“Fika?”
Bening lantas berdecak, ketika melihat wajah muram adik yang berbeda ayah dengannya itu. Meskipun hubungannya dengan keluarga sang mama sudah membaik, tetapi Bening enggan mengakrabkan diri dengan kedua adiknya, yakni Dean, dan Fika.
“Mau ngapain ke sini?” lanjut Bening mempertanyakan kedatangan Fika, yang sudah duduk manis di sofa ruang tamunya. “Nggak kuliah?”
“Libur.” Fika mencebikkan bibirnya. “Tadinya, aku mau magang di Firmanya mas Abi, tapi dianya nolak.”
Bening memutar bola matanya, tanpa segan di depan Fika. “Cari tempat magang lainlah, jangan kayak orang susah! Papamu punya hotel, kan? Atau, magang di mana gitu, kek! Asal jangan magang di perusahaan suamiku! Langsung aku seret kamu keluar dari sana, kalau berani magang di perusahaan mas Aga.”
Fika menelan ludah. Berhadapan dengan Bening yang ceplas ceplos, terkadang bisa membuatnya bergidik. “Nggaklah, Mbak.” Mana mungkin Fika berani. Bisa-bisa, Bening akan benar-benar menyeretnya keluar dari perusahaan Aga, jika berani menginjakkan kaki di sana. Selain mulutnya yang tajam, Bening ternyata juga bisa berubah jadi preman.
“Atau … kamu mau magang di Firma Sagara Lexius?” tawar Bening, mendadak teringat dengan pria yang saat ini sudah menjadi tetangganya. “Aku punya channel ke sana, bisalah nanti bisik-bisik dibela ...” Mendadak, Bening tidak meneruskan ucapannya. Perutnya kembali terasa sebah, dan terasa ingin muntah. “Aku masuk angin kayaknya.”
“Mbak Ning, sakit? Mau aku antar ke dokter?” tawar Fika penuh perhatian.
Bening menggeleng, lalu bersendawa sembali menepuk-nepuk perutnya. Entah mengapa, belakangan ini kondisi tubuh Bening sangat rentan sekali. Cepat lelah, dan selalu ingin tidur kapan pun dan di mana pun. “Udah berapa hari ini nggak enak badan,” ujarnya lalu bersandar lelah pada punggung sofa. “Kamu pulang aja, gih. Di sini nanti cuma ngerepotin orang aja.”
Setelah “diusir” dari kantor Abi, kini Fika pun disuruh pergi dari rumah sang kakak. “Kamu nggak senang aku ke sini, ya, Mbak?”
“Nggak,” jawab Bening terus terang. “Udah tahu aku nggak enak badan, kan? Makanya, aku mau tidur. Jadi mending kamu pulang. Ngapain, kek, di rumah. Nemenin mama masak, atau apalah.”
“Aku malas pulang.” Fika memerosotkan tubuhnya di sofa. Berselonjor malas, dengan memelas. “Mama sama Babe, sebenarnya mau deketin aku sama mas Abi, tapi … mas Abinya nolak. Dia suka sama orang lain.”
Dengan mencebik, dan mata yang mulai mengembun, Fika menceritakan semua hal yang didengarnya dari balik pintu ruang kerja Abi. Saat Abi memintanya keluar dari ruang kerjanya, Fika tidak langsung menutup erat pintu kerja ruangan tersebut. Fika memberi celah, agar bisa menguping perbincangan yang terjadi di dalam sana. Setelah mendengar penolakan, dan kalimat Abi yang menurutnya kasar, Fika langsung pergi tanpa berpamitan. Mematikan ponselnya, lalu melajukan mobilnya ke rumah Bening.
“Vira?” Tiba-tiba saja, Bening menjadi tertarik dengan cerita Fika. “Kamu tadi bilang, mas Abi cinta sama cewek yang namanya Vira? Cewek yang baru aja meeting sama dia, waktu kamu sama Babe datang? Begitu?”
“Iya, Mbak.” Fika sampai mengedipkan mata berulang kali, agar tidak ada air mata yang menitik di pipinya. “Kayaknya Vira itu, pengacara juga. Orangnya cantik, tapi agak judes kelihatannya.”
