Home / Romansa / Sang Pengacara / 8. Gampangan

Share

8. Gampangan

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Cuma sakit kepala, nggak perlu sampai masuk rumah sakit begini.” Sejak siuman dan mendapati dirinya berada di rumah sakit, Rasyid terus saja melontarkan protesnya. Ia ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah tanpa harus berteman dengan jarum infus.

“Papa, jangan keras kepala.” Mau tidak mau, Abi harus bersabar menghadapi Rasyid. Kalau kondisinya seperti ini, bagaimana bisa Abi keluar dari rumah dan tinggal di tempat lain. “Kita tunggu sampai dua atau tiga hari ke depan.”

“Justru kamu itu yang keras kepala!” balas Rasyid. “Papa ini sudah tua, dan cuma mau lihat kamu bahagia. Menikah lagi, punya istri, dan anak. Setelah itu, baru Papa bisa pergi dengan tenang.”

Abi yang sedari tadi duduk di samping ranjang, hanya mengangguk. “Ya.”

“Ya, apa?

“Ya, Papa jaga kesehatan, dan—”

“Sudahlah.” Rasyid tahu, akan percuma saja berdebat dengan Abi karena mereka sama-sama keras kepala. “Sekarang pergilah, pergi. Biar Martin yang temani Papa di sini. Mending ngobrol sama dia, daripada sama anak
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
dasar abi mulutnya pedes banget kayak bakso mercon
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Sang Pengacara   9. Jalan Bertiga

    “Ngapain ke sini?”Suara tawa di ruang rawat inap VIP itu, terhenti tiba-tiba saat Abi membuka pintu dan melenggang masuk tanpa beban. Rasyid yang masih merasa kesal itu, segera bertanya perihal kedatangan putranya tanpa basa-basi. “Numpang tidur,” jawab Abi santai sambil menghampiri Dean yang duduk di ujung ranjang pasien. Jika Abi menanggapi dengan serius, maka suasana ruangan tersebut akan tegang seketika. “Apa kabar Dean?” tanya Abi berbasa-basi, sambil menepuk pelan bahu pria yang merupakan kakak laki-laki Fika.“Baik, Mas!” Dean mengulurkan tangannya lebih dulu, dan langsung disambut hangat oleh.“Sehat, Fik?” Giliran Abi berbasa-basi pada Fika, meskipun sore tadi mereka masih bertemu di kantor.“Sehatlah, Mas,” sambar Dean seraya memberi tendangan kecil pada kaki Fika. “Berat badannya aja sampai naik sejak kerja di kantormu, Mas?”“Ha?” Abi melihat Fika dengan seksama. Namun, menurutnya tidak ada perubahan signifikan dari tubuh gadis itu. Fika yang dulu, dan sekarang, sama se

  • Sang Pengacara   10. Mau Pendekatan

    “Kamu di sini aja, nggak usah ikutin saya.”“Tapi, Maa … as.” Fika membuang napas panjang. Berdiam sebentar, lalu memutuskan pergi keluar pengadilan. Mencari tempat duduk yang nyaman, untuk beristirahat dan melihat kembali jadwal Abi setelahnya. Sementar Abi, segera pergi menuju kantin karena sudah membuat janji dengan seseorang. Sesampainya di sana, Abi melihat wanita itu duduk sendiri dan sibuk dengan ponselnya. Dengan segera, Abi menghampiri dan duduk di samping wanita itu, hampir tidak berjarak.“Pergi ke mana kamu semalam?” tembak Abi tanpa harus basa-basi.Vira tertawa garing mendengar pertanyaan dari Abi. “Helloow, gebetan bukan, pacar bukan, suami apa lagi. Jadi jangan sok posesif sama aku, Bi.”“Vir.” Abi semakin mengecilkan suaranya, dan melihat ke sekitar mereka. Memastika, posisi keduanya jauh dari keramaian. “Semalam, kamu pergi sama pak Ilham dan perempuan yang namanya Vania Sesya.”“Apa aku lagi dimata-matain sekarang?” Vira menjauhkan wajah dari Abi. Kemudian, ia juga

