Suara Angel seperti gelembung air yang terdengar jernih. Begitu pelan dan tak bisa dibandingkan dengan musik dj yang menggema di telinganya. Kedua perempuan yang berada di dekatnya saling melirik. Axel menuangkan anggur ke dalam gelasnya.
Entah sudah berapa kali ia menghabiskannya. Saat ini, dua botol anggur hampir habis. Ketika ia menuangkan anggur itu hingga habis kedalam gelas, Angel merebutnya. Ia meminum anggur itu hanya dalam sekali tegukan.
"Kak Angel, itu anggur bukan air putih yang langsung diminum," ucap Dina.
"Gak apa-apa. Sekalian aku haus," kata Angel. Sebenarnya, ia tak mau Axel terlalu mabuk. Hanya segelas anggur takkan membuat wanita itu langsung mabuk. "Lihat, kan, aku gak apa-apa!"
"Berikan aku sebotol lagi!" seru Axel.
"Botolnya diisi air mentah aja jangan anggur," kata Angel pada seorang barista.
"Air mentah? Memang buat apaan, Kak?" tanya Dina.
"Buat menyiram kepala ini orang," jawab Angel sambil melirik Axel. Pri
Vivian menepuk-nepuk pipi Falco dengan cukup keras. Tetapi, pria itu tak menunjukkan respon apapun. "Apa dia mati?" batinnya. Ia mendekatkan telinganya pada dada Falco. Suara jantung pria itu terdengar jelas.Vivian tersenyum lega. Dilihatnya Falco, ia mencubit pipi pria itu. "Dia ganteng, tetapi galak sekali," batin Vivian. Cukup lama menatapnya hingga wajahnya semakin dekat."Sepertinya, dia sedang sakit. Hanya cara itu yang bisa aku lakukan," gumam Vivian.Wanita itu mencium bibir Falco. Dari bibir Vivian tampak cahaya putih masuk kedalam mulut Falco. Tak lama, Falco membuka kedua mata, lalu mendorong Vivian begitu saja. Ia terlihat marah. Belum pernah ia bersentuhan dengan wanita manapun setelah ia menikahi Angel."Apa yang kamu lakukan?" Falco mengusap bibirnya dengan kasar."Dasar pria tidak tahu terima kasih!""Keluar sekarang juga!" Vivian tak menggubris. Ia duduk di sebelah Falco. Pria itu semakin kesal, kemudian ia membuka pintu mo
Gedung kuno yang tampak kosong memiliki 4 lantai menjadi tempat yang cukup menyeramkan. Tempat yang begitu gelap disertai bangunan yang telah rusak, tak ada satu manusia yang ingin tinggal disana. Bahkan, beberapa orang yang berpapasan di tempat itu sering mendengar suara jeritan wanita dan tangisan anak kecil. Suara yang menggema di telinga mereka, menjadi ketakutan yang sulit dihilangkan. Tempat itu telah ditandai sebagai tempat terlarang. Anehnya, setiap kali ada seseorang yang berencana menghancurkan tempat itu, selalu memiliki kesialan. Tak heran, tak ada satu orang yang berani kesana. Banyaknya isu menambah daftar ketakutan mereka. Axel, pria malang yang ditempatkan di sana. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan mulut yang tertutup lakban. Kursi menjadi tempat untuk mengikat pria itu. Namun, ia tak mendengar suara jeritan atau hal aneh lainnya. Ternyata, semua itu dibuat oleh seseorang untuk menakut-nakuti orang. Banyaknya cctv yang tersembunyi