“Bukan agak, tapi emang judes.”
“Sama kayak Mbak Ning,” ungkap Fika keceplosan.
Ingin rasanya Bening menghardik. Namun, saat merasa perutnya kembali mulas, Bening pun mengurungkannya. Pada akhirnya, Bening merebahkan diri, dan memiringkan tubuhnya. “Bu Vira itu, mantan istrinya mas Aga. Mamanya Awan. Elvira Danuarja.”
“Ma-mantan istri, suaminya Mbak Bening?” ulang Fika terkejut, tidak percaya. “Mamanya Awan.”
“Ke THT, gih, Fik! Periksa telinga,” decak Bening lalu menghela. “Udahlah, cari cowok lain aja. Aku malas kalau harus kres lagi sama bu Vira. Apalagi gara-gara masalah percintaan begini.”
“Tapi aku sudah terlanjur sayang sama mas Abi, Mbak.”
“Heh!” Akhirnya, Bening mengeluarkan tenaganya untuk menghardik. “Cowok di dunia ini bukan cuma Abi. Terus, Fik, kalau mau menjalin hubungan sama orang, cinta sama sayang aja nggak cukup! Kamu mau tetap dijodohin sama Abi, tapi dia cintanya sama bu Vira? Siap-siap makan hati!”
Mengingat Vira, Bening jadi teringat dengan papanya. Apa kabar Ilham sekarang? Setelah resmi bercerai dengan Riva, Bening sudah tidak pernah mendengar kabar pria itu sama sekali.
“Tapi, Mbak—”
“Nggak usah tapi-tapi.” Dengan malas, Bening bangkit dari tidur dan mengulurkan tangan pada Fika. “Mana hapemu.”
“Aku matiin,” kata Fika sambil mengeluarkan ponsel dari tas.
“Nyalain, biar aku telpon mama,” kata Bening tegas, dan sedikit meninggikan intonasi bicaranya.
Meskipun tidak ingin, tetapi Fika tidak berani menolak Bening. Setelah kembali mengaktifkan ponselnya, Fika menyerahkan benda tersebut pada sang kakak. “Mbak Ning, mau apa?”
“Aku mau bilang …” Bening mencari nomor Clara di ponsel Fika, dengan melihat history panggilannya. “Jangan lagi jodoh-jodohin kamu sama Abi. Urusan Babe, nanti biar aku yang telpon dia. Belum-belum aja sudah dibikin sakit hati, gimana ke depannya, Fik. Kalau aku kesel, nanti aku suruh mama ganti penasihat hukum sekalian. Biar aja si Abi itu kehilangan satu klien besarnya.”
“Mbak Ning, jangan gitu.” Sepertinya Fika sudah salah langkah. Menceritakan keluh kesahnya pada Bening, bukanlah jalan yang terbaik. Untuk itu, Fika segera menghampiri Bening lalu duduk di sebelahnya. “Aku nggak enak sama mas Abi, nggak enak juga sama Babe.”
“Jadi orang, jangan banyak nggak enaknya,” hardik Bening sudah menempelkan ponsel Fika di telinga. “Entar kamu yang dinjak-injak. Mau dijadiin keset? Ihh, aku, sih, ogah!”
Tidak perlu menunggu lama, panggilan Bening langsung diangkat oleh sang mama.
“Fika, ya ampun, Fika! Kamu di mana!” cecar Clara histeris sekaligus terdengar khawatir.
Mendengar hal tersebut, Bening terdiam sebentar. Ia kembali mengingat luka, yang sebenarnya sudah ia tutup rapat-rapat. Perhatian yang diberikan Clara pada Fika, sungguh membuat Bening iri dan kembali mengingat masa lalunya.
Namun, sudahlah. Semua sudah berlalu dan Bening tidak boleh berdiam dan kembali dalam masa lalunya. Ia sudah memiliki Aga, dan keluarga yang sangat mencintainya.
“Mama, ini aku, Bening. Bukan Fika.”