  • Sang Pengacara   11. Jangan Dibantah

    “Aku laper …” Fika terduduk lelah, dan masih mengenakan pakaian kerjanya. Saking lelahnya, Fika kemudian berbaring di karpet di ruang keluarga. Belum sempat pergi ke kamar, karena terlalu lelah bila harus pergi ke lantai dua. “Capeeek.” “Ini baru magang, Fikaaa.” Clara menggeleng melihat putrinya. Menghentikan tayangan teve kabelnya terlebih dahulu, kemudian kembali beralih pada Fika. “Belum kerja betulan. Coba lihat papa sama mas Dean, jam segini belum pulang-pulang.” Fika meringik. Kemudian merebahkan tubuhnya dengan desahan panjang. “Nanti, aku mau jadi ibu rumah tangga aja kalau sudah nikah. Kayak mama, sama mbak Ning. Repot kalau punya bos kayak mas Abi. Nggak jelas banget!” “Katanya naksir berat,” ledek sang mama. “Katanya suka, katanya—” “Dia itu nggak jelas banget, Ma!” Setelah mengenal Abi lebih dekat, perasaan kagum Fika yang dulu selalu bergejolak, mulai berubah menjadi rasa kesal. “Kesel aku lama-lama. Suka ngatur-ngatur, suka ikut campur.” Clara terkekeh, lalu membari

  • Sang Pengacara   12. Akting

    “Ngapain kamu mondar-mandir nggak jelas seperti itu.” Rasyid sudah mengusir Abi berulang kali, tetapi putranya itu tetap saja kembali ke rumah. Lagi, dan lagi, tanpa ada rasa sungkan sama sekali. Abi bahkan duduk satu meja ketika sarapan, pun makan malam bersama Rasyid setiap hari. Seolah-oleh, tidak pernah terjadi perdebatan di antara mereka.“Darius Iskak, melecehkan salah satu karyawannya dan dilaporkan,” jawab Abi langsung mengutarakan semua yang ada di kepala, tanpa diminta. “Dari situ, kita dapat info dia tersangkut kasus suap, korupsi, dan money laundering. Dia punya simpanan, Vania Sesya yang lagi kerja sama dengan Ilham, klien Vira.”“Kasus biasa.” Rasyid berjalan perlahan menuju sofa ruang tengah dan mendudukinya. “Kenapa? Ada yang ngancam?”Abi menggeleng dan berhenti mondar-mandir. “Aliran dananya dipake buat showroom dan investasi.”“Di mana masalahnya?” Bagi Rasyid pola kasus yang disebut Abi selalu saja sama sedari dulu. Yang membedakan, hanyalah seberapa kuat bekingan

  • Sang Pengacara   13. Jadi, Gimana?

    “Fika, kopi!” Satu seruan tersebut, seketika membuat Fika terhenyak. Detik itu juga, Fika reflek berdiri, dan mematung menatap Abi yang berjalan cepat ke hadapannya. Wajah pria itu tampak datar, dan tidak bersahabat. “Pagi, Fik.” “Ha?” Fika memiringkan kepala, hingga melewati tubuh Abi untuk melihat sosok pria yang menyapanya dengan lembut. Sejurus itu, Fika tersenyum lebar dan menyapa kakak iparnya. “Pagi, Mas Aga. Mau saya buatin kopi juga?” “Teh aja,” jawab Aga sambil terus berjalan, lalu menduduki kursi yang berseberangan dengan Fika. “Jangan terlalu manis.” “Siap, Mas!” Fika mengangguk dan tetap memasang senyum yang tertuju pada Aga. “Oia, mau cemilan juga, nggak?” lanjut Fika lalu menunduk, dan mengambil sebuah wadah plastik dari tasnya. Fika membuka tutup wadah berbentuk bulat tersebut, lalu menyodorkannya pada Aga. “Aku nyoba bikin donat mini tadi malam. Jangan lihat bentuknya, ya, Mas, tapi rasanya,” ujar Fika lalu terkekeh. Aga mengambil satu buah donat bertabur limpa

