Hari telah menjelang sore, Axel mengusap kedua mata. Dia menatap sekelilingnya. "Sial! Kenapa aku bisa ada disini?" Lambat laun ia menghela nafas. Dia menyadari semua ini ulah Vivian.
Hatinya seakan teriris membayangkan Vivian membuangnya seperti itu. Padahal, ia bersikap manis dan tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk. "Mungkinkah, dia sudah bosan denganku, sehingga ingin membuangku?"
Memikirkan itu membuat kepalanya berdenyut. Kesedihan tampak pada wajahnya. Namun, ia bertekad tak ingin menyerah. Ia berusaha tegar dan menghapus segala kesedihan itu. Apa yang merasuki Axel hingga dia ingin kembali pada Vivian?
Dimanakah harga dirinya yang tinggi itu? Seakan semuanya luntur hanya dalam sekejap. Nafas Axel agak berat, ia berjalan tanpa peduli sekitarnya. Tak lama, ia menghubungi Angel untuk meminta bantuan wanita
Suara Vivian yang memanggil namanya seakan memudar. Pria itu tersenyum melihat wanita itu disana. Walau Vivian gak pernah menyukai Axel, ia tak ingin merasa terbebani dengan pengorbanan yang pria itu lakukan. "Bodoh! Aku sudah menolakmu, kenapa kamu malah mengorbankan dirimu untukku?" kata Vivian seraya menatapnya khawatir. Axel tak menjawab, senyuman tak pudar dari bibirnya. "Vivian, ma┄maaf sebentar lagi ka┄kamu akan menjadi janda." "Siapa yang istrimu? Aku Vivian bukan Bianca. Kamu harus bertahan tak peduli apapun yang terjadi." "Ka┄kamu mengatakan padaku kalau aku harus merasakan kehilangan, patah hati, dan air mata. Mu┄Mungkinkah ini yang kamu maksud? Vivian, a┄aku… "Apa yang harus aku lakukan? Jika aku tidak menolo
Wajah Meili pucat. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia berharap tak ada satu orang yang tahu jika ia berada dibalik semua itu. Jantungnya berdetak kencang, rasa gugup menyelimutinya. "Aku tahu siapa itu," kata Vivian yang tiba-tiba menuruni tangga. Wanita itu meneteskan air mata. "Kenapa non Bianca menangis? Apa yang terjadi?" tanya Ratna. Semua orang menatap Bianca, begitu juga dengan Meili. "Pisau itu… aku..." Air mata Vivian membanjiri wajahnya. Trik apalagi yang akan dimainkan olehnya? "Apa mungkin non Bianca juga melihat orang itu?" tanya Mandha tiba-tiba. "Apa maksudmu Mandha? Apa kamu melihat orangnya siapa?" tanya Meili. Ia tampak cemas. "Sebenarnya, tadi saya tidak sengaja melihat ada seseorang yang memanjat pagar,"
Axel memiliki rencananya sendiri. Ketika mobil Pajero telah keluar agak jauh dari Rumah Bianca, ia menatap ke belakang untuk memastikan sesuatu. Bibirnya tersenyum saat waktu yang ia tunggu ternyata datang juga. "Pak, sebentar! Sepertinya, aku sangat haus. Bisakah kamu membelikanku air minum?" Axel memegang perutnya. Pria itu menyuruh Vivian untuk melihat mobil yang berada di belakangnya. Vivian mulai mengerti, ia membantunya. "Pak, kenapa diam saja? Kalau sesuatu terjadi dengannya, apa kamu mau bertanggung jawab?" Vivian meniru gaya Bianca saat berbicara pada Suryo. "I┄Iya. Tunggu sebentar, ya." Suryo segera menepikan mobilnya, lalu membelikan air minum. Axel menganggukkan kepala, memberi isyarat pada wanita disampingnya. "Aku gak bisa menyetir mobil," kata Vivian m
Axel terbaring disebelah Vivian. Ia melihat wanita itu sambil tersenyum. Lalu, ia membelai rambutnya dengan lembut. "Kamu bau. Sana mandi!" ujar Vivian seraya membalikkan badan. Axel tertawa mendengar itu. "Aku kan udah mandi tadi, Honey. Kenapa mandi lagi?" "Tetapi tadi kamu habis menyetir mobil. Aku gak ingin tidur di sebelah pria yang gak wangi." "Jadi, kalau aku mandi, kamu gak akan menolakku untuk tidur di sisimu?" Axel menaikkan salah satu alis. "Tergantung. Kalau kamu gak kelamaan mandi, aku bisa mempertimbangkannya." "Kamu juga belum mandi kan, Honey?" "Aku roh iblis. Walau gak mandi bertahun-tahun, aku tetap wangi." "Masa sih? Kamu lupa, kalau kamu ada ditubuh Bianca." Axel mulai mendekat. Ia memeluk Vivian dari belakang. Nafasnya terasa di leher wanita itu. "Udah ah, mandi sana!" Vivian mendorong Axel, namun pria itu menangkap tangannya. "Kita kan belum mandi. Gimana kalau kita mandi bersama saja?" Axe
