Bagaimana bisa menunggu hingga dua bulan, kalau satu minggu saja Fika sudah merasa tidak betah berada di sisi Abi. Pria itu hanya menugaskan Fika untuk membuat minum, dan memfotokopi berkas yang diperlukan. Selebihnya, semua masalah pekerjaan diserahkan kepada Ina, wanita yang sudah menjadi sekretaris selama 15 tahun lebih.
Fika merasa, Abi sengaja melakukan hal tersebut agar Fika segera mundur sebelum waktu dua bulan itu tiba.
“Mas …” Fika menghampiri Abi yang baru saja berdiri, dan kembali mengenakan jasnya.
“Ya, Fik?” Abi menoleh sekilas, kemudian kembali mengatur ujung lengan jas yang baru saja dikenakan.
“Mas Abi mau pergi?” Bahkan, sebagai asisten pribadi, Fika sama sekali tidak mengetahui jadwal Abi.
“Ya, ada janji dengan klien.” Abi mengancingkan jasnya, sambil menatap Fika yang berdiri berseberangan dengannya. Gadis itu berdiri tepat di sudut meja, dan terlihat gugup. “Kamu nggak usah ikut, kare—”
“Dua bulan, Mas,” putus Fika memberanikan diri mengemukakan pendapatnya. Andai dirinya memiliki sedikit saja keberanian seperti Bening, Fika pasti sudah mendamprat Abi sejak awal. “Seperti kata Mas Abi, saya di sini cuma dua bulan, setelah itu selesai. Tapi, kalau Mas Abi memang nggak bisa memperlakukan saya dengan profesional, lebih baik saya berhenti dari sini.”
“Begini Fika.” Bukan seperti ini respons yang diharapkan oleh Abi. Perkataan Fika barusan, justru menempatkan Abi sebagai pihak yang bersalah dan tidak profesional. “Sejak awal, kamu tahu sendiri, saya sudah punya sekretaris yang mengurus semua hal terkait pekerjaan. Dan saya juga sudah bilang, kalau saya nggak butuh asisten pribadi. Jadi, saya bingung harus ngasih kerjaan apa sama kamu.”
“Mas Abi … cuma alasan, kan?” Fika berusaha menatap wajah tampan, yang selalu membuat jantungnya berdebar tidak karuan.
Jual mahal! Taklukkan mas Abi! Tiba-tiba saja, kalimat yang dilontarkan Bening tempo hari terngiang di telinga. Apa bisa Fika menaklukkan Abi, yang sama sekali tidak tertarik padanya. Sementara, Abi sungguh-sungguh terlihat jatuh cinta sepenuh hidup dengan Vira. Sampai-sampai, pria itu tidak ingin menikah lagi, jika bukan dengan Vira.
“Saya … sudah dengar semuanya, kok,” lanjut Fika sembari menahan kegugupannya. “Maaf kalau nggak sopan, tapi waktu itu saya nguping pembicaraan Mas Abi dengan Babe. Jadi, saya sudah tahu semuanya.”
Apalagi sama perempuan … seperti Fika. Satu kalimat itu mendadak hinggap di kepala Abi. Berharap, Fika tidak akan mengungkit hal tersebut sama sekali, atau mengingatnya.
“Tapi, ada yang saya nggak ngerti.” Sebaiknya, Fika keluarkan saja unek-unek yang ada di kepalanya. “Saya nggak ngerti, kenapa waktu itu Mas Abi bilang nggak akan nikah lagi, apalagi dengan perempuan seperti … saya?” tembak Fika dengan hati-hati dan mengucapkannya dengan perlahan. “Memangnya, saya kenapa? Terus, di mata Mas Abi … saya itu perempuan seperti apa?”
Habislah sudah. Abi tidak menyangka Fika telah menguping pembicaraannya dengan Rasyid kala itu. Abi tidak pernah bermaksud merendahkan Fika. Namun, bila ingin membandingkan gadis itu dengan Vira, jelas saja Fika tidak ada apa-apanya.
