Share

SP ~ 75

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.

“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.

“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”

“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”

Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.

“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (10)
goodnovel comment avatar
emaknya bel
aaaaaaa sesayang itu kalian mah sesama saudara perempuan... jadi kangen mbk kuuu
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
emang mulutnya bening itu pedes tp dia tulus kok fik, biar bgmn pun saudara harus saling mengingatkan
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
nah gitu dong!!! kan enak lihatnya. adem ayem
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Sang Pengacara   SP ~ 76

    “Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta

  • Sang Pengacara   SP ~ 77

    “Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s

  • Sang Pengacara   SP ~ 78

    “Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak

  • Sang Pengacara   SP ~ 79

    “Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu

  • Sang Pengacara   SP ~ 80

    “Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.

  • Sang Pengacara   1. Edukasi

    “Kalau punya klien itu, sebaiknya diedukasi lebih dulu.” Vira memutar malas bola matanya, setelah pertemuan alot yang diadakan dengan pihak lawan. Tadinya, ada beberapa hal yang ingin diselesaikan secara kekeluargaan, tetapi mereka tidak sampai di titik temu. “Semua harta, yang dihasilkan selama menikah, otomatis jadi harta gono gini. Mau semuanya diatasnamakan istri, tetap aja kalau cerai harus dibagi dua. Kecuali mereka ada perjanjian pra nikah sebelumnya.”“Aku sudah jelasin itu ke klienku,” terang Abi segera bangkit dari tempat duduk, setelah membereskan beberap berkas. Ia mengitari meja rapat yang ada di ruang kerjanya, untuk menghampiri Vira. Menyandarkan bokongnya di sisi meja, lalu meraih pergelangan tangan wanita yang masih membereskan berkasnya. “Bu Yanti lebih percaya sama cerita-cerita di sosmed, daripada pengacaranya sendiri. Susah-susah gampang punya klien yang ngeyelan begitu.”Vira menghela, dan menghentikan kegiatannya. Ia mengangkat wajah, lalu memberi Abi gelengan.

  • Sang Pengacara   2. Jual Mahal

    “Fika?”Bening lantas berdecak, ketika melihat wajah muram adik yang berbeda ayah dengannya itu. Meskipun hubungannya dengan keluarga sang mama sudah membaik, tetapi Bening enggan mengakrabkan diri dengan kedua adiknya, yakni Dean, dan Fika.“Mau ngapain ke sini?” lanjut Bening mempertanyakan kedatangan Fika, yang sudah duduk manis di sofa ruang tamunya. “Nggak kuliah?”“Libur.” Fika mencebikkan bibirnya. “Tadinya, aku mau magang di Firmanya mas Abi, tapi dianya nolak.”Bening memutar bola matanya, tanpa segan di depan Fika. “Cari tempat magang lainlah, jangan kayak orang susah! Papamu punya hotel, kan? Atau, magang di mana gitu, kek! Asal jangan magang di perusahaan suamiku! Langsung aku seret kamu keluar dari sana, kalau berani magang di perusahaan mas Aga.”Fika menelan ludah. Berhadapan dengan Bening yang ceplas ceplos, terkadang bisa membuatnya bergidik. “Nggaklah, Mbak.” Mana mungkin Fika berani. Bisa-bisa, Bening akan benar-benar menyeretnya keluar dari perusahaan Aga, jika ber

  • Sang Pengacara   3. Dua Bulan

    “Aku nggak mau dijodohin sama mas Abi lagi,” kata Fika sudah memikirkan semua perkataan Bening, selama perjalanan pulang ke rumah. “Aku … masih mau kuliah.”Setelah mengatakan hal tersebut pada sang mama, Fika segera melipir pergi ke arah dapur. Meninggalkan sang mama yang hanya bengong di teras samping, dan belum memberikan pendapatnya. Fika tidak suka berdebat, dan lebih memilih menghindar dari masalah. Terkadang, Fika ingin bisa menjadi seperti Bening, yang bisa menyuarakan semua hal tanpa memiliki rasa segan sedikit pun. Namun, Fika tetap tidak bisa melakukannya.“Fika …” Clara segera bangkit, dan beranjak menyusul putri kesayangannya. Apa yang merasuki pikiran Fika, hingga berubah pikiran seperti sekarang. Clara bisa melihat jelas putrinya itu menyukai Abi, karena itulah, ia sempat berbasa-basi dengan Rasyid untuk menjodohkan Fika dengan Abi. Tidak disangka, gayung pun bersambut. Rasyid tidak menolak, dan menyetujui perjodohan tersebut. “Fika, siapa yang bilang kamu nggak bisa ku

Latest chapter

  • Sang Pengacara   SP ~ 80

    “Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.

