Home / Romansa / Sang Pengacara / 7. Berusaha Tenang

Share

7. Berusaha Tenang

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Pagi, Mas Abi,” Fika segera berdiri, menyapa seraya memberi anggukan sopan pada Abi. Pria yang baru saja masuk ke ruangan kerjanya itu, tampak kusut dan tidak serapi biasanya. Rambut yang biasanya tertata rapi dengan pomade, atau gel rambut, kini terlihat kering dan cenderung tidak beraturan. Jika ditelisik lagi, Abi sepertinya hanya menyisir rambut seadanya dengan jari-jarinya. 

“Pagi,” balas Abi dengan anggukan yang sama. Sejurus itu, ia berhenti dan mengangkat tangan, untuk menghentikan Fika yang akan melangkah dari kursinya. “Nggak usah bikin kopi, saya sudah kebanyakan kopi dari semalam.”

“Ohh.” Fika mengangguk. Kembali duduk dan berhadapan dengan laptopnya. Ini kali pertama, Fika membawa laptop untuk bekerja di firma Abi agar ia tidak hanya duduk bengong seperti yang sudah-sudah. “Saya sudah minta jadwal Mas Abi hari ini sama bu Ina. Hari ini Mas Abi ada sidang jam 10, dan jam dua siang, Mas ada janji dengan orang dari Perhumas, untuk membahas seminar kerja sama.”

Tangan Abi bergerak pelan, saat menarik kursi kerjanya. Ia menatap aneh, sekaligus bingung pada Fika, karena pagi ini semua terasa berbeda. Gadis itu tidak lagi terlihat melamun, dan kebingungan seperti biasanya. Bahkan, kali ini Fika membawa laptopnya untuk bekerja. 

Abi yakin, perubahan sikap Fika saat ini ada hubungannya dengan Rasyid, dan pembatalan perjodohan mereka. 

“Kamu, batalin rencana perjodohan kita?” Abi ingin mendengar hal itu langsung dari mulut Fika. Dengan begitu, setidaknya Abi bisa sedikit menelisik “drama” yang ada. Siapa tahu saja, semua ini adalah rencana Fika untuk menarik perhatian Abi. 

Karena Abi masih ingat dengan jelas, dahulu kala Bening pernah mengatakan Fika menyukainya. Jadi, sementara ini Abi akan mengikuti permainan yang ada. Tetap waspada dan tidak boleh terjebak permainan papanya, juga Fika.

“Iya, Mas.” Fika menegakkan tubuh dan menurunkan sedikit layar laptopnya, agar bisa melihat Abi. Ia sengaja menghadapkan laptopnya ke arah Abi, supaya tatapan Fika tidak selalu tertuju pada pria itu. “Seperti yang sudah saya bilang kemarin, saya nggak punya rencana nikah muda. Jadi, lebih baik perjodohan ini dibatalin aja.”

“Cuma itu?” Dari gelagat Fika, Abi tahu ada yang masih disembunyikan gadis itu. 

“Iya, cuma itu.” Daripada terus dicecar Abi, lebih baik Fika mengalihkan pembicaraan mereka. “Nanti, apa saya harus ikut Mas Abi ke pengadilan? Atau, di kantor aja seperti kemaren-kemaren.”

BIla ingin menuruti kata hati, jelas saja Abi tidak ingin Fika ikut bersamanya. Namun, karena ia sudah berjanji untuk bersikap profesional, maka Abi tidak punya jawaban lain. 

“Kamu ikut.” Andai hari ini adalah hari libur, maka Abi akan berada seharian di kamar. Pengusiran Rasyid tadi malam, membuat dirinya sama sekali tidak mood untuk bekerja dan masih ingin mengkonfrontasi sang papa. 

Apa Abi harus mengorbankan perasaannya, dan setuju untuk menikahi Fika?

Semua ini tidak akan terjadi, bila Vira bersedia menikah dengannya. Namun, wanita itu terlalu keras kepala dan susah untuk dibujuk. 

