Mobil Pajero milik Bianca terhenti pada sebuah Mall yang terletak di daerah pertengahan kota. Sarah, sekretaris Bianca juga ikut bersamanya. "Non, kita sudah sampai. Sebaiknya, non Bianca dan non Sarah turun disini saja. Biar saya memarkirkan mobilnya," ucap Suryo, mobil yang ia kendarai telah berada pada Lobby Mall.
"Ya sudah. Jangan keluyuran kemana-mana! Tetap di parkiran," tegas Bianca yang seakan tahu kebiasaan Suryo. Biasanya, ketika Bianca pergi ke suatu tempat, Suryo tiba-tiba menghilang hingga gadis itu menunggunya terlalu lama.
"Baik, Non," ucap Suryo sambil menundukkan kepala. Pria itu membukakan mobilnya untuk Bianca, Pada waktu bersamaan, Sarah membuka pintu mobil, lalu menunggu Bianca turun dari mobil. Ketika Bianca dan Sarah berjalan memasuki Mall, saat itu seorang pria tak sengaja menabrak Bianca.
"Je m'excuse. Est-ce que ça va?" kata pria bule berdarah perancis. Pria itu mengatakan dia minta maaf dan menanyakan keadaan Bianca. Akan tetapi, gadis itu tak mengerti apa yang dibicarakan olehnya. Dia menoleh ke arah Sarah.
"Sarah, kamu mengerti apa yang ia katakan?" bisik Bianca.
"Mana saya tahu, Bu. Saya saja tidak pernah keluar negeri, kecuali menemani anda kesana," ungkap Sarah. Bianca menundukkan kepalanya ke arah pria bule itu. Namun, tiba-tiba pria itu tak ingin Bianca pergi begitu saja.
"Excusez moi mademoiselle. Mon nom est curtis. Quel est votre nom?" Pria itu memperkenalkan diri, namanya Curtis. Dia ingin berkenalan dengan Bianca.
Bianca yang merasa terpanggil, menoleh ke arahnya. Ia melemparkan senyuman. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan olehnya. Saat kebingungan melanda nya, saat itu seorang pria datang.
"Bonjour! Puis-je vous aider?" ucap pria itu. Ia menyapa Curtis dan dia menanyakan apa yang bisa ia bantu. Bianca tersenyum saat melihat Axel. Dia tidak menyangka dapat bertemu dengannya disana. Axel dan Curtis saling mengobrol. Walau, Axel tak terlalu mengerti bahasa Perancis, namun dia begitu nekat berbicara dengan Curtis.
"Bu, untung saja ada seseorang yang membantu kita. Gimana kalau tidak?" bisik Sarah. Bianca tidak menghiraukan Sarah. Dia tak berhenti menatap Axel. Pesonanya terus memikat Bianca tanpa henti. Bahkan, ketika beberapa orang berlalu lalang melihat kedua pria tampan itu berbicara, tak menyembunyikan ketertarikan mereka.
Sarah mengerucutkan bibir karena Bianca terus menatap Axel. Sarah bekerja menjadi sekretaris Bianca selama satu tahun. Selama satu tahun, Sarah tidak pernah melihat Bianca seserius itu menatap pria manapun.
Ketika Axel dan Curtis menyudahi pembicaraan mereka, Axel menemui Bianca. Pria itu tersenyum. Dari tingkah laku keduanya, Sarah semakin yakin ada sesuatu diantara mereka. "Hei!" sapa Axel.
"Hai juga." Bianca tampak gugup.
"Berdua saja nih?"
"I┄Iya. Dia sekretarisku," tutur Bianca dengan gugup. Tangannya cukup dingin, bukan karena pengaruh AC, melainkan rasa gugup yang terus mengejarnya. Ia tak bisa berkata apa-apa, terlebih lagi mengingat pertemuan dengan pria itu saat di mobilnya tempo hari.
"Bu, saya permisi dulu ya. Mau ke toilet," ucap Sarah yang mengerti akan situasinya. Ia berharap, Bianca dan Axel dapat berbicara dengan leluasa.
"Jalan, yuk!" ajak Axel sambil menggenggam tangan Bianca. Wajah Bianca memerah. Tangan besar Axel menghangatkan tangan mungilnya. Jantungnya berdegup kencang tak karuan. Dia tak bisa menyembunyikan perasaannya lagi. Axel melihat Bianca dengan pikiran berkecamuk. "Apa kamu merasa tidak nyaman jalan bersamaku?" tanya Axel.