  • Sang Pengacara   SP ~ 79

    “Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu

  • Sang Pengacara   SP ~ 78

    “Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak

  • Sang Pengacara   SP ~ 77

    “Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s

  • Sang Pengacara   SP ~ 76

    “Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta

  • Sang Pengacara   SP ~ 75

    “Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela

  • Sang Pengacara   SP ~ 74

    Sebagai anak bungsu yang kerap dimanja dan mendapat perhatian lebih, Fika akhirnya merasakan bagaimana rasanya tersisihkan. Semua perhatian seluruh keluarganya, saat ini berpusat pada Bening. Bahkan, Dean pun tidak jarang mampir untuk mengunjungi keponakan barunya sepulang kerja.Sementara Abi, semakin ke sini pria itu semakin disibukkan dengan banyak kasus dan jadwal sidang yang kian padat.Di titik seperti sekarang, Fika benar-benar merasa kesepian dan terlupakan. Seolah tidak ada lagi tempat bermanja, seperti dahulu kala.“Mi.” Abi berhenti di ambang pintu. Memanggil Fika yang sejak tadi duduk termenung di teras samping rumah. Tidak melihat ataupun mendengar respons dari Fika, Abi lantas kembali memanggil sembari menghampiri sang istri. “Mi,” tegur Abi sekali lagi sambil menyentuh pundak Fika, yang kemudian terhenyak.“Mas!” Fika reflek memegang dadanya, lalu mendongak menatap Abi. “Jangan ngagetin!”“Aku nggak ngagetin.” Abi lantas berlutut di hadapan Fika. Menyentuh perut sang is

  • Sang Pengacara   SP ~ 73

    “Segara Cakrawala.” Fika menatap bayi mungil yang sedang tertidur di samping Bening. “Jadi ingat pak Pras.” “Kenapa pak Pras? Bukan pak Raja?” tanya Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Padahal yang jadi gubernur itu pak Raja, tapi orang-orang selalu ingatnya sama Pras.” “Serius masih tanya masalah itu, Ga?” tanya Abi sambil terus menatap wajah mungil putra Aga, yang masih tidur dengan pulas. Melihatnya, Abi jadi tidak sabar ingin menimang bayinya sendiri. “Pras itu—” “Pak Pras itu ganteng,” celetuk Bening sembari bangkit dengan perlahan setelah melihat Aga. Suaminya itu memberi respons dengan menggeleng kepala, ketika mendengar Bening memuji Pras. “Tapi, ya, gitu! Kayak batu. Mending es batu bisa cair, lah dia?” “Serem!” timpal Fika dengan anggukan setuju. Namun, Fika masih tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaannya barusan. Mengapa nama anak Bening dan Aga harus “Segara”? Aga menarik napas panjang lalu menghela. Ia berdiri di samping Fika, kemudian mengangkat Gara

  • Sang Pengacara   SP ~ 72

    “Tarik napas.” Bening menggeram, setelah mendengar Aga memberi perintah untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tepat di sampingnya dan tidak lepas menggenggam erat tangan Bening sejak keduanya berada di ruang persalinan. “Sakiiit, Beeb. Jangan nyuruh-nyuruh aja bisanya.” Aga menatap sang dokter, yang sejak tadi tidak ingin berkomentar banyak. Karena dokter tersebut tahu benar, Bening akan membalas semua ucapan yang ada dengan kalimat yang lebih panjang lagi. Aga hendak membalas ucapan sang istri, tetapi kemudian ia berubah pikiran. Sepertinya diam lebih baik, daripada mendengar Bening terus mengoceh dan menghabiskan tenaganya. “Bu Dok, lagi ...” Bening kembali merasakan kontraksi, sehingga membuat tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. “Tunggu sebentar.” Dokter wanita itu mengangguk, dan bersiap memberi aba-aba untuk Bening. “Tunggu gim—” “Tarik napas, Bu.” Dengan terpaksa, dokter tersebut memotong ucapan istri Aga. “Dorooong …” Bening kembali menuruti instruksi sang

DMCA.com Protection Status