Matahari telah menampakkan sinarnya yang cukup pekat. Seorang wanita menggeliat manja tanpa peduli jam menunjukkan pukul 9. Saat ia membuka mata, ia menemukan Axel terbaring di sampingnya. Wanita itu membiarkannya seperti itu walau agak sedikit terkejut. Rasa haus tiba-tiba menggerogotinya. "Sudah lama aku tidak merasakan haus seperti ini," batin Vivian. Ketika ia beranjak dari tempat tidurnya, Axel menahan tangannya. Pria itu menarik hingga wajah mereka begitu dekat. "Pagi, Vivian sayangku," bisik Axel bernada sexy. Lidahnya bermain di sekitar telinga wanita itu. Vivian tersenyum miring. Tak ada rasa cinta atau gugup yang ia rasakan. Vivian memberanikan diri untuk mencium bibir Axel. Tak ingin sia-sia, Axel membalas ciumannya. Ia memperdalam ciuman itu. Namun, kali ini sedikit berbeda dibandingkan biasanya. Axel lebih bisa mengendalikan diri. Ia melepaskan ciuman itu, lalu menatap mata wanita di depannya. "Vivian, kamu bukan Bianca, tetapi kenapa waj
Suryo tengah asyik bercengkrama dengan mandha. Mereka melontarkan candaan hingga Suryo mencubit pipi Mandha. Kedekatan mereka memang tidak wajar. Walau mereka tak pernah melakukan kontak fisik secara berlebihan, namun gaya bicara serta candaan mereka seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.Mandha sering mengabaikan pekerjaannya dan memilih untuk menggoda Suryo. Gadis itu begitu genit membuat Suryo tak bisa menolak berbicara padanya. Mereka tak menyadari kedatangan Vivian dan Axel. Vivian tersenyum miring."Asyik banget ya, kalian bicaranya. Entar dilanjutkan yang lebih intim, ya," ucap Vivian."No┄Non Bianca! I┄Ini…" Suryo terlihat gugup. Cara bicaranya terbata-bata. Mandha juga berperilaku yang sama dengannya."Udah, gak usah malu. Kalian cocok kok bersama," kata Vivian seakan merestui hubungan mereka. Suryo mengerutkan kening."Tumben ya, non Bianca gak marahi aku gara-gara2 bicara dengan Mandha?" batin Suryo. Ia tampak berpikir.
Axel yang tak sadarkan diri menjadi perhatian banyak orang di Perusahaan Bianca. Baru saja mereka terlihat romantis bersama. Melihat Vivian menangis ketika keluar dari ruangan itu, mereka semakin yakin sesuatu buruk terjadi padanya. Vivian berjalan dengan sempoyongan. Ia sengaja melakukan itu agar terlihat terpuruk. Sementara itu, Axel dilempar ke semak-semak oleh Satpam. Axel yang malang itu bukanlah tandingan Vivian semata. Hati wanita itu begitu tenang tak seperti wajahnya yang sembab. Dia mengundang banyak simpati dengan semua orang yang ada di Perusahaannya. Sarah datang membawa tissue berusaha menenangkannya. Wanita itu menggertak mereka yang sibuk melihat Vivian. Karena gertakan itu membuat mereka semua kembali untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Sarah menuntun Vivian ke ruangannya. Mereka duduk tak berjau
Hari telah menjelang sore, Axel mengusap kedua mata. Dia menatap sekelilingnya. "Sial! Kenapa aku bisa ada disini?" Lambat laun ia menghela nafas. Dia menyadari semua ini ulah Vivian.Hatinya seakan teriris membayangkan Vivian membuangnya seperti itu. Padahal, ia bersikap manis dan tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk. "Mungkinkah, dia sudah bosan denganku, sehingga ingin membuangku?"Memikirkan itu membuat kepalanya berdenyut. Kesedihan tampak pada wajahnya. Namun, ia bertekad tak ingin menyerah. Ia berusaha tegar dan menghapus segala kesedihan itu. Apa yang merasuki Axel hingga dia ingin kembali pada Vivian?Dimanakah harga dirinya yang tinggi itu? Seakan semuanya luntur hanya dalam sekejap. Nafas Axel agak berat, ia berjalan tanpa peduli sekitarnya. Tak lama, ia menghubungi Angel untuk meminta bantuan wanita