“Baik, Mas.” Fika menurut saja, dan tidak akan membantah. Mencoba bertahan dan menunaikan tugasnya menjadi asisten pribadi Abi sampai waktu yang telah ditentukan. 

“Laptopmu ditinggal aja,” kata Abi. “Nggak akan kepake di persidangan.”

Fika mengangguk dan kembali menurut. Namun, ada satu hal lagi yang harus disampaikan Fika pada pria itu. “Nanti, saya mau bawa mobil sendiri ke pengadilan.”

“Kenapa?” Abi masih belum menyentuh apa pun di meja kerjanya. Setelah duduk beberapa saat yang lalu, ia hanya bersandar dan meneliti ekspresi Fika. 

“Biar … saya bisa langsung balik kantor, kalau Mas Abi ketemu dan mau ngobrol banyak sama teman-temannya.” Merasa diabaikan saat Abi bertemu dengan Vira, maka Fika tidak ingin hal tersebut terulang lagi padanya. 

Apa pun itu, Abi akan mengikuti permainan yang ada. Ia yakin sekali, semua ini hanyalah drama belaka. “Kalau begitu, oke! Kamu bisa bawa mobil sendiri, asal jangan sampai telat datang ke pengadilan.”

“Baik, Mas, terima kasih.”

~~~

“Fika.” Abi menyerahkan sebuah kertas bertuliskan satu nama, setelah keduanya keluar dari ruang sidang. “Cari tahu semua tentang orang itu dan laporkan ke saya secepatnya.”

“Ba—”

“Cari diam-diam.” Abi memotong dan terus saja berjalan menuju arah keluar gedung. “Kalau bisa … harus bisa! Kamu harus bisa cari tahu kegiatan, atau tempat yang sering dia kunjungi, atau … di—”

“Mas, bentar, Mas.” Fika berlari cepat, menyamakan langkah dengan Abi. “Kenapa, harus saya? Saya, kan—”

“Kamu asisten pribadi saya, kan?” Abi berhenti dan memutar tubuh ke arah Fika. “Dan kamu mau saya bersikap profesional, kan?”

Fika yang baru saja berhenti, segera mengangguk walaupun masih tidak mengerti tentang maksud Abi.

“So, welcome to the jungle,” kata Abi sembari merentangkan kedua tangannya. “Saya pengacara, dan salah satu tugas saya adalah ikut menyelidiki kasus yang sedang berjalan.”

“Terus … Vania Sesya?” Fika membaca nama itu dengan perlahan. “Dia ini siapa, Mas? Saya mulai cari tahunya dari mana? Saya nggak ngerti.”

“Dugaan sementara, dia itu simpanan pejabat yang kasusnya lagi saya tangani.” Dengan ini, Abi bisa sekaligus melihat kesungguhan Fika dalam bekerja. Sebenarnya, Abi sudah memiliki sebuah tim, untuk memeriksa semua bukti, ataupun menyelidiki kasus yang ia tangani. Namun, untuk yang satu ini, Abi ingin Fika sendiri yang melakukannya. 

Itulah akibatnya jika membuat Abi kesal. Karena Fika jualah, Rasyid akhirnya mengusir Abi dari rumah. Memang terlihat sedikit tidak profesional, tetapi Abi ingin memuaskan egonya dan melihat Fika kelimpungan. 

“Sim - simpanan pejabat?” Fika syok. Bibir mungilnya terbuka lebar, dan tidak tahu harus memulai dari mana. “Memangnya, ini tugas saya, Mas? Jadi, saya harus … kayak detektif, gitu? Ngikutin si …” Fika kembali mengangkat kertas yang diberi Abi, lalu membacanya. “Vania Sesya. Saya harus …”

Abi mengangkat tangan sebatas dada. Memberi kode agar Fika tidak melanjutkan pertanyaannya. “Sebentar, ada telpon.”

Abi berdecak, saat melihat nama asisten rumah tangga sang papa yang menelepon. Abi memang belum mempacking barang-barangnya yang ada di rumah Rasyid, dan ia juga tidak menitip pesan pada orang rumah. Jadi, kemungkinan besar sudah ada yang membereskan semua pakaiannya dan Abi diminta untuk mengambilnya segera. Atau, Imah menelepon karena kebingungan untuk mengirimkan barang-barang tersebut.