"Eng┄Enggak kok."
"Dari tadi kamu diam. Aku mengira kalau aku berbuat salah yang membuatmu marah."
"Aku hanya bingung."
"Bingung kenapa?"
"Sejak pertemuan waktu itu, aku rasa aku terus memikirkannya. Aku tidak bisa tenang."
"Bianca, aku tahu kita baru saja mengenal, tetapi saat itu, aku sama sekali tidak menyesal. Kamu tahu kenapa?" Axel mempererat genggamannya. Bianca menggelengkan kepala. Gadis itu terlalu polos untuk mengerti hubungan antara pria dan wanita.
"Karena kamu bidadari yang diciptakan untukku," ucap Axel, kedua matanya menatap lurus sepasang mata indah Bianca. "Bianca, aku ingin menjalin hubungan serius denganmu." Wajah Bianca semakin memerah. Kini, suara jantungnya seperti bom atom yang siap meledak.
"Ka┄Kamu serius?"
"Tentu saja. Bagaimana caranya agar aku bisa membuktikannya padamu?" Axel berlutut seraya menggenggam kedua tangan Bianca lembut.
"Aku.. Aku sungguh tidak mengerti. Jika kamu menanyakan soal pekerjaan padaku, aku akan menjawabnya. Tetapi, jika kamu menanyakan masalah..."
"Aku tidak tanya kamu menerimaku atau tidak. Yang aku tanyakan, bagaimana dengan hatimu?" potong Axel.
"Hatiku?"
"Iya, hatimu. Apa kamu terus memikirkanku sepanjang waktu? Atau mungkin kamu kesulitan tidur?"
"Kenapa semua pertanyaannya, seperti menjelaskan apa yang terjadi padaku? Apa mungkin aku menyukainya?" batin Bianca.
"Bianca, atau mungkin aku terlalu terburu-buru?" tanya Axel. Bianca menganggukkan kepala.
"Sebenarnya... Kamu terus mengusik hidupku. Padahal, banyak pekerjaan yang harus aku urus. Tetapi, mengenalmu terus membuatku tak bisa berpikir jernih. Bahkan, aku terlambat ke kantor. A┄Aku tidak mengalami hal aneh seperti itu dalam hidupku. Kalau kamu ingin menanyakan hatiku, inilah jawabanku. Aku tidak tahu, apa sesuai dengan pertanyaanmu. Aku hanya..." Axel mencium bibir Bianca, tak mempedulikan banyak orang disekitarnya.
"Bagiku, itu sudah cukup," ucap Axel, menampakkan senyuman indahnya. Perlahan, dia mengecup kening Bianca. Kemudian, ia memeluk gadis itu. "Wow, suara jantungmu begitu keras."
"A┄Apa sekeras itu?"
"Tentu saja, Dear. Biarkan aku memelukmu, merasakan betapa kerasnya suara jantungmu," ujar Axel mempererat pelukannya.
"Te┄Tetapi ini ditempat umum. Cukup malu kalau terlalu lama berpelukan seperti ini."
"Apa mungkin, aku harus membawamu langsung ke Apartemenku? Dan kita bisa menghabiskan waktu berduaan?"
" Ja┄Jangan!" Bianca melepas pelukan Axel.
"Kenapa? Kamu takut?"
"Jangan bicara disini! Bagaimana kalau kita cari tempat duduk untuk mengobrol?" Bianca menundukkan kepala karena malu semakin banyak orang melihat mereka.
"Baiklah, Dear." Axel mengajak Bianca pergi untuk menikmati secangkir kopi. Axel memesan Americano, sedangkan Bianca memesan jus. Gadis itu tidak terlalu menyukai kopi, kecuali ia lembur dan mengharuskannya untuk minum kopi. "Bagaimana?" tanya Axel yang tak sabar menunggu jawaban dari Bianca.
"Apanya yang bagaimana?"
"Aku harus gimana dengan hubungan kita, agar membuatmu merasa nyaman bersamaku?"
"Aku.. Aku rasa kita begini saja dulu. Aku belum pernah berpengalaman dengan seorang pria. Aku kira terlalu terburu-buru, mengingat apa yang terjadi di mobil waktu itu."
"Baiklah kalau itu maumu. Aku akan menghargai keputusanmu. Tetapi, kamu menerima perasaanku, kan?"