Suara Vivian yang memanggil namanya seakan memudar. Pria itu tersenyum melihat wanita itu disana. Walau Vivian gak pernah menyukai Axel, ia tak ingin merasa terbebani dengan pengorbanan yang pria itu lakukan. "Bodoh! Aku sudah menolakmu, kenapa kamu malah mengorbankan dirimu untukku?" kata Vivian seraya menatapnya khawatir. Axel tak menjawab, senyuman tak pudar dari bibirnya. "Vivian, ma┄maaf sebentar lagi ka┄kamu akan menjadi janda." "Siapa yang istrimu? Aku Vivian bukan Bianca. Kamu harus bertahan tak peduli apapun yang terjadi." "Ka┄kamu mengatakan padaku kalau aku harus merasakan kehilangan, patah hati, dan air mata. Mu┄Mungkinkah ini yang kamu maksud? Vivian, a┄aku… "Apa yang harus aku lakukan? Jika aku tidak menolo
Wajah Meili pucat. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia berharap tak ada satu orang yang tahu jika ia berada dibalik semua itu. Jantungnya berdetak kencang, rasa gugup menyelimutinya. "Aku tahu siapa itu," kata Vivian yang tiba-tiba menuruni tangga. Wanita itu meneteskan air mata. "Kenapa non Bianca menangis? Apa yang terjadi?" tanya Ratna. Semua orang menatap Bianca, begitu juga dengan Meili. "Pisau itu… aku..." Air mata Vivian membanjiri wajahnya. Trik apalagi yang akan dimainkan olehnya? "Apa mungkin non Bianca juga melihat orang itu?" tanya Mandha tiba-tiba. "Apa maksudmu Mandha? Apa kamu melihat orangnya siapa?" tanya Meili. Ia tampak cemas. "Sebenarnya, tadi saya tidak sengaja melihat ada seseorang yang memanjat pagar,"
Vivian mengenakan salah satu dress yang baru ia beli di Mall. Dia menatap cermin sambil tersenyum. Axel berdiri di belakang Vivian seraya memeluknya dari belakang. "Kamu cantik, Honey," puji Axel sambil mengusap kepala wanita itu dengan lembut."Ini tubuh Bianca. Bagaimana kamu tahu kalau aku cantik?" tanya Vivian. Senyuman Axel tampak pada bibirnya."Apapun itu, bagiku kamu cantik." Axel mencium rambut wanita itu dari belakang."Aku ingin mencoba dress yang lain.""Kamu beneran gak sabar ya ingin segera berkencan denganku?" godanya, menaikkan salah satu alis."Ya udah, aku pakai dress ini aja.""Duh, istriku ini mulai ngambek ya. Tetapi, sikapmu yang seperti ini bertambah manis. Aku suka," bisiknya dengan nada seksi. Lidah Axel bermain pada telinga itu. Tak lama, ia menyudahinya."Kalau kamu terlambat, kita akan kesulitan ke Bioskop," kata Vivian. Ia menatap malas seraya melipatkan kedua tangan. Axel tersenyum. Selain menggoda Vivian
Vivian mengepalkan tangan. Ia tak mengira bertemu musuh lamanya di rumah itu. Awalnya, Victoria juga tak tahu kalau Vivian berada di tubuh Bianca. Namun, setelah insiden perselingkuhan Axel terkuak, Victoria dapat merasakan gelombang aura yang sangat kuat dari tubuh Bianca.Sejak saat itu ia mulai memperhatikan orang-orang disekitar Vivian secara diam-diam. Dia juga menanamkan sesuatu pada diri Meili saat anak buahnya dikalahkan oleh Vivian. Hal itu yang memicu Meili memilih bunuh diri.Jika dilihat dari karakteristik Meili, ia bukan tipe perempuan yang mengakhiri hidupnya. Victoria berhubungan dengan kematian Meili. Sayang, Vivian tak tahu hal itu. Tetapi, dia agak curiga ketika Meili lebih memilih melompat dari lantai tiga.Namun, kecurigaan itu perlahan memudar, saat melihat Meili bersimbah darah. Setelah semua terjadi, kini Vivian mulai mengerti. Kehadiran Victoria memberinya petunjuk. Yang dia tak bisa prediksikan, roh iblis itu datang lebih cepat ketimbang