“Saya minta maaf kalau ada kata-kata yang nggak berkenan waktu itu.” Jurus terakhir yang bisa dilemparkan Abi, hanyalah meminta maaf. Abi tahu, ia salah, dan tidak akan memungkirinya. Ia tidak akan berkelit ataupun menyanggah, karena hal tersebut hanya akan menambah masalah saja. Jangan sampai, hubungan baik antara dua keluarga yang terjalin sejak lama, akan berakhir renggang karena masalah seperti ini. “Tapi, saya nggak ada maksud apa pun di balik itu.”
Fika tahu Abi hanya beralasan. Namun, karena Fika tidak suka berdebat, jadi sudahlah. Ia hanya mengangguk, dan menerima pernyataan Abi. Yang terpenting sekarang ialah, Fika bisa mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya selama ini.
“Kalau gitu, lupain aja semuanya,” kata Fika akan mulai mengubur perasaannya pada Abi sejak saat ini. “Masalah Babe yang mau kita saling mengenal, terus minta Mas Abi nikahin saya setelah lulus kuliah … semua itu lupain aja. Anggap aja pembicaraan itu nggak pernah ada, karena saya juga nggak punya rencana untuk nikah muda. Apalagi sama duda yang umurnya jauh di atas saya, kayak Mas Abi.”
Fika terkekeh pelan untuk mengusir rasa gundahnya. Menyimpan pilunya sendiri, dan berusaha tetap terlihat bahagia di depan Abi.
“Maaf, saya cuma becanda.” Fika buru-buru meralat kalimat terakhirnya, agar Abi tidak tersinggung. “Semoga, Mas Abi nanti bisa nikah sama ibu Vira.”
“Fika.” Abi semakin tidak enak hati dan serba salah. Ternyata, Fika sungguh mengingat semua hal yang dibicarakannya dengan Rasyid dengan detail. Untuk itu, Abi berinisiatif mendekati Fika dan berdiri berhadapan. Ada yang harus ia jelaskan, dan Fika harus memberi perhatian lebih agar tidak ada lagi kesimpangsiuran ke depannya. “Jangan salah pah—”
“Saya nggak suka sama Mas Abi, kok,” putus Fika kembali menunjukkan wajah cerianya. Ia mundur satu langkah, karena debaran jantungnya semakin tidak karuan ketika Abi menghampiri. Jangan sampai, Fika menunjukkan ketertarikannya kepada pria itu.
“Jadi, jangan terlalu dipikirin,” sambung Fika. “Tadinya, saya itu mau magang di perusahaannya mas Aga, tapi nggak dibolehin sama mbak Bening.” Untung saja Fika bisa memberi banyak alasan, meskipun harus berbohong demi menutupi alibinya. “Kalau di perusahaan papa, saya nggak mau nantinya diistimewain sama karyawan lain. Makanya, pilihannya magang di sini sambil ngisi waktu luang. Jadi, saya minta maaf kalau sudah ngerepotin Mas Abi.”
“Fika.” Abi terpaku, dan tidak berani melangkah lagi ketika Fika menghindarinya. Sedikitnya, Abi bisa melihat luka yang terpancar dari raut wajah yang penuh dengan senyum palsu itu. “Sekali lagi saya minta maaf. Kalau kamu memang mau magang di sini, dan memang niat cari pengalaman, kamu bisa bantu kerjaan bu Ina di depan. Kamu bisa tanya-tanya tentang semuanya sama beliau.”
“Makasih, Mas.” Fika mengangguk dan tetap memasang senyum di wajah. Dari perkataan Abi, ia bisa menilai pria itu tidak ingin dekat dengan Fika. “Tapi … sepertinya saya udahan aja. Habis makan siang sama bu Ina, saya pamit dari sini biar nggak jadi beban buat Mas Abi.”
