“Sudah direkam semua?” tanya Abi setelah pertemuan dengan kliennya selesai. Fika yang duduk di sampingnya, hanya diberi tugas untuk merekam, dan menyimak seluruh pembicaraan yang ada. Abi ingin, Fika menajamkan insting dan melatih intuisinya. Karena Abi tahu benar, Fika bukanlah gadis seperti Vira. Fika terlalu lembut, dan cenderung tidak bisa bersikap tegas.
“Sudah, Mas,” angguk Fika pelan.
“Kalau begitu, aku mau kamu bikin resumenya dan kirim ke emailku,” lanjut Abi akan bersungguh-sungguh bersikap profesional kali ini. Walau masih setengah hati, karena kinerja gadis itu sedikit lambat bagi Abi.
“Sekarang, Mas?”
“Nanti aja kalau sudah di kantor,” geleng Abi. “Selesaikan sebelum kamu puuu … Vira? Di sini juga?”
Abi tersenyum lebar penuh kehangatan, ketika melihat Vira menghampiri mejanya. Seperti biasa, wanita itu selalu terlihat rapi, elegan, dan penuh ketegasan. Abi sontak berdiri, lalu mengitari meja untuk menarik kursi yang berseberangan dengannya.
Vira tersenyum formal pada Abi. Merasa kursi yang ditarik Abi ditujukan untuknya, maka Vira tidak segan duduk di sana. “Makasih, Bi.” Vira memberi anggukan kecil pada gadis yang ada bersama Abi, tanpa menyapanya. Gadis yang sama ditemui Vira, ketika ia berada di kantor Abi tempo hari. “Aku ada janji sama pak Ilham, tapi dia kejebak macet.”
Abi berdecih, sambil menarik kursi di samping Vira. Ia lantas duduk tepat berseberangan dengan Fika, dan tidak lagi menolehkan wajah pada gadis itu karena kehadiran Vira. “Aku jadi tambah curiga? Kamu sama orang itu ada hubungan.”
Vira tersenyum miring dan menggeleng. “Sudah kubilang, dia itu cuma klien. Tapi, yaaa, kami bisa dibilang seperti teman.”
“Lebih baik aku yang kamu jadikan “teman”,” sahut Abi masih tidak putus asa untuk menjadikan Vira miliknya. Karena pernah ditikung Aga, maka kali ini Abi tidak akan membiarkan Vira kembali menjadi milik orang lain.
“Ayolah, Bi. Pak Ilham itu cuma teman biasa.” Harus berapa kali Vira menjelaskan pada Abi, dirinya sudah tidak tertarik menjalin hubungan romantis dengan seorang pria. Satu hal signifikan yang Vira rasakan setelah bercerai dari Aga adalah kebebasan. Ia tidak perlu terikat dengan tanggung jawab, dan bisa melakukan apa pun tanpa harus memikirkan statusnya sebagai seorang istri.
Meskipun begitu, Vira tetap tidak mengabaikan tanggung jawabnya pada Awan. Ya, walaupun sebagian besar hidup Awan saat ini ada bersama Aga dan istri barunya.
“Dan, untuk tujuan apa kalian ketemu di sini?” selidik Abi penuh curiga.
“Ada beberapa berkas yang harus pak Ilham tanda tangani.”
“Dan kenapa harus tanda tangan di restoran?”
“Karena dia yang ngajak ketemu di sini.” Vira menggeleng sambil menepuk punggung tangan pria itu. “Kamu sendiri?” Dagu serta tatapan Vira tertuju pada Fika. Lebih baik mengalihkan obrolan, daripada terus dicecar oleh kecurigaan Abi yang tidak beralasan. “Di sini?”
“Ohh …” Abi menoleh pada Fika sekilas. “Dia Fika yang waktu itu dibawa papa ke kantor. Dia magang jadi aspriku selama dua bulan,” jelas Abi tidak berpanjang-panjang. “Jangan cemburu. Aku baru aja ketemu klien di sini, dan rencana mau balik kantor, tapi kamu datang.”
Vika memutar malas bola matanya. “Buat apa aku cemburu ...
Di saat Abi hanya sibuk bercengkrama dengan Vira, di situlah Fika menyadari dirinya bukan siapa-siapa. Bahkan, status Fika sebagai seorang asisten pribadi pun, sama sekali tidak ada apa-apanya di mata Abi. Fika seolah tidak ada, dan sama sekali tidak penting untuk diajak bicara.