Barang belanjaan yang cukup banyak membuat Vivian agak kesulitan membawanya. Ia melihat Suryo yang tertidur pulas di mobil. Suara ketukan kaca mobil mengagetkannya seketika."Eh, Non. Sudah selesai?" tanya Suryo seraya mengusap kedua matanya. Ia masih agak mengantuk."Udah dong. Oh ya, kenapa kamu memanggilku non lagi?""Udah kebiasaan, Non. Nggak enak rasanya kalau diubah begitu.""Kamu menyebutku begitu, telingaku jadi gatel." Vivian mengusap telinga."Saya kan sudah memanggil Non bertahun-tahun. Rasanya tidak sopan jika tidak memanggil seperti itu. Nggak apa-apa kan, Non?" Suryo mengusap kedua matanya lagi."Ya udah terserah kamu.""Barang belanjaan Non kemana? Saya mau taruh di bagasi mobil.""Sudah ku taruh semua baru saja. Sepertinya, kamu masih mengantuk, ya.""U-udah nggak, Non," kata Suryo. Ia tak ingin dianggap sebagai sopir yang tidak kompeten. Dia berusaha agar menahan rasa kantuknya."Pak Suryo, kalau
Keduanya saling bertatapan. Tak berlangsung lama, malaikat maut itu mengeluarkan rantai ikatan. Rantai itu dapat mengikat roh iblis dengan cukup kuat. Namun, Vivian selalu tahu trik ini.Dia berhasil menghindar walau tak menggunakan kekuatannya. Malaikat maut itu terus mengayunkan rantai ikatan ke arah Vivian. Lagi-lagi hal itu sia-sia. Vivian menyeringai.Dia tahu malaikat maut tidak pernah menunjukkan kekesalannya. Terlihat, hanya dua kali serangan gagal, malaikat maut terhenti. Ia menyimpan kembali rantai ikatan itu."Apa kamu nggak bosan ingin menangkapku terus?" Vivian mengerucutkan bibir."Vivian, kamu sudah terlalu lama hidup di dunia manusia. Sudah saatnya, kamu kembali ke gerbang langit.""Gak mau. Aku tahu, kalian p
Sebuah Mall yang berada di daerah perkotaan lebih ramai ketimbang biasanya. Mungkin dikarenakan hari minggu, menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk menghabiskan hari liburnya di Mall. Beberapa butik ternama telah dipadati pengunjung. Mereka berbondong-bondong membeli pakaian dengan harga murah. Terjadinya diskon besar-besaran hampir semua butik yang ada di Mall tersebut. Salah satu pengunjung Mall itu memancarkan auranya. Orang-orang berlalu lalang terkesima dengan kecantikan serta bentuk badan yang dimilikinya. Sosok itu adalah Vivian. Walau semua pakaian Bianca serba tertutup, tak menjadi penghalang baginya untuk berpakaian terbuka. Ia menyulap salah satu kemeja Bianca yang berlengan panjang menjadi tanpa lengan. Dia melepas semua lengannya tanpa menyisakan sedikitpun menggunakan pendedel. Lalu, ia menggunakan benang dan juga jarum. Ia meminjam semua peralatan itu pada Ratna. Kemudian, ia menjahit bagian yang kurang rapi. Masih belum cukup puas,
Roh iblis itu menatap Axel sambil tersenyum. Langkahnya semakin dekat hingga wajah mereka berjarak beberapa sentimeter saja. "Ikuti aku!" kata roh iblis itu. Axel mengikutinya. Mereka duduk di salah satu kursi yang berada di Taman. Banyak orang berpacaran disana. Axel dan roh iblis itu memilih tempat yang sepi, sehingga tidak ada yang mendengar apa yang mereka bicarakan. Mereka juga tidak terpengaruh oleh suara-suara bising lainnya. "Tempat ini sudah cukup sepi, ceritakan padaku apa yang kamu ketahui tentangnya." "Kamu nggak takut denganku? Gimana kalau aku menipumu?" Roh iblis itu tersenyum miring. "Kamu adalah roh iblis. Sedangkan aku hanyalah manusia biasa. Berada di tubuhku juga nggak enak." Axel memalingkan wajahnya. Sebenarnya, ia masih takut dengan roh iblis di depannya. "Hahaha…. Kamu cukup menarik. Oh ya, kamu ingin tahu cerita Vivian atau roh iblis?" "Vivian kan roh iblis. Nggak ada bedanya, kan?" "Aku memberikanmu pi