"Aku.."
"Bianca, aku tahu kalau kamu pekerja keras. Dari pakaianku saja sudah terlihat kalau aku bukan berasal dari latar belakang yang terpandang, mungkin kamu malu menjalin hubungan denganku. Diluar sana, pasti banyak pria kaya yang mengejarmu. Tetapi, aku bersungguh-sungguh Bianca."
"Itu omong kosong! A┄Aku tidak pernah memandang status jika mencari pasangan. Aku hanya cukup ragu, apa aku pantas bersanding denganmu?"
"Kenapa kamu berbicara seperti itu? Tentu saja, kamu satu-satunya gadis yang paling pantas ada disisiku. Tak ada lagi didunia ini, selain dirimu." Axel mencium kedua tangan Bianca dengan lembut. "Bianca, aku berjanji akan memperlakukanmu dengan lembut. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu merasa tidak nyaman. Asalkan kau berada disisiku, apapun yang kamu mau, akan aku kabulkan. Jadilah pacarku." Axel mencium kedua tangan Bianca lagi. Seakan terbius oleh kata-katanya, Bianca mengeluarkan air mata. Axel mengerutkan kening. "Ada apa, dear? Apa aku menyakitimu?"
"Ti┄Tidak. Aku hanya terharu saja," ucap Bianca. Axel menghapus air matanya sambil tersenyum.
"Jadi? Mau jadi pacarku?" tanya Axel. Bianca pun menganggukkan kepala.
Tak lama, mereka saling menyimpan nomor ponsel masing-masing. Bagi Bianca, Axel adalah kebahagiaannya. Tetapi bagi Axel, Bianca merupakan aset berharganya. Pria itu tak ingin melepaskan Bianca, kecuali dia sendiri yang ingin melakukannya.
Axel dan Bianca memutuskan untuk berpacaran. Mereka saling bertegur sapa lewat telepon, bahkan sering melontarkan kata-kata mesra. Hubungan mereka semakin hari, semakin membaik. "Gimana kabarmu dikantor, Dear?" tanya Axel bernada manja lewat panggilan teleponnya."Biasalah lagi sibuk. Oh ya, beberapa hari lagi aku akan pergi ke ulang tahun seseorang, apa kamu ingin pergi bersamaku?" Bianca berharap jika dia dapat bersama dengan Axel ke acara itu."Wah, kenapa pas sekali ya acaranya, Dear.""Kenapa? Kamu lagi lembur kerja atau ada sesuatu yang lain?""Pekerjaanku memang tidak tetap sih, tetapi bukan karena itu. Maaf ya, Dear. Aku gak bisa menemanimu," ucapnya. Axel memiliki janji dengan angel, membuatnya tidak bisa pergi bersama Bianca. "Oh ya, bagaimana kalau kita bertemu saja. Aku sudah kangen sama kamu," ucap Axel. Pria itu ingin mencicipi bibir seksi Bianca. Pikirannya liar membuat sekujur tubuhnya tegang. Dia ingin merasakan setiap bagian tubuh Bianca
Apartemen Axel terbilang lumayan besar. Tetapi, bagi seseorang yang memiliki harta berlimpah, apartemennya bukanlah apa-apa. Namun, Bianca tak pernah mempermasalahkan hal itu. Gadis itu memilih duduk di sofa. Bibirnya tersenyum manis. "Kenapa? Kecil ya apartemenku?" tanya Axel."Aku gak berpikir begitu.""Lalu apa yang kamu pikirkan?" Axel duduk disebelah Bianca. Pria itu menyentuh kepala Bianca, lalu disandarkan pada bahunya."Apartemenmu rapi dan bersih.""Itu karena aku yang rajin membersihkannya," ungkap Axel agak sedikit gugup. "Untung saja, aku selalu membersihkan Apartemenku setiap hari," batinnya."Lalu, sebenarnya apa pekerjaanmu?""Kamu ingin tahu?" tanya Axel. Bianca menganggukkan kepala. Pria itu membelai rambut panjangnya dengan lembut. Sesekali, ia mengecup lembut kening Bianca. Perasaan Bianca semakin kuat karena sikap manis pria itu."Kalau kamu belum memiliki pekerjaan yang tetap, aku bisa memberimu jabatan di kantor,