“Ha?” Clara terdiam untuk beberapa detik. “Fika sama kamu? Bukannya dia itu ha—”
“Jangan lagi jodoh-jodohin Fika sama mas Abi,” potong Bening yang memang tidak pernah bisa berbasa-basi. “Mas Abi itu sukanya sama cewek lain. Udah nggak zamannya lagi jodoh-jodohan, Ma.”
“Ning, Mama mau bicara sama Fika.” Bicara dengan Bening dalam keadaan emosi, tidak akan pernah menemukan jalan keluar. “Masalah perjodohan, nanti bisa kita bicarakan lagi.”
“Ya, bicaralah,” ujar Bening setuju-setuju saja. Yang terpenting, ia sudah mengutarakan pendapatnya pada sang mama. “Asal jangan ada pemaksaan di dalamnya. Lagian, Fika juga masih muda, masa’ sudah dijodoh-jodohin segala. Fika itu cantik, jadi pasti banyak suka di luar sana.”
“Iya, Ning, iya.” Karena kesalahan di masa lalu, dan pernah berutang nyawa pada Bening, Clara pun tidak pernah mau berdebat ataupun memiliki masalah lagi dengan putrinya itu. “Mama mau bicara dulu sama Fika, kenapa dia mendadak kabur dari firmanya Babe.”
“Nggak usah bicara di telpon,” ujar Bening. “Fika mau aku suruh pulang habis ini. Orang mau tidur siang, dia malah datang.”
Fika mengerucutkan bibir, mendengar perkataan Bening. Lagi-lagi, kakaknya itu mengusirnya tanpa basa-basi.
“Pulang, gih,” usir Bening sekali lagi, setelah mengakhiri panggilannya dengan Clara. Ia meletakkan ponsel Fika di pangkuan gadis itu, sambil berujar, “mama nunggu di rumah, dan mau bicara masalah mas Abi.”
Fika mengangguk tanpa kata. Sudah berkali-kali diusir, Fika tidak lagi punya alasan untuk tinggal lebih lama di rumah Bening. Fika beranjak mengambil tas, lalu memasukkan ponsel ke dalamnya dengan perasaan yang tidak menentu.
“Fika! Ada banyak opsi yang bisa kamu lakuin, setelah tahu mas Abi nggak mau dijodohin sama kamu,” kata Bening ingin memberi sedikit nasihat pada sang adik. “Pertama, teruskan kuliahmu sampai lulus dan nggak usah dulu mikirin cowok sama sekali. Kedua, kamu tetap mau dijodohkan tapi siap-siap makan hati dan nggak bahagia. Ketiga …” Bening tersenyum miring seraya beranjak menuju pintu yang dibiarkan terbuka sejak tadi, lalu memegang handlenya. “Jual mahal! Taklukan mas Abi, dan … habis itu terserah, mau kamu tinggal atau …. Semua terserah kamulah, karena kamu yang ngejalani, bukan aku. Jadi, pulang sekarang, dan bicarakan semua dengan mama.”
~~ 0 ~~Say hiii, dulu sama Bening, Mba Beb :-*
“Aku nggak mau dijodohin sama mas Abi lagi,” kata Fika sudah memikirkan semua perkataan Bening, selama perjalanan pulang ke rumah. “Aku … masih mau kuliah.”Setelah mengatakan hal tersebut pada sang mama, Fika segera melipir pergi ke arah dapur. Meninggalkan sang mama yang hanya bengong di teras samping, dan belum memberikan pendapatnya. Fika tidak suka berdebat, dan lebih memilih menghindar dari masalah. Terkadang, Fika ingin bisa menjadi seperti Bening, yang bisa menyuarakan semua hal tanpa memiliki rasa segan sedikit pun. Namun, Fika tetap tidak bisa melakukannya.“Fika …” Clara segera bangkit, dan beranjak menyusul putri kesayangannya. Apa yang merasuki pikiran Fika, hingga berubah pikiran seperti sekarang. Clara bisa melihat jelas putrinya itu menyukai Abi, karena itulah, ia sempat berbasa-basi dengan Rasyid untuk menjodohkan Fika dengan Abi. Tidak disangka, gayung pun bersambut. Rasyid tidak menolak, dan menyetujui perjodohan tersebut. “Fika, siapa yang bilang kamu nggak bisa ku