  • Sang Pengacara   14. Permisi

    “Sorry, aku telat.” Vira menghela panjang saat duduk berseberangan dengan Aga. Melepas tas tangannya lalu meletakkan di meja. Meskipun setahun telah berlalu, tetapi, Vira masih saja mengingat semua rasa sakit akibat perceraian mereka. Karena itulah, selama ini Vira sebisa mungkin menghindari Aga dan tidak bertatap muka langsung dengan mantan suaminya. “Dan nggak bisa lama, karena sudah ada janji.”“Kenapa kamu nggak pernah angkat telponku sama sekali, Vir?” Abi yang tadinya duduk di samping Aga, segera berdiri dan berpindah di samping Vira. “Paling nggak, balas chatku.”Vira memutar malas bola matanya. Hal seperti inilah yang membuat Vira malas berdekatan dengan Abi. Pria itu terlalu posesif, dan suka mengatur. Tidak seperti Aga, yang bisa memberinya kebebasan sampai-sampai Vira akhirnya lupa diri. Terlalu nyaman dengan semua hal di luar sana, dan melupakan kewajiban dasarnya sebagai seorang istri.“Be-ri-sik,” desis Vira lalu membuang mukanya dari Abi.“Aku begini karena khawatir sam

  • Sang Pengacara   15. Bukan Mimpi

    “Nggak usah bikin kopi!” Fika memelankan kunyahannya, dan segera menutup kotak bekal camilan di atas meja. Ia memasukkan kotak itu di tas, lalu kembali menatap laptop. Karena Abi tidak meminta dibuatkan kopi pagi itu, Fika pun tidak akan beranjak ke mana-mana. Fika juga tidak peduli, bila Abi kembali mendiamkannya. Pria itu berjalan tanpa menoleh, lalu menduduki kursinya dengan kasar. Dasar, pengacara labil. “Datangi bu Ina, tanyakan tentang arsip perceraian Riva Zaneta dan Ilham Arham, satu tahun yang lalu.”’ “Baik, Mas.” Fika segera berdiri, dan berjalan tergesa keluar ruangan. Ia kira, Abi kembali mendiamkannya, dan tidak memberi Fika pekerjaan. Sementara Fika sedang keluar, Abi menyalakan perangkat komputernya lalu menghubungi seseorang. Namun, nomor yang ditujunya ternyata sudah tidak lagi digunakan oleh pengguna. Riva, mantan istri Ilham itu sudah tidak bisa dihubungi lagi. Jika demikian, Abi harus meminta timnya untuk mencari keberadaan wanita itu sekarang juga. Abi bera

  • Sang Pengacara   16. Sepihak

    “Abi!”Abi dan Fika kompak saling pandang, dengan mata terbelalak sempurna. Bibir mereka masih menempel, dan mematung seolah mencerna semua yang sedang terjadi.“Fikaaa.”Saat namanya disebut, di situlah Fika mendorong kuat tubuh Abi. Namun, ia kembali mematung saat melihat sepasang suami istri yang melongo di samping pintu. Menelan ludah, lalu membawa kedua tangan tremor dan dinginnya ke belakang tubuh.Sementara Abi, jelas saja ia lebih terkejut lagi. Selain perbuatannya pada Fika barusan telah ketahuan, gadis itu juga mendorong tubuhnya hingga hampir saja terjatuh dan jadi bahan tertawaan. Untung saja ia memiliki reflek yang bagus, sehingga bisa dengan cepat meraih sisi meja rapat agar tidak terjatuh.“Saya laporin babe kalian berdua, ya!”Abi kembali terbelalak. Padahal ia baru saja menegakkan tubuh, tetapi kalimat tersebut langsung membuatnya syok. “Ning, ini cuma—”“Cuma apa!”Abi mendesah panjang, saat ucapannya dipotong kasar oleh istri Aga. Terlebih lagi, wanita hamil itu men

Latest chapter

  • Sang Pengacara   SP ~ 80

    “Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.