Awan tak terlihat terang, semuanya terasa gelap, hanya bintang yang mampu menemani sang kegelapan malam. Cahaya lampu juga melengkapi dunia yang gemerlap. Adanya sebuah bangunan megah dengan bergaya Eropa, dipenuhi lampu berwarna terang membentuk kemegahan.Bangunan itu memiliki pintu utama yang tinggi, bahkan jika ada seorang manusia dengan tinggi dua meter, masih dapat berjalan dengan baik melalui pintu tersebut. Tinggi pintu itu berkisar 3.5 m. Orang-orang terlihat seperti semut, jika melalui pintu itu.Tempat yang megah tak jauh dari tamu-tamu berkelas tinggi. Mereka semua mengenakan pakaian dengan brand terkenal dari dress, jas, high heels, sepatu, tas, hingga segala jenis benda yang melekat pada penampilan mereka.Bianca dan Sarah yang tak ingin ketinggalan. Mereka mengenakan dress dengan brand yang terkenal. Bianca dengan dress navy polosnya, menampakkan bentuk tubuhnya serta dadanya yang terlihat membesar. Sedangkan Sarah mengenakan dress panjang berwarn
Axel dan Angel masih betah berdiri di lantai dua tanpa menyambut tamu lainnya. Angel memanggil pelayan yang berjalan melewatinya untuk mengambilkan dua gelas anggur merah. "Kamu selalu tahu apa yang menjadi kesukaanku," ungkap Axel menampakkan senyuman mautnya."Kita kan sudah kenal lama, Xel. Semuanya tentangmu aku tahu bahkan ukuran semua yang kamu pakai," ujar Angel. Pria itu menyeringai dengan tatapan nakalnya."Eh iya, kamu masih disini?" tanya Axel."Emang kenapa? Kamu udah gak sabar ketemu ama dia?""Bukan begitu. Saat ini, statusnya adalah pacarku. Walau aku sudah melihatnya dari sini, entah kenapa aku tidak bisa menemuinya langsung. Menurutmu kenapa?""Karena kamu gak menganggap dia sebagai orang spesial dihatimu." Kepala Angel bersandar pada bahu lebar Axel. "Xel!" panggil Angel seraya mendongakkan kepalanya."Hmm? Apa?""Kamu serius ingin memanfaatkannya?""Kalau iya kenapa?""Kamu gak takut suatu hari nanti k
Bianca membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar. Dia menghela nafas seketika. Dilihatnya, cermin yang menampakkan sosok dirinya. Ia tersenyum. Walau dalam suasana hati yang cukup buruk tadi, tetapi ia masih begitu cantik. Setelah lima belas menit kemudian, dia keluar dari sana.Saat keluar dari toilet, dia ditarik oleh Axel. Pria itu langsung menciumnya lembut. Bianca ingin menampar siapa pria yang berani menciumnya. Namun, hal itu tak ia lakukan saat Axel melepaskan ciumannya. Pria itu tersenyum."Kamu disini?" Bianca masih tidak percaya jika Axel berada didekatnya. Ia mengira pikirannya dipenuhi Axel, sehingga menyebabkannya berkhayal. Gadis itu menampar pipinya sendiri."Kenapa ditampar, dear?" Axel mengusap pipi Bianca lembut. Setelah itu, ia mencium pipinya."A┄Aku kira ini cuma mimpi. Kamu tiba-tiba datang begitu saja tanpa mengabariku dan langsung menciumku. Gadis mana yang tidak langsung kaget?""Kamu masih ingat tidak, waktu itu ketika
Malam penuh bintang menjadikan waktu terindah bagi Axel. Pria itu tak berhenti menatap Bianca. Gadis yang malang, tak bisakah Axel bersikap lebih lembut padanya tanpa bertindak begitu keji? Axel tak peduli. Bianca sangat bermanfaat untuknya dimasa mendatang.Hanya dengan cara ini, pria itu memiliki Bianca. Tanpa berpikir panjang, Axel menurunkan resleting pada dress bagian belakang Bianca. Gerakannya cukup cepat, namun tak merusak resleting itu sendiri. Ponsel Bianca yang telah disilent dari awal saat pria itu membawanya, tak dapat mengganggu aktivitasnya.Setelah resleting terbuka, ia segera melepaskan pakaian itu yang terus mengganggunya. Tampak pakaian dalam Bianca yang menggiurkan. Axel tegang sesaat. Dia tak bisa berpikir jernih. Bianca tak menolak saat pria itu menyentuhnya. Malam yang berwarna dengan segala desahan yang menggelora. Bianca yang tak menolaknya, membuat Axel bergerak semakin liar.Malam penuh dosa itu tak ada rasa penyesalan bagi Axel. Pikir