Wanita itu mengusap punggung Axel, membiarkannya membenamkan kepala. Beberapa orang melihat ke arah mereka, namun tak terlalu peduli dengan hubungan keduanya. "Why? Kamu begitu kangennya ya sama aku, sehingga kamu peluk aku gini?" tanya wanita itu. "Angel, kamu kemana aja? Kamu tahu kalau aku kangen." Axel melepaskan pelukannya perlahan. Ia menatap wajah itu. "Ayo, ke Apartemenmu!" seru Angel tiba-tiba. "Lalu, gimana dengan suamimu?" "Suamiku lagi ke luar kota. Kamu gak perlu cemas." "Ngel, aku gak mau seperti waktu itu. Kamu tau gak, apa yang dilakukan suamimu itu? Aku hampir mati." Axel merinding seketika saat mengingat kejadian waktu itu. "Sorry, Xel. Aku gak bermaksud membuatmu takut." Wajahnya kusam. Kemudian, Angel duduk di pasir. Kedua kakinya disejajarkan didepan. "Tetapi, suamimu gak pernah memukul atau interogasi kamu, kan?" "Dia hanya memelukku. Dia mengatakan tentang perasaannya. Dan ia berharap, kalau kami
Axel tidur pada paha Angel. Mereka tak melakukan apa-apa. Axel menggenggam tangan wanita itu, lalu mengecupnya lembut. Sebelum mengenal Vivian, tak cukup hanya ciuman ditangan.Pria itu bergerak liar hingga Angel kewalahan. Namun, saat ini, ia tak ingin melakukannya. Entah apa yang terjadi padanya, ia seakan tak bergairah. Padahal, Angel mengenakan baju tanpa lengan memperlihatkan belahan dadanya serta celana pendek di atas lutut.Siapa yang tidak tergoda dengan penampilannya seperti itu? Berada di pangkuan Angel, baginya lebih dari cukup. Ia tak ingin lebih. Selain itu, Angel tak mengajak Axel untuk berhubungan badan.Sebenarnya, Axel lebih sering mengajaknya untuk melakukan perbuatan dosa itu, ketimbang dirinya. Tak heran, ketika Axel tak ingin melakukan itu, Angel juga tak berinisiatif. Wanita itu mengerti apa yang terjadi pada Axel."Jadi, kamu telah jatuh hati beneran sama istrimu?" tanya Angel. Sudah kesekian kali Axel tak menjawab. Ia bimbang. Ange
Angel menatap tak percaya apa yang dilihatnya. Ia terlihat gugup. Sedangkan Axel berpakaian kembali. Dia mulai menjauh dari Angel. Ketakutan kembali menerpa pria itu. Tubuhnya mulai bergetar. Bibirnya pucat. "Ngel, aku cabut dulu, ya. Dah." "Duh, si Axel ini malah main kabur segala," batin Angel. Ketika Axel berpapasan dengan Falco, pria itu menariknya. Dia memukuli Axel bertubi-tubi. "Stop Falco!" seru Angel. Ia menghentikan suaminya. Tatapan mata Falco marah bercampur kecewa. Angel menatap Falco sambil memegang tangannya. Ia meneteskan air mata. Karena air mata itu, Falco berubah menjadi lembut. Ia tak lagi memukuli Axel. "Kenapa, Angel? Apa kekuranganku dari pria itu?" Falco menatap Angel kecewa. Tak terasa, ia meneteskan air mata. "Maaf. Kamu boleh menyalahkanku. Aku…" "Aaaaaaah!" Falco berteriak histeris. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia tak ingin memukul atau memarahi istrinya. Dia begitu mencintai Angel. Dia lebih suka m
Roh iblis itu menatap Axel sambil tersenyum. Langkahnya semakin dekat hingga wajah mereka berjarak beberapa sentimeter saja. "Ikuti aku!" kata roh iblis itu. Axel mengikutinya. Mereka duduk di salah satu kursi yang berada di Taman. Banyak orang berpacaran disana. Axel dan roh iblis itu memilih tempat yang sepi, sehingga tidak ada yang mendengar apa yang mereka bicarakan. Mereka juga tidak terpengaruh oleh suara-suara bising lainnya. "Tempat ini sudah cukup sepi, ceritakan padaku apa yang kamu ketahui tentangnya." "Kamu nggak takut denganku? Gimana kalau aku menipumu?" Roh iblis itu tersenyum miring. "Kamu adalah roh iblis. Sedangkan aku hanyalah manusia biasa. Berada di tubuhku juga nggak enak." Axel memalingkan wajahnya. Sebenarnya, ia masih takut dengan roh iblis di depannya. "Hahaha…. Kamu cukup menarik. Oh ya, kamu ingin tahu cerita Vivian atau roh iblis?" "Vivian kan roh iblis. Nggak ada bedanya, kan?" "Aku memberikanmu pi