“Fika, kamu bukan beban,” sanggah Abi kembali ingin menghabiskan jaraknya, tetapi Fika kembali menjauhinya. Karena itu juga, Abi akhirnya berhenti melangkah. “Tapi, saya memang nggak ada kerjaan buat kamu.”
Fika mengangguk. “Saya tahu, makanya saya mau pamit dari sini. Makasih karena sudah mau nampung saya selama seminggu di sini.”
“Fika.” Abi jadi semakin merasa bersalah. Opsi yang ditawarkannya pun, langsung ditolak oleh Fika. “Tolong, jangan seperti ini. Selesaikan dulu tanggung jawabmu selama dua bulan di sini. Karena saya nggak mau hubungan keluarga kita renggang, cuma karena masalah magang. Saya nggak mau mama kamu salah paham, dan ngira anaknya kenapa-kenapa selama di sini.”
“Nanti …” Fika menggigit sudut bibirnya sebentar untuk berpikir. “Biar saya yang ngomong, kalau … nggak sanggup kerja sama Mas Abi.”
Tidak bisa begitu. Clara pasti akan berpikiran macam-macam pada Abi, dan hubungan mereka ke depannya pasti akan canggung.
“Begini aja.” Dengan terpaksa, Abi akan memberi pekerjaan pada gadis itu agar Fika tidak berhenti bekerja. “Ambil tasmu, dan ikut aku ketemu klien makan siang.”
Fika mengerjap dan masih memproses ucapan Abi. Apa dirinya tidak salah dengar? Abi mengajaknya pergi untuk bertemu klien?
“Fika ayo!” kata Abi sambil berlalu melewati Fika. “Kita bisa telat, kalau kamu bengong seperti itu.”
“Tapi, Mas—”
“Nggak ada tapi-tapi! Lima menit kamu nggak muncul di bawah, saya tinggal!”
“Sudah direkam semua?” tanya Abi setelah pertemuan dengan kliennya selesai. Fika yang duduk di sampingnya, hanya diberi tugas untuk merekam, dan menyimak seluruh pembicaraan yang ada. Abi ingin, Fika menajamkan insting dan melatih intuisinya. Karena Abi tahu benar, Fika bukanlah gadis seperti Vira. Fika terlalu lembut, dan cenderung tidak bisa bersikap tegas.“Sudah, Mas,” angguk Fika pelan.“Kalau begitu, aku mau kamu bikin resumenya dan kirim ke emailku,” lanjut Abi akan bersungguh-sungguh bersikap profesional kali ini. Walau masih setengah hati, karena kinerja gadis itu sedikit lambat bagi Abi.“Sekarang, Mas?”“Nanti aja kalau sudah di kantor,” geleng Abi. “Selesaikan sebelum kamu puuu … Vira? Di sini juga?”Abi tersenyum lebar penuh kehangatan, ketika melihat Vira menghampiri mejanya. Seperti biasa, wanita itu selalu terlihat rapi, elegan, dan penuh ketegasan. Abi sontak berdiri, lalu mengitari meja untuk menarik kursi yang berseberangan dengannya.Vira tersenyum formal pada Abi.