Waktu terlewati dengan sempurna, tak terasa satu bulan telah berlalu. Waktu yang cukup cepat ini, membuat seorang wanita merasa gugup. Ia memejamkan kedua mata sambil menikmati angin yang terus berdatangan ke arahnya.Dia berdiri di sebuah balkon kantornya. Termenung mungkin pilihan terbaiknya saat ini. Sarah datang tiba-tiba tanpa sengaja mengagetkannya. "Ibu terlihat melamun. Bukankah seharusnya anda senang karena sebentar lagi akan menikah?" tanya Sarah."Sarah, menurutmu bagaimana perasaanmu ketika menikah?""Gugup dan ragu. Tetapi, ketika memikirkannya kembali saya tidak ragu lagi.""Secepat itukah keraguanmu hilang?""Iya. Tidak begitu baik, jika hati dikelilingi keraguan dalam waktu yang lama. Oh ya, saya punya tips agar dapat mengurangi rasa gugup serta keraguan anda.""Gimana caranya?""Ibu harus memejamkan kedua mata sambil mengingat setiap momentum anda bersamanya. Saya yakin setelah itu, anda pasti merasa lebih rileks."
Langit menampakkan kesenduan yang beraroma mistis. Hawa dingin seakan membeku seketika. Aura gelap mengelilingi Bianca dalam sekejap. Sepasang mata berwarna merah terlihat mengganas. Senyuman yang licik tak dapat terkendali. Aura iblis mengelilingi Bianca. Kini, Bianca terlihat berbeda.Sosok Vivian yang berada didalam tubuhnya akan mengubah seluruh kehidupan Bianca. "Hahaha... Akhirnya setelah sekian lama aku menginginkan tubuh manusia, tak kusangka aku berhasil mendapatkannya," ujar Vivian dengan sorotan mata yang tajam. Dia tampak bersemangat dengan tubuh barunya.Semua memori pada kehidupan Bianca menyatu pada diri Vivian. Wanita itu sudah mengetahui semua hal yang terjadi pada Bianca dengan memori itu. Selain itu, dia memiliki energi yang mematikan. Akankah Vivian membawa sebuah malapetaka? Kenyataannya, dia menatap tajam Axel dan ibu tiri Bianca. Senyuman jahat mendarat pada bibir manisnya. "Kalian ini, sangat menjijikkan," batin Vivian seraya mendekati mereka.
Vivian mengenakan salah satu dress yang baru ia beli di Mall. Dia menatap cermin sambil tersenyum. Axel berdiri di belakang Vivian seraya memeluknya dari belakang. "Kamu cantik, Honey," puji Axel sambil mengusap kepala wanita itu dengan lembut."Ini tubuh Bianca. Bagaimana kamu tahu kalau aku cantik?" tanya Vivian. Senyuman Axel tampak pada bibirnya."Apapun itu, bagiku kamu cantik." Axel mencium rambut wanita itu dari belakang."Aku ingin mencoba dress yang lain.""Kamu beneran gak sabar ya ingin segera berkencan denganku?" godanya, menaikkan salah satu alis."Ya udah, aku pakai dress ini aja.""Duh, istriku ini mulai ngambek ya. Tetapi, sikapmu yang seperti ini bertambah manis. Aku suka," bisiknya dengan nada seksi. Lidah Axel bermain pada telinga itu. Tak lama, ia menyudahinya."Kalau kamu terlambat, kita akan kesulitan ke Bioskop," kata Vivian. Ia menatap malas seraya melipatkan kedua tangan. Axel tersenyum. Selain menggoda Vivian
