“Aku nggak mau dijodohin sama mas Abi lagi,” kata Fika sudah memikirkan semua perkataan Bening, selama perjalanan pulang ke rumah. “Aku … masih mau kuliah.”
Setelah mengatakan hal tersebut pada sang mama, Fika segera melipir pergi ke arah dapur. Meninggalkan sang mama yang hanya bengong di teras samping, dan belum memberikan pendapatnya. Fika tidak suka berdebat, dan lebih memilih menghindar dari masalah. Terkadang, Fika ingin bisa menjadi seperti Bening, yang bisa menyuarakan semua hal tanpa memiliki rasa segan sedikit pun. Namun, Fika tetap tidak bisa melakukannya.
“Fika …” Clara segera bangkit, dan beranjak menyusul putri kesayangannya. Apa yang merasuki pikiran Fika, hingga berubah pikiran seperti sekarang. Clara bisa melihat jelas putrinya itu menyukai Abi, karena itulah, ia sempat berbasa-basi dengan Rasyid untuk menjodohkan Fika dengan Abi. Tidak disangka, gayung pun bersambut. Rasyid tidak menolak, dan menyetujui perjodohan tersebut. “Fika, siapa yang bilang kamu nggak bisa kuliah kalau dijodohin sama Abi? Kamu tetap bisa terus kuliah. Mau diterusin sampe S2 atau S3 juga nggak ada yang ngelarang.”
“Bukan.” Fika menggeleng seraya membuka lemari pendingin. “Aku mau fokus kuliah aja, dan nggak mau mikirin mas Abi, atau siapa pun.”
“Bening.” Karena Fika dari rumah gadis itu, Clara pun menyimpulkan semua perubahan Fika adalah karena Bening. “Dia ada ngomong apa sama kamu?”
Fika kembali menggeleng, setelah mengambil sebuah susuk kotak kemasan dari lemari pendingin. “Mbak Bening nggak ada ngomong apa-apa. Dia malah nyuruh aku cepat-cepat pulang, karena nggak enak badan, mau tidur. Masuk angin, mukanya keliatan capeek banget, Ma.”
“Sakit?” Clara mengerjap. Wajahnya berubah sedikit panik, dan tidak lagi memikirkan masalah Fika. Pernah menelantarkan Bening bertahun-tahun, lalu berutang nyawa, Clara pun tidak bisa diam saat mengetahui putrinya sakit seperti sekarang. “Kenapa baru bilang? Ck, Mama ke rumah Bening dulu, nanti kita bicara lagi kalau Mama sudah pulang.”
“Ma!” panggil Fika segera menyusul Clara dengan cepat. “Mbak Bening lagi tidur, nanti dia ngamuk kalau Mama ke sana. Kayak nggak tahu dia aja.”
Benar juga. Clara pun menghentikan langkah, lalu berbalik. Sebenarnya, Bening tidak akan mengamuk seperti yang diucap Fika. Namun, pembawaan putrinya yang cuek, ceplas ceplos, itulah yang membuat Bening terkadang terlihat sangat judes. Padahal, gadis itu hanya tidak bisa menyimpan apa pun yang ada di dalam hatinya.
“Ya, sudah.” Clara menyerah, dan tidak akan mengganggu putrinya. Lebih baik memberi jeda, dan mengirimkan pesan saja lebih dulu pada Bening. “Biar Mama telpon suaminya kalau begitu. Dan, kamu, Fika. Telpon pak Rasyid dan minta maaf karena sudah pergi tanpa pamit. Itu sama sekali nggak sopan!”
“I-iya, Ma.”
~~
“Saya, datang ke sini karena mau minta maaf masalah yang kemarin, Mas.” Fika tertunduk. Saat Rasyid menyuruhnya kembali datang ke firma untuk meminta maaf pada Abi, Fika sungguh tidak bisa menolaknya. Rasa bersalah karena pergi begitu sajalah, yang membuat Fika akhirnya datang pagi-pagi sekali ke kantor Abi, tanpa kehadiran Rasyid.