“Maaf, Mas Abi.” Fika memberanikan diri menyela obrolan yang seolah tidak akan berhenti itu.
Abi dan Vira sontak terdiam karena suara Fika.
“Ada apa, Fik?” tanya Abi.
“Kalau memang nggak ada kerjaan lagi, bisa saya balik duluan?” Bukannya tidak ingin bersikap profesional, tetapi semakin lama, hatinya semakin teriris pilu melihat kedua orang yang “berdebat” di depan mata. “Saya nggak enak kal—”
“Kamu ke sini sama saya, Fik.”
“Saya bisa pesan taksi,” ujar Fika mulai berdiri sambil memasukkan ponsel ke dalam tas. Ia tersenyum, dan memberi anggukan kecil pada Vira. “Biar Mas Abi bisa ngobrol lebih bebas lagi sama ibu Vira. Jadi, saya permisi.”
“Oke, hati-hati di jalan,” balas Abi dengan cueknya. “Kamu bisa reimburse dananya ke kantor. Lapor aja sama bu Ina.”
“Baik, Mas … makasih.”
~~
Kembali, sore itu Fika melajukan mobilnya ke rumah Bening. Meskipun perkataan Bening selalu tajam dan ceplas ceplos, tetapi, saudaranya itu bisa dibilang berada di pihak Fika. Di saat mama dan papanya tetap memberi semangat untuk melakukan pendekatan dengan Abi, hanya Bening yang seolah mengerti kondisi Fika.
Untuk itulah, sepulang kerja Fika kembali mampir ke rumah Bening hanya untuk berkeluh kesah. Terserah mau diusir seperti kemarin, yang penting Fika sudah mengeluarkan unek-uneknya.
Melihat ada mobil asing yang terparkir di carport, dan pintu depan yang terbuka, Fika menebak sedang ada tamu di rumah Bening. Namun, hal tersebut tidak mengurungkan niat Fika untuk tetap masuk ke dalam rumah.
“Tante … di sini?” Kaki Fika terhenti sebentar, ketika melihat Arum di ruang tengah. Mama mertua Bening itu menengok sebentar, lalu kembali mencari sesuatu di tasnya.
“Sendirian, Fik?” tanya Arum masih menunduk dan mencari sesuatu. “Mamamu nggak ikut?”
“Aku baru pulang magang, Tan.” Fika kembali mengayunkan kaki, menghampiri Arum. “Mbak Ning, ke mana?”
“Di kamar mandi,” ujar Arum lalu menghempas tas di pangkuan. Ia mendesah, karena tidak kunjung menemukan apa yang dicari. “Tante lagi nungguin hasil tespeknya dia.”
“Tespek?” Fika duduk dengan perlahan di samping Arum. “Yang buat ngecek hamil itu, kan?”
“Iya.”
“Mbak Ning hamil?” Rasanya tidak mungkin, karena Fika sempat mendengar Bening mengatakan tidak pernah mau memiliki anak.
“Dari kemaren-kemaren ngeluh badannya nggak enak,” terang Arum. “Yang masuk anginlah, yang mendadak demam, mual-mual, tapi disuruh ke dokter nggak mau.”
“Terus, mas Aga ke mana?”
“Lagi di jalan mau pulang,” terang Arum yang sontak berdiri ketika melihat Bening kembali masuk ke ruang tengah. Dengan rasa penasaran yang begitu besar, Arum berjalan cepat menghampiri sang menantu sambil melihat tespek yang ada di tangan Bening. “Gimana? Garis dua, kan?” buru Arum dengan yakin. Ia sangat berharap Bening hamil, dan memiliki cucu perempuan.
“Satu.” Bibir Bening sudah memberengut, dan sedikit menghentakkan kakinya.
“Yang bener!” Arum merampas hasil tespek itu dari tangan Bening, lalu ternganga lebar. Sejurus kemudian, tangan kanannya melayang, memukul lengan Bening karena geregetan. “Dua gini, loh, Ning!”
“Satu, Maaa.” Bening hendak merengek saja rasanya. Terkadang, Bening merasa tertekan dengan sikap Arum yang selalu saja memerintah seenaknya.
“Ini, lhooo.” Arum menunjuk satu garis samar, yang berada sejajar dengan garis merah yang berwarna tegas. “Ini, dua.”
“Kan, nggak kelihatan, Ma,” sanggah Bening membela diri, tetapi tidak berani bicara keras dengan wanita itu. “Berarti belum jadi dua.”