Vivian mengepalkan tangan. Ia tak mengira bertemu musuh lamanya di rumah itu. Awalnya, Victoria juga tak tahu kalau Vivian berada di tubuh Bianca. Namun, setelah insiden perselingkuhan Axel terkuak, Victoria dapat merasakan gelombang aura yang sangat kuat dari tubuh Bianca.Sejak saat itu ia mulai memperhatikan orang-orang disekitar Vivian secara diam-diam. Dia juga menanamkan sesuatu pada diri Meili saat anak buahnya dikalahkan oleh Vivian. Hal itu yang memicu Meili memilih bunuh diri.Jika dilihat dari karakteristik Meili, ia bukan tipe perempuan yang mengakhiri hidupnya. Victoria berhubungan dengan kematian Meili. Sayang, Vivian tak tahu hal itu. Tetapi, dia agak curiga ketika Meili lebih memilih melompat dari lantai tiga.Namun, kecurigaan itu perlahan memudar, saat melihat Meili bersimbah darah. Setelah semua terjadi, kini Vivian mulai mengerti. Kehadiran Victoria memberinya petunjuk. Yang dia tak bisa prediksikan, roh iblis itu datang lebih cepat ketimbang
Barang belanjaan yang cukup banyak membuat Vivian agak kesulitan membawanya. Ia melihat Suryo yang tertidur pulas di mobil. Suara ketukan kaca mobil mengagetkannya seketika."Eh, Non. Sudah selesai?" tanya Suryo seraya mengusap kedua matanya. Ia masih agak mengantuk."Udah dong. Oh ya, kenapa kamu memanggilku non lagi?""Udah kebiasaan, Non. Nggak enak rasanya kalau diubah begitu.""Kamu menyebutku begitu, telingaku jadi gatel." Vivian mengusap telinga."Saya kan sudah memanggil Non bertahun-tahun. Rasanya tidak sopan jika tidak memanggil seperti itu. Nggak apa-apa kan, Non?" Suryo mengusap kedua matanya lagi."Ya udah terserah kamu.""Barang belanjaan Non kemana? Saya mau taruh di bagasi mobil.""Sudah ku taruh semua baru saja. Sepertinya, kamu masih mengantuk, ya.""U-udah nggak, Non," kata Suryo. Ia tak ingin dianggap sebagai sopir yang tidak kompeten. Dia berusaha agar menahan rasa kantuknya."Pak Suryo, kalau
Keduanya saling bertatapan. Tak berlangsung lama, malaikat maut itu mengeluarkan rantai ikatan. Rantai itu dapat mengikat roh iblis dengan cukup kuat. Namun, Vivian selalu tahu trik ini.Dia berhasil menghindar walau tak menggunakan kekuatannya. Malaikat maut itu terus mengayunkan rantai ikatan ke arah Vivian. Lagi-lagi hal itu sia-sia. Vivian menyeringai.Dia tahu malaikat maut tidak pernah menunjukkan kekesalannya. Terlihat, hanya dua kali serangan gagal, malaikat maut terhenti. Ia menyimpan kembali rantai ikatan itu."Apa kamu nggak bosan ingin menangkapku terus?" Vivian mengerucutkan bibir."Vivian, kamu sudah terlalu lama hidup di dunia manusia. Sudah saatnya, kamu kembali ke gerbang langit.""Gak mau. Aku tahu, kalian p
Sebuah Mall yang berada di daerah perkotaan lebih ramai ketimbang biasanya. Mungkin dikarenakan hari minggu, menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk menghabiskan hari liburnya di Mall. Beberapa butik ternama telah dipadati pengunjung. Mereka berbondong-bondong membeli pakaian dengan harga murah. Terjadinya diskon besar-besaran hampir semua butik yang ada di Mall tersebut. Salah satu pengunjung Mall itu memancarkan auranya. Orang-orang berlalu lalang terkesima dengan kecantikan serta bentuk badan yang dimilikinya. Sosok itu adalah Vivian. Walau semua pakaian Bianca serba tertutup, tak menjadi penghalang baginya untuk berpakaian terbuka. Ia menyulap salah satu kemeja Bianca yang berlengan panjang menjadi tanpa lengan. Dia melepas semua lengannya tanpa menyisakan sedikitpun menggunakan pendedel. Lalu, ia menggunakan benang dan juga jarum. Ia meminjam semua peralatan itu pada Ratna. Kemudian, ia menjahit bagian yang kurang rapi. Masih belum cukup puas,