“Iya, Bik? Ada apa?” tanya Abi terburu.

“Babe, Mas.”

“Iya, kenapa?” buru Abi tidak sabar, karena Imah tidak langsung menjelaskan masalahnya. Paling-paling, Rasyid sedang mengomel dan menyuruh Imah membuang semua barang-barang Abi ke jalan.

“Babe pingsan, di kamar—”

“Apa?” tanpa memedulikan Fika, Abi segera berlari ke parkiran. Belum selesai masalah pengusiran Abi tadi malam, kini muncul masalah baru. 

“Mas!” Fika yang semakin kebingungan itu, segera menyusul Abi. “Mas Abi mau ke mana? Terus ini gimana?”

“Balik kantor, dan telpon bu Ina,” titah Abi sembari membuka pintu mobil. Berusaha tenang dan tidak panik, karena ia akan mengemudikan mobil. “Saya ada perlu, dan jangan telpon!”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
Weh Abi kesel sama Babe eh si Fika yg kena. sabar Fika .....
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
lah dia yg keras kepala kenapa fika pula yg disalahkan.. emang aneh abi ini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Sang Pengacara   8. Gampangan

    “Cuma sakit kepala, nggak perlu sampai masuk rumah sakit begini.” Sejak siuman dan mendapati dirinya berada di rumah sakit, Rasyid terus saja melontarkan protesnya. Ia ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah tanpa harus berteman dengan jarum infus.“Papa, jangan keras kepala.” Mau tidak mau, Abi harus bersabar menghadapi Rasyid. Kalau kondisinya seperti ini, bagaimana bisa Abi keluar dari rumah dan tinggal di tempat lain. “Kita tunggu sampai dua atau tiga hari ke depan.”“Justru kamu itu yang keras kepala!” balas Rasyid. “Papa ini sudah tua, dan cuma mau lihat kamu bahagia. Menikah lagi, punya istri, dan anak. Setelah itu, baru Papa bisa pergi dengan tenang.”Abi yang sedari tadi duduk di samping ranjang, hanya mengangguk. “Ya.”“Ya, apa?“Ya, Papa jaga kesehatan, dan—”“Sudahlah.” Rasyid tahu, akan percuma saja berdebat dengan Abi karena mereka sama-sama keras kepala. “Sekarang pergilah, pergi. Biar Martin yang temani Papa di sini. Mending ngobrol sama dia, daripada sama anak

  • Sang Pengacara   9. Jalan Bertiga

    “Ngapain ke sini?”Suara tawa di ruang rawat inap VIP itu, terhenti tiba-tiba saat Abi membuka pintu dan melenggang masuk tanpa beban. Rasyid yang masih merasa kesal itu, segera bertanya perihal kedatangan putranya tanpa basa-basi. “Numpang tidur,” jawab Abi santai sambil menghampiri Dean yang duduk di ujung ranjang pasien. Jika Abi menanggapi dengan serius, maka suasana ruangan tersebut akan tegang seketika. “Apa kabar Dean?” tanya Abi berbasa-basi, sambil menepuk pelan bahu pria yang merupakan kakak laki-laki Fika.“Baik, Mas!” Dean mengulurkan tangannya lebih dulu, dan langsung disambut hangat oleh.“Sehat, Fik?” Giliran Abi berbasa-basi pada Fika, meskipun sore tadi mereka masih bertemu di kantor.“Sehatlah, Mas,” sambar Dean seraya memberi tendangan kecil pada kaki Fika. “Berat badannya aja sampai naik sejak kerja di kantormu, Mas?”“Ha?” Abi melihat Fika dengan seksama. Namun, menurutnya tidak ada perubahan signifikan dari tubuh gadis itu. Fika yang dulu, dan sekarang, sama se

  • Sang Pengacara   10. Mau Pendekatan