“Jadi, Mbak Ning hamil, Tan?” tanya Fika yang juga tidak mengerti dengan hasil yang tertera. Fika tahu bila hasil tespek menunjukkan dua garis, maka hal tersebut menandakan kehamilan. Namun, bila satu garisnya hanya terlihat samar, hal tersebutlah yang tidak diketahui oleh Fika.
“Hamil ini, hamil!” seru Arum kembali menyerahkan hasil tespek ke tangan Bening. “Lihat hape Mama, nggak?” tanyanya tanpa melepas senyum lebar di wajah. Akhirnya, yang ditunggu-tunggu datang juga. Arum akan kembali memiliki seorang cucu lagi dari Aga. “Dari tadi Mama cariin nggak ada.”
“Hamil …” Bening menggenggam erat hasil tespeknya di tangan. Padahal, ia baru saja setuju melepas KB untuk melakukan program hamil atas bujuk rayu Aga. Namun, mengapa hasilnya begitu cepat? Mengapa Bening sudah hamil, padahal ia belum terlalu siap menghadapi kehamilan pertamanya?
“Iya!” sahut Arum dengan yakin. “Mama cari hape di dapur dulu. Mau telpon Aga, sama cari dokter kandungan. Nanti malam kita langsung periksa.”
Melihat Arum pergi menuju dapur, dengan membawa kegembiraannya Fika lantas menghabiskan jarak dengan Bening. Ia memeluk saudara perempuannya itu, lalu berujar dengan tulus. “Selamat, ya, Mbak. Bentar lagi Awan mau punya adek.”
Akan tetapi, bukan jawaban yang Fika dapatkan dari Bening. Namun, tubuh sang kakak mulai berguncang kecil, sehingga Fika buru-buru mengurai pelukannya. “Mbak Ning kenapa?”
“Aku hamil, Fikaaa!” rengek Bening langsung teringat dengan kenakalannya di masa remaja. “Nanti gimana besarinnya? Nanti, nanti kalau anakku cewek gimana? Terus, kayak aku?”
“Ha?” Jelas saja Fika bengong untuk sesaat. “Memangnya, kalau mirip Mbak Ning kenapa? Bukannya Mbak Ning itu pintar, cantik, ter—”
“Diam kamu!” Bening menggaruk kepala dengan kedua tangan. Berjalan ke sofa, lalu menghempas tubuhnya di sana. Entah ke mana perginya hasil tespek yang ada di genggaman, karena Bening sudah tidak lagi memikirkannya. Pergaulan di zaman Bening saja sudah cukup mengerikan, bagaimana nanti? Saat anaknya sudah beranjak dewasa dan lepas dari pengawasan Bening.
Fika bungkam setelah dihardik Bening. Namun, tetap saja Fika mengikuti Bening dan duduk di samping wanita itu. “Aku telpon mama dulu.”
“Hm, telponlah,” kata Bening. “Tapi nggak usah datang. Bilang aku mau pergi sama mama Arum ke dokter.”
Lebih baik Bening memastikan lagi kondisinya di dokter kandungan. Ia masih tidak percaya, bila garis samar yang ada di tespek juga menandakan kehamilan.
“Eia, kamu ngapain ke sini lagi?” tanya Bening sedikit bingung melihat Fika kembali muncul di rumahnya. “Abi lagi?” tebaknya.
Fika tersenyum datar, sambil mengeluarkan ponsel dari tas. “Rasanya aku mau nyerah jadi asistennya. Nggak kuat lihat mas Abi berduaan sama bu Vira.”
“Dasar plin plan!” Meskipun sudah tidak bersemangat, tetapi Bening masih punya tenaga untuk menghardik Fika. “Punya pendirian kenapa, Fik? Kalau memang mas Abi nggak suka sama kamu, ya, sudah! Nggak usah dikejar-kejar. Fokus aja jadi asistennya, terus cari cowok lain! Dahlah, nggak usah ditengok-tengok cowok begitu. Mulai sekarang, fokus magang aja, terus fokus kuliah. Nggak pake plin plan lagi. Ngerti?”
Fika menelan ludah, lalu mengangguk. “Iya, ngerti.”