“Sebenarnya kamu nggak perlu datang ke sini,” ucap Abi memandang penampilan Fika yang masih seperti anak remaja. Tidak seperti Vira, yang sudah benar-benar matang dan tampak elegan. Bukan hanya perbedaan penampilan, tetapi, cara berpikir dan sifat tegas Viralah yang membuat Abi sangat tertarik dengan wanita itu sejak dulu. Vira termasuk wanita independen yang pintar, dan hal tersebut membuat kekaguman Abi semakin bertambah.
Sangat jauh berbeda dengan Fika.
“Babe yang nyuruh,” kata Fika sedikit mengangkat wajah untuk melihat wajah Abi, yang selalu terlihat sangat tampan baginya. Pria matang dengan pembawaan tenang itu, selalu bisa membuat Fika terhipnotis, dengan jantung yang tidak berhenti berdebar-debar.
Namun sayang sekali, Fika bahkan tidak ada dalam daftar wanita yang bisa menarik perhatian pria itu.
“Kamu bisa telpon.” Abi segera mengalihkan pembicaraan segera mungkin, untuk membahas perihal asisten pribadi. “Begini, Fika. Saya sudah punya sekretaris, jadi, saya nggak butuh asisten pribadi lagi. Jadi, mungkin kamu bisa magang di tempat lain. Di tempat … papamu mung—”
“Pagi.”
Abi reflek berdecak, saat melihat Rasyid memasuki ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Papanya itu, pasti memiliki sebuah rencana lain, untuk menyatukan Abi dan Fika sesuai dengan keinginannya.
Fika segera berdiri, lalu menyapa, “Pagi, Be.” Untuk apa lagi Rasyid datang ke kantor Abi?
“Pagi, Fika.” Langkah Rasyid langsung tertuju pada kursi kerja milik Abi yang kosong. Ia duduk di sana, dan memandang kedua orang yang duduk saling berhadapan itu. “Kamu sudah bisa magang mulai hari ini. Tugasmu nanti adalah mendampingi Abi, dan mempersiapkan semua keperluannya. Dari mulai pekerjaan, dan juga hal-hal pribadi selama kamu libur kuliah.”
“Papa—”
Rasyid mengangkat tangan, untuk menghentikan Abi berbicara. Namun, tatapannya justru tertuju pada Fika yang tidak terlihat antusias seperti kemarin. “Fika, kamu kenapa?”
Fika menggeleng pelan. Merasa tidak enak pada Abi. “Saya mau magang di tempat papa aja, Be. Mas Abi sudah punya sekretaris, jadi … kayaknya nggak butuh asisten pribadi.”
Bagus. Abi tersenyum tipis, dan merasa terbantu dengan ucapan Fika. Ia memang tidak butuh asisten pribadi, jadi untuk apa mempekerjakan Fika. Tidak akan ada gunanya sama sekali. Lagi pula, Abi pernah mendengar, Fika bukanlah murid yang menonjol di sekolah. Nilainya hanya rata-rata, seperti kebanyakan murid yang lain. Sangat berbeda jauh, jika hendak membandingkan dengan Vira.
“Kamu tahu, Fika.” Rasyid yakin, ini semua adalah ulah Abi. Putranya itu, pasti sudah memengaruhi Fika agar tidak jadi magang bersama Abi. “Orang itu, yang dipegang omongannya. Kamu sudah bilang mau jadi asisten pribadi Abi, kan? Jadi, selesaikan itu!”
Fika menggigit sudut bibir. Merasa kesal dengan dirinya sendiri, karena tidak bisa tegas dalam memberi keputusan. “Tapi, Be. Mas Abi sudah punya sekretaris. Jadi, tenaga saya kayaknya nggak terlalu berguna.”
“Betul,” sambar Abi membenarkan. Sesuai fakta yang akan terjadi nanti, Fika tidak akan berguna banyak untuk Abi. “Fika nanti cuma dapat capek aja, Pa.”