Roh iblis itu menatap Axel sambil tersenyum. Langkahnya semakin dekat hingga wajah mereka berjarak beberapa sentimeter saja. "Ikuti aku!" kata roh iblis itu. Axel mengikutinya. Mereka duduk di salah satu kursi yang berada di Taman. Banyak orang berpacaran disana. Axel dan roh iblis itu memilih tempat yang sepi, sehingga tidak ada yang mendengar apa yang mereka bicarakan. Mereka juga tidak terpengaruh oleh suara-suara bising lainnya. "Tempat ini sudah cukup sepi, ceritakan padaku apa yang kamu ketahui tentangnya." "Kamu nggak takut denganku? Gimana kalau aku menipumu?" Roh iblis itu tersenyum miring. "Kamu adalah roh iblis. Sedangkan aku hanyalah manusia biasa. Berada di tubuhku juga nggak enak." Axel memalingkan wajahnya. Sebenarnya, ia masih takut dengan roh iblis di depannya. "Hahaha…. Kamu cukup menarik. Oh ya, kamu ingin tahu cerita Vivian atau roh iblis?" "Vivian kan roh iblis. Nggak ada bedanya, kan?" "Aku memberikanmu pi
Angel menatap tak percaya apa yang dilihatnya. Ia terlihat gugup. Sedangkan Axel berpakaian kembali. Dia mulai menjauh dari Angel. Ketakutan kembali menerpa pria itu. Tubuhnya mulai bergetar. Bibirnya pucat. "Ngel, aku cabut dulu, ya. Dah." "Duh, si Axel ini malah main kabur segala," batin Angel. Ketika Axel berpapasan dengan Falco, pria itu menariknya. Dia memukuli Axel bertubi-tubi. "Stop Falco!" seru Angel. Ia menghentikan suaminya. Tatapan mata Falco marah bercampur kecewa. Angel menatap Falco sambil memegang tangannya. Ia meneteskan air mata. Karena air mata itu, Falco berubah menjadi lembut. Ia tak lagi memukuli Axel. "Kenapa, Angel? Apa kekuranganku dari pria itu?" Falco menatap Angel kecewa. Tak terasa, ia meneteskan air mata. "Maaf. Kamu boleh menyalahkanku. Aku…" "Aaaaaaah!" Falco berteriak histeris. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia tak ingin memukul atau memarahi istrinya. Dia begitu mencintai Angel. Dia lebih suka m
Axel tidur pada paha Angel. Mereka tak melakukan apa-apa. Axel menggenggam tangan wanita itu, lalu mengecupnya lembut. Sebelum mengenal Vivian, tak cukup hanya ciuman ditangan.Pria itu bergerak liar hingga Angel kewalahan. Namun, saat ini, ia tak ingin melakukannya. Entah apa yang terjadi padanya, ia seakan tak bergairah. Padahal, Angel mengenakan baju tanpa lengan memperlihatkan belahan dadanya serta celana pendek di atas lutut.Siapa yang tidak tergoda dengan penampilannya seperti itu? Berada di pangkuan Angel, baginya lebih dari cukup. Ia tak ingin lebih. Selain itu, Angel tak mengajak Axel untuk berhubungan badan.Sebenarnya, Axel lebih sering mengajaknya untuk melakukan perbuatan dosa itu, ketimbang dirinya. Tak heran, ketika Axel tak ingin melakukan itu, Angel juga tak berinisiatif. Wanita itu mengerti apa yang terjadi pada Axel."Jadi, kamu telah jatuh hati beneran sama istrimu?" tanya Angel. Sudah kesekian kali Axel tak menjawab. Ia bimbang. Ange
Wanita itu mengusap punggung Axel, membiarkannya membenamkan kepala. Beberapa orang melihat ke arah mereka, namun tak terlalu peduli dengan hubungan keduanya. "Why? Kamu begitu kangennya ya sama aku, sehingga kamu peluk aku gini?" tanya wanita itu. "Angel, kamu kemana aja? Kamu tahu kalau aku kangen." Axel melepaskan pelukannya perlahan. Ia menatap wajah itu. "Ayo, ke Apartemenmu!" seru Angel tiba-tiba. "Lalu, gimana dengan suamimu?" "Suamiku lagi ke luar kota. Kamu gak perlu cemas." "Ngel, aku gak mau seperti waktu itu. Kamu tau gak, apa yang dilakukan suamimu itu? Aku hampir mati." Axel merinding seketika saat mengingat kejadian waktu itu. "Sorry, Xel. Aku gak bermaksud membuatmu takut." Wajahnya kusam. Kemudian, Angel duduk di pasir. Kedua kakinya disejajarkan didepan. "Tetapi, suamimu gak pernah memukul atau interogasi kamu, kan?" "Dia hanya memelukku. Dia mengatakan tentang perasaannya. Dan ia berharap, kalau kami