“Fokus aja jadi asistennya. Fokus magang, fokus kuliah.” Kalimat Bening itu, selalu Fika lafalkan dalam hati sejak bangun tidur pagi tadi. Kakaknya itu benar, Fika tidak boleh plin plan dan harus punya pendirian. Sepertinya, sudah saatnya Fika berpaling dari Abi, dan membuka hatinya untuk pria lain.“Ngapain, Ma?’” Dahi Fika mengerut saat melihat Clara sudah berada di dapur sepagi ini. Biasanya, semua hal akan dipersiapkan asisten rumah tangga, dan Clara hanya tahu beres. Namun, tidak kali. Fika melihat rantang susun di kitchen island, dan masing-masing sudah terisi dengan lauk yang sangat menggugah selera. “Ini, makanan buat mbakmu,” ujar Clara sambil menumpuk rantang susunnya satu per satu. “Kan, lagi hamil. Biar nggak makan sembarangan.”Fika ikut senang, ketika tahu Bening benar-benar dinyatakan positif hamil tadi malam. Meskipun, Fika mendengar Bening masih saja tidak percaya bahwa saat ini sedang mengandung anak Aga. “Oia.” Setelah menutup rantang susunya, Clara menghela pan
“Pagi, Mas Abi,” Fika segera berdiri, menyapa seraya memberi anggukan sopan pada Abi. Pria yang baru saja masuk ke ruangan kerjanya itu, tampak kusut dan tidak serapi biasanya. Rambut yang biasanya tertata rapi dengan pomade, atau gel rambut, kini terlihat kering dan cenderung tidak beraturan. Jika ditelisik lagi, Abi sepertinya hanya menyisir rambut seadanya dengan jari-jarinya. “Pagi,” balas Abi dengan anggukan yang sama. Sejurus itu, ia berhenti dan mengangkat tangan, untuk menghentikan Fika yang akan melangkah dari kursinya. “Nggak usah bikin kopi, saya sudah kebanyakan kopi dari semalam.”“Ohh.” Fika mengangguk. Kembali duduk dan berhadapan dengan laptopnya. Ini kali pertama, Fika membawa laptop untuk bekerja di firma Abi agar ia tidak hanya duduk bengong seperti yang sudah-sudah. “Saya sudah minta jadwal Mas Abi hari ini sama bu Ina. Hari ini Mas Abi ada sidang jam 10, dan jam dua siang, Mas ada janji dengan orang dari Perhumas, untuk membahas seminar kerja sama.”Tangan Abi be
“Cuma sakit kepala, nggak perlu sampai masuk rumah sakit begini.” Sejak siuman dan mendapati dirinya berada di rumah sakit, Rasyid terus saja melontarkan protesnya. Ia ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah tanpa harus berteman dengan jarum infus.“Papa, jangan keras kepala.” Mau tidak mau, Abi harus bersabar menghadapi Rasyid. Kalau kondisinya seperti ini, bagaimana bisa Abi keluar dari rumah dan tinggal di tempat lain. “Kita tunggu sampai dua atau tiga hari ke depan.”“Justru kamu itu yang keras kepala!” balas Rasyid. “Papa ini sudah tua, dan cuma mau lihat kamu bahagia. Menikah lagi, punya istri, dan anak. Setelah itu, baru Papa bisa pergi dengan tenang.”Abi yang sedari tadi duduk di samping ranjang, hanya mengangguk. “Ya.”“Ya, apa?“Ya, Papa jaga kesehatan, dan—”“Sudahlah.” Rasyid tahu, akan percuma saja berdebat dengan Abi karena mereka sama-sama keras kepala. “Sekarang pergilah, pergi. Biar Martin yang temani Papa di sini. Mending ngobrol sama dia, daripada sama anak
“Ngapain ke sini?”Suara tawa di ruang rawat inap VIP itu, terhenti tiba-tiba saat Abi membuka pintu dan melenggang masuk tanpa beban. Rasyid yang masih merasa kesal itu, segera bertanya perihal kedatangan putranya tanpa basa-basi. “Numpang tidur,” jawab Abi santai sambil menghampiri Dean yang duduk di ujung ranjang pasien. Jika Abi menanggapi dengan serius, maka suasana ruangan tersebut akan tegang seketika. “Apa kabar Dean?” tanya Abi berbasa-basi, sambil menepuk pelan bahu pria yang merupakan kakak laki-laki Fika.“Baik, Mas!” Dean mengulurkan tangannya lebih dulu, dan langsung disambut hangat oleh.“Sehat, Fik?” Giliran Abi berbasa-basi pada Fika, meskipun sore tadi mereka masih bertemu di kantor.“Sehatlah, Mas,” sambar Dean seraya memberi tendangan kecil pada kaki Fika. “Berat badannya aja sampai naik sejak kerja di kantormu, Mas?”“Ha?” Abi melihat Fika dengan seksama. Namun, menurutnya tidak ada perubahan signifikan dari tubuh gadis itu. Fika yang dulu, dan sekarang, sama se