“Fika.” Rasyid mengabaikan perkataan putranya. Jika bukan dengan Fika, Rasyid tidak tahu lagi harus mendekatkan Abi dengan siapa. Usianya sudah terlalu tua, dan ia ingin melihat Abi menikah lagi dengan seorang wanita yang mencintainya. Jika saja Bening belum menikah dengan Aga, pastilah kandidat pertama Rasyid adalah wanita itu. “Ada perbedaan mendasar, antara pekerjaan sekretaris perusahaan dan asisten pribadi. Bu Ina, sekretaris Abi sekarang itu, hanya akan mengurusi semua hal terkait perusahaan. Sementara kamu nanti, akan ada di samping Abi selama jam kantor, dan akan mengurusi semua hal tentang Abi. SEMUA, karena kamu harus bisa ontime dan online 24 jam. Itu perbedaannya.”
Fika mengangguk, dan sudah paham akan hal tersebut. Papanya juga memiliki seorang asisten pribadi yang harus siap sedia, kapan pun dibutuhkan. Karena itulah, Fika tadinya sangat antusias ketika akan bekerja menjadi asisten pribadi Abi. Selain bisa selalu dekat dengan pria itu, Fika juga bisa mengetahui semua hal tentang Abi. “Tapi, Be. Mas Abi—”
“Nggak ada tapi-tapi, Fik,” putus Rasyid lalu menunjuk Abi. “Bi, Fika di sini cuma magang selama dua bulan, paling lama tiga bulan. Jadi, Papa titip dia, dan perlakukan Fika dengan baik dan semestinya. Masalah yang lain, yang sudah kita bicarakan kemarin, biar jadi urusan belakang. Paham kamu, Bi?”
“Dua bulan,” tawar Abi harus bernegosiasi lagi dengan Rasyid setelah ini. Karena Abi sudah menuruti permintaan Rasyid, maka pria itu harus memberi satu imbalan juga. “Fika bisa bekerja mulai besok, dan batas waktunya cuma dua bulan. Nggak lebih, dan setelah itu … selesai.”
Bagaimana bisa menunggu hingga dua bulan, kalau satu minggu saja Fika sudah merasa tidak betah berada di sisi Abi. Pria itu hanya menugaskan Fika untuk membuat minum, dan memfotokopi berkas yang diperlukan. Selebihnya, semua masalah pekerjaan diserahkan kepada Ina, wanita yang sudah menjadi sekretaris selama 15 tahun lebih.Fika merasa, Abi sengaja melakukan hal tersebut agar Fika segera mundur sebelum waktu dua bulan itu tiba.“Mas …” Fika menghampiri Abi yang baru saja berdiri, dan kembali mengenakan jasnya.“Ya, Fik?” Abi menoleh sekilas, kemudian kembali mengatur ujung lengan jas yang baru saja dikenakan.“Mas Abi mau pergi?” Bahkan, sebagai asisten pribadi, Fika sama sekali tidak mengetahui jadwal Abi.“Ya, ada janji dengan klien.” Abi mengancingkan jasnya, sambil menatap Fika yang berdiri berseberangan dengannya. Gadis itu berdiri tepat di sudut meja, dan terlihat gugup. “Kamu nggak usah ikut, kare—”“Dua bulan, Mas,” putus Fika memberanikan diri mengemukakan pendapatnya. Andai
“Sudah direkam semua?” tanya Abi setelah pertemuan dengan kliennya selesai. Fika yang duduk di sampingnya, hanya diberi tugas untuk merekam, dan menyimak seluruh pembicaraan yang ada. Abi ingin, Fika menajamkan insting dan melatih intuisinya. Karena Abi tahu benar, Fika bukanlah gadis seperti Vira. Fika terlalu lembut, dan cenderung tidak bisa bersikap tegas.“Sudah, Mas,” angguk Fika pelan.“Kalau begitu, aku mau kamu bikin resumenya dan kirim ke emailku,” lanjut Abi akan bersungguh-sungguh bersikap profesional kali ini. Walau masih setengah hati, karena kinerja gadis itu sedikit lambat bagi Abi.“Sekarang, Mas?”“Nanti aja kalau sudah di kantor,” geleng Abi. “Selesaikan sebelum kamu puuu … Vira? Di sini juga?”Abi tersenyum lebar penuh kehangatan, ketika melihat Vira menghampiri mejanya. Seperti biasa, wanita itu selalu terlihat rapi, elegan, dan penuh ketegasan. Abi sontak berdiri, lalu mengitari meja untuk menarik kursi yang berseberangan dengannya.Vira tersenyum formal pada Abi.