“Fokus aja jadi asistennya. Fokus magang, fokus kuliah.” Kalimat Bening itu, selalu Fika lafalkan dalam hati sejak bangun tidur pagi tadi. Kakaknya itu benar, Fika tidak boleh plin plan dan harus punya pendirian. Sepertinya, sudah saatnya Fika berpaling dari Abi, dan membuka hatinya untuk pria lain.“Ngapain, Ma?’” Dahi Fika mengerut saat melihat Clara sudah berada di dapur sepagi ini. Biasanya, semua hal akan dipersiapkan asisten rumah tangga, dan Clara hanya tahu beres. Namun, tidak kali. Fika melihat rantang susun di kitchen island, dan masing-masing sudah terisi dengan lauk yang sangat menggugah selera. “Ini, makanan buat mbakmu,” ujar Clara sambil menumpuk rantang susunnya satu per satu. “Kan, lagi hamil. Biar nggak makan sembarangan.”Fika ikut senang, ketika tahu Bening benar-benar dinyatakan positif hamil tadi malam. Meskipun, Fika mendengar Bening masih saja tidak percaya bahwa saat ini sedang mengandung anak Aga. “Oia.” Setelah menutup rantang susunya, Clara menghela pan
“Pagi, Mas Abi,” Fika segera berdiri, menyapa seraya memberi anggukan sopan pada Abi. Pria yang baru saja masuk ke ruangan kerjanya itu, tampak kusut dan tidak serapi biasanya. Rambut yang biasanya tertata rapi dengan pomade, atau gel rambut, kini terlihat kering dan cenderung tidak beraturan. Jika ditelisik lagi, Abi sepertinya hanya menyisir rambut seadanya dengan jari-jarinya. “Pagi,” balas Abi dengan anggukan yang sama. Sejurus itu, ia berhenti dan mengangkat tangan, untuk menghentikan Fika yang akan melangkah dari kursinya. “Nggak usah bikin kopi, saya sudah kebanyakan kopi dari semalam.”“Ohh.” Fika mengangguk. Kembali duduk dan berhadapan dengan laptopnya. Ini kali pertama, Fika membawa laptop untuk bekerja di firma Abi agar ia tidak hanya duduk bengong seperti yang sudah-sudah. “Saya sudah minta jadwal Mas Abi hari ini sama bu Ina. Hari ini Mas Abi ada sidang jam 10, dan jam dua siang, Mas ada janji dengan orang dari Perhumas, untuk membahas seminar kerja sama.”Tangan Abi be
“Cuma sakit kepala, nggak perlu sampai masuk rumah sakit begini.” Sejak siuman dan mendapati dirinya berada di rumah sakit, Rasyid terus saja melontarkan protesnya. Ia ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah tanpa harus berteman dengan jarum infus.“Papa, jangan keras kepala.” Mau tidak mau, Abi harus bersabar menghadapi Rasyid. Kalau kondisinya seperti ini, bagaimana bisa Abi keluar dari rumah dan tinggal di tempat lain. “Kita tunggu sampai dua atau tiga hari ke depan.”“Justru kamu itu yang keras kepala!” balas Rasyid. “Papa ini sudah tua, dan cuma mau lihat kamu bahagia. Menikah lagi, punya istri, dan anak. Setelah itu, baru Papa bisa pergi dengan tenang.”Abi yang sedari tadi duduk di samping ranjang, hanya mengangguk. “Ya.”“Ya, apa?“Ya, Papa jaga kesehatan, dan—”“Sudahlah.” Rasyid tahu, akan percuma saja berdebat dengan Abi karena mereka sama-sama keras kepala. “Sekarang pergilah, pergi. Biar Martin yang temani Papa di sini. Mending ngobrol sama dia, daripada sama anak
“Ngapain ke sini?”Suara tawa di ruang rawat inap VIP itu, terhenti tiba-tiba saat Abi membuka pintu dan melenggang masuk tanpa beban. Rasyid yang masih merasa kesal itu, segera bertanya perihal kedatangan putranya tanpa basa-basi. “Numpang tidur,” jawab Abi santai sambil menghampiri Dean yang duduk di ujung ranjang pasien. Jika Abi menanggapi dengan serius, maka suasana ruangan tersebut akan tegang seketika. “Apa kabar Dean?” tanya Abi berbasa-basi, sambil menepuk pelan bahu pria yang merupakan kakak laki-laki Fika.“Baik, Mas!” Dean mengulurkan tangannya lebih dulu, dan langsung disambut hangat oleh.“Sehat, Fik?” Giliran Abi berbasa-basi pada Fika, meskipun sore tadi mereka masih bertemu di kantor.“Sehatlah, Mas,” sambar Dean seraya memberi tendangan kecil pada kaki Fika. “Berat badannya aja sampai naik sejak kerja di kantormu, Mas?”“Ha?” Abi melihat Fika dengan seksama. Namun, menurutnya tidak ada perubahan signifikan dari tubuh gadis itu. Fika yang dulu, dan sekarang, sama se