“Kamu di sini aja, nggak usah ikutin saya.”“Tapi, Maa … as.” Fika membuang napas panjang. Berdiam sebentar, lalu memutuskan pergi keluar pengadilan. Mencari tempat duduk yang nyaman, untuk beristirahat dan melihat kembali jadwal Abi setelahnya. Sementar Abi, segera pergi menuju kantin karena sudah membuat janji dengan seseorang. Sesampainya di sana, Abi melihat wanita itu duduk sendiri dan sibuk dengan ponselnya. Dengan segera, Abi menghampiri dan duduk di samping wanita itu, hampir tidak berjarak.“Pergi ke mana kamu semalam?” tembak Abi tanpa harus basa-basi.Vira tertawa garing mendengar pertanyaan dari Abi. “Helloow, gebetan bukan, pacar bukan, suami apa lagi. Jadi jangan sok posesif sama aku, Bi.”“Vir.” Abi semakin mengecilkan suaranya, dan melihat ke sekitar mereka. Memastika, posisi keduanya jauh dari keramaian. “Semalam, kamu pergi sama pak Ilham dan perempuan yang namanya Vania Sesya.”“Apa aku lagi dimata-matain sekarang?” Vira menjauhkan wajah dari Abi. Kemudian, ia juga
“Aku laper …” Fika terduduk lelah, dan masih mengenakan pakaian kerjanya. Saking lelahnya, Fika kemudian berbaring di karpet di ruang keluarga. Belum sempat pergi ke kamar, karena terlalu lelah bila harus pergi ke lantai dua. “Capeeek.” “Ini baru magang, Fikaaa.” Clara menggeleng melihat putrinya. Menghentikan tayangan teve kabelnya terlebih dahulu, kemudian kembali beralih pada Fika. “Belum kerja betulan. Coba lihat papa sama mas Dean, jam segini belum pulang-pulang.” Fika meringik. Kemudian merebahkan tubuhnya dengan desahan panjang. “Nanti, aku mau jadi ibu rumah tangga aja kalau sudah nikah. Kayak mama, sama mbak Ning. Repot kalau punya bos kayak mas Abi. Nggak jelas banget!” “Katanya naksir berat,” ledek sang mama. “Katanya suka, katanya—” “Dia itu nggak jelas banget, Ma!” Setelah mengenal Abi lebih dekat, perasaan kagum Fika yang dulu selalu bergejolak, mulai berubah menjadi rasa kesal. “Kesel aku lama-lama. Suka ngatur-ngatur, suka ikut campur.” Clara terkekeh, lalu membari
“Ngapain kamu mondar-mandir nggak jelas seperti itu.” Rasyid sudah mengusir Abi berulang kali, tetapi putranya itu tetap saja kembali ke rumah. Lagi, dan lagi, tanpa ada rasa sungkan sama sekali. Abi bahkan duduk satu meja ketika sarapan, pun makan malam bersama Rasyid setiap hari. Seolah-oleh, tidak pernah terjadi perdebatan di antara mereka.“Darius Iskak, melecehkan salah satu karyawannya dan dilaporkan,” jawab Abi langsung mengutarakan semua yang ada di kepala, tanpa diminta. “Dari situ, kita dapat info dia tersangkut kasus suap, korupsi, dan money laundering. Dia punya simpanan, Vania Sesya yang lagi kerja sama dengan Ilham, klien Vira.”“Kasus biasa.” Rasyid berjalan perlahan menuju sofa ruang tengah dan mendudukinya. “Kenapa? Ada yang ngancam?”Abi menggeleng dan berhenti mondar-mandir. “Aliran dananya dipake buat showroom dan investasi.”“Di mana masalahnya?” Bagi Rasyid pola kasus yang disebut Abi selalu saja sama sedari dulu. Yang membedakan, hanyalah seberapa kuat bekingan
“Fika, kopi!” Satu seruan tersebut, seketika membuat Fika terhenyak. Detik itu juga, Fika reflek berdiri, dan mematung menatap Abi yang berjalan cepat ke hadapannya. Wajah pria itu tampak datar, dan tidak bersahabat. “Pagi, Fik.” “Ha?” Fika memiringkan kepala, hingga melewati tubuh Abi untuk melihat sosok pria yang menyapanya dengan lembut. Sejurus itu, Fika tersenyum lebar dan menyapa kakak iparnya. “Pagi, Mas Aga. Mau saya buatin kopi juga?” “Teh aja,” jawab Aga sambil terus berjalan, lalu menduduki kursi yang berseberangan dengan Fika. “Jangan terlalu manis.” “Siap, Mas!” Fika mengangguk dan tetap memasang senyum yang tertuju pada Aga. “Oia, mau cemilan juga, nggak?” lanjut Fika lalu menunduk, dan mengambil sebuah wadah plastik dari tasnya. Fika membuka tutup wadah berbentuk bulat tersebut, lalu menyodorkannya pada Aga. “Aku nyoba bikin donat mini tadi malam. Jangan lihat bentuknya, ya, Mas, tapi rasanya,” ujar Fika lalu terkekeh. Aga mengambil satu buah donat bertabur limpa
“Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.
“Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu
“Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak
“Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s
“Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta
“Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela
Sebagai anak bungsu yang kerap dimanja dan mendapat perhatian lebih, Fika akhirnya merasakan bagaimana rasanya tersisihkan. Semua perhatian seluruh keluarganya, saat ini berpusat pada Bening. Bahkan, Dean pun tidak jarang mampir untuk mengunjungi keponakan barunya sepulang kerja.Sementara Abi, semakin ke sini pria itu semakin disibukkan dengan banyak kasus dan jadwal sidang yang kian padat.Di titik seperti sekarang, Fika benar-benar merasa kesepian dan terlupakan. Seolah tidak ada lagi tempat bermanja, seperti dahulu kala.“Mi.” Abi berhenti di ambang pintu. Memanggil Fika yang sejak tadi duduk termenung di teras samping rumah. Tidak melihat ataupun mendengar respons dari Fika, Abi lantas kembali memanggil sembari menghampiri sang istri. “Mi,” tegur Abi sekali lagi sambil menyentuh pundak Fika, yang kemudian terhenyak.“Mas!” Fika reflek memegang dadanya, lalu mendongak menatap Abi. “Jangan ngagetin!”“Aku nggak ngagetin.” Abi lantas berlutut di hadapan Fika. Menyentuh perut sang is
“Segara Cakrawala.” Fika menatap bayi mungil yang sedang tertidur di samping Bening. “Jadi ingat pak Pras.” “Kenapa pak Pras? Bukan pak Raja?” tanya Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Padahal yang jadi gubernur itu pak Raja, tapi orang-orang selalu ingatnya sama Pras.” “Serius masih tanya masalah itu, Ga?” tanya Abi sambil terus menatap wajah mungil putra Aga, yang masih tidur dengan pulas. Melihatnya, Abi jadi tidak sabar ingin menimang bayinya sendiri. “Pras itu—” “Pak Pras itu ganteng,” celetuk Bening sembari bangkit dengan perlahan setelah melihat Aga. Suaminya itu memberi respons dengan menggeleng kepala, ketika mendengar Bening memuji Pras. “Tapi, ya, gitu! Kayak batu. Mending es batu bisa cair, lah dia?” “Serem!” timpal Fika dengan anggukan setuju. Namun, Fika masih tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaannya barusan. Mengapa nama anak Bening dan Aga harus “Segara”? Aga menarik napas panjang lalu menghela. Ia berdiri di samping Fika, kemudian mengangkat Gara
“Tarik napas.” Bening menggeram, setelah mendengar Aga memberi perintah untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tepat di sampingnya dan tidak lepas menggenggam erat tangan Bening sejak keduanya berada di ruang persalinan. “Sakiiit, Beeb. Jangan nyuruh-nyuruh aja bisanya.” Aga menatap sang dokter, yang sejak tadi tidak ingin berkomentar banyak. Karena dokter tersebut tahu benar, Bening akan membalas semua ucapan yang ada dengan kalimat yang lebih panjang lagi. Aga hendak membalas ucapan sang istri, tetapi kemudian ia berubah pikiran. Sepertinya diam lebih baik, daripada mendengar Bening terus mengoceh dan menghabiskan tenaganya. “Bu Dok, lagi ...” Bening kembali merasakan kontraksi, sehingga membuat tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. “Tunggu sebentar.” Dokter wanita itu mengangguk, dan bersiap memberi aba-aba untuk Bening. “Tunggu gim—” “Tarik napas, Bu.” Dengan terpaksa, dokter tersebut memotong ucapan istri Aga. “Dorooong …” Bening kembali menuruti instruksi sang