“Fokus aja jadi asistennya. Fokus magang, fokus kuliah.” Kalimat Bening itu, selalu Fika lafalkan dalam hati sejak bangun tidur pagi tadi. Kakaknya itu benar, Fika tidak boleh plin plan dan harus punya pendirian. Sepertinya, sudah saatnya Fika berpaling dari Abi, dan membuka hatinya untuk pria lain.“Ngapain, Ma?’” Dahi Fika mengerut saat melihat Clara sudah berada di dapur sepagi ini. Biasanya, semua hal akan dipersiapkan asisten rumah tangga, dan Clara hanya tahu beres. Namun, tidak kali. Fika melihat rantang susun di kitchen island, dan masing-masing sudah terisi dengan lauk yang sangat menggugah selera. “Ini, makanan buat mbakmu,” ujar Clara sambil menumpuk rantang susunnya satu per satu. “Kan, lagi hamil. Biar nggak makan sembarangan.”Fika ikut senang, ketika tahu Bening benar-benar dinyatakan positif hamil tadi malam. Meskipun, Fika mendengar Bening masih saja tidak percaya bahwa saat ini sedang mengandung anak Aga. “Oia.” Setelah menutup rantang susunya, Clara menghela pan
“Pagi, Mas Abi,” Fika segera berdiri, menyapa seraya memberi anggukan sopan pada Abi. Pria yang baru saja masuk ke ruangan kerjanya itu, tampak kusut dan tidak serapi biasanya. Rambut yang biasanya tertata rapi dengan pomade, atau gel rambut, kini terlihat kering dan cenderung tidak beraturan. Jika ditelisik lagi, Abi sepertinya hanya menyisir rambut seadanya dengan jari-jarinya. “Pagi,” balas Abi dengan anggukan yang sama. Sejurus itu, ia berhenti dan mengangkat tangan, untuk menghentikan Fika yang akan melangkah dari kursinya. “Nggak usah bikin kopi, saya sudah kebanyakan kopi dari semalam.”“Ohh.” Fika mengangguk. Kembali duduk dan berhadapan dengan laptopnya. Ini kali pertama, Fika membawa laptop untuk bekerja di firma Abi agar ia tidak hanya duduk bengong seperti yang sudah-sudah. “Saya sudah minta jadwal Mas Abi hari ini sama bu Ina. Hari ini Mas Abi ada sidang jam 10, dan jam dua siang, Mas ada janji dengan orang dari Perhumas, untuk membahas seminar kerja sama.”Tangan Abi be
“Cuma sakit kepala, nggak perlu sampai masuk rumah sakit begini.” Sejak siuman dan mendapati dirinya berada di rumah sakit, Rasyid terus saja melontarkan protesnya. Ia ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah tanpa harus berteman dengan jarum infus.“Papa, jangan keras kepala.” Mau tidak mau, Abi harus bersabar menghadapi Rasyid. Kalau kondisinya seperti ini, bagaimana bisa Abi keluar dari rumah dan tinggal di tempat lain. “Kita tunggu sampai dua atau tiga hari ke depan.”“Justru kamu itu yang keras kepala!” balas Rasyid. “Papa ini sudah tua, dan cuma mau lihat kamu bahagia. Menikah lagi, punya istri, dan anak. Setelah itu, baru Papa bisa pergi dengan tenang.”Abi yang sedari tadi duduk di samping ranjang, hanya mengangguk. “Ya.”“Ya, apa?“Ya, Papa jaga kesehatan, dan—”“Sudahlah.” Rasyid tahu, akan percuma saja berdebat dengan Abi karena mereka sama-sama keras kepala. “Sekarang pergilah, pergi. Biar Martin yang temani Papa di sini. Mending ngobrol sama dia, daripada sama anak
