergi ke arah kolam. Dengan bikini yang ia pakai, ia terjun ke kolam itu tanpa rasa takut. Kesejukan air yang berada disekitarnya membius wanita itu seketika. Walau Vivian adalah roh iblis, ia ingin menghabisk
Vivian tak peduli jika Axel tak ingin bercerai darinya. Dia masih memiliki ribuan cara agar membuat pria itu menyetujuinya. Namun, ia bukan typical wanita yang suka menggunakan cara kasar dalam setiap penyelesaian masalah. Walau, terkadang cara kasar ia lakukan dengan terpaksa. Tetapi, itu tak berlaku bagi Axel. Entah kenapa, wanita itu masih ingin mempermainkan Axel. Dia selalu punya cara untuk menjerat pria itu. Namun, ketika Axel menatap matanya, ia berpikir lain. Axel lebih licik dibandingkan apa yang ia pikirkan selama ini. Alasan Axel tak ingin bercerai bukan karena harta atau rasa cinta yang belum ia rasakan, melainkan karena harga diri. Dari Dulu tak ada satupun yang berani menolaknya. Justru, ia sering membuang setiap wanita yang tak diinginkannya. Mungkinkah, ini semacam karma? Dulu, dia sering mempermainkan perasaan wanita, mencicipi setiap tubuh mereka tanpa peduli yang lain, bahkan memanfaatkan mereka demi kepentingan pribadinya semata. D
Sesosok wanita tengah asyik membaca novel yang baru dibelinya beberapa bulan lalu. Sudah dua kali ia membaca buku itu. Seakan ia tak pernah bosan membaca novel yang sama. Air mata terus membanjiri wajahnya yang cantik. Ia terlalu terbawa suasana saat membaca novel itu. "Membaca novel itu lagi?" tanya Falco pada istrinya. Ia mengecup kening Angel lembut. "Hooh. Kamu gak kerja, Sayang?" tanya Angel tanpa mengalihkan perhatian dari novel itu. "Kepalaku lagi sakit dan badan rasanya pegel semua," ungkap Falco seraya bergelayut manja pada bahu istrinya. "Itu mungkin kamu kebanyakan kerja lembur." "Entahlah. Aku sudah menyuruh orang untuk handle pekerjaanku sementara." Ia terbaring disebelah Angel sambil memeluknya. "Mau dipijat atau ku kerokin saja, Sayang?" "Terserah kamu. Kepalaku terasa mau pecah," ucap Falco. Tangannya yang memeluk Angel bergantian menyentuh kepalanya. "Udah minum obat belum?" "Belum." "Da
Suara Angel seperti gelembung air yang terdengar jernih. Begitu pelan dan tak bisa dibandingkan dengan musik dj yang menggema di telinganya. Kedua perempuan yang berada di dekatnya saling melirik. Axel menuangkan anggur ke dalam gelasnya.Entah sudah berapa kali ia menghabiskannya. Saat ini, dua botol anggur hampir habis. Ketika ia menuangkan anggur itu hingga habis kedalam gelas, Angel merebutnya. Ia meminum anggur itu hanya dalam sekali tegukan."Kak Angel, itu anggur bukan air putih yang langsung diminum," ucap Dina."Gak apa-apa. Sekalian aku haus," kata Angel. Sebenarnya, ia tak mau Axel terlalu mabuk. Hanya segelas anggur takkan membuat wanita itu langsung mabuk. "Lihat, kan, aku gak apa-apa!""Berikan aku sebotol lagi!" seru Axel."Botolnya diisi air mentah aja jangan anggur," kata Angel pada seorang barista."Air mentah? Memang buat apaan, Kak?" tanya Dina."Buat menyiram kepala ini orang," jawab Angel sambil melirik Axel. Pri
Vivian mengenakan salah satu dress yang baru ia beli di Mall. Dia menatap cermin sambil tersenyum. Axel berdiri di belakang Vivian seraya memeluknya dari belakang. "Kamu cantik, Honey," puji Axel sambil mengusap kepala wanita itu dengan lembut."Ini tubuh Bianca. Bagaimana kamu tahu kalau aku cantik?" tanya Vivian. Senyuman Axel tampak pada bibirnya."Apapun itu, bagiku kamu cantik." Axel mencium rambut wanita itu dari belakang."Aku ingin mencoba dress yang lain.""Kamu beneran gak sabar ya ingin segera berkencan denganku?" godanya, menaikkan salah satu alis."Ya udah, aku pakai dress ini aja.""Duh, istriku ini mulai ngambek ya. Tetapi, sikapmu yang seperti ini bertambah manis. Aku suka," bisiknya dengan nada seksi. Lidah Axel bermain pada telinga itu. Tak lama, ia menyudahinya."Kalau kamu terlambat, kita akan kesulitan ke Bioskop," kata Vivian. Ia menatap malas seraya melipatkan kedua tangan. Axel tersenyum. Selain menggoda Vivian