    “Kamu di sini aja, nggak usah ikutin saya.”“Tapi, Maa … as.” Fika membuang napas panjang. Berdiam sebentar, lalu memutuskan pergi keluar pengadilan. Mencari tempat duduk yang nyaman, untuk beristirahat dan melihat kembali jadwal Abi setelahnya. Sementar Abi, segera pergi menuju kantin karena sudah membuat janji dengan seseorang. Sesampainya di sana, Abi melihat wanita itu duduk sendiri dan sibuk dengan ponselnya. Dengan segera, Abi menghampiri dan duduk di samping wanita itu, hampir tidak berjarak.“Pergi ke mana kamu semalam?” tembak Abi tanpa harus basa-basi.Vira tertawa garing mendengar pertanyaan dari Abi. “Helloow, gebetan bukan, pacar bukan, suami apa lagi. Jadi jangan sok posesif sama aku, Bi.”“Vir.” Abi semakin mengecilkan suaranya, dan melihat ke sekitar mereka. Memastika, posisi keduanya jauh dari keramaian. “Semalam, kamu pergi sama pak Ilham dan perempuan yang namanya Vania Sesya.”“Apa aku lagi dimata-matain sekarang?” Vira menjauhkan wajah dari Abi. Kemudian, ia juga

  • Sang Pengacara   11. Jangan Dibantah

    “Aku laper …” Fika terduduk lelah, dan masih mengenakan pakaian kerjanya. Saking lelahnya, Fika kemudian berbaring di karpet di ruang keluarga. Belum sempat pergi ke kamar, karena terlalu lelah bila harus pergi ke lantai dua. “Capeeek.” “Ini baru magang, Fikaaa.” Clara menggeleng melihat putrinya. Menghentikan tayangan teve kabelnya terlebih dahulu, kemudian kembali beralih pada Fika. “Belum kerja betulan. Coba lihat papa sama mas Dean, jam segini belum pulang-pulang.” Fika meringik. Kemudian merebahkan tubuhnya dengan desahan panjang. “Nanti, aku mau jadi ibu rumah tangga aja kalau sudah nikah. Kayak mama, sama mbak Ning. Repot kalau punya bos kayak mas Abi. Nggak jelas banget!” “Katanya naksir berat,” ledek sang mama. “Katanya suka, katanya—” “Dia itu nggak jelas banget, Ma!” Setelah mengenal Abi lebih dekat, perasaan kagum Fika yang dulu selalu bergejolak, mulai berubah menjadi rasa kesal. “Kesel aku lama-lama. Suka ngatur-ngatur, suka ikut campur.” Clara terkekeh, lalu membari

  • Sang Pengacara   12. Akting

    “Ngapain kamu mondar-mandir nggak jelas seperti itu.” Rasyid sudah mengusir Abi berulang kali, tetapi putranya itu tetap saja kembali ke rumah. Lagi, dan lagi, tanpa ada rasa sungkan sama sekali. Abi bahkan duduk satu meja ketika sarapan, pun makan malam bersama Rasyid setiap hari. Seolah-oleh, tidak pernah terjadi perdebatan di antara mereka.“Darius Iskak, melecehkan salah satu karyawannya dan dilaporkan,” jawab Abi langsung mengutarakan semua yang ada di kepala, tanpa diminta. “Dari situ, kita dapat info dia tersangkut kasus suap, korupsi, dan money laundering. Dia punya simpanan, Vania Sesya yang lagi kerja sama dengan Ilham, klien Vira.”“Kasus biasa.” Rasyid berjalan perlahan menuju sofa ruang tengah dan mendudukinya. “Kenapa? Ada yang ngancam?”Abi menggeleng dan berhenti mondar-mandir. “Aliran dananya dipake buat showroom dan investasi.”“Di mana masalahnya?” Bagi Rasyid pola kasus yang disebut Abi selalu saja sama sedari dulu. Yang membedakan, hanyalah seberapa kuat bekingan

  • Sang Pengacara   13. Jadi, Gimana?