“Kamu di sini aja, nggak usah ikutin saya.”“Tapi, Maa … as.” Fika membuang napas panjang. Berdiam sebentar, lalu memutuskan pergi keluar pengadilan. Mencari tempat duduk yang nyaman, untuk beristirahat dan melihat kembali jadwal Abi setelahnya. Sementar Abi, segera pergi menuju kantin karena sudah membuat janji dengan seseorang. Sesampainya di sana, Abi melihat wanita itu duduk sendiri dan sibuk dengan ponselnya. Dengan segera, Abi menghampiri dan duduk di samping wanita itu, hampir tidak berjarak.“Pergi ke mana kamu semalam?” tembak Abi tanpa harus basa-basi.Vira tertawa garing mendengar pertanyaan dari Abi. “Helloow, gebetan bukan, pacar bukan, suami apa lagi. Jadi jangan sok posesif sama aku, Bi.”“Vir.” Abi semakin mengecilkan suaranya, dan melihat ke sekitar mereka. Memastika, posisi keduanya jauh dari keramaian. “Semalam, kamu pergi sama pak Ilham dan perempuan yang namanya Vania Sesya.”“Apa aku lagi dimata-matain sekarang?” Vira menjauhkan wajah dari Abi. Kemudian, ia juga
“Aku laper …” Fika terduduk lelah, dan masih mengenakan pakaian kerjanya. Saking lelahnya, Fika kemudian berbaring di karpet di ruang keluarga. Belum sempat pergi ke kamar, karena terlalu lelah bila harus pergi ke lantai dua. “Capeeek.” “Ini baru magang, Fikaaa.” Clara menggeleng melihat putrinya. Menghentikan tayangan teve kabelnya terlebih dahulu, kemudian kembali beralih pada Fika. “Belum kerja betulan. Coba lihat papa sama mas Dean, jam segini belum pulang-pulang.” Fika meringik. Kemudian merebahkan tubuhnya dengan desahan panjang. “Nanti, aku mau jadi ibu rumah tangga aja kalau sudah nikah. Kayak mama, sama mbak Ning. Repot kalau punya bos kayak mas Abi. Nggak jelas banget!” “Katanya naksir berat,” ledek sang mama. “Katanya suka, katanya—” “Dia itu nggak jelas banget, Ma!” Setelah mengenal Abi lebih dekat, perasaan kagum Fika yang dulu selalu bergejolak, mulai berubah menjadi rasa kesal. “Kesel aku lama-lama. Suka ngatur-ngatur, suka ikut campur.” Clara terkekeh, lalu membari
“Ngapain kamu mondar-mandir nggak jelas seperti itu.” Rasyid sudah mengusir Abi berulang kali, tetapi putranya itu tetap saja kembali ke rumah. Lagi, dan lagi, tanpa ada rasa sungkan sama sekali. Abi bahkan duduk satu meja ketika sarapan, pun makan malam bersama Rasyid setiap hari. Seolah-oleh, tidak pernah terjadi perdebatan di antara mereka.“Darius Iskak, melecehkan salah satu karyawannya dan dilaporkan,” jawab Abi langsung mengutarakan semua yang ada di kepala, tanpa diminta. “Dari situ, kita dapat info dia tersangkut kasus suap, korupsi, dan money laundering. Dia punya simpanan, Vania Sesya yang lagi kerja sama dengan Ilham, klien Vira.”“Kasus biasa.” Rasyid berjalan perlahan menuju sofa ruang tengah dan mendudukinya. “Kenapa? Ada yang ngancam?”Abi menggeleng dan berhenti mondar-mandir. “Aliran dananya dipake buat showroom dan investasi.”“Di mana masalahnya?” Bagi Rasyid pola kasus yang disebut Abi selalu saja sama sedari dulu. Yang membedakan, hanyalah seberapa kuat bekingan
“Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.
“Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu
“Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak
“Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s
“Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta
“Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela
Sebagai anak bungsu yang kerap dimanja dan mendapat perhatian lebih, Fika akhirnya merasakan bagaimana rasanya tersisihkan. Semua perhatian seluruh keluarganya, saat ini berpusat pada Bening. Bahkan, Dean pun tidak jarang mampir untuk mengunjungi keponakan barunya sepulang kerja.Sementara Abi, semakin ke sini pria itu semakin disibukkan dengan banyak kasus dan jadwal sidang yang kian padat.Di titik seperti sekarang, Fika benar-benar merasa kesepian dan terlupakan. Seolah tidak ada lagi tempat bermanja, seperti dahulu kala.“Mi.” Abi berhenti di ambang pintu. Memanggil Fika yang sejak tadi duduk termenung di teras samping rumah. Tidak melihat ataupun mendengar respons dari Fika, Abi lantas kembali memanggil sembari menghampiri sang istri. “Mi,” tegur Abi sekali lagi sambil menyentuh pundak Fika, yang kemudian terhenyak.“Mas!” Fika reflek memegang dadanya, lalu mendongak menatap Abi. “Jangan ngagetin!”“Aku nggak ngagetin.” Abi lantas berlutut di hadapan Fika. Menyentuh perut sang is
“Segara Cakrawala.” Fika menatap bayi mungil yang sedang tertidur di samping Bening. “Jadi ingat pak Pras.” “Kenapa pak Pras? Bukan pak Raja?” tanya Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Padahal yang jadi gubernur itu pak Raja, tapi orang-orang selalu ingatnya sama Pras.” “Serius masih tanya masalah itu, Ga?” tanya Abi sambil terus menatap wajah mungil putra Aga, yang masih tidur dengan pulas. Melihatnya, Abi jadi tidak sabar ingin menimang bayinya sendiri. “Pras itu—” “Pak Pras itu ganteng,” celetuk Bening sembari bangkit dengan perlahan setelah melihat Aga. Suaminya itu memberi respons dengan menggeleng kepala, ketika mendengar Bening memuji Pras. “Tapi, ya, gitu! Kayak batu. Mending es batu bisa cair, lah dia?” “Serem!” timpal Fika dengan anggukan setuju. Namun, Fika masih tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaannya barusan. Mengapa nama anak Bening dan Aga harus “Segara”? Aga menarik napas panjang lalu menghela. Ia berdiri di samping Fika, kemudian mengangkat Gara
“Tarik napas.” Bening menggeram, setelah mendengar Aga memberi perintah untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tepat di sampingnya dan tidak lepas menggenggam erat tangan Bening sejak keduanya berada di ruang persalinan. “Sakiiit, Beeb. Jangan nyuruh-nyuruh aja bisanya.” Aga menatap sang dokter, yang sejak tadi tidak ingin berkomentar banyak. Karena dokter tersebut tahu benar, Bening akan membalas semua ucapan yang ada dengan kalimat yang lebih panjang lagi. Aga hendak membalas ucapan sang istri, tetapi kemudian ia berubah pikiran. Sepertinya diam lebih baik, daripada mendengar Bening terus mengoceh dan menghabiskan tenaganya. “Bu Dok, lagi ...” Bening kembali merasakan kontraksi, sehingga membuat tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. “Tunggu sebentar.” Dokter wanita itu mengangguk, dan bersiap memberi aba-aba untuk Bening. “Tunggu gim—” “Tarik napas, Bu.” Dengan terpaksa, dokter tersebut memotong ucapan istri Aga. “Dorooong …” Bening kembali menuruti instruksi sang