Bagaimana bisa menunggu hingga dua bulan, kalau satu minggu saja Fika sudah merasa tidak betah berada di sisi Abi. Pria itu hanya menugaskan Fika untuk membuat minum, dan memfotokopi berkas yang diperlukan. Selebihnya, semua masalah pekerjaan diserahkan kepada Ina, wanita yang sudah menjadi sekretaris selama 15 tahun lebih.Fika merasa, Abi sengaja melakukan hal tersebut agar Fika segera mundur sebelum waktu dua bulan itu tiba.“Mas …” Fika menghampiri Abi yang baru saja berdiri, dan kembali mengenakan jasnya.“Ya, Fik?” Abi menoleh sekilas, kemudian kembali mengatur ujung lengan jas yang baru saja dikenakan.“Mas Abi mau pergi?” Bahkan, sebagai asisten pribadi, Fika sama sekali tidak mengetahui jadwal Abi.“Ya, ada janji dengan klien.” Abi mengancingkan jasnya, sambil menatap Fika yang berdiri berseberangan dengannya. Gadis itu berdiri tepat di sudut meja, dan terlihat gugup. “Kamu nggak usah ikut, kare—”“Dua bulan, Mas,” putus Fika memberanikan diri mengemukakan pendapatnya. Andai
“Sudah direkam semua?” tanya Abi setelah pertemuan dengan kliennya selesai. Fika yang duduk di sampingnya, hanya diberi tugas untuk merekam, dan menyimak seluruh pembicaraan yang ada. Abi ingin, Fika menajamkan insting dan melatih intuisinya. Karena Abi tahu benar, Fika bukanlah gadis seperti Vira. Fika terlalu lembut, dan cenderung tidak bisa bersikap tegas.“Sudah, Mas,” angguk Fika pelan.“Kalau begitu, aku mau kamu bikin resumenya dan kirim ke emailku,” lanjut Abi akan bersungguh-sungguh bersikap profesional kali ini. Walau masih setengah hati, karena kinerja gadis itu sedikit lambat bagi Abi.“Sekarang, Mas?”“Nanti aja kalau sudah di kantor,” geleng Abi. “Selesaikan sebelum kamu puuu … Vira? Di sini juga?”Abi tersenyum lebar penuh kehangatan, ketika melihat Vira menghampiri mejanya. Seperti biasa, wanita itu selalu terlihat rapi, elegan, dan penuh ketegasan. Abi sontak berdiri, lalu mengitari meja untuk menarik kursi yang berseberangan dengannya.Vira tersenyum formal pada Abi.
“Fokus aja jadi asistennya. Fokus magang, fokus kuliah.” Kalimat Bening itu, selalu Fika lafalkan dalam hati sejak bangun tidur pagi tadi. Kakaknya itu benar, Fika tidak boleh plin plan dan harus punya pendirian. Sepertinya, sudah saatnya Fika berpaling dari Abi, dan membuka hatinya untuk pria lain.“Ngapain, Ma?’” Dahi Fika mengerut saat melihat Clara sudah berada di dapur sepagi ini. Biasanya, semua hal akan dipersiapkan asisten rumah tangga, dan Clara hanya tahu beres. Namun, tidak kali. Fika melihat rantang susun di kitchen island, dan masing-masing sudah terisi dengan lauk yang sangat menggugah selera. “Ini, makanan buat mbakmu,” ujar Clara sambil menumpuk rantang susunnya satu per satu. “Kan, lagi hamil. Biar nggak makan sembarangan.”Fika ikut senang, ketika tahu Bening benar-benar dinyatakan positif hamil tadi malam. Meskipun, Fika mendengar Bening masih saja tidak percaya bahwa saat ini sedang mengandung anak Aga. “Oia.” Setelah menutup rantang susunya, Clara menghela pan
“Pagi, Mas Abi,” Fika segera berdiri, menyapa seraya memberi anggukan sopan pada Abi. Pria yang baru saja masuk ke ruangan kerjanya itu, tampak kusut dan tidak serapi biasanya. Rambut yang biasanya tertata rapi dengan pomade, atau gel rambut, kini terlihat kering dan cenderung tidak beraturan. Jika ditelisik lagi, Abi sepertinya hanya menyisir rambut seadanya dengan jari-jarinya. “Pagi,” balas Abi dengan anggukan yang sama. Sejurus itu, ia berhenti dan mengangkat tangan, untuk menghentikan Fika yang akan melangkah dari kursinya. “Nggak usah bikin kopi, saya sudah kebanyakan kopi dari semalam.”“Ohh.” Fika mengangguk. Kembali duduk dan berhadapan dengan laptopnya. Ini kali pertama, Fika membawa laptop untuk bekerja di firma Abi agar ia tidak hanya duduk bengong seperti yang sudah-sudah. “Saya sudah minta jadwal Mas Abi hari ini sama bu Ina. Hari ini Mas Abi ada sidang jam 10, dan jam dua siang, Mas ada janji dengan orang dari Perhumas, untuk membahas seminar kerja sama.”Tangan Abi be