    “Fika, kopi!” Satu seruan tersebut, seketika membuat Fika terhenyak. Detik itu juga, Fika reflek berdiri, dan mematung menatap Abi yang berjalan cepat ke hadapannya. Wajah pria itu tampak datar, dan tidak bersahabat. “Pagi, Fik.” “Ha?” Fika memiringkan kepala, hingga melewati tubuh Abi untuk melihat sosok pria yang menyapanya dengan lembut. Sejurus itu, Fika tersenyum lebar dan menyapa kakak iparnya. “Pagi, Mas Aga. Mau saya buatin kopi juga?” “Teh aja,” jawab Aga sambil terus berjalan, lalu menduduki kursi yang berseberangan dengan Fika. “Jangan terlalu manis.” “Siap, Mas!” Fika mengangguk dan tetap memasang senyum yang tertuju pada Aga. “Oia, mau cemilan juga, nggak?” lanjut Fika lalu menunduk, dan mengambil sebuah wadah plastik dari tasnya. Fika membuka tutup wadah berbentuk bulat tersebut, lalu menyodorkannya pada Aga. “Aku nyoba bikin donat mini tadi malam. Jangan lihat bentuknya, ya, Mas, tapi rasanya,” ujar Fika lalu terkekeh. Aga mengambil satu buah donat bertabur limpa

  • Sang Pengacara   14. Permisi

    “Sorry, aku telat.” Vira menghela panjang saat duduk berseberangan dengan Aga. Melepas tas tangannya lalu meletakkan di meja. Meskipun setahun telah berlalu, tetapi, Vira masih saja mengingat semua rasa sakit akibat perceraian mereka. Karena itulah, selama ini Vira sebisa mungkin menghindari Aga dan tidak bertatap muka langsung dengan mantan suaminya. “Dan nggak bisa lama, karena sudah ada janji.”“Kenapa kamu nggak pernah angkat telponku sama sekali, Vir?” Abi yang tadinya duduk di samping Aga, segera berdiri dan berpindah di samping Vira. “Paling nggak, balas chatku.”Vira memutar malas bola matanya. Hal seperti inilah yang membuat Vira malas berdekatan dengan Abi. Pria itu terlalu posesif, dan suka mengatur. Tidak seperti Aga, yang bisa memberinya kebebasan sampai-sampai Vira akhirnya lupa diri. Terlalu nyaman dengan semua hal di luar sana, dan melupakan kewajiban dasarnya sebagai seorang istri.“Be-ri-sik,” desis Vira lalu membuang mukanya dari Abi.“Aku begini karena khawatir sam

  • Sang Pengacara   15. Bukan Mimpi

    “Nggak usah bikin kopi!” Fika memelankan kunyahannya, dan segera menutup kotak bekal camilan di atas meja. Ia memasukkan kotak itu di tas, lalu kembali menatap laptop. Karena Abi tidak meminta dibuatkan kopi pagi itu, Fika pun tidak akan beranjak ke mana-mana. Fika juga tidak peduli, bila Abi kembali mendiamkannya. Pria itu berjalan tanpa menoleh, lalu menduduki kursinya dengan kasar. Dasar, pengacara labil. “Datangi bu Ina, tanyakan tentang arsip perceraian Riva Zaneta dan Ilham Arham, satu tahun yang lalu.”’ “Baik, Mas.” Fika segera berdiri, dan berjalan tergesa keluar ruangan. Ia kira, Abi kembali mendiamkannya, dan tidak memberi Fika pekerjaan. Sementara Fika sedang keluar, Abi menyalakan perangkat komputernya lalu menghubungi seseorang. Namun, nomor yang ditujunya ternyata sudah tidak lagi digunakan oleh pengguna. Riva, mantan istri Ilham itu sudah tidak bisa dihubungi lagi. Jika demikian, Abi harus meminta timnya untuk mencari keberadaan wanita itu sekarang juga. Abi bera

Latest chapter

  • Sang Pengacara   SP ~ 80

    “Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.

  • Sang Pengacara   SP ~ 79

    “Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu

  • Sang Pengacara   SP ~ 78

    “Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak

  • Sang Pengacara   SP ~ 77

    “Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s

  • Sang Pengacara   SP ~ 76

    “Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta

  • Sang Pengacara   SP ~ 75

    “Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela

  • Sang Pengacara   SP ~ 74

    Sebagai anak bungsu yang kerap dimanja dan mendapat perhatian lebih, Fika akhirnya merasakan bagaimana rasanya tersisihkan. Semua perhatian seluruh keluarganya, saat ini berpusat pada Bening. Bahkan, Dean pun tidak jarang mampir untuk mengunjungi keponakan barunya sepulang kerja.Sementara Abi, semakin ke sini pria itu semakin disibukkan dengan banyak kasus dan jadwal sidang yang kian padat.Di titik seperti sekarang, Fika benar-benar merasa kesepian dan terlupakan. Seolah tidak ada lagi tempat bermanja, seperti dahulu kala.“Mi.” Abi berhenti di ambang pintu. Memanggil Fika yang sejak tadi duduk termenung di teras samping rumah. Tidak melihat ataupun mendengar respons dari Fika, Abi lantas kembali memanggil sembari menghampiri sang istri. “Mi,” tegur Abi sekali lagi sambil menyentuh pundak Fika, yang kemudian terhenyak.“Mas!” Fika reflek memegang dadanya, lalu mendongak menatap Abi. “Jangan ngagetin!”“Aku nggak ngagetin.” Abi lantas berlutut di hadapan Fika. Menyentuh perut sang is

  • Sang Pengacara   SP ~ 73

    “Segara Cakrawala.” Fika menatap bayi mungil yang sedang tertidur di samping Bening. “Jadi ingat pak Pras.” “Kenapa pak Pras? Bukan pak Raja?” tanya Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Padahal yang jadi gubernur itu pak Raja, tapi orang-orang selalu ingatnya sama Pras.” “Serius masih tanya masalah itu, Ga?” tanya Abi sambil terus menatap wajah mungil putra Aga, yang masih tidur dengan pulas. Melihatnya, Abi jadi tidak sabar ingin menimang bayinya sendiri. “Pras itu—” “Pak Pras itu ganteng,” celetuk Bening sembari bangkit dengan perlahan setelah melihat Aga. Suaminya itu memberi respons dengan menggeleng kepala, ketika mendengar Bening memuji Pras. “Tapi, ya, gitu! Kayak batu. Mending es batu bisa cair, lah dia?” “Serem!” timpal Fika dengan anggukan setuju. Namun, Fika masih tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaannya barusan. Mengapa nama anak Bening dan Aga harus “Segara”? Aga menarik napas panjang lalu menghela. Ia berdiri di samping Fika, kemudian mengangkat Gara

  • Sang Pengacara   SP ~ 72

    “Tarik napas.” Bening menggeram, setelah mendengar Aga memberi perintah untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tepat di sampingnya dan tidak lepas menggenggam erat tangan Bening sejak keduanya berada di ruang persalinan. “Sakiiit, Beeb. Jangan nyuruh-nyuruh aja bisanya.” Aga menatap sang dokter, yang sejak tadi tidak ingin berkomentar banyak. Karena dokter tersebut tahu benar, Bening akan membalas semua ucapan yang ada dengan kalimat yang lebih panjang lagi. Aga hendak membalas ucapan sang istri, tetapi kemudian ia berubah pikiran. Sepertinya diam lebih baik, daripada mendengar Bening terus mengoceh dan menghabiskan tenaganya. “Bu Dok, lagi ...” Bening kembali merasakan kontraksi, sehingga membuat tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. “Tunggu sebentar.” Dokter wanita itu mengangguk, dan bersiap memberi aba-aba untuk Bening. “Tunggu gim—” “Tarik napas, Bu.” Dengan terpaksa, dokter tersebut memotong ucapan istri Aga. “Dorooong …” Bening kembali menuruti instruksi sang

DMCA.com Protection Status