Vivian mengepalkan tangan. Ia tak mengira bertemu musuh lamanya di rumah itu. Awalnya, Victoria juga tak tahu kalau Vivian berada di tubuh Bianca. Namun, setelah insiden perselingkuhan Axel terkuak, Victoria dapat merasakan gelombang aura yang sangat kuat dari tubuh Bianca.Sejak saat itu ia mulai memperhatikan orang-orang disekitar Vivian secara diam-diam. Dia juga menanamkan sesuatu pada diri Meili saat anak buahnya dikalahkan oleh Vivian. Hal itu yang memicu Meili memilih bunuh diri.Jika dilihat dari karakteristik Meili, ia bukan tipe perempuan yang mengakhiri hidupnya. Victoria berhubungan dengan kematian Meili. Sayang, Vivian tak tahu hal itu. Tetapi, dia agak curiga ketika Meili lebih memilih melompat dari lantai tiga.Namun, kecurigaan itu perlahan memudar, saat melihat Meili bersimbah darah. Setelah semua terjadi, kini Vivian mulai mengerti. Kehadiran Victoria memberinya petunjuk. Yang dia tak bisa prediksikan, roh iblis itu datang lebih cepat ketimbang
Barang belanjaan yang cukup banyak membuat Vivian agak kesulitan membawanya. Ia melihat Suryo yang tertidur pulas di mobil. Suara ketukan kaca mobil mengagetkannya seketika."Eh, Non. Sudah selesai?" tanya Suryo seraya mengusap kedua matanya. Ia masih agak mengantuk."Udah dong. Oh ya, kenapa kamu memanggilku non lagi?""Udah kebiasaan, Non. Nggak enak rasanya kalau diubah begitu.""Kamu menyebutku begitu, telingaku jadi gatel." Vivian mengusap telinga."Saya kan sudah memanggil Non bertahun-tahun. Rasanya tidak sopan jika tidak memanggil seperti itu. Nggak apa-apa kan, Non?" Suryo mengusap kedua matanya lagi."Ya udah terserah kamu.""Barang belanjaan Non kemana? Saya mau taruh di bagasi mobil.""Sudah ku taruh semua baru saja. Sepertinya, kamu masih mengantuk, ya.""U-udah nggak, Non," kata Suryo. Ia tak ingin dianggap sebagai sopir yang tidak kompeten. Dia berusaha agar menahan rasa kantuknya."Pak Suryo, kalau
Keduanya saling bertatapan. Tak berlangsung lama, malaikat maut itu mengeluarkan rantai ikatan. Rantai itu dapat mengikat roh iblis dengan cukup kuat. Namun, Vivian selalu tahu trik ini.Dia berhasil menghindar walau tak menggunakan kekuatannya. Malaikat maut itu terus mengayunkan rantai ikatan ke arah Vivian. Lagi-lagi hal itu sia-sia. Vivian menyeringai.Dia tahu malaikat maut tidak pernah menunjukkan kekesalannya. Terlihat, hanya dua kali serangan gagal, malaikat maut terhenti. Ia menyimpan kembali rantai ikatan itu."Apa kamu nggak bosan ingin menangkapku terus?" Vivian mengerucutkan bibir."Vivian, kamu sudah terlalu lama hidup di dunia manusia. Sudah saatnya, kamu kembali ke gerbang langit.""Gak mau. Aku tahu, kalian p
Sebuah Mall yang berada di daerah perkotaan lebih ramai ketimbang biasanya. Mungkin dikarenakan hari minggu, menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk menghabiskan hari liburnya di Mall. Beberapa butik ternama telah dipadati pengunjung. Mereka berbondong-bondong membeli pakaian dengan harga murah. Terjadinya diskon besar-besaran hampir semua butik yang ada di Mall tersebut. Salah satu pengunjung Mall itu memancarkan auranya. Orang-orang berlalu lalang terkesima dengan kecantikan serta bentuk badan yang dimilikinya. Sosok itu adalah Vivian. Walau semua pakaian Bianca serba tertutup, tak menjadi penghalang baginya untuk berpakaian terbuka. Ia menyulap salah satu kemeja Bianca yang berlengan panjang menjadi tanpa lengan. Dia melepas semua lengannya tanpa menyisakan sedikitpun menggunakan pendedel. Lalu, ia menggunakan benang dan juga jarum. Ia meminjam semua peralatan itu pada Ratna. Kemudian, ia menjahit bagian yang kurang rapi. Masih belum cukup puas,