Angel menatap tak percaya apa yang dilihatnya. Ia terlihat gugup. Sedangkan Axel berpakaian kembali. Dia mulai menjauh dari Angel. Ketakutan kembali menerpa pria itu. Tubuhnya mulai bergetar. Bibirnya pucat. "Ngel, aku cabut dulu, ya. Dah." "Duh, si Axel ini malah main kabur segala," batin Angel. Ketika Axel berpapasan dengan Falco, pria itu menariknya. Dia memukuli Axel bertubi-tubi. "Stop Falco!" seru Angel. Ia menghentikan suaminya. Tatapan mata Falco marah bercampur kecewa. Angel menatap Falco sambil memegang tangannya. Ia meneteskan air mata. Karena air mata itu, Falco berubah menjadi lembut. Ia tak lagi memukuli Axel. "Kenapa, Angel? Apa kekuranganku dari pria itu?" Falco menatap Angel kecewa. Tak terasa, ia meneteskan air mata. "Maaf. Kamu boleh menyalahkanku. Aku…" "Aaaaaaah!" Falco berteriak histeris. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia tak ingin memukul atau memarahi istrinya. Dia begitu mencintai Angel. Dia lebih suka m
Axel tidur pada paha Angel. Mereka tak melakukan apa-apa. Axel menggenggam tangan wanita itu, lalu mengecupnya lembut. Sebelum mengenal Vivian, tak cukup hanya ciuman ditangan.Pria itu bergerak liar hingga Angel kewalahan. Namun, saat ini, ia tak ingin melakukannya. Entah apa yang terjadi padanya, ia seakan tak bergairah. Padahal, Angel mengenakan baju tanpa lengan memperlihatkan belahan dadanya serta celana pendek di atas lutut.Siapa yang tidak tergoda dengan penampilannya seperti itu? Berada di pangkuan Angel, baginya lebih dari cukup. Ia tak ingin lebih. Selain itu, Angel tak mengajak Axel untuk berhubungan badan.Sebenarnya, Axel lebih sering mengajaknya untuk melakukan perbuatan dosa itu, ketimbang dirinya. Tak heran, ketika Axel tak ingin melakukan itu, Angel juga tak berinisiatif. Wanita itu mengerti apa yang terjadi pada Axel."Jadi, kamu telah jatuh hati beneran sama istrimu?" tanya Angel. Sudah kesekian kali Axel tak menjawab. Ia bimbang. Ange
Wanita itu mengusap punggung Axel, membiarkannya membenamkan kepala. Beberapa orang melihat ke arah mereka, namun tak terlalu peduli dengan hubungan keduanya. "Why? Kamu begitu kangennya ya sama aku, sehingga kamu peluk aku gini?" tanya wanita itu. "Angel, kamu kemana aja? Kamu tahu kalau aku kangen." Axel melepaskan pelukannya perlahan. Ia menatap wajah itu. "Ayo, ke Apartemenmu!" seru Angel tiba-tiba. "Lalu, gimana dengan suamimu?" "Suamiku lagi ke luar kota. Kamu gak perlu cemas." "Ngel, aku gak mau seperti waktu itu. Kamu tau gak, apa yang dilakukan suamimu itu? Aku hampir mati." Axel merinding seketika saat mengingat kejadian waktu itu. "Sorry, Xel. Aku gak bermaksud membuatmu takut." Wajahnya kusam. Kemudian, Angel duduk di pasir. Kedua kakinya disejajarkan didepan. "Tetapi, suamimu gak pernah memukul atau interogasi kamu, kan?" "Dia hanya memelukku. Dia mengatakan tentang perasaannya. Dan ia berharap, kalau kami