“Ngapain ke sini?”Suara tawa di ruang rawat inap VIP itu, terhenti tiba-tiba saat Abi membuka pintu dan melenggang masuk tanpa beban. Rasyid yang masih merasa kesal itu, segera bertanya perihal kedatangan putranya tanpa basa-basi. “Numpang tidur,” jawab Abi santai sambil menghampiri Dean yang duduk di ujung ranjang pasien. Jika Abi menanggapi dengan serius, maka suasana ruangan tersebut akan tegang seketika. “Apa kabar Dean?” tanya Abi berbasa-basi, sambil menepuk pelan bahu pria yang merupakan kakak laki-laki Fika.“Baik, Mas!” Dean mengulurkan tangannya lebih dulu, dan langsung disambut hangat oleh.“Sehat, Fik?” Giliran Abi berbasa-basi pada Fika, meskipun sore tadi mereka masih bertemu di kantor.“Sehatlah, Mas,” sambar Dean seraya memberi tendangan kecil pada kaki Fika. “Berat badannya aja sampai naik sejak kerja di kantormu, Mas?”“Ha?” Abi melihat Fika dengan seksama. Namun, menurutnya tidak ada perubahan signifikan dari tubuh gadis itu. Fika yang dulu, dan sekarang, sama se
“Kamu di sini aja, nggak usah ikutin saya.”“Tapi, Maa … as.” Fika membuang napas panjang. Berdiam sebentar, lalu memutuskan pergi keluar pengadilan. Mencari tempat duduk yang nyaman, untuk beristirahat dan melihat kembali jadwal Abi setelahnya. Sementar Abi, segera pergi menuju kantin karena sudah membuat janji dengan seseorang. Sesampainya di sana, Abi melihat wanita itu duduk sendiri dan sibuk dengan ponselnya. Dengan segera, Abi menghampiri dan duduk di samping wanita itu, hampir tidak berjarak.“Pergi ke mana kamu semalam?” tembak Abi tanpa harus basa-basi.Vira tertawa garing mendengar pertanyaan dari Abi. “Helloow, gebetan bukan, pacar bukan, suami apa lagi. Jadi jangan sok posesif sama aku, Bi.”“Vir.” Abi semakin mengecilkan suaranya, dan melihat ke sekitar mereka. Memastika, posisi keduanya jauh dari keramaian. “Semalam, kamu pergi sama pak Ilham dan perempuan yang namanya Vania Sesya.”“Apa aku lagi dimata-matain sekarang?” Vira menjauhkan wajah dari Abi. Kemudian, ia juga
“Aku laper …” Fika terduduk lelah, dan masih mengenakan pakaian kerjanya. Saking lelahnya, Fika kemudian berbaring di karpet di ruang keluarga. Belum sempat pergi ke kamar, karena terlalu lelah bila harus pergi ke lantai dua. “Capeeek.” “Ini baru magang, Fikaaa.” Clara menggeleng melihat putrinya. Menghentikan tayangan teve kabelnya terlebih dahulu, kemudian kembali beralih pada Fika. “Belum kerja betulan. Coba lihat papa sama mas Dean, jam segini belum pulang-pulang.” Fika meringik. Kemudian merebahkan tubuhnya dengan desahan panjang. “Nanti, aku mau jadi ibu rumah tangga aja kalau sudah nikah. Kayak mama, sama mbak Ning. Repot kalau punya bos kayak mas Abi. Nggak jelas banget!” “Katanya naksir berat,” ledek sang mama. “Katanya suka, katanya—” “Dia itu nggak jelas banget, Ma!” Setelah mengenal Abi lebih dekat, perasaan kagum Fika yang dulu selalu bergejolak, mulai berubah menjadi rasa kesal. “Kesel aku lama-lama. Suka ngatur-ngatur, suka ikut campur.” Clara terkekeh, lalu membari
“Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.
“Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu
“Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak
“Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s
“Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta
“Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela
Sebagai anak bungsu yang kerap dimanja dan mendapat perhatian lebih, Fika akhirnya merasakan bagaimana rasanya tersisihkan. Semua perhatian seluruh keluarganya, saat ini berpusat pada Bening. Bahkan, Dean pun tidak jarang mampir untuk mengunjungi keponakan barunya sepulang kerja.Sementara Abi, semakin ke sini pria itu semakin disibukkan dengan banyak kasus dan jadwal sidang yang kian padat.Di titik seperti sekarang, Fika benar-benar merasa kesepian dan terlupakan. Seolah tidak ada lagi tempat bermanja, seperti dahulu kala.“Mi.” Abi berhenti di ambang pintu. Memanggil Fika yang sejak tadi duduk termenung di teras samping rumah. Tidak melihat ataupun mendengar respons dari Fika, Abi lantas kembali memanggil sembari menghampiri sang istri. “Mi,” tegur Abi sekali lagi sambil menyentuh pundak Fika, yang kemudian terhenyak.“Mas!” Fika reflek memegang dadanya, lalu mendongak menatap Abi. “Jangan ngagetin!”“Aku nggak ngagetin.” Abi lantas berlutut di hadapan Fika. Menyentuh perut sang is
“Segara Cakrawala.” Fika menatap bayi mungil yang sedang tertidur di samping Bening. “Jadi ingat pak Pras.” “Kenapa pak Pras? Bukan pak Raja?” tanya Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Padahal yang jadi gubernur itu pak Raja, tapi orang-orang selalu ingatnya sama Pras.” “Serius masih tanya masalah itu, Ga?” tanya Abi sambil terus menatap wajah mungil putra Aga, yang masih tidur dengan pulas. Melihatnya, Abi jadi tidak sabar ingin menimang bayinya sendiri. “Pras itu—” “Pak Pras itu ganteng,” celetuk Bening sembari bangkit dengan perlahan setelah melihat Aga. Suaminya itu memberi respons dengan menggeleng kepala, ketika mendengar Bening memuji Pras. “Tapi, ya, gitu! Kayak batu. Mending es batu bisa cair, lah dia?” “Serem!” timpal Fika dengan anggukan setuju. Namun, Fika masih tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaannya barusan. Mengapa nama anak Bening dan Aga harus “Segara”? Aga menarik napas panjang lalu menghela. Ia berdiri di samping Fika, kemudian mengangkat Gara
“Tarik napas.” Bening menggeram, setelah mendengar Aga memberi perintah untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tepat di sampingnya dan tidak lepas menggenggam erat tangan Bening sejak keduanya berada di ruang persalinan. “Sakiiit, Beeb. Jangan nyuruh-nyuruh aja bisanya.” Aga menatap sang dokter, yang sejak tadi tidak ingin berkomentar banyak. Karena dokter tersebut tahu benar, Bening akan membalas semua ucapan yang ada dengan kalimat yang lebih panjang lagi. Aga hendak membalas ucapan sang istri, tetapi kemudian ia berubah pikiran. Sepertinya diam lebih baik, daripada mendengar Bening terus mengoceh dan menghabiskan tenaganya. “Bu Dok, lagi ...” Bening kembali merasakan kontraksi, sehingga membuat tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. “Tunggu sebentar.” Dokter wanita itu mengangguk, dan bersiap memberi aba-aba untuk Bening. “Tunggu gim—” “Tarik napas, Bu.” Dengan terpaksa, dokter tersebut memotong ucapan istri Aga. “Dorooong …” Bening kembali menuruti instruksi sang