Roh iblis itu menatap Axel sambil tersenyum. Langkahnya semakin dekat hingga wajah mereka berjarak beberapa sentimeter saja. "Ikuti aku!" kata roh iblis itu. Axel mengikutinya. Mereka duduk di salah satu kursi yang berada di Taman. Banyak orang berpacaran disana. Axel dan roh iblis itu memilih tempat yang sepi, sehingga tidak ada yang mendengar apa yang mereka bicarakan. Mereka juga tidak terpengaruh oleh suara-suara bising lainnya. "Tempat ini sudah cukup sepi, ceritakan padaku apa yang kamu ketahui tentangnya." "Kamu nggak takut denganku? Gimana kalau aku menipumu?" Roh iblis itu tersenyum miring. "Kamu adalah roh iblis. Sedangkan aku hanyalah manusia biasa. Berada di tubuhku juga nggak enak." Axel memalingkan wajahnya. Sebenarnya, ia masih takut dengan roh iblis di depannya. "Hahaha…. Kamu cukup menarik. Oh ya, kamu ingin tahu cerita Vivian atau roh iblis?" "Vivian kan roh iblis. Nggak ada bedanya, kan?" "Aku memberikanmu pi
Angel menatap tak percaya apa yang dilihatnya. Ia terlihat gugup. Sedangkan Axel berpakaian kembali. Dia mulai menjauh dari Angel. Ketakutan kembali menerpa pria itu. Tubuhnya mulai bergetar. Bibirnya pucat. "Ngel, aku cabut dulu, ya. Dah." "Duh, si Axel ini malah main kabur segala," batin Angel. Ketika Axel berpapasan dengan Falco, pria itu menariknya. Dia memukuli Axel bertubi-tubi. "Stop Falco!" seru Angel. Ia menghentikan suaminya. Tatapan mata Falco marah bercampur kecewa. Angel menatap Falco sambil memegang tangannya. Ia meneteskan air mata. Karena air mata itu, Falco berubah menjadi lembut. Ia tak lagi memukuli Axel. "Kenapa, Angel? Apa kekuranganku dari pria itu?" Falco menatap Angel kecewa. Tak terasa, ia meneteskan air mata. "Maaf. Kamu boleh menyalahkanku. Aku…" "Aaaaaaah!" Falco berteriak histeris. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia tak ingin memukul atau memarahi istrinya. Dia begitu mencintai Angel. Dia lebih suka m
Axel tidur pada paha Angel. Mereka tak melakukan apa-apa. Axel menggenggam tangan wanita itu, lalu mengecupnya lembut. Sebelum mengenal Vivian, tak cukup hanya ciuman ditangan.Pria itu bergerak liar hingga Angel kewalahan. Namun, saat ini, ia tak ingin melakukannya. Entah apa yang terjadi padanya, ia seakan tak bergairah. Padahal, Angel mengenakan baju tanpa lengan memperlihatkan belahan dadanya serta celana pendek di atas lutut.Siapa yang tidak tergoda dengan penampilannya seperti itu? Berada di pangkuan Angel, baginya lebih dari cukup. Ia tak ingin lebih. Selain itu, Angel tak mengajak Axel untuk berhubungan badan.Sebenarnya, Axel lebih sering mengajaknya untuk melakukan perbuatan dosa itu, ketimbang dirinya. Tak heran, ketika Axel tak ingin melakukan itu, Angel juga tak berinisiatif. Wanita itu mengerti apa yang terjadi pada Axel."Jadi, kamu telah jatuh hati beneran sama istrimu?" tanya Angel. Sudah kesekian kali Axel tak menjawab. Ia bimbang. Ange
Wanita itu mengusap punggung Axel, membiarkannya membenamkan kepala. Beberapa orang melihat ke arah mereka, namun tak terlalu peduli dengan hubungan keduanya. "Why? Kamu begitu kangennya ya sama aku, sehingga kamu peluk aku gini?" tanya wanita itu. "Angel, kamu kemana aja? Kamu tahu kalau aku kangen." Axel melepaskan pelukannya perlahan. Ia menatap wajah itu. "Ayo, ke Apartemenmu!" seru Angel tiba-tiba. "Lalu, gimana dengan suamimu?" "Suamiku lagi ke luar kota. Kamu gak perlu cemas." "Ngel, aku gak mau seperti waktu itu. Kamu tau gak, apa yang dilakukan suamimu itu? Aku hampir mati." Axel merinding seketika saat mengingat kejadian waktu itu. "Sorry, Xel. Aku gak bermaksud membuatmu takut." Wajahnya kusam. Kemudian, Angel duduk di pasir. Kedua kakinya disejajarkan didepan. "Tetapi, suamimu gak pernah memukul atau interogasi kamu, kan?" "Dia hanya memelukku. Dia mengatakan tentang perasaannya. Dan ia berharap, kalau kami