  • Sang Pengacara   SP ~ 79

    “Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu

  • Sang Pengacara   SP ~ 78

    “Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak

  • Sang Pengacara   SP ~ 77

    “Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s

  • Sang Pengacara   SP ~ 76

    “Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta

  • Sang Pengacara   SP ~ 75

    “Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela

  • Sang Pengacara   SP ~ 74

    Sebagai anak bungsu yang kerap dimanja dan mendapat perhatian lebih, Fika akhirnya merasakan bagaimana rasanya tersisihkan. Semua perhatian seluruh keluarganya, saat ini berpusat pada Bening. Bahkan, Dean pun tidak jarang mampir untuk mengunjungi keponakan barunya sepulang kerja.Sementara Abi, semakin ke sini pria itu semakin disibukkan dengan banyak kasus dan jadwal sidang yang kian padat.Di titik seperti sekarang, Fika benar-benar merasa kesepian dan terlupakan. Seolah tidak ada lagi tempat bermanja, seperti dahulu kala.“Mi.” Abi berhenti di ambang pintu. Memanggil Fika yang sejak tadi duduk termenung di teras samping rumah. Tidak melihat ataupun mendengar respons dari Fika, Abi lantas kembali memanggil sembari menghampiri sang istri. “Mi,” tegur Abi sekali lagi sambil menyentuh pundak Fika, yang kemudian terhenyak.“Mas!” Fika reflek memegang dadanya, lalu mendongak menatap Abi. “Jangan ngagetin!”“Aku nggak ngagetin.” Abi lantas berlutut di hadapan Fika. Menyentuh perut sang is

  • Sang Pengacara   SP ~ 73

    “Segara Cakrawala.” Fika menatap bayi mungil yang sedang tertidur di samping Bening. “Jadi ingat pak Pras.” “Kenapa pak Pras? Bukan pak Raja?” tanya Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Padahal yang jadi gubernur itu pak Raja, tapi orang-orang selalu ingatnya sama Pras.” “Serius masih tanya masalah itu, Ga?” tanya Abi sambil terus menatap wajah mungil putra Aga, yang masih tidur dengan pulas. Melihatnya, Abi jadi tidak sabar ingin menimang bayinya sendiri. “Pras itu—” “Pak Pras itu ganteng,” celetuk Bening sembari bangkit dengan perlahan setelah melihat Aga. Suaminya itu memberi respons dengan menggeleng kepala, ketika mendengar Bening memuji Pras. “Tapi, ya, gitu! Kayak batu. Mending es batu bisa cair, lah dia?” “Serem!” timpal Fika dengan anggukan setuju. Namun, Fika masih tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaannya barusan. Mengapa nama anak Bening dan Aga harus “Segara”? Aga menarik napas panjang lalu menghela. Ia berdiri di samping Fika, kemudian mengangkat Gara

  • Sang Pengacara   SP ~ 72

    “Tarik napas.” Bening menggeram, setelah mendengar Aga memberi perintah untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tepat di sampingnya dan tidak lepas menggenggam erat tangan Bening sejak keduanya berada di ruang persalinan. “Sakiiit, Beeb. Jangan nyuruh-nyuruh aja bisanya.” Aga menatap sang dokter, yang sejak tadi tidak ingin berkomentar banyak. Karena dokter tersebut tahu benar, Bening akan membalas semua ucapan yang ada dengan kalimat yang lebih panjang lagi. Aga hendak membalas ucapan sang istri, tetapi kemudian ia berubah pikiran. Sepertinya diam lebih baik, daripada mendengar Bening terus mengoceh dan menghabiskan tenaganya. “Bu Dok, lagi ...” Bening kembali merasakan kontraksi, sehingga membuat tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. “Tunggu sebentar.” Dokter wanita itu mengangguk, dan bersiap memberi aba-aba untuk Bening. “Tunggu gim—” “Tarik napas, Bu.” Dengan terpaksa, dokter tersebut memotong ucapan istri Aga. “Dorooong …” Bening kembali menuruti instruksi sang

DMCA.com Protection Status