“Cuma sakit kepala, nggak perlu sampai masuk rumah sakit begini.” Sejak siuman dan mendapati dirinya berada di rumah sakit, Rasyid terus saja melontarkan protesnya. Ia ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah tanpa harus berteman dengan jarum infus.“Papa, jangan keras kepala.” Mau tidak mau, Abi harus bersabar menghadapi Rasyid. Kalau kondisinya seperti ini, bagaimana bisa Abi keluar dari rumah dan tinggal di tempat lain. “Kita tunggu sampai dua atau tiga hari ke depan.”“Justru kamu itu yang keras kepala!” balas Rasyid. “Papa ini sudah tua, dan cuma mau lihat kamu bahagia. Menikah lagi, punya istri, dan anak. Setelah itu, baru Papa bisa pergi dengan tenang.”Abi yang sedari tadi duduk di samping ranjang, hanya mengangguk. “Ya.”“Ya, apa?“Ya, Papa jaga kesehatan, dan—”“Sudahlah.” Rasyid tahu, akan percuma saja berdebat dengan Abi karena mereka sama-sama keras kepala. “Sekarang pergilah, pergi. Biar Martin yang temani Papa di sini. Mending ngobrol sama dia, daripada sama anak
“Ngapain ke sini?”Suara tawa di ruang rawat inap VIP itu, terhenti tiba-tiba saat Abi membuka pintu dan melenggang masuk tanpa beban. Rasyid yang masih merasa kesal itu, segera bertanya perihal kedatangan putranya tanpa basa-basi. “Numpang tidur,” jawab Abi santai sambil menghampiri Dean yang duduk di ujung ranjang pasien. Jika Abi menanggapi dengan serius, maka suasana ruangan tersebut akan tegang seketika. “Apa kabar Dean?” tanya Abi berbasa-basi, sambil menepuk pelan bahu pria yang merupakan kakak laki-laki Fika.“Baik, Mas!” Dean mengulurkan tangannya lebih dulu, dan langsung disambut hangat oleh.“Sehat, Fik?” Giliran Abi berbasa-basi pada Fika, meskipun sore tadi mereka masih bertemu di kantor.“Sehatlah, Mas,” sambar Dean seraya memberi tendangan kecil pada kaki Fika. “Berat badannya aja sampai naik sejak kerja di kantormu, Mas?”“Ha?” Abi melihat Fika dengan seksama. Namun, menurutnya tidak ada perubahan signifikan dari tubuh gadis itu. Fika yang dulu, dan sekarang, sama se
“Kamu di sini aja, nggak usah ikutin saya.”“Tapi, Maa … as.” Fika membuang napas panjang. Berdiam sebentar, lalu memutuskan pergi keluar pengadilan. Mencari tempat duduk yang nyaman, untuk beristirahat dan melihat kembali jadwal Abi setelahnya. Sementar Abi, segera pergi menuju kantin karena sudah membuat janji dengan seseorang. Sesampainya di sana, Abi melihat wanita itu duduk sendiri dan sibuk dengan ponselnya. Dengan segera, Abi menghampiri dan duduk di samping wanita itu, hampir tidak berjarak.“Pergi ke mana kamu semalam?” tembak Abi tanpa harus basa-basi.Vira tertawa garing mendengar pertanyaan dari Abi. “Helloow, gebetan bukan, pacar bukan, suami apa lagi. Jadi jangan sok posesif sama aku, Bi.”“Vir.” Abi semakin mengecilkan suaranya, dan melihat ke sekitar mereka. Memastika, posisi keduanya jauh dari keramaian. “Semalam, kamu pergi sama pak Ilham dan perempuan yang namanya Vania Sesya.”“Apa aku lagi dimata-matain sekarang?” Vira menjauhkan wajah dari Abi. Kemudian, ia juga
“Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.
“Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu
“Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak
“Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s
“Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta
“Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela
Sebagai anak bungsu yang kerap dimanja dan mendapat perhatian lebih, Fika akhirnya merasakan bagaimana rasanya tersisihkan. Semua perhatian seluruh keluarganya, saat ini berpusat pada Bening. Bahkan, Dean pun tidak jarang mampir untuk mengunjungi keponakan barunya sepulang kerja.Sementara Abi, semakin ke sini pria itu semakin disibukkan dengan banyak kasus dan jadwal sidang yang kian padat.Di titik seperti sekarang, Fika benar-benar merasa kesepian dan terlupakan. Seolah tidak ada lagi tempat bermanja, seperti dahulu kala.“Mi.” Abi berhenti di ambang pintu. Memanggil Fika yang sejak tadi duduk termenung di teras samping rumah. Tidak melihat ataupun mendengar respons dari Fika, Abi lantas kembali memanggil sembari menghampiri sang istri. “Mi,” tegur Abi sekali lagi sambil menyentuh pundak Fika, yang kemudian terhenyak.“Mas!” Fika reflek memegang dadanya, lalu mendongak menatap Abi. “Jangan ngagetin!”“Aku nggak ngagetin.” Abi lantas berlutut di hadapan Fika. Menyentuh perut sang is
“Segara Cakrawala.” Fika menatap bayi mungil yang sedang tertidur di samping Bening. “Jadi ingat pak Pras.” “Kenapa pak Pras? Bukan pak Raja?” tanya Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Padahal yang jadi gubernur itu pak Raja, tapi orang-orang selalu ingatnya sama Pras.” “Serius masih tanya masalah itu, Ga?” tanya Abi sambil terus menatap wajah mungil putra Aga, yang masih tidur dengan pulas. Melihatnya, Abi jadi tidak sabar ingin menimang bayinya sendiri. “Pras itu—” “Pak Pras itu ganteng,” celetuk Bening sembari bangkit dengan perlahan setelah melihat Aga. Suaminya itu memberi respons dengan menggeleng kepala, ketika mendengar Bening memuji Pras. “Tapi, ya, gitu! Kayak batu. Mending es batu bisa cair, lah dia?” “Serem!” timpal Fika dengan anggukan setuju. Namun, Fika masih tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaannya barusan. Mengapa nama anak Bening dan Aga harus “Segara”? Aga menarik napas panjang lalu menghela. Ia berdiri di samping Fika, kemudian mengangkat Gara
“Tarik napas.” Bening menggeram, setelah mendengar Aga memberi perintah untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tepat di sampingnya dan tidak lepas menggenggam erat tangan Bening sejak keduanya berada di ruang persalinan. “Sakiiit, Beeb. Jangan nyuruh-nyuruh aja bisanya.” Aga menatap sang dokter, yang sejak tadi tidak ingin berkomentar banyak. Karena dokter tersebut tahu benar, Bening akan membalas semua ucapan yang ada dengan kalimat yang lebih panjang lagi. Aga hendak membalas ucapan sang istri, tetapi kemudian ia berubah pikiran. Sepertinya diam lebih baik, daripada mendengar Bening terus mengoceh dan menghabiskan tenaganya. “Bu Dok, lagi ...” Bening kembali merasakan kontraksi, sehingga membuat tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. “Tunggu sebentar.” Dokter wanita itu mengangguk, dan bersiap memberi aba-aba untuk Bening. “Tunggu gim—” “Tarik napas, Bu.” Dengan terpaksa, dokter tersebut memotong ucapan istri Aga. “Dorooong …” Bening kembali menuruti instruksi sang